Melik Nggendhong Lali
Kompas, 11 Februari 2023
Butet Kartaredjasa - Aktor
DI TENGAH gemuruh narasi-narasi besar, adakalanya kita perlu sesekali menyelam memunguti narasi-narasi kecil di ruang kebudayaan. Entah itu berupa pepatah petitih, peribahasa, kata-kata mutiara, ataupun pantun dan sebangsanya.
Saya kerap terpesona dengan pesan-pesan di lukisan kaca tradisional bergambar punakawan. Selalu sederhana, tapi menyengat. Setiap lihat lukisan kaca bergambar punakawan─Semar, Gareng Petruk, dan Bagong─ yang selalu diimbuh petuah bijak, ingatan langsung melambung ke rumah dinas budayawan UK, (almarhum) Umar Kayam, di Bulaksumur, Yogyakarta.
Tahun 1980-an bisa dibilang rumah itu seperti tempat bermuaranya mahasiswa, aktivis sosial, seniman, jurnalis dan para cerdik pandai. Tempat ngerumpi masalah sosial politik yang nyaman. Dan aman. UK menjadi magnet.
Di tengah percakapan yang kerap tumpang tindih, semua akan terhibur dengan senda gurau UK yang cerdas dan jenaka. Salah satu kejenakaan yang kerap ditulis di kolom-kolomnya, juga diceritakan dalam berbagai obrolan, adalah adegan dirinya berdialog dengan lukisan kaca. Pada salah satu dinding dekat kamar tamu tergantung lukisan kaca ukuran mungil dari Sastro Gambar, Muntilan.
Ada gambar Semar menuding di hadapan ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong, dan di bagian atas tertulis "Sapa durung sholat" (Siapa belum sholat?). Setiap UK keluar dari kamar, dia akan selalu bersitatap dengan pertanyaan di lukisan kaca itu, "Sapa durung sholat, dengan sigap UK mengacungkan jari, "Kula!" ("Ya, saya!"), dan kami tertawa jika mengingat adegan ini. Lantaran muncul dua tafsir. Pertama, apakah UK segera ambil air wudu terus melaksanakan ibadah, atau sekadar basa-basi memberi pengakuan bahwa dirinya memang belum shalat.
Menjadi bumerang
Di sini terasa adanya daya sodok lukisan rakyat yang murah meriah itu. Lukisan bergambar para punakawan ini ternyata bukan hanya pelengkap elemen interior, tapi sekaligus pembawa petuah nasihat, dan wejangan. Bersumber dari kristalisasi pemikiran-pemikiran dan kearifan leluhur. Sari pati ilmu hidup yang dibagikan melalui cita rasa artistik.
Hari ini mungkin kita masih menemukan hal serupa di rumah-rumah di pelosok perdesaan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Di teras kerap dijumpai sapaan hangat bertulis "Sugeng Rawuh" (Selamat datang). Di ruang tamu dalam. sering nongol kepingan adegan punakawan berhias pita dengan berbagai variasi tema.
Misalnya, "Aja Dumeh" yang artinya jangan mentang-mentang,
Yang mengusik, kenapa lukisan itu menggunakan material kaca? Kenapa meminjam karakter punakawan untuk menyampaikan pesan pepatah petitih yang sarat kearifan dan kebijaksanaan?
Saya menduga, dengan media kaca bening yang dilukis dengan cat di bidang kaca sebaliknya, tampilan karya itu jadi selalu bersih. Setiap kotor cukup dilap. Mudah perawatannya dibandingkan lukisan di atas kertas yang gampang rapuh digerogoti waktu. Agaknya, penggagas "berpetuah melalui lukisan kaca" itu punya keinginan supaya daya sengatnya berusia panjang. Bisa terwariskan secara turun-temurun.
Lihat saja, hampir semua wejangan, imbauan, dan petuah yang termaktub memuat nilai-nilai hidup yang hakiki. Yang substansial. Ingin selalu mengingatkan manusia sebagai orang. Bukan dewa. Bukan nabi. Bukan pemilik dan pemonopoli kebenaran. Bahwa manusia itu terbatas. Pantang meninggikan diri dan memanjakan kesombongan.
Kalau saja, misalnya, kita mematuhi saran punakawan "Ajining diri seka lathi" yang artinya kehormatan kita bermula dari lidah, kita akan hati-hati dan waspada mempermainkan lidah. Cermat bertutur kata. Berkata-kata tentu maknanya mengartikulasikan pikiran-pikiran, yang semestinya murni dari kesadaran intelektualitas. Bukan karena sihir setan ataupun bisikan iblis.
Hari ini ungkapan populer menyebut "mulutmu harimaumu". Terkadang justru mulut kita sendiri yang menerkam kita. Jadi bumerang yang balik menyerang, bahkan membongkar dan melucuti kepalsuan-kepalsuan yang selama ini bersembunyi aman di lubuk terdalam.
Penuh metafora
Dipinjamnya karakter punakawan sebagai alat menyampaikan pesan, saya kira juga melalui seleksi cermat. Mereka, para punakawan itu, adalah abdi, batur, jongosnya kesatria Pandawa. Tugasnya momong, mengasuh para kesatria. Mengingatkan supaya ketika kesatria itu jalannya melenceng mereka bisa kembali ke jalur yang diidealkan. Tugasnya menghibur dan menjewer dengan kelembutan. Itu pun dengan cara canda, guyon parikena. Penuh metafora dan semiotika. Punakawan akan mencubit, tapi yang dicubit tak akan pernah merasa sakit. Paling cuma geli menyeringai, sambil mengumpat dalam hati. Mereka mengkritik, tapi kritik itu, meski tajam menghunjam, tidak terpelanting menjadi ujar kebencian ataupun penghinaan. Untuk perkara ini, para kritikus sering mendadak bego, sulit membedakan perkara sederhana beginian. Punakawan yang merepresentasikan wong cilik pun selalu hadir menjunjung adab dalam memberikan koreksi-koreksi sosial.
Model sengatan punakawan pun akan berbeda ketika menghadapi aneka watak kesatria. Terutama kesatria Kurawa Astina yang kerap digambarkan temperamental, galak, baperan. Jurus-jurus sarkasme bisa diluncurkan, tapi tetap dalam koridor adab yang egaliter. Sialnya, jurus sarkastik yang keras akan lumpuh jika berhadapan dengan kesatria berbudi baik yang sejak awal sudah merendahkan dirinya. Tanpa perlu ditekan, direndah-rendahkan, ia sudah menyungkurkan dalam kerendahhatian seorang kesatria. Tapa ngrame. Bertapa dalam keramaian.
Rezeki personal
Hari ini ketika alam demokrasi membuka pintu selebar-lebarnya, dan media sosial sebagai buah dari perubahan kebudayaan (dari analog ke budaya digital) juga laksana mengizinkan seliar-liarnya orang menghamburkan opini, kita merenung: masihkah kearifan dan kebijaksanaan di lukisan-lukisan kaca itu berguna?
Saya sih percaya, zaman boleh berganti. Kebudayaan boleh beringsut. Tatanan sosial boleh dikoreksi. Aturan hukum boleh di-judicial review. Tapi, yang abadi dan sulit berubah adalah nilai-nilai kehidupan. Pesan yang menyodok melalui lukisan kaca itu dihayati sebagai intisari hidup yang membimbing arah perjalanan kemanusiaan kita. Ia telah melewati filter-filter dinamika hidup leluhur.
Mereka yang hari ini menghuni penjara Sukamiskin dan kerangkeng-kerangkeng KPK, yang sebelumnya tercitrakan "orang baik dan suci", mungkin tak sempat merenungi nasihat punakawan bijak itu. Nasihat sederhana dan jleb banget.
Begitu pun nasihat yang tertuang dalam lukisan almarhum Maryono, Muntilan, Jawa Tengah, "Aja Nguntal Negara". Digambarkan Petruk dengan busana bangsawan nangkring di kursi sambil memegang globe bergambar kepulauan Indonesia, mulutnya menganga seperti ingin menelan negara, sementara Semar, Gareng, dan Bagong mencoba memberikan koreksi-koreksi sosial mengingatkan, tapi dicuekin. Pesan ini sangat gamblang. Siapa pun yang duduk di takhta birokrasi dan politik janganlah rakus ingin menelan negara. Jangan menganggap APBD dan APBN sebagai kekayaan dan rezeki personal yang bisa dihambur-hamburkan seenak udel-nya.