Dec 13, 2025

Sepenggal Catatan Kunjungan

Uncovering Passion for the Truth

SEKITAR satu bulan lalu saya berkesempatan "pulang" ke Indonesia. Ada tanda kutip di sana karena memang sebetulnya bukan pulang, melainkan "pergi". Sebuah kunjungan yang cukup singkat. Dengan misi tertentu. Organisasi tempat kami bernaung mengirim dua orang untuk mengunjungi local ministry partner di Surabaya dan para pengerja lini depan (PLD) di Jakarta. Awalnya, ada rencana untuk bertemu di Bandung. Akan tetapi, dengan pertimbangan efisiensi dan kemudahan transport bagi semua pihak, pertemuan disepakati di kota yang belum lama didaulat oleh UN/PBB sebagai the world's largest urban area. Ini hanyalah sepenggal personal account dari perjalanan bulan November itu.

Dua hari pertama di ibukota Jawa Timur diisi dengan meeting bersama tuan rumah dan seorang PLD yang melayani di Lombok NTB. Perawakannya tegap dengan tas kecil yang diselempangkan ke sisi. Janggutnya lebat mengalungi wajahnya. Belum menginjak kepala empat. Sorot matanya tegas, namun bisa bercanda dengan anak kecil. Di sana pria ini memimpin para leaders dari sekitar 22 gereja rumah. Lima hingga sepuluh orang per kelompok. Sudah berjalan 8 tahunan. Gereja rumah itu bertemu setiap minggu. Seperti gereja pada umumnya. Dulu, waktu masih di kota Bima, ia pernah harus mengungsikan istri dan anaknya dengan ketergesaan ke kota lain. Mereka mendapat kabar rumahnya akan dikepung massa. Tadinya ia berencana akan kembali lagi ke rumah untuk mengambil keperluan yang lain. Apa dinyana, massa sudah beringas ketika dia masih dalam perjalanan mengamankan keluarganya. Jadi hanya sehelai baju yang dikenakan yang ia bawa.

Hari ini, sembari membina dan mengkoordinasikan house churches, keluarganya menampung 18 orang dalam rumahnya. Sebagian besar orang-orang yang diusir (diisolasi) oleh keluarganya. Ada anak-anak juga tanpa orangtua. Saya sempat bertanya, bagaimana orang sebanyak itu bisa muat dalam satu rumah? Dimuat-muatin saja dengan partisi seadanya, ujarnya. Apabila Anda berjumpa dengannya, sangat mungkin tidak menduga bahwa ia adalah pemimpin dari lima generasi house churches dengan semangat penginjilan dan pemuridan yang luar biasa. Meskipun kerap menerima ancaman dari masyarakat sekelilingnya. Bahkan tidak mendapat dukungan dari pemimpin gereja-gereja lokal yang sudah established karena mereka takut kepada pihak berwenang.
 ~~~

SEBELUM meninggalkan kota Pahlawan, tak elak kami diarahkan mencicipi Bebek Goreng termaknyus yang Anda sudah tahu namanya. Disebut maknyus banget karena memang bumbu dan rempahnya itu lho. Meresap ke sedalaman dagingnya. Riuh menggoda lidah dan leleh dikunyah. Rekan saya yang bahasa ibunya Tagalog sampai minta nambah 2x. Meskipun setelah itu, dia agak... gimana gitu... setelah menyaksikan seekor makhluk bersayap coklat kemerahan dengan dua antena (dan bisa terbang tentunya) merayapi sambal botol di meja makan kami. Thankfully, penampakan itu terjadi pasca para bebek tak berdosa tadi bersemayam penuh kedamaian di perut kami.

Setiba di kota Seribu Mall, kami langsung tancap gas mengadakan pertemuan dengan tujuh PLD lain sepanjang pekan berikutnya. Ada pasutri. Ada father & son. Dan tiga pria usia paruh baya lanjut. Semuanya dari provinsi dengan penduduk terbanyak se-Nusantara. Sama seperti pria dari Lombok tadi, mereka pun secara penampilan, maaf, sama sekali tidak terduga seperti disciple atau bahkan pendeta yang aktif membagikan Kabar Baik. Tapi bukankah Allah berkata kepada Samuel untuk tidak melihat appearance-nya karena TUHAN melihat hatinya. Orang-orang yang kesaksiannya biasa kita simak hanya di video atau buku/majalah, tapi kali ini saya sendiri langsung berkomunikasi face-to-face dengan mereka. So real, spontan, dan unfiltered! Anda bisa menilai seseorang itu genuine ketika ceritanya amat detailed, mengalir tanpa harus dipikir, dan konsisten dengan kesaksian yang pernah ia buat sebelumnya dengan orang lain.

Dalam Ucapan Bahagia-Nya yang ke-8 dari atas bukit, Tuhan Yesus pernah bersabda: "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Barangkali banyak dari kita tidak terlalu 'connect' dengan ayat ini karena tindakan penganiayaan... ya tidak eksis dalam hidup keseharian kita. Mungkin dianiaya secara verbal karena keyakinan kita, tapi itu pun jujur saja amatlah jarang Anda dan saya mengalaminya. Kalau pun ada, pastinya tidak sampai kita dituduh, ditahan polisi, lalu dimasukkan ke penjara hanya karena berpindah agama. Atau, dikucilkan, diusir, dan tidak diakui anak/saudara lagi oleh keluarga sendiri. Hal ini dialami oleh hampir semua dari para narasumber kami mengingat begitu ketatnya agama asal mereka itu menjaga agar tidak ada umatnya yang berpindah ke jalur "kafir".

Bukan cuma itu, kalau Anda sampai masuk penjara, sudah hampir pasti Anda akan dipukul. Oleh sesama tahanan di sel yang sama. Tak peduli apa kasusnya. Budaya dan kebiasaannya begitu. Mirip perpeloncoan atas napi baru. Ini diceritakan oleh seorang bapak yang dituduh "menista agama". Begitu gemetarnya ia sambil terus berdoa karena usianya yang sudah tak muda lagi. Pasti tidak akan tahan menerima pukulan. Puji Tuhan, saksinya, seorang polisi senior mendampingi ketika ia melangkah masuk ke selnya. Sang polisi memberi instruksi kepada semua napi di sana: "Awas, jangan sampai kalian pukul bapak ini! Nanti kau akan berurusan sama saya!" Ada begitu banyak kejadian rinci lainnya yang dia alami. Seperti harus berjalan jongkok seperti bebek ketika dipindahkan dari blok satu ke blok lainnya. Belum lagi ketika ada narkoba ditemukan di selnya. Semua tahanan diinterogasi satu-satu dalam satu barisan. Kalau tidak mengaku, akan dipukul! Pada kejadian ini, dari 12 orang di selnya, ia berdiri di paling ujung. Orang ke-11 mengaku sehingga ia selamat dari pukulan sang petugas. Betapa bersyukurnya ia. Tuhan meluputkannya ketika berseru dalam kesesakan kepada-Nya.

Lalu apa saja observasi dan pembelajaran yang saya petik dari lawatan ini? The fact that saya bertemu beberapa kelompok orang yang sedari awal tak terkait memberikan keyakinan bahwa kasus persekusi atas nama agama seperti ini memang kerap dan terus terjadi. Seperti tinggal menunggu waktunya saja terjadi. Bisa di mana pun di bentangan Sabang sampai Merauke. Banyak yang dipublikasikan, tapi lebih banyak lagi yang tidak terekspos ke permukaan.

Menariknya, alasan mereka bisa datang dan percaya kepada Kristus (yang masih mereka panggil Isa) itu cukup beragam. Ada yang melalui mujizat kesembuhan dan melihat lukisan Yesus dibarengi dengan panggilan yang amat kuat. Ini dialami oleh pasutri di atas. Ada pula yang melalui pembelajaran pribadi akan kitab suci agamanya yang lama. Lalu menemukan kebenaran yang lebih dalam yang mengantar mereka kepada Kristus. Sebelum kunjungan ini, saya juga bertemu dan berbincang dengan beberapa PLD yang menceritakan personal encounter dengan Kristus lewat mimpi dan serentetan peristiwa terpaut yang sulit untuk dianggap kebetulan biasa.

Walau datang dari konteks yang berbeda, one common factor yang saya amati dari mereka adalah mereka semua menjadi bersemangat dalam mengabarkan Kebenaran itu. Mereka amat rindu melihat teman dan sanaknya juga mengalami anugerah keselamatan yang sudah mereka terima. Inilah kenapa mereka masih mengenakan kerudung, peci, blangkon, dan perangkat busana seperti sebelumnya. Mereka ingin agar bisa terus berbaur dengan komunitasnya agar lebih mudah menyampaikan dan menjelaskan konsep Kekristenan dari sudut pandang kitab suci lamanya. Inilah yang, seriously, prompting me to be amazed. Yet at the same time letting out a heavy sigh karena banyak orang Kristen sendiri memandang rendah nilai pembelajaran Alkitab. Apalagi membaca dan mendalami dua kitab Suci dari agama yang berbeda.

Saya juga belajar bahwa datang berkunjung dan bertemu dengan narasumber secara langsung adalah sangat berguna untuk melihat secara kasat mata apa yg terjadi sesungguhnya. Amatlah berbeda bila dibandingkan dengan, misalnya, membaca laporan kesaksian mereka saja. Peran dari rekan sepelayanan lokal kami yang berpusat di Surabaya juga amat besar. Meskipun tim mereka kecil, tapi mereka mampu mendukung begitu banyak PLD di berbagai wilayah di Indonesia melalui advokasi secara legal, finansial, jejaring, maupun moral. Mereka pernah membantu mengadvokasi salah satu bapak di atas dalam kasus penistaan agama yang menjeratnya. Thank God berkat pengalaman, network, dan pengetahuan yang ada, vonis kepada sang bapak sebagai terdakwa menjadi "hanya" tujuh bulan penjara dari semula tuntutan 10 tahun. Tanpa harus membayar atau menyuap pihak manapun. Praise the Lord!

Angle terakhir yang saya amati adalah, berada dalam pelayanan di bidang ini, Anda juga harus membuka telinga lebar-lebar. Terkadang berperan menjadi konselor dalam permasalahan para PLD yang Anda support. Baik itu masalah relasi anggota keluarga, perizinan, mencari pekerjaan, akomodasi, dan sebagainya. Dengan kata lain, sesemangat apapun mereka dalam hal memberitakan Kabar Baik, mereka tetaplah manusia. Seperti Anda dan saya. Yang membutuhkan rasa aman dalam keluarga. Atap di atas kepala. Nasi dan lauk di atas meja. Pendidikan untuk anak, dst. You got the idea. Apakah kita yang hidup di tempat yang relatif aman dan nyaman pernah berpikir tentang sesama saudara seiman kita? Khususnya mereka yang terbelenggu, dipenjarakan, dan terkena aniaya (Ibrani 13:3 - TL). Do we also have the passion to receive the Word with great eagerness, examining the Scriptures daily to see whether these things were so (Acts 17:11 NASB). Mungkinkah ada seruan menyeruak dari dalam diri kita seperti Paulus: Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil (!) dan kemudian menyebarkan Kabar Sukacita itu. Baik atau tidak baik waktunya. Baik itu "pulang" maupun "pergi".  (EJ ─ 12/12/25)

Aug 14, 2025

Menajamkan Pikiran untuk Hidup Bermasyarakat


Lawan "Brain Rot" dengan Filsafat

Pernahkah konten kutipan penulis atau filsuf lewat di beranda media sosial Anda? Kalau iya, berarti Anda telah tersentuh filsafat.


Oleh Dwi AS Setianingsih

03 Feb 2025 08:00 WIB · Muda


MEMBACA buku menjadi kegiatan yang membutuhkan keterampilan tersendiri. Di era digital, orang akan lebih mudah terdistraksi saat membaca. Gawai berdenting sedikit saja, mata seketika bergeser ke layar. Saat itulah, brain rot atau pembusukan otak mengintai.

Penelitian Liverpool Health Inequalities Research pada 2010 menunjukkan membaca literatur memberikan keuntungan. Selain meningkatkan fokus, meningkatkan kesejahteraan individu dengan menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus mengurangi isolasi sosial. Lewat membaca, seseorang akan berusaha untuk memahami isi buku sehingga menumbuhkan budaya berpikir

Hal itu bisa tercapai karena membaca membutuhkan kesabaran ekstra. Saat lebih mudah untuk menonton konten video pendek, memperhatikan detail informasi dalam sebuah buku dapat terasa menyulitkan. Pembusukan otak dapat terjadi akibat mengonsumsi konten receh di media sosial.

Menurut pelayanan kesehatan jiwa Newport Institute di Amerika Serikat brain rot dapat dicegah dengan mencoba kegiatan luring, berjejaring dengan orang secara langsung, dan memperkuat pikiran. Komunitas seperti Sekolah Filsafat Jalanan (SFJ) Bogor dan Circles Indonesia menawarkan hal tersebut. 

Salah satu pendiri SFJ, Aldi Dwi Laksono (30) dalam wawancara Selasa (21/1/2025) di Bogor, Jawa Barat mengungkapkan, berdasar pengamatannya, banyak mahasiswa mengenal filsafat saat sedang menggulir (scrolling) media sosial. Misalnya melalui kutipan populer filsuf Perancis RenĂ© Descartescogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) dan kutipan God is Dead (Tuhan sudah mati) dari filsuf Jerman Nietzsche yang banyak berseliweran di media sosial.

Kutipan-kutipan populer tersebut, tidak dimungkiri dapat memantik rasa penasaran orang untuk mendalami dunia filsafat. Namun karena sadar bahwa membincangkan filsafat umumnya membuat orang membayangkan pembahasan yang berat, SFJ Bogor hadir sebagai komunitas atau ruang berdialog bagi para pelajar dan mahasiswa.

Secara terpisah, Ketua Komunitas Lingkar Filsafat Circles Indonesia, Dhimas Anugrah (43) menambahkan, belajar filsafat bisa dari mana saja, termasuk kehidupan sehari-hari. Kegiatan membaca teks filsafat menjadi lebih menyenangkan saat dilakukan bersama teman atau dengan orang yang punya ketertarikan serupa. Itulah hal utama yang digaungkan Aldi dan Dhimas melalui komunitas filsafat.

Pembahasan berat

Aldi menuturkan, bersama kedua kawannya, ia mulai menjalankan SFJ Bogor sejak 2018. Berangkat dari kesukaan terhadap pemikiran para filsuf, mereka merasa ada kebutuhan untuk berdiskusi lebih dalam. 

Perkumpulan itu panjang umur. Tujuh tahun lamanya mereka rutin berkumpul di ruang-ruang publik seperti di Bogor Creative Center. Sesuai namanya yang berupa sekolah, kegiatan SFJ biasa dimulai dengan membaca buku bersama lalu disudahi dengan bertukar pikiran. 

Salah satu pendiri Sekolah Filsafat Jalanan (SFJ) Bogor Aldi Dwi Laksono (tengah berkacamata) sedang berdiskusi dengan orang-orang yang datang ke kelas rutin SFJ di Bogor Creative Center (BCC), Sabtu (12/10/2024).
SEKOLAH FILSAFAT JALANAN BOGORSalah satu pendiri Sekolah Filsafat Jalanan (SFJ) Bogor Aldi Dwi Laksono (tengah) sedang berdiskusi dengan orang-orang yang datang ke kelas rutin SFJ di Bogor Creative Center (BCC), Sabtu (12/10/2024).

Satu persatu orang yang hadir akan diminta untuk membaca paragraf per paragraf satu bab buku. Biasanya, tema buku yang didiskusikan sudah diumumkan lewat poster undangan di Instagram @sekolah_filsafat_jalanan.

Contoh yang paling terbaru adalah mendiskusikan pemikiran Immanuel Kant tentang kritik atas akal budi murni. Pembahasannya berlangsung dalam rentang waktu berbulan-bulan, sejak Agustus hingga Desember 2024. Biasanya akan dimulai dari pengantar pemikiran filsuf, baru kemudian dilanjutkan dengan sari-sari pemikirannya. 

Saya rasa memang filsafat itu pijakan kita memahami banyak hal, cara kita belajar hidup elok.

Aldi menjelaskan kegiatan formal SFJ berlangsung selama dua jam. Jika peserta ingin berbincang lebih lanjut, "langsung dekati siapa saja!" ujarnya.

Tidak ada pemantik, tidak ada ketua. Setiap orang bebas bersuara. Setiap orang bebas datang dan pergi, sehingga SFJ Bogor belum memiliki anggota tetap.

Pengunjung membaca buku koleksi Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, Jumat (27/5/2022). Membaca buku dapat menjadi detoks gawai.
Kompas/PriyombodoPengunjung membaca buku koleksi Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, 27 Mei 2022.

Itulah salah satu kelemahan yang diungkapkan Aldi. Saat berkumpul, banyak orang terbiasa hanya mendengar. Sebaliknya, di SFJ, peserta perlu ikut membaca per kalimat. Syukur-syukur jika mau ikut berpendapat.

"Ternyata kan enggak gampang. Mungkin itu yang membuat orang-orang enggak lanjut datang," ungkap Aldi seraya tertawa kecil. 

Pengalaman lain diceritakan oleh Dhimas. Komunitas Lingkar Filsafat Circles Indonesia yang akrab disebut Circles ini merupakan salah satu wadah belajar filsafat terbesar dengan lebih dari tiga ribu anggota di seluruh Indonesia. Circle didirikan oleh Dhimas bersama empat kawannya pada tahun 2020 lalu. Tujuan mereka hanya satu, yakni menciptakan masyarakat yang bijaksana melalui pembelajaran filsafat.

Menurut Dhimas, berfilsafat adalah cara untuk manusia bisa hidup bermasyarakat. Seseorang dapat memahami mana yang benar dan salah dengan mempelajari filsafat.

"Saya rasa memang filsafat itu pijakan kita memahami banyak hal, cara kita belajar hidup elok," kata Dhimas, Rabu (29/1/2025).

Circles rutin mengadakan pertemuan satu minggu sekali secara daring. Pertemuan ini berbentuk diskusi dengan mengundang satu tokoh ahli sebagai narasumber. Dhimas pun menyebut setidaknya ada 300 anggota setia yang selalu hadir di kelas. Setiap kelas memiliki satu bahasan khusus, tidak jarang pula ada satu topik bahasan yang membutuhkan lebih dari satu kelas.

Circles tidak hanya membahas satu permasalahan dari aspek filsafat saja, tapi juga sering mengundang narasumber yang tepat di bidangnya. Seperti ahli sejarah, ahli kebahasaan, atau bahkan ahli lingkungan hidup. 

Dhimas selalu menekankan bahwa belajar filsafat itu menyenangkan. Oleh karenanya, ia memastikan siapa saja yang ingin belajar di Circles untuk tidak kesulitan. Mereka tidak dipungut biaya ataupun administrasi yang rumit. Untuk bergabung, cukup mengirim pesan ke laman Instagram @circles.education.

"Belajar filsafat harus fun, harus menyenangkan," ujarnya.

Landasan budaya luhur

Filsafat dalam arti terdalamnya adalah cara untuk hidup bermasyarakat. Dhimas menyebut filsafat sebagai ilmu kebijaksanaan.

Menurut Dhimas, filsafat seharusnya menjadi ilmu dasar yang diajarkan kepada semua masyarakat. Pasalnya, filsafat merupakan landasan dari segala budaya luhur yang ada, mulai dari berpikir kritis, gotong-royong, dan bahkan beretika. Oleh sebab itu, Dhimas sangat menyayangkan kondisi pembelajaran filsafat di Indonesia yang masih terasa minim.

Ia menyinggung kondisi masyarakat saat ini yang merasa takut ketika mendengar kata "filsafat". Filsafat sudah terisyarat sebagai hal yang memberatkan. Sebaliknya, menurut dia, filsafat seharusnya menjadi fondasi untuk hidup lebih baik.

Hidup baik itu seperti apa? Menjadi baik itu harus rasional, tahu apa yang ia lakukan, tahu apa yang ia pikirkan.

"Hidup baik itu seperti apa? Menjadi baik itu harus rasional, tahu apa yang ia lakukan, tahu apa yang ia pikirkan," jelas Dhimas terkait keutamaan berfilsafat.

Dhimas menyebut semakin maraknya konten filsafat di media sosial merupakan satu langkah baik untuk memopulerkannya. Tren ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk menggempur fenomena brain rot.

Menggempur fenomena brain rot dengan filsafat memang bukan hal mudah. Kegemaran masyarakat untuk membaca harus dipupuk dengan cara yang konsisten sedari dini. Namun, dari cerita Aldi dan Dhimas, dapat kita lihat bahwa filsafat adalah ilmu keseharian yang sangat mudah untuk dipelajari.

"Banyak orang sudah berfilsafat walaupun tidak menyadari mereka sedang berfilsafat," tutup Dhimas.

Dua pengunjung membaca buku di salah satu ruangan yang ada di Perpustakaan Baca di Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (11/2/2023). Perpustakaan Baca di Tebet menjadi salah satu destinasi warga yang ingin menghabiskan akhir pekan di Jakarta. Lokasinya yang bertepatan di samping Jalan Tebet Barat Dalam Raya membuat lokasi ini strategis. Perpustakaan yang buka sejak Februari 2022 ini memiliki sekitar 20.000 buku yang tersimpan di sejumlah rak yang ada di setiap ujung ruangan. Untuk dapat menikmati puluhan ribu buku dengan suasana yang nyaman, para pengunjung dapat membayar Rp 35.000 untuk harian, Rp 100.000 per bulan untuk menjadi anggota bulanan, sampai anggota tahunan yang berbiaya Rp 600.000 untuk pelajar dan Rp 800.000 untuk umum. Fakhri Fadlurrohman (Z19) 11-02-2023
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMANDua pengunjung membaca buku di salah satu ruangan di Perpustakaan Baca di Tebet, Jakarta Selatan, 11 Februari 2023.


Catatan: Artikel ini merupakan kolaborasi dengan peserta magang harian Kompas, yakni Ammar Rezqianto, mahasiswa jurusan Jurnalistik, Universitas Padjadjaran dan Giofanny Sasmita, mahasiswi jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara.

Sumberhttps://www.kompas.id/artikel/lawan-brain-rot-dengan-filsafat

Apr 30, 2024

Melik Nggendhong Lali

Tulisan ini muncul 368 hari sebelum Pemilu 2024 tanggal 14 Februari.

Pesan Punakawan
Kompas, 11 Februari 2023
Butet Kartaredjasa - Aktor

DI TENGAH gemuruh narasi-narasi besar, adakalanya kita perlu sesekali menyelam memunguti narasi-narasi kecil di ruang kebudayaan. Entah itu berupa pepatah petitih, peribahasa, kata-kata mutiara, ataupun pantun dan sebangsanya.

Saya kerap terpesona dengan pesan-pesan di lukisan kaca tradisional bergambar punakawan. Selalu sederhana, tapi menyengat. Setiap lihat lukisan kaca bergambar punakawan─Semar, Gareng Petruk, dan Bagong─ yang selalu diimbuh petuah bijak, ingatan langsung melambung ke rumah dinas budayawan UK, (almarhum) Umar Kayam, di Bulaksumur, Yogyakarta.

Tahun 1980-an bisa dibilang rumah itu seperti tempat bermuaranya mahasiswa, aktivis sosial, seniman, jurnalis dan para cerdik pandai. Tempat ngerumpi masalah sosial politik yang nyaman. Dan aman. UK menjadi magnet.

Di tengah percakapan yang kerap tumpang tindih, semua akan terhibur dengan senda gurau UK yang cerdas dan jenaka. Salah satu kejenakaan yang kerap ditulis di kolom-kolomnya, juga diceritakan dalam berbagai obrolan, adalah adegan dirinya berdialog dengan lukisan kaca. Pada salah satu dinding dekat kamar tamu tergantung lukisan kaca ukuran mungil dari Sastro Gambar, Muntilan.

Ada gambar Semar menuding di hadapan ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong, dan di bagian atas tertulis "Sapa durung sholat" (Siapa belum sholat?). Setiap UK keluar dari kamar, dia akan selalu bersitatap dengan pertanyaan di lukisan kaca itu, "Sapa durung sholat, dengan sigap UK mengacungkan jari, "Kula!" ("Ya, saya!"), dan kami tertawa jika mengingat adegan ini. Lantaran muncul dua tafsir. Pertama, apakah UK segera ambil air wudu terus melaksanakan ibadah, atau sekadar basa-basi memberi pengakuan bahwa dirinya memang belum shalat.

Menjadi bumerang
Di sini terasa adanya daya sodok lukisan rakyat yang murah meriah itu. Lukisan bergambar para punakawan ini ternyata bukan hanya pelengkap elemen interior, tapi sekaligus pembawa petuah nasihat, dan wejangan. Bersumber dari kristalisasi pemikiran-pemikiran dan kearifan leluhur. Sari pati ilmu hidup yang dibagikan melalui cita rasa artistik.

Hari ini mungkin kita masih menemukan hal serupa di rumah-rumah di pelosok perdesaan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Di teras kerap dijumpai sapaan hangat bertulis "Sugeng Rawuh" (Selamat datang). Di ruang tamu dalam. sering nongol kepingan adegan punakawan berhias pita dengan berbagai variasi tema.

Misalnya, "Aja Dumeh" yang artinya jangan mentang-mentang,
"Rukun Agawe Santosa" = Kerukunan membikin nyaman,
"Ajining Diri Seka Lathi" = Kehormatan bermula dari lidah,
"Melik Nggendhong Lali" = Kepemilikan bisa membuat lupa,
"Aja Nguntal Negara" = Jangan menelan negara, 
dan masih banyak lagi lainnya.

Yang mengusik, kenapa lukisan itu menggunakan material kaca? Kenapa meminjam karakter punakawan untuk menyampaikan pesan pepatah petitih yang sarat kearifan dan kebijaksanaan?

Saya menduga, dengan media kaca bening yang dilukis dengan cat di bidang kaca sebaliknya, tampilan karya itu jadi selalu bersih. Setiap kotor cukup dilap. Mudah perawatannya dibandingkan lukisan di atas kertas yang gampang rapuh digerogoti waktu. Agaknya, penggagas "berpetuah melalui lukisan kaca" itu punya keinginan supaya daya sengatnya berusia panjang. Bisa terwariskan secara turun-temurun.

Lihat saja, hampir semua wejangan, imbauan, dan petuah yang termaktub memuat nilai-nilai hidup yang hakiki. Yang substansial. Ingin selalu mengingatkan manusia sebagai orang. Bukan dewa. Bukan nabi. Bukan pemilik dan pemonopoli kebenaran. Bahwa manusia itu terbatas. Pantang meninggikan diri dan memanjakan kesombongan.

Kalau saja, misalnya, kita mematuhi saran punakawan "Ajining diri seka lathi" yang artinya kehormatan kita bermula dari lidah, kita akan hati-hati dan waspada mempermainkan lidah. Cermat bertutur kata. Berkata-kata tentu maknanya mengartikulasikan pikiran-pikiran, yang semestinya murni dari kesadaran intelektualitas. Bukan karena sihir setan ataupun bisikan iblis.

Hari ini ungkapan populer menyebut "mulutmu harimaumu". Terkadang justru mulut kita sendiri yang menerkam kita. Jadi bumerang yang balik menyerang, bahkan membongkar dan melucuti kepalsuan-kepalsuan yang selama ini bersembunyi aman di lubuk terdalam.

Penuh metafora
Dipinjamnya karakter punakawan sebagai alat menyampaikan pesan, saya kira juga melalui seleksi cermat. Mereka, para punakawan itu, adalah abdi, batur, jongosnya kesatria Pandawa. Tugasnya momong, mengasuh para kesatria. Mengingatkan supaya ketika kesatria itu jalannya melenceng mereka bisa kembali ke jalur yang diidealkan. Tugasnya menghibur dan menjewer dengan kelembutan. Itu pun dengan cara canda, guyon parikena. Penuh metafora dan semiotika. Punakawan akan mencubit, tapi yang dicubit tak akan pernah merasa sakit. Paling cuma geli menyeringai, sambil mengumpat dalam hati. Mereka mengkritik, tapi kritik itu, meski tajam menghunjam, tidak terpelanting menjadi ujar kebencian ataupun penghinaan. Untuk perkara ini, para kritikus sering mendadak bego, sulit membedakan perkara sederhana beginian. Punakawan yang merepresentasikan wong cilik pun selalu hadir menjunjung adab dalam memberikan koreksi-koreksi sosial.

Model sengatan punakawan pun akan berbeda ketika menghadapi aneka watak kesatria. Terutama kesatria Kurawa Astina yang kerap digambarkan temperamental, galak, baperan. Jurus-jurus sarkasme bisa diluncurkan, tapi tetap dalam koridor adab yang egaliter. Sialnya, jurus sarkastik yang keras akan lumpuh jika berhadapan dengan kesatria berbudi baik yang sejak awal sudah merendahkan dirinya. Tanpa perlu ditekan, direndah-rendahkan, ia sudah menyungkurkan dalam kerendahhatian seorang kesatria. Tapa ngrame. Bertapa dalam keramaian.

Rezeki personal
Hari ini ketika alam demokrasi membuka pintu selebar-lebarnya, dan media sosial sebagai buah dari perubahan kebudayaan (dari analog ke budaya digital) juga laksana mengizinkan seliar-liarnya orang menghamburkan opini, kita merenung: masihkah kearifan dan kebijaksanaan di lukisan-lukisan kaca itu berguna?

Saya sih percaya, zaman boleh berganti. Kebudayaan boleh beringsut. Tatanan sosial boleh dikoreksi. Aturan hukum boleh di-judicial review. Tapi, yang abadi dan sulit berubah adalah nilai-nilai kehidupan. Pesan yang menyodok melalui lukisan kaca itu dihayati sebagai intisari hidup yang membimbing arah perjalanan kemanusiaan kita. Ia telah melewati filter-filter dinamika hidup leluhur.

Pesan sederhana berbunyi "Melik nggendhong lali" yang digambarkan Petruk dengan busana mewah duduk di singgasana sambil memangku perempuan, sementara Gareng. Bagong, dan Semar panik mengingatkan perilaku itu, mewajibkan orang harus waspada dengan godaan gaya hidup hedonistik dan materialisme. Nafsu kepemilikan harta, takhta, dan kuasa acapkali menggelincirkan orang-orang (yang di publik terkesan) baik dan suci.

Sketsa Umar Kayam

Mereka yang hari ini menghuni penjara Sukamiskin dan kerangkeng-kerangkeng KPK, yang sebelumnya tercitrakan "orang baik dan suci", mungkin tak sempat merenungi nasihat punakawan bijak itu. Nasihat sederhana dan jleb banget.

Begitu pun nasihat yang tertuang dalam lukisan almarhum Maryono, Muntilan, Jawa Tengah, "Aja Nguntal Negara". Digambarkan Petruk dengan busana bangsawan nangkring di kursi sambil memegang globe bergambar kepulauan Indonesia, mulutnya menganga seperti ingin menelan negara, sementara Semar, Gareng, dan Bagong mencoba memberikan koreksi-koreksi sosial mengingatkan, tapi dicuekin. Pesan ini sangat gamblang. Siapa pun yang duduk di takhta birokrasi dan politik janganlah rakus ingin menelan negara. Jangan menganggap APBD dan APBN sebagai kekayaan dan rezeki personal yang bisa dihambur-hamburkan seenak udel-nya.

 

Maka, kalau hari ini ribuan orang sedang ancang-ancang ingin naik takhta menjadi anggota legislatif, bupati, wali kota, gubernur, wakil presiden, dan presiden, harapan saya mereka jangan ragu-ragu memajang lukisan "Aja Nguntal Negara" di rumah masing-masing. Supaya setiap bangun tidur, mereka bersitatap dengan lukisan rakyat itu, dan seperti budayawan UK, langsung mengacungkan jari dan dengan tangkas menjawab, "Noninjih. Siap!!"─"Iya. Siaaap!!!" Siap untuk tidak menelan negara.  (Butet Kartaredjasa)