Apr 30, 2024

Melik Nggendhong Lali

Tulisan ini muncul 368 hari sebelum Pemilu 2024 tanggal 14 Februari.

Pesan Punakawan
Kompas, 11 Februari 2023
Butet Kartaredjasa - Aktor

DI TENGAH gemuruh narasi-narasi besar, adakalanya kita perlu sesekali menyelam memunguti narasi-narasi kecil di ruang kebudayaan. Entah itu berupa pepatah petitih, peribahasa, kata-kata mutiara, ataupun pantun dan sebangsanya.

Saya kerap terpesona dengan pesan-pesan di lukisan kaca tradisional bergambar punakawan. Selalu sederhana, tapi menyengat. Setiap lihat lukisan kaca bergambar punakawan─Semar, Gareng Petruk, dan Bagong─ yang selalu diimbuh petuah bijak, ingatan langsung melambung ke rumah dinas budayawan UK, (almarhum) Umar Kayam, di Bulaksumur, Yogyakarta.

Tahun 1980-an bisa dibilang rumah itu seperti tempat bermuaranya mahasiswa, aktivis sosial, seniman, jurnalis dan para cerdik pandai. Tempat ngerumpi masalah sosial politik yang nyaman. Dan aman. UK menjadi magnet.

Di tengah percakapan yang kerap tumpang tindih, semua akan terhibur dengan senda gurau UK yang cerdas dan jenaka. Salah satu kejenakaan yang kerap ditulis di kolom-kolomnya, juga diceritakan dalam berbagai obrolan, adalah adegan dirinya berdialog dengan lukisan kaca. Pada salah satu dinding dekat kamar tamu tergantung lukisan kaca ukuran mungil dari Sastro Gambar, Muntilan.

Ada gambar Semar menuding di hadapan ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong, dan di bagian atas tertulis "Sapa durung sholat" (Siapa belum sholat?). Setiap UK keluar dari kamar, dia akan selalu bersitatap dengan pertanyaan di lukisan kaca itu, "Sapa durung sholat, dengan sigap UK mengacungkan jari, "Kula!" ("Ya, saya!"), dan kami tertawa jika mengingat adegan ini. Lantaran muncul dua tafsir. Pertama, apakah UK segera ambil air wudu terus melaksanakan ibadah, atau sekadar basa-basi memberi pengakuan bahwa dirinya memang belum shalat.

Menjadi bumerang
Di sini terasa adanya daya sodok lukisan rakyat yang murah meriah itu. Lukisan bergambar para punakawan ini ternyata bukan hanya pelengkap elemen interior, tapi sekaligus pembawa petuah nasihat, dan wejangan. Bersumber dari kristalisasi pemikiran-pemikiran dan kearifan leluhur. Sari pati ilmu hidup yang dibagikan melalui cita rasa artistik.

Hari ini mungkin kita masih menemukan hal serupa di rumah-rumah di pelosok perdesaan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Di teras kerap dijumpai sapaan hangat bertulis "Sugeng Rawuh" (Selamat datang). Di ruang tamu dalam. sering nongol kepingan adegan punakawan berhias pita dengan berbagai variasi tema.

Misalnya, "Aja Dumeh" yang artinya jangan mentang-mentang,
"Rukun Agawe Santosa" = Kerukunan membikin nyaman,
"Ajining Diri Seka Lathi" = Kehormatan bermula dari lidah,
"Melik Nggendhong Lali" = Kepemilikan bisa membuat lupa,
"Aja Nguntal Negara" = Jangan menelan negara, 
dan masih banyak lagi lainnya.

Yang mengusik, kenapa lukisan itu menggunakan material kaca? Kenapa meminjam karakter punakawan untuk menyampaikan pesan pepatah petitih yang sarat kearifan dan kebijaksanaan?

Saya menduga, dengan media kaca bening yang dilukis dengan cat di bidang kaca sebaliknya, tampilan karya itu jadi selalu bersih. Setiap kotor cukup dilap. Mudah perawatannya dibandingkan lukisan di atas kertas yang gampang rapuh digerogoti waktu. Agaknya, penggagas "berpetuah melalui lukisan kaca" itu punya keinginan supaya daya sengatnya berusia panjang. Bisa terwariskan secara turun-temurun.

Lihat saja, hampir semua wejangan, imbauan, dan petuah yang termaktub memuat nilai-nilai hidup yang hakiki. Yang substansial. Ingin selalu mengingatkan manusia sebagai orang. Bukan dewa. Bukan nabi. Bukan pemilik dan pemonopoli kebenaran. Bahwa manusia itu terbatas. Pantang meninggikan diri dan memanjakan kesombongan.

Kalau saja, misalnya, kita mematuhi saran punakawan "Ajining diri seka lathi" yang artinya kehormatan kita bermula dari lidah, kita akan hati-hati dan waspada mempermainkan lidah. Cermat bertutur kata. Berkata-kata tentu maknanya mengartikulasikan pikiran-pikiran, yang semestinya murni dari kesadaran intelektualitas. Bukan karena sihir setan ataupun bisikan iblis.

Hari ini ungkapan populer menyebut "mulutmu harimaumu". Terkadang justru mulut kita sendiri yang menerkam kita. Jadi bumerang yang balik menyerang, bahkan membongkar dan melucuti kepalsuan-kepalsuan yang selama ini bersembunyi aman di lubuk terdalam.

Penuh metafora
Dipinjamnya karakter punakawan sebagai alat menyampaikan pesan, saya kira juga melalui seleksi cermat. Mereka, para punakawan itu, adalah abdi, batur, jongosnya kesatria Pandawa. Tugasnya momong, mengasuh para kesatria. Mengingatkan supaya ketika kesatria itu jalannya melenceng mereka bisa kembali ke jalur yang diidealkan. Tugasnya menghibur dan menjewer dengan kelembutan. Itu pun dengan cara canda, guyon parikena. Penuh metafora dan semiotika. Punakawan akan mencubit, tapi yang dicubit tak akan pernah merasa sakit. Paling cuma geli menyeringai, sambil mengumpat dalam hati. Mereka mengkritik, tapi kritik itu, meski tajam menghunjam, tidak terpelanting menjadi ujar kebencian ataupun penghinaan. Untuk perkara ini, para kritikus sering mendadak bego, sulit membedakan perkara sederhana beginian. Punakawan yang merepresentasikan wong cilik pun selalu hadir menjunjung adab dalam memberikan koreksi-koreksi sosial.

Model sengatan punakawan pun akan berbeda ketika menghadapi aneka watak kesatria. Terutama kesatria Kurawa Astina yang kerap digambarkan temperamental, galak, baperan. Jurus-jurus sarkasme bisa diluncurkan, tapi tetap dalam koridor adab yang egaliter. Sialnya, jurus sarkastik yang keras akan lumpuh jika berhadapan dengan kesatria berbudi baik yang sejak awal sudah merendahkan dirinya. Tanpa perlu ditekan, direndah-rendahkan, ia sudah menyungkurkan dalam kerendahhatian seorang kesatria. Tapa ngrame. Bertapa dalam keramaian.

Rezeki personal
Hari ini ketika alam demokrasi membuka pintu selebar-lebarnya, dan media sosial sebagai buah dari perubahan kebudayaan (dari analog ke budaya digital) juga laksana mengizinkan seliar-liarnya orang menghamburkan opini, kita merenung: masihkah kearifan dan kebijaksanaan di lukisan-lukisan kaca itu berguna?

Saya sih percaya, zaman boleh berganti. Kebudayaan boleh beringsut. Tatanan sosial boleh dikoreksi. Aturan hukum boleh di-judicial review. Tapi, yang abadi dan sulit berubah adalah nilai-nilai kehidupan. Pesan yang menyodok melalui lukisan kaca itu dihayati sebagai intisari hidup yang membimbing arah perjalanan kemanusiaan kita. Ia telah melewati filter-filter dinamika hidup leluhur.

Pesan sederhana berbunyi "Melik nggendhong lali" yang digambarkan Petruk dengan busana mewah duduk di singgasana sambil memangku perempuan, sementara Gareng. Bagong, dan Semar panik mengingatkan perilaku itu, mewajibkan orang harus waspada dengan godaan gaya hidup hedonistik dan materialisme. Nafsu kepemilikan harta, takhta, dan kuasa acapkali menggelincirkan orang-orang (yang di publik terkesan) baik dan suci.

Sketsa Umar Kayam

Mereka yang hari ini menghuni penjara Sukamiskin dan kerangkeng-kerangkeng KPK, yang sebelumnya tercitrakan "orang baik dan suci", mungkin tak sempat merenungi nasihat punakawan bijak itu. Nasihat sederhana dan jleb banget.

Begitu pun nasihat yang tertuang dalam lukisan almarhum Maryono, Muntilan, Jawa Tengah, "Aja Nguntal Negara". Digambarkan Petruk dengan busana bangsawan nangkring di kursi sambil memegang globe bergambar kepulauan Indonesia, mulutnya menganga seperti ingin menelan negara, sementara Semar, Gareng, dan Bagong mencoba memberikan koreksi-koreksi sosial mengingatkan, tapi dicuekin. Pesan ini sangat gamblang. Siapa pun yang duduk di takhta birokrasi dan politik janganlah rakus ingin menelan negara. Jangan menganggap APBD dan APBN sebagai kekayaan dan rezeki personal yang bisa dihambur-hamburkan seenak udel-nya.

 

Maka, kalau hari ini ribuan orang sedang ancang-ancang ingin naik takhta menjadi anggota legislatif, bupati, wali kota, gubernur, wakil presiden, dan presiden, harapan saya mereka jangan ragu-ragu memajang lukisan "Aja Nguntal Negara" di rumah masing-masing. Supaya setiap bangun tidur, mereka bersitatap dengan lukisan rakyat itu, dan seperti budayawan UK, langsung mengacungkan jari dan dengan tangkas menjawab, "Noninjih. Siap!!"─"Iya. Siaaap!!!" Siap untuk tidak menelan negara.  (Butet Kartaredjasa)



Aug 17, 2021

Proklamator Pembaca dan Penulis

Kisah Soekarno dan Hatta yang Gandrung Menulis 
Kompas.com - 17/08/2021, 11:01 WIB

MENULIS bukan hal yang asing bagi Soekarno dan juga Mohammad Hatta. Malahan founding father ini sudah mengakrabinya sejak usia muda dan punya waktu khusus untuk melakukan aktivitas itu. Sejak ngekos di rumah HOS Tjokroaminoto, yang merupakan Ketua Sarekat Islam, Soekarno beruntung punya privilege untuk membaca buku-buku milik Tjokroaminoto. Hal itu ia ungkapkan dalam otobiografi Soekarno berjudul "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia". Buku-buku yang dianggapnya berharga itu rupanya membuka wawasan Soekarno, ia pun mulai aktif menuangkan pemikirannya melalui tulisan.

Artikel pertama Soekarno kemudian terbit pada 21 Januari 1921 di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam. Soekarno bahkan kemudian diminta untuk menulis rutin di koran itu menggantikan Tjokroaminoto. Kira-kira ada 500 tulisan Soekarno yang dimuat di koran itu. Itu belum termasuk tulisan Soekarno yang juga tersebar di media massa lainnya, seperti Soeloeh Indonesia Moeda dan Fikiran Ra'jat. Beberapa tulisan terkenal pun lahir dari tangan Soekarno, seperti Nasionalisme, Islamisme & Marxisme, Indonesia Menggugat, Mencapai Indonesia Merdeka, Kepada Bangsaku, dan Konsepsi Presiden.

Dalam buku Soekarno "Paradoks Revolusi Indonesia" terbitan Tempo, diceritakan kalau Soekarno bahkan punya nama pena yang sering ia pakai dalam tulisan-tulisannya, yaitu Bima. Kecintaannya pada tokoh pewayangan Bima yang kemudian membuatnya memilih nama itu. Bima dikisahkan memiliki karakter kesatria yang pemberani dan jujur. Tapi bukan hanya karena kagum, Soekarno memakai nama samaran untuk menghindari penangkapan pemerintah Belanda. Minat menulis Sukarno tak hanya berkutat pada ranah politik. Buktinya, saat di diasingkan di Ende, Soekarno justru produktif menulis naskah drama. Terhitung ada sebanyak 12 naskah drama yang dibuatnya, di antaranya misalnya saja Dokter Setan yang terinspirasi cerita film Frankenstein, Rahasia Kelimutu, Rendo, Jula Gubi, KutKuthi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, dan Aero Dinamit.

Tak berbeda dengan Soekarno. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI pertama ini bahkan punya jadwal di atas rata-rata manusia untuk membaca dan menulis. Bayangkan saja, saban harinya, kalau tak ada acara lain, jadwal baca-tulisnya mencapai 9 jam sehari! Waktu itu dibagi menjadi dua, enam jam pagi hari dan tiga jam petang hari. Jadi ya wajar saja, saat karyanya dikumpulkan dan diterbitkan kembali, perlu 6000 halaman buku berukuran 18 cm x 26 cm. Dan semua tulisannya itu, harus dibuat berangkai dalam 10 jilid.   Gaya bahasa dalam tulisan Hatta sendiri dikenal indah, kalimatnya pendek-pendek sehingga mudah dimengerti. "Memang Bung Hatta selalu sibuk dan setiap hari membenamkan diri dalam kamar studinya di perpustakaan untuk membaca dan menulis," ungkap Ny. Rahmi Hatta, istri Mohammad Hatta seperti dikutip dari buku Mohammad Hatta: Sisi Kehidupan Pribadi terbitan Kompas. Ratusan buah pikiran Hatta yang tertuang dalam tulisan memang tak lepas dari buku-buku yang selama hidupnya ia baca. Sampai-sampai ketika ia kecil, hanya ada tiga macam barang yang ia butuhkan; sepeda untuk mengunjungi teman-temannya, lemari untuk menyimpan buku, dan sebuah jam tangan, karena ia sangat sangat disiplin dan tepat waktu.

Waktu akan pulang ke tanah air usai merampungkan studinya di Sekolah Dagang di Rotterdam, Belanda koleksi buku yang akan ia bawa pulang pun berjibun. Tiga orang, yaitu Sutan Sjahrir, Rasjid Manggis, dan Sumadi membantunya untuk mengemas buku-buku itu. Total ada 20 peti dan butuh seminggu untuk mengumpulkan, menyusun, dan mendaftar buku-buku itu. Hingga akhir hayatnya, koleksi buku Bung Hatta mencapai 10.000 buku dan yang paling tua tahun 1850. Kini koleksi itu tersimpan rapi di perpustakaan keluarga.

Sumber: Kompas, 17 Agustus 2021
Penulis : Kontributor Sains, Monika Novena
Editor : Bestari Kumala Dewi

Dec 30, 2017

Lakon Sun Go Kong dan Sie Jin Kwi dalam Wayang Potehi

Nonton Wayang Potehi, Anak Bisa Liburan Sambil Belajar

KURNIASIH BUDI
Kompas.com - 29/12/2017, 19:41 WIB
Pementasan Wayang Potehi yang digelar Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang di Taman Kaldera, Depok, Jawa Barat.
Pementasan Wayang Potehi yang digelar Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang di Taman Kaldera, Depok, Jawa Barat.(Dok. Rumah Cinwa)

JAKARTA, KOMPAS.com - Libur pergantian tahun, ajak anak Anda mengikuti aktivitas kreatif bermuatan edukasi. Salah satu kegiatan bisa dilakukan adalah belajar mengenal Wayang Potehi di Taman Kaldera yang berada di kawasan Jatijajar, Tapos, Depok.

Anak-anak dapat mencoba sejumlah permainan tradisional sambil menikmati pementasan Wayang Potehi,  menyimak dongeng cerita Wayang Mahabharata, dan mewarnai gambar wayang.

Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang bersama Taman Kaldera mengenalkan kesenian Wayang Potehi melalui pementasan lakon Sun Go Kong dan Sie Jin Kwi Satria Utama yang akan digelar Sabtu (30/12/2017). Pertunjukan digelar dua kali yakni pada pukul 10.00 dan 14.00.

Wayang Potehi merupakan salah satu budaya akulturasi, percampuran budaya China dan Jawa. Cerita yang diangkat umumnya kisah-kisah tentang dinasti dalam kekaisaran China.

Wayang potehi sebagai wayang kantong sangat unik, fleksibel, dan sederhana. Mudah dimainkan dan tidak terikat pada satu cerita epos tertentu," tutur Pimpinan Sanggar Budaya Cinta Wayang (Rumah Cinwa) Dwi Woro Retno Mastuti, Rabu (28/12/2017).

Pementasan Potehi memang kurang populer sebab sempat dilarang pada pemerintahan orde baru. Perubahan terjadi saat Abdurrahman Wahid menjabat Presiden Republik Indonesia pada era reformasi. Wayang Potehi boleh dipentaskan lagi di kelenteng-kelenteng.

Sebagai wayang para dewa, Wayang Potehi masih dipentaskan di kelenteng sebagai bagian dari ritual umat Konghucu.

Saat ini para dalang Wayang Potehi umumnya telah berusia lanjut. Sayangnya, belum ada tanda-tanda lahirnya generasi penerus dalang Potehi.

"Regenerasi perlu dilakukan mengingat dalang-dalang Potehi sudah semakin sepuh," ungkapnya.

Wayang kekinian

Sejak tujuh belas tahun lalu Woro tergerak untuk mengumpulkan boneka Wayang Potehi sedikit demi sedikit. Ia pun membeli panggung Potehi bekas.

Kebetulan, seorang sahabatnya, Paul Himawan, juga tertarik mengumpulkan boneka Potehi. Ia membeli boneka Potehi dengan alasan sederhana agar pengrajin boneka Wayang Potehi dapat terus berkarya.

Boneka-boneka Potehi yang mereka kumpulkan pun cukup untuk mementaskan pagelaran Wayang Potehi. Tapi, siapa yang akan memainkannya?

Woro tak habis akal. Pada November 2014, ia mengundang sejumlah mahasiswa Program Studi Jawa Universitas Indonesia untuk bermain Wayang Potehi. Mereka tampak tertarik mengeksplorasi Potehi sebagai wayang yang kekinian.

Sanggar budaya Rumah Cinta Wayang memperkenalkan Wayang Potehi pada anak-anak. Pagelaran Wayang Potehi menjadi sarana pendidikan karakter bagi anak-anak.
Sanggar budaya Rumah Cinta Wayang memperkenalkan Wayang Potehi pada anak-anak. Pagelaran Wayang Potehi menjadi sarana pendidikan karakter bagi anak-anak.(Dok. Rumah Cinwa)

Dengan berbagai inovasi, mereka meracik Wayang Potehi menjadi tontonan yang menghibur dan tetap memiliki pesan moral. Lakon yang dimainkan saat itu adalah Sie Jin Kwi.

Kisah epos Sie Jin Kwi mewariskan nilai-nilai kehidupan seperti pantang menyerah, kejujuran, kesetiakawanan, ketangkasan, loyalitas, disiplin, watak satria, kasih sayang kepada sesama, dan berpikir positif.

Sejak itu, kelompok Potehi baru terbentuk dengan nama Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang. Pagelaran wayang pun mulai dijalani, mulai dari Kelenteng Boen Tek Bio di Tangerang, sejumlah mal di Jakarta, panti werda, kampus, hingga playgroup.

Dengan prinsip "Tak Wayang, Maka Tak Sayang," Rumah Cinwa mengajak keluarga-keluarga Indonesia aktif mengajak anak-anak untuk mengenal salah satu warisan budaya tak benda yang diakui United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Pendidikan karakter menjadi efektif melalui pertunjukan seni yang menyenangkan bagi anak-anak. Tak terbatas anak-anak, generasi milenial juga bisa mencari informasi aktivitas budaya Rumah Cinwa melalui media sosial dengan akun instagram @rumahcinwa.

"Semua itu merupakan upaya agar Wayang Potehi dapat terus menjadi bagian dari keragaman budaya Indonesia," ujarnya.