Dec 24, 2008

Penerjemah & Pendidik

 Kombinasi profesi yang unik, namun teramatlah mulia. -- Emil Jayaputra
 
Slamet Riyanto dan Karakter Anak Bangsa
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO 
Jumat, 12 Desember 2008 | 03:00 WIB

Oleh IRENE SARWINDANINGRUM

Belajar bahasa asing tak berarti menjadi orang asing. Prinsip inilah yang mendasari niat Slamet Riyanto menyadur dongeng di Nusantara ke dalam bahasa Inggris. Dari balik barisan perbukitan, guru Bahasa Inggris SMA Negeri 2 Wonosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, ini berusaha menjaga anak bangsa agar tak menjadi asing terhadap budaya sendiri.

Menurut warga Kepek, Wonosari, Gunung Kidul, ini, generasi muda semakin tak kenal nilai-nilai budaya bangsanya. Ini karena tak ada yang mengenalkannya kepada mereka. Maka, mengalirlah sekitar 40 karya saduran Slamet yang tercetak dalam seri buku cerita dongeng. Buku dalam bahasa Inggris ini terutama untuk para pelajar.

Bagi dia, dongeng rakyat menyimpan petuah dan kebijaksanaan dalam kesederhanaan. Bentuk seperti inilah yang perlu diteruskan dari generasi ke generasi. Kadang petuah itu menjiwai seluruh dongeng, beberapa di antaranya ia sisipkan dengan jelas.

Dalam The Legend of Dewi Sri, misalnya, Slamet menyisipkan nasihat untuk menjaga lingkungan. "Meski sederhana, nilai-nilai itu sangat mendasar untuk membentuk karakter anak, seperti menghormati orangtua, menjaga lingkungan, atau jangan serakah," ujarnya.

Keprihatinannya itu timbul ketika Slamet kesulitan menemukan bahan ajar yang bernapaskan budaya Indonesia untuk para murid. Sebagian besar cerita berbahasa Inggris merupakan kisah-kisah dari negara asing.

Jarang didongengi

Tak juga menemukan bahan ajar yang diharapkan, Slamet bertekad membuat sendiri bahan penunjang pelajaran yang dekat dengan budaya bangsa Indonesia. Walaupun pada masa kecilnya jarang didongengi orangtua, ia masih sering mendengar dongeng-dongeng itu dari kerabat atau tetangga. Sampai kini petuah-petuah dongeng itu masih mengendap di benaknya.

Slamet juga gemar membaca. Di ruang tamunya, di bawah poster besar mantan Presiden RI Soekarno dan Soeharto, terdapat rak yang sarat berbagai jenis buku, mulai buku agama, komputer, hingga novel. Dalam empat hari, ia biasanya membaca tiga buku. Slamet pun telah membaca habis semua buku berbahasa Inggris di perpustakaan sekolah tempatnya mengajar. Sebagian buku lagi dia pinjam, antara lain dari berbagai perpustakaan di Yogyakarta.

Tahun 1997 ia mulai menuliskan dongeng-dongeng Nusantara dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini dilakukannya di sela-sela tugas sebagai guru Bahasa Inggris.

Berpengalaman mengajar selama 20 tahun, Slamet tak sekadar "mengajar di depan kelas". Ia pun aktif menarik minat para murid untuk menulis dalam bahasa Inggris. Hasilnya, sejak awal 1990-an para murid SMAN 2 Wonosari sudah menghasilkan majalah sekolah berbahasa Inggris, Kontras.

Tahun 1999, ia dan murid-muridnya diundang mengikuti Konvensi Kreativitas Guru Nasional di ITB. Dalam acara yang terselenggara atas kerja sama ITB, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Globetre Foundation Swedia ini, penampilan kelompok Slamet menarik perhatian Depdiknas.

Setelah itu, tanpa terduga, dana bantuan pengembangan pendidikan lalu mengalir ke sekolah di balik bukit itu. "Seorang dirjen rupanya terkesan melihat sekolah terpencil, tapi murid-muridnya tidak kalah prestasinya dengan mereka yang bersekolah di kota," ceritanya.

Sejak itu, motivasi Slamet untuk mengajar dan menulis semakin terpacu. Berbagai karyanya mengalir, seperti kumpulan cerita pendek dalam bahasa Inggris, Do It Please (2003), The Secrets of a Smart High School Student (2005), dan panduan berbahasa Gateway for Active Communication (2007). Sampai kini ia telah menulis lebih dari 78 buku berbahasa Inggris, termasuk serial dongeng.

"Sebagian besar buku itu terutama saya maksudkan untuk penunjang pelajaran Bahasa Inggris," katanya.

Rasa lokal

Buku seri dongeng karyanya ditulis dalam pola kalimat dan struktur yang sederhana agar mudah dimengerti siswa. Khusus untuk buku dongeng, Slamet terutama menyasar pelajar SD dan SMP.

Umumnya dongeng karyanya kental dengan nuansa lokal. Dalam buku Do It Please, misalnya, Slamet berkisah tentang pengalaman lucu Deddy, seorang pelajar SMA, dalam suatu liburan sekolah. Untuk menambah rasa lokal, ia sengaja tidak menerjemahkan atribut tokoh dalam bahasa Inggris.

Pada buku The Story of Timun Emas, ia tetap menyebut orangtua Timun Emas sebagai Pak Simin dan Bu Simin, bukan Mr dan Mrs Simin, atau Prabu Rama dalam The Legend of Dewi Sri. Setiap buku itu juga dilengkapi panduan membaca dongeng dan teori singkat tentang bahasa Inggris. "Teori dan panduan ini ditambahkan oleh penerbit," kata Slamet.

Hasil dari penerbitan karyanya itu, Slamet bisa membangun rumah berlantai dua yang sempat rusak akibat gempa pada 2006. Namun, keuntungan yang baginya tak bisa dinilai dengan uang adalah kesempatan bertemu penulis buku pelajaran Bahasa Inggris yang selama ini digunakannya untuk panduan mengajar, yakni Jeremy Hamer dan Jack Richard.

Pertemuan itu berlangsung pada Konferensi Guru Bahasa Inggris se-Asia (Teacher English as a Foreign Language/TEFL), di mana ia diundang sebagai salah satu pembicara, Agustus lalu di Bali. Tema konferensi ini, "Globalizing Asia: The Role of English Language Teacher", rupanya sesuai dengan kiprahnya.

Guru sejati

Kepala Dinas Pendidikan DI Yogyakarta Suwarsih Madya menyebut Slamet sebagai guru sejati yang mau berbuat demi kemajuan pendidikan, tanpa mengharap imbalan. Tanpa fasilitas berlebih dari pemerintah, ia membuktikan kemandirian dan kemauan dengan mengolah hal-hal sederhana menjadi bahan ajar. Buku-bukunya mampu mengasah kemampuan akademis murid, juga memperkuat karakter siswa.

"Buku dongeng berbahasa Inggris yang dia tulis merupakan terobosan. Tak muluk-muluk, tapi justru mengakar pada jati diri bangsa," kata Suwarsih yang tengah membimbing Slamet untuk menyelesaikan disertasi studi pascasarjana di UNY.

Meski karyanya sudah terpajang di toko-toko buku di berbagai kota, dalam kehidupan sehari-hari Slamet relatif tetap sederhana. Hak atas karya-karya sadurannya telah dia jual kepada pihak penerbit sehingga selaris apa pun bukunya, tak menambah pendapatannya.

Walaupun begitu, tekad Slamet untuk menulis tidak padam. Ia bahkan tak ingin menghitung biaya yang harus dikeluarkan dari koceknya untuk riset dan fotokopi.

"Bagaimanapun, kepuasan batin itu tidak tergantikan dengan uang. Kalau soal penghasilan, ya biarkan Yang di Atas saja yang mengatur," katanya. ***

Sumber: Kompas, 12 Desember 2008.

Oct 28, 2008

Bahasa: Identitas Bangsa

80 Tahun Sumpah Pemuda

Menghidupkan "Roh" Bahasa Persatuan

istimewaDendy Sugono

"Sorry, hari ini gue minta izin mau off dulu. Tunggu sebentar, gue nggak bisa nelpon loe. Gue lagi meeting."

Tiga kalimat pendek tersebut, kedengarannya enak dan terkesan gaul. Bahkan bisa disebut si penuturnya intelek bergaya metropolitan. Tetapi, adakah yang aneh atau janggal dari kalimat yang sering ter- dengar dalam percakapan sehari-hari di masyarakat, terutama di Jakarta dewasa ini?

Sepintas memang kelihatan tidak ada masalah dengan ucapan seperti itu. Apalagi, zaman sekarang memang dituntut kreativitas. Bagi masyarakat awam, bahasa lisan di atas, sepintas tak bermasalah. Tetapi, bagi kalangan ahli bahasa Indonesia, kalimat tersebut sangat merisaukan. Mengapa?

Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Dendy Sugono yang ditemui SP belum lama ini di Jakarta mengaku risau dengan penggunaan bahasa yang campur aduk itu. Dendy pun mengingatkan ada banyak kesalahan berbahasa tersebut.

Kalimat yang benar dari,"Sorry, hari ini gue minta izin, gue mau off dulu" adalah,"Maaf, hari ini saya mau minta izin, saya mau libur/tidak kerja dulu." Demikian pula, dua kalimat,"Tunggu sebentar, gue nggak bisa nelpon loe. Gue lagi meeting", yang benar adalah,"Tunggu sebentar, saya tidak bisa menelepon Anda. Saya sedang rapat." Kesalahannya adalah mencampuradukkan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Betawi.

Bahasa, menurut Dendy Sugondo, digolongkan menjadi bahasa lisan dan tulisan. Bahasa lisan, dibagi lagi menjadi bahasa lisan formal dan nonformal (cakap, Red). Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Keduanya berfungsi sebagai alat komunikasi dan identifikasi diri, serta tetap harus mengindahkan kaidah bahasa yang baik dan benar. Sebab, para ahli sepakat bahwa bahasa yang dibentuk oleh kaidah aturan serta pola tertentu, tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan kesalahan interpretasi dalam komunikasi.

Kecenderungan di Indonesia, lanjut Dendy, penutur memadukan bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah. Kebiasaan itu bisa disebut "kreatif", tetapi merusak kaidah bahasa.

Penggunaan bahasa Indonesia yang salah di ruang publik berdampak buruk pada perkembangan kebahasaan nasional. Ketidakteraturan berbahasa adalah cerminan ketidakpahaman atau ketidakdisiplinan terhadap tata bahasa.

Sementara itu, dosen program studi Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Asep Sambodja mengatakan bahasa percakapan anak-anak muda di televisi terdengar masih kacau dan cuek dengan kaidah. Ada campur-aduk bahasa yang tidak pada tempatnya. Tetapi, redaktur majalah Susastra itu juga melihat ada anak muda yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata memperlihatkan penguasaan bahasa Indonesia yang canggih.

Kaidah Bahasa

Penggunaan bahasa Indonesia yang tidak mengikuti kaidah, menurut Dendy, akan merusak penggunaan dan pemahaman bahasa Indonesia pada anak-anak dan masyarakat. Celakanya, bahasa pada iklan banyak yang menyalahi kaidah bahasa Indonesia, padahal media itu sangat cepat dicerna dan ditiru anak-anak dan masyarakat.

Contohnya, iklan rokok yang berbunyi "Nggak Ada Loe, Nggak Rame". Jika mengikuti kaidah, seharusnya "Kalau Anda Tidak Ada, Suasananya Tidak Ramai".

Selain bahasa iklan, penggunaan bahasa asing untuk nama jalan atau petunjuk, seperti di kawasan perumahan elite dan toko swalayan, juga merusak dan menghambat perkembangan bahasa Indonesia. Padahal, orang asing yang tinggal di Indonesia justru lebih fasih berbahasa Indonesia.

Dendy berharap setiap insan Indonesia menjunjung tinggi bahasanya, meskipun menguasai bahasa asing. Harapan itu terutama ditujukan kepada pejabat dan tokoh publik. Ketika berpidato atau dalam acara resmi, pejabat hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 2008 yang bersamaan dengan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta hendaknya menjadi momentum untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Para pendiri bangsa, kata Dendy, sadar akan fungsi, peran, dan kedudukan bahasa Indonesia. Kerap kali orang salah kaprah dengan Sumpah Pemuda, khususnya menyangkut bahasa Indonesia, dengan menyatakan berbahasa satu. Padahal, bunyinya,"Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Jadi, bukan bahasa satu, yang seolah-olah tidak boleh berbahasa asing ataupun bahasa daerah.

Makna yang dalam dari Sumpah Pemuda adalah setiap warga negara boleh, bahkan dituntut menguasai bahasa asing untuk meningkatkan pergaulan, tetapi tetap harus menjunjung bahasa Indonesia. Ikrar itu juga bermakna, selain bahasa Indonesia, bahasa daerah yang merupakan kekayaan bangsa, tetap harus dipelihara.

Dendy berharap peringatan Sumpah Pemuda kali ini menjadi momentum menghidupkan kembali "roh" bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa persatuan hendaknya menjadi jiwa bagi setiap warga Indonesia. Kalau setiap warga negara mencintai dan bangga berbahasa Indonesia secara baik dan benar, dengan sendirinya "roh" bahasa persatuan akan terus hidup dan berakar.

Ungkapan bahasa menunjukkan bangsa, sangat diharapkan terwujud. Sebab, ungkapan itu memiliki makna filosofi yang dalam. Kebiasaan para penutur bahasa, oleh ahli bahasa disebut sebagai refleksi perilaku masyarakat dalam bernegara. Ketika warga tidak disiplin berbahasa, bisa ditafsirkan sebagai ketidaktaatan warga terhadap aturan negara.

Identitas Diri

Dalam Kongres III Bahasa Indonesia di Jakarta 28 Oktober- 3 November 1978, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letjen TNI Sayidiman Suryohadiprojo yang tampil dengan makalah berjudul Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pembinaan Ketahanan Nasional (Depdiknas, 1983), mengingatkan pentingnya bahasa dalam pertahanan nasional. Menurutnya, ketahanan nasional tak mungkin ada apabila bangsa itu tidak memiliki identitas dan harga diri.

Bahasa Indonesia yang merupakan produk perjuangan nasional, kata Sayidiman, mempunyai saham penting untuk memberikan identitas tersendiri pada bangsa kita. "Meskipun terdiri dari sekian banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa sendiri-sendiri, ditambah dengan besarnya dialek, tetapi kita telah berhasil mengkreasikan bahasa nasional yang digunakan di seluruh wilayah nasional yang luas itu. Inilah jasa Sumpah Pemuda 1928 dan perjuangan setelah itu untuk mewujudkan kepada sumpah tersebut," ujarnya.

Tidak hanya Sayidiman, jauh sebelumnya pujangga besar Sutan Takdir Alisjahbana dalam berbagai karya sastranya telah menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bahasa persatuan tersebut. Dalam buku berjudul Dari Perdjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957) terungkap bagaimana Sutan Takdir Alisjahbana berjuang menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bahasa persatuan itu.

Dalam buku itu disebutkan bagaimana penjajah Belanda hendak mengganti bahasa Indonesia di sekolah-sekolah bumiptera di Aceh dengan bahasa Aceh. Upaya itu akhirnya gagal setelah diprotes pemuda Indonesia melalui surat kabar yang terbit di Pulau Jawa ketika itu.

Di sisi lain, buku ini juga mengingatkan bagaimana tokoh Belanda, Prof Kern sejak 1890 meminta pemerintahnya mengajarkan bahasa Belanda di sekolah-sekolah bumiptera jajahannya. Anjuran itu didukung Dr Nieuwenhuis (meninggal 1931) tentang perlunya mengajarkan bahasa Belanda di kalangan bangsa Indonesia.

Dia bahkan mengkritik bangsanya, bahwa selama 300 tahun menjajah Indonesia, Belanda mengabaikan kewajiban menyebarkan bahasanya.

Kritik Nieuwenhui itu memang telah dibuktikan Spanyol yang pernah menjajah Filipina. Meskipun Amerika Serikat bersusah payah memasukkan bahasa Inggris di Filipina pascapenjajahan Spanyol, bahasa Spanyol tetap digunakan di negara itu.

Demikian pula Inggris yang telah kehilangan jajahannya, seperti Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara yang kini masuk negara persemakmurannya di Asia dan Afrika, tetapi budaya dan bahasa Inggris tetap melekat dan menjadi bahasa resmi di negara bekas jajahannya itu. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara bekas jajahan Prancis. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan, bahasa sangat penting dalam kehidupan berbangsa.

Dalam seminar Majelis Bahasa Malaysia, Brunei, dan Indonesia (Mabbim)-Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) yang berlangsung April 2008 di Jakarta, ketiga negara penutur bahasa Indonesia/Melayu, sepakat menjadikan bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa dunia. Ketiga negara itu berobsesi meningkatkan martabat bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa pergaulan internasional dengan lebih banyak menyerap kosa kata ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru.

Kalau Malaysia dan Brunei saja peduli pada bahasa Indonesia/Melayu, maka bangsa Indonesia sebagai penutur terbesar bahasa itu, seharusnya lebih menjunjung tinggi bahasa persatuan tersebut. Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda dan Kongres IX Bahasa Indonesia hendaknya menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang harus dijunjung tinggi dengan cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. [SP/Marselius Rombe Baan]


SP, 28/10/08

Oct 20, 2008

Kunci Menguasai Peradaban

"...Kang Abik tak lupa menanyakan berapa buku yang biasa dibaca para peserta ceramah setiap hari..."
 
 
Habiburrahman El Shirazy
Membaca Saat Pengajian
Selasa, 23 September 2008

Minimnya budaya membaca di Indonesia membuat novelis Habiburrahman El Shirazy (32) prihatin. Tak tinggal diam, Habiburrahman yang populer lewat novel Ayat-ayat Cinta ini, setengah kampanye, menyelipkan ajakan untuk membaca buku saat memberi ceramah di pengajian.

Saat didaulat memberi siraman rohani memperingati Nuzulul Quran di Masjid Al Amien, Blotongan, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Jumat (19/9) malam, misalnya, Kang Abik, panggilannya, tak lupa menanyakan berapa buku yang biasa dibaca para peserta ceramah setiap hari.

"Kalau tidak buku, hayo siapa yang berlangganan koran, coba angkat tangan? Wah, sedikit sekali. Padahal, kunci menguasai peradaban itu ya membaca. Al Quran juga mengajarkan agar banyak membaca," katanya saat melihat hanya segelintir orang yang mengacungkan tangan.

Lulusan Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir, ini lantas menggelitik peserta pengajian dengan mengisahkan pengalamannya menunggu pesawat yang penerbangannya tertunda sampai dua jam. Dari respons penumpang, bisa diketahui bagaimana etos membacanya.

"Begitu ada pengumuman pesawat ditunda, orang Indonesia langsung ramai ngobrol, jadi kayak pasar. Orang Jepang dan bule langsung mengambil buku dari tas dan asyik membaca," tuturnya berapi-api. (GAL)

Sumber: Kompas cetak, Nama & Peristiwa 23/9/08

Oct 7, 2008

Ketahanan Bhinneka Tunggal Ika

Pengantar

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Bangsa yang "Tahan Banting"
Senin, 6 Oktober 2008 | 02:00 WIB

Oleh MYRNA RATNA

Empat puluh tahun lalu, ekonom Swedia yang juga pemenang Nobel, Gunnar Myrdal, menulis karya monumental, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, yang berisi kajian terhadap negara-negara Asia Selatan dan Tenggara (khususnya India, tetapi juga melebar ke Indonesia dan negara-negara lain). Myrdal menggambarkan, negara-negara di kawasan itu dirundung kemiskinan, dibayangi ledakan penduduk dan perekonomian yang suram.

Penyebab kondisi itu, menurut Myrdal, adalah "keterbelakangan" Asia dalam hal modal, sumber daya, dan tingkat pendidikan. Namun, karakter "khas" orang Asia juga berperan di situ, seperti disiplin kerja rendah, termasuk disiplin waktu dan ketertiban; kebencian terhadap kerja manual, suka hal- hal irasional, sulit beradaptasi dengan perubahan, kurang berambisi, gampang dieksploitasi, sulit bekerja sama.

Pemerintahan di negara-negara itu dinilainya "terlalu lembek" (ia menemukan istilah soft states), alias tidak mampu menerapkan disiplin sosial. Reformasi akan sulit diwujudkan karena korupsi dan inefisiensi merajalela. "Tanpa ada disiplin sosial, sulit bagi negara-negara itu untuk bisa berkembang cepat," katanya (Time, 15 Maret 1968).

Gunnar Myrdal tutup usia pada 17 Mei 1987 (88 tahun). Ketika itu, Jepang, Korsel (dan China) telah menjadi macan-macan ekonomi Asia. Bahkan, kontras dengan ramalan Myrdal, Indonesia pun melaju sebagai kekuatan ekonomi menengah di kawasan dengan PDB sekitar 3.080 dollar AS.

Namun, krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997-1998 membuka mata tentang perlunya mempertimbangkan faktor kultural (nilai, sikap, keyakinan, dan tradisi) dalam membentuk bangunan ekonomi dan politik sebuah negara. Tentu saja kultur tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan faktor-faktor lain, seperti penegakan hukum, sistem pengadilan independen, transparansi, dan kepemimpinan, untuk mewujudkan sebuah tata kelola pemerintahan yang baik.

Dengan kata lain, mengutip Dwight H Perkins, seandainya saja ekonomi di Asia Timur dan Tenggara dikelola dalam jalur yang menjunjung penegakan hukum dan bukan jalur KKN (korupsi, kroniisme dan nepotisme, sebuah karakteristik khas hubungan pemerintah-pengusaha di Asia, termasuk Indonesia), krisis moneter diyakini tak akan terjadi di kawasan (Culture Matters, hal 233).

Optimisme

Dalam perjalanannya setelah 10 tahun reformasi yang diwarnai keprihatinan mendalam akan masa depan bangsa, tetap ada titik-titik yang membangkitkan optimisme. Salah satunya adalah karakteristik bangsa Indonesia yang "tahan banting". Bukankah negeri ini tak habis- habisnya didera masalah? Krisis ekonomi yang berkepanjangan, kerusuhan, bencana tsunami, gunung meletus, gempa bumi, banjir, serangan bom, serangan penyakit, dan konflik berdarah. Namun, bangsa ini tetap bangkit dan memulai lagi.

Mungkin pembaca masih ingat bagaimana warga Yogyakarta bahu-membahu membangun kehidupan mereka kembali hanya beberapa jam setelah gempa bumi meluluhlantakkan sebagian wilayah itu tahun 2006. Mereka memulai bekerja dengan tangannya sendiri sampai bantuan pemerintah datang kemudian. Kita juga semakin sering menyaksikan antrean panjang rakyat yang rela berdiri berjam-jam demi satu jeriken minyak tanah atau satu ember air bersih. Kalau bisa, mereka juga ingin menjerit menghadapi impitan hidup yang makin menyesakkan. Tapi, bukankah hidup harus terus berlanjut?

Sudah sepatutnya pemerintah berterima kasih kepada rakyat yang tetap bangkit meski harta benda lenyap ditelan bencana. Rakyat yang tetap berjuang meski kebijakan pemerintah membuat hidup semakin sulit. Penghargaan itu hanya sepadan bila diwujudkan melalui penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, rancangan kebijakan yang betul-betul mengutamakan kepentingan rakyat, serta penegakan hukum yang tidak diskriminatif.

Mayoritas bangsa ini juga memiliki "nasionalisme" yang kental (terlepas bagaimana nasionalisme didefinisikan) dengan sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Benedict Anderson menggambarkan betapa beda proses mewujudnya nasionalisme di Indonesia dibandingkan dengan di Indochina pada era kolonialisme. Di Indochina tak mencuat kesadaran bersama tentang "keindochinaan", sementara "keindonesiaan" terus bertahan di bumi Nusantara, bahkan mengakar dengan kuat, melintasi zaman (Imagined Community, hal 127).

Jauh sebelum gagasan Indonesia merdeka muncul, kelompok-kelompok yang menamakan diri Jong Ambon, Jong Java, dan lainnya, rela menomorduakan keterikatan etnis dengan tanah kelahiran mereka demi tujuan yang lebih besar, yaitu sebuah "negara yang belum terwujud" bernama Indonesia, dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda sehingga ketika bahasa Indonesia tahun 1928 diadopsi sebagai bahasa nasional, demikian Anderson, bangsa Indonesia tak pernah lagi menoleh ke belakang.

Gagasan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan tak bermakna, tetapi harta yang harus dirawat bersama. Inilah inti demokrasi dalam sebuah bangsa yang heterogen. Bila "modal" bersama ini dipelihara baik dan dikelola oleh sebuah kepemimpinan yang bersih dan bijak, bangsa ini akan survive menghadapi tantangan apa pun.

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/06/02000831/bangsa.yang.tahan.banting


Sep 23, 2008

Berbuka Puasa di Rusia

Rusia: Salah satu mantan negara besar yang masih mempertahankan 'kebesaran'nya dan mampu meninggalkan kenangan tersendiri bagi pelancongnya. -- Emil Jayaputra 
 
Ramadhan
"Ngabuburit" di Lapangan Merah
KOMPAS/SUBHAN SD / Kompas Images
Suasana Lapangan Merah dengan Benteng Kremlin (kiri) dan Katedral St Basil di kota Moskwa, Rusia, Minggu (21/9).
Selasa, 23 September 2008

Subhan SD

Minggu (21/9) petang, udara Kota Moskwa, Rusia, terbalut mendung. Suhu udara sekitar 7 derajat Celsius. Siang itu angin yang bertiup di sekitar Lapangan Merah (Krasnaya Ploshchad) terasa menusuk-nusuk kulit walau tubuh sudah dibalut berlapis-lapis jaket.

Sinar matahari senja yang sempat muncul nyaris tak mampu meredam hawa dingin itu.

Memasuki paruh ketiga bulan Ramadhan, rasanya asyik juga ngabuburit di lapangan yang, antara lain, terkenal dengan peristiwa Revolusi Bolshevik tahun 1917 itu. Suasana lapangan yang berukuran 695 meter x 130 meter itu sibuk. Ribuan orang dari berbagai bangsa berlalu lalang. Maklumlah kawasan lapangan itu merupakan jantung Moskwa, yang antara lain dengan landmark kompleks Kremlin dan Katedral St Basil, selain Museum Sejarah dan pusat perbelanjaan Gum.

Jam besar di menara Spasskaya Kremlin menunjukkan pukul 14.00. Biasanya jam-jam sekitar itu, saat berpuasa, sungguh tak mengenakkan berjalan-jalan di jalan di Jakarta, misalnya. Tetapi, siang itu berjalan-jalan di Lapangan Merah sungguh tak terasa haus. Malah rasa dingin menyergap. Rasanya ngabuburit sekitar 3,5 jam cukuplah untuk menanti berbuka puasa. Tetapi, baru tersadar ternyata magrib di Moskwa baru pukul 19.34 nanti.

Lapangan Merah adalah ikon yang terkenal. Ia menjadi tempat parade militer unjuk kekuatan, terutama pada zaman Perang Dingin sejak Stalin hingga Gorbachev, serta perayaan besar lainnya.

Lapangan merah itu sendiri adalah sejarah. Karena itu, semua bangunan di areal lapangan punya sejarah masing-masing. Kremlin (artinya benteng pertahanan) boleh jadi bangunan yang mencolok dengan warna merahnya. Kremlin merupakan jantung sejarah, pemerintahan, dan spiritual. Di dalam areal Kremlin yang punya 18 menara itu terdapat museum, istana, dan katedral. Kompleks pada masa Tsar itu dibangun pada abad ke-12 hingga ke-15. Di bagian depan, ada Mausoleum Lenin. Di belakang Lenin ada makam pemimpin lainnya, yaitu Stalin, Brezhnev, Andropov, Chernenko, kecuali Khrushchev di pemakaman Novodevichy.

Lapangan Merah menjadi lokasi menarik bagi pasangan muda yang melangsungkan pernikahan. Sabtu sore sebanyak 7-8 mobil limusin parkir di sisi ujung jalan atau di jembatan di atas Sungai Moskwa. Pasangan muda itu mengabadikan momen indah mereka dengan latar belakang gedung-gedung tua nan bersejarah itu. Mobil-mobil pengiringnya pun tampak baru dan mewah. Ekonomi Rusia memang terus bertumbuh. Pendapatan per kapitanya kini 11.200 dollar AS.

Mereka berfoto di pinggir Katedral St Basil yang cungkup-cungkupnya seperti bawang. Tetapi, sebetulnya mirip kubah masjid, sebagaimana umumnya cungkup katedral di Moskwa. Bangunan unik itu merupakan simbol kemenangan Ivan the Terrible saat mengalahkan bangsa Mongol tahun 1552 di kota Kazan. Tak mengherankan jika keindahan dan keunikannya membuat Napoleon Bonaparte kepincut. Keunikan itu pula yang membuat arsiteknya, Postnik Yakovlev, menderita sepanjang hidupnya. Ivan the Terrible tak ingin ada bangunan lain seindah katedral itu. Karena itu, ia tak ingin Postnik merancang bangunan lain. Satu- satunya cara, Postnik pun dibutakan.

Berjam-jam rasanya telah berlalu. Jam di menara Spasskaya menunjukkan angka 19.34. Saatnya berbuka. Waktu berbuka di Rusia pasti tidaklah sama, karena negara terbesar seluas 17.075.200 kilometer persegi itu memiliki 11 daerah pembagian waktu.

Islam di Rusia—termasuk Moskwa—bukan hal baru di negeri yang 70 tahun mempraktikkan komunisme itu. Sejarah panjang Islam justru mewarnai perjalanan bangsa-bangsa di Rusia, setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ke wilayah Dagestan dan Kaukasus Utara. Namun, Islam yang berkembang sekarang ini bermula pada abad ke-14. Banyak negara Islam yang berada di sekelilingnya bergabung dengan imperium Rusia antara abad ke-16 dan ke-19. Vladimir Putin pernah mengatakan, Muslim Rusia merupakan bagian tak terpisahkan dan aktif dalam susunan bangsa yang multietnik itu.

Namun, perubahan total terjadi saat era komunisme (Uni Soviet). Islam, termasuk juga agama lain, tidak bisa bergerak. Penduduk yang menjalankan agamanya dilarang. Selama 70 tahun komunisme berkuasa, praktik keagamaan nyaris tak terlihat.

Tetapi, setelah keruntuhan komunisme dua dekade silam, Islam di Rusia kembali menggeliat, seperti agama lainnya. "Ada fenomena anak muda Rusia yang masuk Islam. Islam sekarang berkembang seperti agama lainnya," kata Svet Sergeyeviv Zakharov (Zakaria), pengajar bahasa Indonesia di Akademi Diplomatik.

Kini Islam merupakan agama kedua dari sisi jumlah penganut setelah Kristen. Jumlahnya 25 juta orang atau 40 persen dari 143 juta penduduk Rusia. Bahkan, diprediksikan dalam 30 tahun ke depan, jumlah Muslim bisa lebih banyak daripada etnik Rusia. Diprediksi tahun 2020, satu dari lima warga Rusia adalah seorang Muslim. Moskwa bisa dikatakan sebagai kota berpenduduk Muslim terbesar dibandingkan kota Eropa lainnya.

Walau pemerintah keras terhadap kelompok radikal seperti di Chechnya, tetapi sejak Putin upaya merangkul kelompok moderat lebih intens. Tahun 2003, Putin berpartisipasi dalam pertemuan negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Malaysia. Kerja Sama dengan dunia Islam, termasuk Indonesia, terus dibangun Rusia, apalagi mereka menyadari, kerja sama itu amat penting bagi perdamaian Barat dan Timur. Kedamaian sepertinya menemukan ruangnya pada saat Ramadhan. ***

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/23/00145515/ngabuburit.di.lapangan.merah

Jul 18, 2008

How God inspires my NSW rule

Definitely another reveller that celebrates this year's World Youth Day!
 

How God inspires my NSW rule

The Daily Telegraph  By Morris Iemma

July 15, 2008

LIKE five million other Australians, I proudly belong to the Catholic faith - a tradition that stretches back 2000 years and includes more than one billion adherents in every country of the world.

Faith is important to me. Deeply important.

It provides a sense of meaning to life and a set of time-honoured values for our children. Crucially, it also offers a constant reminder of the innate dignity and worth of every human being.

My faith directly influences my Government's policies in areas like mental health, disability services and housing for the needy and homeless.

Faith is also a source of comfort and guidance.

My faith helps achieve a sense of inner calm, understanding and forgiveness. It's important to never lose balance and perspective.

For Christians, as with every other religion, faith is mostly a daily struggle with the challenges of daily life. But occasionally there are times when our faith becomes particularly vivid and alive, as during this week's World Youth Day activities and the historic visit of Pope Benedict XVI.

For Catholics, a papal visit has deep meaning and significance.

This is the first papal visit to this country since 1995. Until 1970, a pontiff had never visited Australia.

In fact, until the early 1960s, the pope never left the Vatican.

In previous eras, the papacy was quite remote.

Today it has become a central role for the pope to travel around the world visiting far-flung communities in person, including Australia. This reminds us that we are part of the universal Church - that despite distance, we count, we belong.

In undertaking these journeys, the Pope comes as a servant and a shepherd who wants to strengthen our faith and commitment through his own wisdom, love and example. That is why Catholics tend to call the Pope by the name Holy Father - or, in Italian, "Papa".

The word, which means something more like "daddy", is especially appropriate for the humble, humane and good-humoured Benedict XVI.

So for me and my family, meeting the Pope will be something special and beautiful.

This isn't just because it is exciting but because it will give us encouragement and inspiration long after His Holiness has flown back to Rome.

That is the real point of World Youth Day and Pope Benedict's visit.

Yes, it's a week of excitement, colour and adventure. But, more importantly, it's a source of strength for the long journey that lies ahead for all of us.

Welcome Pope Benedict. May your visit be peaceful, joyous and enriching.

* Morris Iemma is Premier of NSW

Source: DT, 15 July 08

Jul 14, 2008

Intelektual organik yg Übermensch

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"
Senin, 14 Juli 2008

Oleh Rikard Bagun

Tidak gampang menemukan rumpun kaum intelektual Indonesia yang duduk gelisah karena tergetar oleh momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Benar-benar mati angin!

Gelora kegelisahan hanya bergerak sepoi-sepoi, tidak dapat diubah menjadi badai yang mampu memaksa kaum cerdik pandai duduk bersama, memandang dengan sorotan tajam masa depan bangsa, tanpa membiarkan sedikit pun mata terkedip bagi Indonesia yang lebih baik.

Resonansi atas kenyataan itu seakan bersahutan atau berbalas pantun dengan pertanyaan, mengapa Indonesia tidak bangkit-bangkit meski begitu banyak sarjana, kaum cerdik pandai, kaum intelektual, dan ilmuwan?

Indonesia masih terus saja berada dalam pusaran krisis bawaan sejak tahun 1998, yang diperburuk oleh kondisi global yang sedang dikepung oleh krisis pangan, energi, dan pergolakan keuangan. Paling tidak 34,9 juta rakyat Indonesia hidup miskin.

Celah perubahan dan perbaikan akan semakin sulit ditemukan jika kaum intelektual Indonesia kehilangan sensitivitas menangkap panggilan sejarah untuk melancarkan secara serempak transformasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berjangkauan jauh ke depan.

Namun, siapakah yang pantas disebut kaum intelektual itu? Tidak ada rumusan baku, tetapi setiap orang yang melek huruf berpotensi menjadi intelektual, apalagi yang sudah sarjana.

Sudah menjadi kredo, kontribusi kaum intelektual bagi peradaban dan kemanusiaan dalam perjalanan panjang sejarah sangat menentukan sebagai keniscayaan, syarat mutlak, conditio sine qua non.

Namun, mengapa sulit sekali menemukan jejak kaum intelektual Indonesia, lebih-lebih setelah kemerdekaan.

Permainan waktu

Kelesuan itu terasa jelas pula dalam memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional sebagai momentum yang dikhawatirkan akan terancam hilang.

Gejala kedodoran itu terlihat dalam kerepotan menghadapi arus perubahan, yang sangat menuntut kecepatan, the survival of the fastest, yang bertahan yang paling cepat, ketimbang the survival of the fittest, yang bertahan yang paling kuat.

Kemampuan menangkap peluang dalam permainan waktu memang semakin menentukan: "Waktu berubah dan kita berubah di dalamnya", tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah dunia yang berlari tunggang langgang.

Ibarat burung malam minerva, yang dijadikan simbol kebajikan dalam mitologi Yunani karena ketajaman indra penglihatannya menembus pekatnya kegelapan malam, kaum intelektual dengan ketajaman visinya dituntut menjadi sumber pencerahan di kegelapan zaman.

Hanya persoalannya, jangankan mampu melihat yang tidak tembus pandang dan jauh dalam kegelapan masa depan, masalah di depan mata dan di bawah terang benderang matahari saja sering kali tidak mampu diidentifikasi untuk dipecahkan.

Kekuatan pencerahan

Tidak semua kaum intelektual mampu melihat kompleksitas persoalan kemasyarakatan.

Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.

Munculnya kaum intelektual organik atau intelektual tradisional sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Pendidikan yang baik akan melahirkan kelompok intelektual organik, atau orang yang memiliki kesadaran kritis, bukan kesadaran naif, dalam pengertian Paulo Freire.

Kaum intelektual tradisional lebih nyaman berada tinggi di menara gading ketimbang turun berkeringat dan berpikir keras tentang perubahan masyarakat.

Watak kaum intelektual sejati atau intelektual organik antara lain mampu menjaga kemandirian, tidak mudah dikooptasi oleh kekuasaan, dan kreatif sebagai manusia super bermental tuan, Übermensch, dalam pengertian Friedrich Nietschze.

Ilmuwan biasa atau intelektual tradisional hanya mendaur ulang yang sudah ada, tetapi ilmuwan sejati justru menemukan yang "belum ada".

Namun, tantangan kaum intelektual sejati atau intelektual organik semakin berat. Tak sedikit sarjana atau ilmuwan yang terjerumus oleh godaan kekuasaan. Pemikir Perancis Julien Benda menyebut kaum intelektual yang tergoda masuk dalam politik praktis dan bermain dengan kepentingan kekuasaan sebagai pengkhianat.

Daya kritis kaum intelektual dilumpuhkan dan ditumpulkan dalam pasungan kepentingan kekuasaan dan penguasa. Padahal, kaum intelektual harus menjadi kekuatan antitesis kekuasaan. Selalu cemas agar bangunan kekuasaan tak sampai tumbuh mencakar langit atau menjadi makhluk dasar laut yang mengerikan seperti leviathan.

Namun, kiprah ilmuwan tidak mungkin berkembang dan optimal jika secara kultural tidak kondusif pula, yang membuat berbagai temuan penting kaum ilmuwan ditelantarkan.

Ruang bagi kaum intelektual berkiprah semakin terpasung jika penguasa maupun rakyat sama-sama melakoni budaya, lebih suka ngelmu ketimbang ilmu, lebih suka berpikir mistis ketimbang kritis. ***

Source: Kompas, 14 Juli 08

Jul 8, 2008

Karl May & Buku Penanda Zaman

Karl May & Pembelajaran Inklusivisme
Pikiran Rakyat, 3 Januari 2008

Buku-bukunya telah memberi sesuatu yang berharga di masa remaja kita, yaitu keindahan dan kekuatan persahabatan antara ras-ras yang berbeda. (Goenawan Mohamad)

BAGI pembaca Indonesia yang suka dengan kisah-kisah perjalanan, nama Karl May (1842-1912) tak asing. Hidup sezaman dengan Jules Verne dan Mark Twain, karya-karya Karl May menjadi salah satu khazanah bacaan berharga bagi sekian banyak pembacanya. Penulis dari Jerman ini bercerita tentang negeri-negeri yang eksotis atau dianggap eksotis di zamannya, dengan latar belakang gurun pasir Arabia, dunia wild west di Amerika Utara, dan petualangan di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur, termasuk Indonesia.

Di kalangan orang Indonesia, karya-karya Karl May menjadi bacaan banyak pelajar dan pemuda, termasuk pelajar dan pemuda yang bergerak di lapangan pergerakan awal Indonesia seperti Bung Hatta. Masa emas kejayaan buku-buku Karl May di Indonesia, berakhir ketika Jepang masuk pada awal tahun 1940-an. Baru satu dasawarsa kemudian, melalui M. Soendoro (1910-1962), direktur penerbit Noordhoff-Kolff di Jakarta, karya-karya pengarang yang pernah berkunjung ke Padang dan Aceh ini, kembali diperkenalkan dengan terjemahan bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh semacam Old Shatterhand dan Winnetou, sang kepala suku Indian Apache, serta kisah-kisah kepahlawanan, kejujuran, dan persahabatan dari padang "praire" menjadi bagian dunia banyak orang di Indonesia.

Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar buku Menjelajah Negeri Karl May yang ditulis Pandu Ganesa (Pustaka Primatama, 2004), banyak orang Indonesia mulai dari Bung Hatta sampai Yenni Rosa Damayanti mempunyai utangnya masing-masing kepada Karl May; apakah itu menjadi sadar bahaya kepicikan rasisme, semangat antikolonialisme, atau kesadaran pada keindahan persahabatan antarmanusia.

Pengarang bernama asli Carl Friedrich May ini lahir pada 25 Februari 1842, di sebuah kota kecil Ernstthal di daerah Saxony, Jerman Timur. Karl May menyebut tempat kelahirannya sebagai tempat biang kesengsaraan, kecemasan, dan penderitaan. Sebagian besar penghuninya adalah penenun miskin, termasuk keluarga May.

Ia tumbuh dewasa dengan tinggi badan 166 cm (terlalu kecil untuk ukuran pria Eropa) dan kaki yang bengkok karena terkena rachitis. Namun, imajinasi May tumbuh dengan baik mengatasi keterbatasan fisiknya. Sebagian besar imajinasinya dipengaruhi sang nenek dari garis ayah, Johanne Christiane May.

Karl pernah mengidap gangguan kejiwaan parah, Dissosiative Identity Disorder (DID), yang menyebabkan ia kerap menjadi pribadi-pribadi yang berbeda. Gangguan kepribadian ini sempat mengantarkan May beberapa kali keluar masuk penjara. Tetapi, penjara memberi kesempatan besar untuk pengembangan imajinasinya. Ia mendapat hak khusus meminjam buku-buku perpustakaan dan imajinasinya melambung menembus jeruji sel.

Karya May baru diterbitkan dalam bentuk buku untuk pertama kali pada 1879, saat ia berusia 37 tahun. Buku itu berjudul In Fernen Western (Di Barat Jauh). Tahun 1890, tujuh cerita yang diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja terbit dalam bentuk buku. Karya-karya itu antara lain dikenal di Indonesia sebagai Anak Pemburu Beruang, Raja Minyak, dan Harta dari Danau Perak. Dua tahun kemudian May baru memperoleh sukses besar ketika penerbit Friedrich Ernst Fehsenfeld menerbitkan seri Kara Ben Nemsi dengan sampul tebal (hardcover), disusul dengan trilogi Winnetou (1893).

Hingga tahun 2003, karya-karya Karl May telah diterjemahkan ke dalam tidak kurang dari 39 bahasa, termasuk bahasa Sunda. Menurut catatan Pandu Ganesa, dalam sebuah simposium tahun 2001 di Lucerne, Swiss, salah satu buku yang dipamerkan adalah Rajapati (cetakan kedua, 1997), diterbitkan Girimukti Pasaka milik Oejeng Soewargana, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda oleh Sjarif Amin dari Winnetou Het Opperhoft der Apachen.

Saat ini, buku-buku Karl May kembali diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Pustaka Primatama bekerja sama dengan Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) dari versi Jerman lengkap dengan catatan kaki dan lampiran-lampiran yang melatarbelakanginya. Di toko-toko buku, judul-judul seperti Winnetou (kini telah beredar sampai empat jilid), AnakPemburu Beruang atau kisah petualangan Kara Ben Nemsi di sudut-sudut Balkan, bersaing dengan Harry Potter, buku-buku "chiklit" dan komik manga yang lebih meraih perhatian anak-anak dan remaja.

Tetapi tak apa, sebuah buku toh dihadirkan tidak melulu sebagai keputusan ideologis. Sebuah buku berarti juga sebagai penanda suatu zaman. Tentu, Karl May kini tak "berkuda" sendirian. (Denny Y.F. Nasution, alumni Stikom Bandung dan peminat buku) ***

Jul 1, 2008

Cendekiawan & Sumbangsihnya bagi Bangsa

Adalah tugas para cendekiawan membangunkan bangsa nan terlelap ini.

Penghargaan "Kompas"
Cendekiawan Berkomitmen
Jumat, 27 Juni 2008

Oleh ST SULARTO

Menurut Antonio Gramsci (1891-1937), sejarah dan politik tidak bisa lepas dari keterikatan intelektual dan masyarakat (Selections from Political Writings 1921-1926). Cendekiawan harus memihak kelas atau kelompok tertentu. Justru kalau kaum intelektual terbenam dalam menara gading dengan moralitasnya dan abai memberikan sumbangan untuk masyarakatnya, mereka adalah intelektual yang tak bermoral.

Bagaimana cendekiawan, secara simpel diartikan sebagai intelektual yang pandangan dan perhatiannya keluar dari kerangkeng disiplin tertentu, berkontribusi pada pengembangan masyarakat?

Sebagai ilmuwan, cendekiawan memberikan sumbangan berupa analisis, melihat masalah secara holistis, dan menawarkan solusi, termasuk mendudukkan persoalan. Mereka menjadi pendamping masyarakat yang sering bingung oleh perubahan serba cepat, dunia sekeliling yang lari tunggang langgang.

Media massa cetak, dalam hal ini harian Kompas, sejak awal terbitnya pada 28 Juni 1965, menyediakan halaman khusus untuk penulis luar. Halaman itu ibarat hyde park bagi siapa saja untuk beradu pendapat, beradu argumen tentang berbagai masalah kemasyarakatan, termasuk tata cara santun menyampaikan kritik.

Ruangan "demokratis" itu dimaksudkan untuk mendorong berkembang suburnya bunga di kebun perdebatan secara intelektual. Oleh karena itu, visioner sifatnya, bersemangat serba terbuka sebagai salah satu nuansa demokratisasi.

Sengaja ditempatkan berdekatan dengan Tajuk Rencana untuk menegaskan fungsinya sebagai halaman adu argumentasi yang demokratis. Mereka mengajak berpikir, beradu pendapat dengan arah sebagai bagian dari darma bakti intelektual. Tulisan mereka pun memperkuat peranan yang ingin dimainkan media, yakni ikut serta mencerdaskan masyarakat.

Para penulis itu berkesempatan mengeksploitasi tidak sekadar sebagai intelektual pada bidang keahlian atau disiplin ilmunya, tetapi sebagai cendekiawan yang meramaikan perjalanan demokratisasi.

Para kolumnis Kompas selama ini tidak hanya berasal dari kaum intelektual yang berasal atau memperoleh brevet kesarjanaan. Pendeknya, tidak semua ilmuwan atau kaum intelektual adalah cendekiawan.

Tanpa mengecilkan makna gelar kesarjanaan, pemuatan karya mereka terutama dipertimbangkan berdasar isi artikel dan cara menyampaikan, tanpa meninggalkan faktor aktualitas sebagai jati diri sebuah harian.

Dengan memuat pemikiran mereka, Kompas memberikan tempat bagi terealisasinya tugas kecendekiawanan. Di samping mereka yang aktif, produktif, dan setia sebagai kontributor, Kompas menghargai pula ilmuwan-cendekiawan yang setia, asketis, dan produktif menekuni dan mengembangkan pemikirannya untuk perkembangan masyarakat.

Cendekiawan kelompok kedua itu relatif kurang dikenal. Mereka melakukan mesu budi, ulah asketisme intelektual seperti yang ditunjukkan tokoh-tokoh seperti Sartono Kartodirdjo, JB Mangunwijaya, Parsudi Suparlan, Koentjaraningrat, dan Selo Soemardjan.

Antara Kompas dan para kontributor ada hubungan simbiose mutualistis. Kesempatan merayakan ulang tahun dipakai untuk bersyukur dan berterima kasih. Kompas memberikan apresiasi dengan nama Penghargaan Kompas untuk Cendekiawan Berdedikasi. Mereka telah mendedikasikan intelektualitas dan komitmennya untuk mencerahkan masyarakat, kehidupan yang lebih adil dan demokratis.

Untuk pertama kali tahun ini penghargaan disampaikan kepada 5 cendekiawan, yakni Prof Dr MT Zen, Prof Dr Sayogyo, Prof Dr Soetandyo Wignyosoebroto, Prof Dr Satjipto Rahardjo, dan Dr Thee Kian Wie. (Baca juga profil mereka di Cendekiawan Berdedikasi --EJ)

Sumber: Kompas, 27 Juni 2008

May 20, 2008

Satu Abad Kebangkitan Nasional

 Selamat Harkitnas 20 Mei 2008!!!
 
100 Tahun Kebangkitan Nasional
Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Senin, 19 Mei 2008

Kompas, James Luhulima

Pembentukan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, 100 tahun lalu, dianggap sebagai langkah awal menuju lahirnya semangat kebangsaan Indonesia. Itu sebabnya, hari lahir Boedi Oetomo juga diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Memang semangat kebangsaan pada tahun 1908 itu belumlah dalam pengertian seperti semangat kebangsaan Indonesia sebagaimana yang dipahami pada tahun 1945 ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Tentang kebangsaan Indonesia itu digambarkan secara menarik dalam perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane di dalam buku Polemik Kebudajaan yang diterbitkan Perpustakaan Perguruan Kementerian PP dan K Djakarta, 1954.

Sanusi Pane mengatakan, "Tuan STA menjebut, bahwa dalam zaman Modjopahit, Diponegoro, Teungku Umar, belum ada ke-Indonesiaan. Pikiran ini kurang benarnja pada pendapatan kami. Ke-Indonesiaan pada waktu itupun sudah ada, ke-Indonesiaan dalam adat, dalam seni. Hanya natie Indonesia belum timbul, orang Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa".

Pada masa itu, semangat kebangsaan barulah pada tingkat semangat beberapa mahasiswa STOVIA asal Jawa untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda melalui cara-cara damai, dengan antara lain memperjuangkan kemajuan pendidikan.

Memang di STOVIA pada masa itu sudah ada mahasiswa yang datang dari luar Pulau Jawa, seperti Sumatera, Ambon, Manado, dan Timor. Namun, karena pada waktu itu faham kebangsaan Indonesia belum dikenal, mahasiswa-mahasiswa itu tidak dilibatkan dalam pembentukan Boedi Oetomo. Adalah Tjipto Mangoenkoesoemo yang kemudian meluaskan perhatian Boedi Oetomo, sehingga tidak lagi hanya dipusatkan kepada orang Jawa, tetapi juga kepada semua penduduk Hindia Timur Belanda. Dan, menurut Akira Nagazumi dalam buku The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Budi Utomo, 1908-1918 (Institute of Developing Economies, Tokyo, 1972), yang pantas dicatat dari Boedi Oetomo adalah antara lain organisasi itu terbebas dari prasangka keagamaan dan kebekuan tradisionalisme.

Boedi Oetomo dapat dianggap sebagai pendahulu dari pergerakan kebangsaan yang muncul dengan lahirnya Nationale Indische Partij pada tahun 1912 dan Sarikat Islam tahun 1913.

Proses yang panjang

Semangat kebangsaan tidak tumbuh dalam satu malam, tetapi melalui proses perjalanan yang panjang. Semangat kebangsaan Indonesia menajam dengan diikrarkannya Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928, dan mencapai puncaknya pada proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam Mukadimah Undang- Undang Dasar 1945 ditegaskan, "... membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…."

Kata "segenap bangsa Indonesia" menjadi kata kunci mengingat negara ini bukan dibuat untuk satu golongan saja, melainkan untuk semua orang yang tinggal di negara Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Semua pihak mempunyai sumbangan sendiri-sendiri bagi kemerdekaan Indonesia. Itu pula sebabnya, Indonesia menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan, biarpun berbeda-beda tetapi tetap satu.

Atas dasar kesepakatan itulah Indonesia dibangun dan dapat bertahan melawan aksi polisionil Belanda pada tahun 1947 dan 1949 serta memperoleh kemerdekaannya secara utuh melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Harus terus diperkuat

Namun, semangat kebangsaan itu tidak statis, tetapi harus terus dipelihara dan diperkuat dari waktu ke waktu mengingat generasi berikutnya (yang lahir setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan) tidak memiliki pengalaman yang sama dengan apa yang dilalui para pendiri bangsa ini. Mereka menerima kemerdekaan Indonesia sebagai sesuatu yang sudah ada. Karena itu, mereka cenderung meremehkannya, bahkan beberapa pihak mencoba mengutak-utiknya dengan mengemukakan berbagai argumen sebagai alasan.

Pada masa pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno, asas keseimbangan SARA sangat diperhatikan. Para menteri datang dari berbagai suku bangsa sehingga "pertarungan" berbagai putra daerah berlangsung pada panggung nasional.

Pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, asas keseimbangan itu seakan terabaikan. "Pertarungan" putra daerah berlangsung pada tingkat provinsi dan mulailah "nasionalisme" lokal bermunculan. Antara lain muncul tuntutan agar kepala daerah (gubernur) haruslah putra daerah karena mereka tidak melihat adanya peluang untuk bertarung pada tingkat nasional.

Bukan itu saja, gaya komando seperti yang berlaku di kalangan militer yang coba diterapkan untuk memelihara kebangsaan Indonesia, seperti pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal dan pengajaran (indoktrinasi) Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), justru menumbuhkan "perlawanan" terselubung pada beberapa kelompok masyarakat.

Padahal, semangat kebangsaan Indonesia yang salah satu unsur terpentingnya adalah toleransi, atau sikap saling menghormati, seharusnya ditumbuhkan dan dikembangkan sesuai dengan tingkat kematangan masyarakat. Pemaksaan kehendak hanya akan membuat sikap saling menghormati yang terbentuk itu semu dan tidak langgeng.

Dan, berakhirnya masa Orde Baru seakan membuka kotak pandora dan semangat kebangsaan Indonesia yang diletakkan pada tahun 1945 menjadi taruhan. Keinginan untuk memisahkan diri mulai disuarakan, pembakaran rumah ibadah terjadi di sejumlah tempat, dan sekelompok orang diusir keluar dari desanya dan tinggal di tempat pengungsian hanya karena meyakini kepercayaan yang berbeda. Dapat dipastikan bahwa itu bukanlah suatu pemandangan atau keadaan yang diinginkan para pendiri bangsa ini.

Pemerintah harus berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan itu, dan bukan malah membuatnya menjadi semakin parah. Tidak berarti pemerintah harus bekerja sendirian, pemerintah bisa saja mengajak semua unsur masyarakat yang diharapkan dapat membantu mengatasi keadaan itu. Yang diperlukan dari pemerintah adalah memimpin di depan untuk sesegera mungkin menyelesaikan keadaan sebelum menjadi tidak terkendali.

Sultan Hamengku Buwono X dalam buku Merajut Kembali Keindonesiaan Kita (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007) menyebutkan, masalahnya adalah bagaimana mengaktualisasikan simbol Bhinneka Tunggal Ika—yang biarpun berbeda tetapi tetap satu itu—ke dalam konteks yang benar.

Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional harus dijadikan awal mula sebagai langkah untuk mengembalikan semangat kebangsaan seperti yang diletakkan pada awal negara ini didirikan. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi "rumah" yang aman dan nyaman bagi kita semua. ***

 

Feb 28, 2008

Orang-orang besar 2007

Orang besar selalu berperilaku seperti halilintar yang membelah langit dan manusia lain hanya menunggunya seperti kayu bakar.
-- Thomas Carlyle (1795-1881)

People of The Year 2007
Jum'at, 28/12/2007

ImageINDONESIA adalah negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa. Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya karena terletak di wilayah khatulistiwa. Namun kebesaran dan kekayaan alam Indonesia seperti sekadar mitos yang masih sulit dibuktikan ke dalam realitas kehidupan nyata berbangsa.

Kebesaran nilainya menjadi semu karena kurang adanya kewibawaan dan ketegasan. Kekayaan menjadi absurd karena kurang memberi dampak positif bagi kesejahteraan rakyat akibat salah urus dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan konspirasi politik dan ekonomi kelompok.

Rakyat Indonesia sesungguhnya merindukan kebesaran dan kekayaan itu hadir dalam wujud dunia yang nyata. Bukan sekadar ilusi dan fatamorgana. Yang mengundang kegelisahan, apakah bisa menghadirkan mimpi itu menjadi kenyataan?

Adalah tidak berlebihan kalau kita meyakini bahwa mimpi-mimpi itu bisa menjadi kenyataan, dengan catatan ada komitmen besar dari orang-orang besar yang benar-benar berpikir untuk kemakmuran dan kebaikan negeri ini. Optimisme kita akan selalu mengatakan,"Masa, dari 200 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, tidak ada di antara mereka yang memiliki komitmen besar untuk memakmurkan dan memajukan bangsa ini, aneh bukan?"

Terlepas dari plus minusnya, jika kita bandingkan Indonesia dengan Malaysia yang populasinya 27 juta jiwa, mereka memiliki Mahathir Mohammad yang bisa membawa negeri itu berjaya. Singapura dengan populasi 4,7 juta jiwa memiliki Lee Kuan Yew yang membawa negara kecil itu menjadi kaya raya, Afrika Selatan (44 juta) memiliki Nelson Mandela yang dikenal sebagai pejuang demokrasi dan kemakmuran, Venezuela (26 juta) memiliki Hugo Chavez yang tampil dengan kewibawaannya, Bolivia (11 juta) punya Evo Morales yang memiliki keberanian dan kepercayaan diri dalam melakukan langkah nasionalisasi di tengah kepungan asing.

Kebutuhan atas sosok yang berkomitmen besar demikian telah memberi inspirasi koran SINDO untuk meneruskan tradisi pemilihan People of The Year seperti yang dilakukan tahun sebelumnya. Dan tahun ini,ada yang lebih istimewa karena SINDO juga memilih Issue of The Year. Tradisi penokohan bagi bangsa Indonesia menjadi sesuatu yang penting karena bisa menjadi semacam altruism (semangat kemanusiaan), trust (rasa saling memercayai), dan predeterminism (penentuan nasib).

Majalah TIME juga memulai tradisi ini sejak 1927. Konteksnya saat itu, para editor majalah berpengaruh tersebut sedang kesulitan mencari tokoh yang bisa dimuat untuk halaman sampul karena sedang tidak ada tokoh politik maupun ekonomi yang menonjol pada tahun itu. Akhirnya pilihan jatuh kepada Charles Augustus Lindbergh Jr, yang pada tahun itu sukses mengarungi lautan Atlantik dengan penerbangan solo tanpa henti.

Kehebatan Lindbergh yang dijuluki "Lucky Lindy" ini akhirnya menjadi satu-satunya pilihan sebagai tokoh yang masuk kategori newsmaker. Tradisi TIME itu akhirnya berkembang, yaitu bahwa istilah Man of The Year/Person of The Year tidak hanya sebagai reward terhadap tokoh tertentu saja, tetapi juga diberikan kepada tokoh pembuat berita, baik dilihat dari sisi positif maupun negatif.

Tak aneh kalau diktator Adolf Hitler dan Joseph Stalin pernah menjadi Man of The Year di masanya. Termasuk tokoh kontroversial yang sangat dibenci Amerika Serikat, Ayatollah Khomeini, oleh TIME dinobatkan sebagai Man of The Year 1979. Hanya dalam perkembangannya,TIME seperti membuat kontroversi saat menetapkan Person of The Year pada 2006.

Hasil polling menetapkan Presiden Venezuela Hugo Chavez mendapatkan perolehan suara tertinggi (35%), disusul Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad (21%). Juru Bicara Parlemen Amerika Nancy Pelosi (12%) dan Presiden AS George W Bush (8%) kurang beruntung karena urutannya termasuk di nomor belakang. Namun, majalah berpengaruh itu tidak memilih Hugo Chavez atau Ahmadinejad menjadi Person of The Year. Dengan sangat mengejutkan, pilihan Person of The Year versi TIME adalah "You" (Anda sendiri).

Anda sendirilah yang menentukan kehidupan menjadi baik atau buruk. Sikap kontroversial TIME yang menimbulkan banyak kritik sebagai pilihan yang stupid itu kemungkinan karena adanya "intervensi" atau ketidaksukaan Pemerintah Amerika Serikat (AS) atas terpilihnya tokoh-tokoh dunia yang menentang atau anti-AS sehingga para editornya harus berpikir untuk mencari alternatif penokohan yang bisa dikatakan lebih "aman".

Namun, SINDO memiliki cara lain yang pendekatan metodologisnya memungkinkan untuk bisa lebih objektif dan jauh dari unsur kepentingan-kepentingan. Ada empat nama yang terpilih sebagai People of The Year versi SINDO. Mereka adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X (bidang politik), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (bidang ekonomi), mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki (bidang hukum), dan Rektor IKJ Prof Sardono Waluyo Kusumo (bidang budaya). Sementara Issue of The Year terpilih versi SINDO adalah korupsi.

Terpilihnya keempat nama itu bukan tanpa alasan yang jelas. Mereka memang orang-orang cerdas, berani, tidak mudah puas dengan kemapanan. Mereka termasuk minoritas, tetapi memiliki prakarsa, pikiran-pikiran orisinal dan berada di depan yang lain. Minoritas inilah yang membawa sejarah ke tahap yang baru. Thomas Carlyle, filosof Skotlandia yang meninggal di Inggris, misalnya, percaya bahwa sejarah dibentuk oleh individu-individu yang cemerlang.

Dalam bukunya On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History, Carlyle mempertegas bahwa setiap sejarah merupakan perwujudan satu atau lebih dari satu pribadi cemerlang. Lebih tepatnya, sejarah setiap bangsa merupakan perwujudan personalitas dan kejeniusan satu atau lebih dari satu pahlawan. Misalnya, sejarah Islam merupakan perwujudan personalitas Nabi Muhammad; sejarah Prancis modern merupakan perwujudan personalitas Napoleon; dan sejarah Uni Soviet 60 tahun silam merupakan perwujudan personalitas Lenin.

Dalam pandangannya yang lain, Carlyle yang juga dikenal sebagai penganut the great man theory sering menempatkan orang besar sebagai sumber perubahan sosial. Orang besar menurutnya selalu berperilaku seperti halilintar yang membelah langit dan manusia lain hanya menunggunya seperti kayu bakar. Akhirnya, harapan besar kita tujukan kepada mereka yang terpilih sebagai People of The Year versi SINDO. (Sururi Alfaruq)

Feb 17, 2008

Asal Usul: Valentine's Day

Sejarah Kisah Kasih 14 Februari

Bunga mawar yang sering dijadikan simbol kasih sayang

Kompas, 14 Februari 2008

USAI mempersembahkan kambing dan minum anggur, para pendeta berlari berhamburan di jalan-jalan kota. Tak lupa, mereka pun menggenggam potongan-potongan kulit kambing kurban tadi. Mereka juga menyentuh siapa saja yang mereka jumpai.

Nah, biasanya, perempuan-perempuan mudalah yang sangat ingin disentuh dengan potongan-potongan kulit kambing seraya berharap beroleh karunia kesuburan berikut bisa melahirkan dengan mudah. "Demi Lupercus!" begitulah kira-kira teriakan mendamba para perempuan untuk anugerah tersebut.

Ya, Lupercus, dewa yang sosoknya digambarkan setengah telanjang berpakaian kulit kambing itu adalah nama yang acap diteriakkan penduduk Roma kuno pada perayaan Lupercalia, tiap 15 Februari, kala itu.

Lalu, di jiran Roma, Grekia yang beribu kota di Athena, kesuburan - diawali dengan cinta, tentu saja - hitung-hitungan kalender tengah Januari hingga tengah Februari adalah Bulan Gamelion. Pada bulan itulah segala persembahan diunjukkan terkait dengan pernikahan suci Dewa Zeus dengan Hera.  

Lalu apa hubungan perayaan bagi dewa-dewi itu dengan hari kasih sayang yang kini diperingati tanggal 14 Februari?

Masih di Roma, cerita tentang cinta dan kasih sayang memang beragam. Namun nama yang paling sering disebut dan dihubungkan dengan perayaan Valentine adalah "Valentinus" yang sejatinya sukar dicari keterhubungannya. Soalnya, nama itu menunjuk pada nama seorang pastor di Roma, nama seorang uskup, dan nama seorang martir di provinsi Romawi Afrika.

Tapi bahwa 14 Februari kemudian ditetapkan sebagai Hari Raya Santo Valentinus, kabarnya, merupakan langkah yang diambil Paus Gelasius I pada 496 sesudah Masehi untuk sedikit banyak mengungguli perayaan Lupercalia, sehari sesudahnya.

Selanjutnya, pada abad pertengahan, khususnya, di Inggris dan Prancis, 14 Februari adalah hari yang dipercaya sebagai hari tatkala burung mencari pasangannya untuk kawin.

Sementara, saat ini, Hari Valentine atawa Hari Kasih Sayang yang jatuh pada 14 Februari juga, lebih menonjol tampil dalam perwujudan cinta kasih sepasang lelaki perempuan yang tengah kasmaran bersimbol mulai dari kartu ucapan hingga bunga mawar serta penganan cokelat. Walau, sesungguhnya, cinta kasih tak cuma berhenti pada terminal mabuk asmara.

Maka dari itulah, memaknai Hari Valentine menjadi pilihan amat pribadi bagi khalayak masa kini. Boleh bertukar sapa maupun benda hingga saling menabur salam doa. Bukan untuk dijadikan silang-selisih karena sejatinya, cinta kasih adalah anugerah dari Yang Mahatinggi. (Josephus Primus)

Sumber: http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.02.14.17295549&channel=1&mn=35&idx=68

Feb 15, 2008

Sovereign Wealth Fund (SWF) dalam Ekonomi Global 2007-2008

THE GLOBAL NEXUS

Krismon Global di Tahun Tikus Bumi

Christianto Wibisono

INDONESIA memasuki Tahun Tikus Bumi 7 Februari 2008 dengan krisis moneter (krismon) global dan krisis sembako nasional plus krisis banjir rutin, Jumat 1 Februari. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpaksa pindah mobil yang mogok terjebak banjir di depan Sarinah, jalan raya yang menjadi simbol kekuatan ekonomi bisnis Indonesia, Thamrin - Sudirman.

Dalam 10 hari the Fed (bank sentral AS) dua kali menurunkan suku bunga untuk menenangkan situasi. Presiden Yudhoyono mengumpulkan konglomerat, Rabu 30 Januari 2008, BUMN, Kamis 31 Januari 2008, dan sidang kabinet Jumat (1/2) siang. Kabinet memutuskan stimulans Rp 13,7 triliun berupa penurunan PPn Rp 10,1 triliun dan subsidi pangan Rp 3,6 triliun.

Di AS, Presiden Bush mengucurkan stimulan US$ 150 miliar. Tapi, pada Senin 28 Januari 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka kasus aliran dana BI ke DPR yang beritanya terkubur di tengah Soehartomania, wafatnya mantan presiden itu pada Minggu. Padahal Gubernur BI harus menghadiri sidang Bank for International Settlements di Manila. Tapi, menurut alibi seorang pejabat, dulu juga Gubernur Syahril Sabirin sewaktu jadi tersangka tidak mundur dan tidak ada pengaruhnya bagi kredibilitas BI di mata dunia. Cuek dengan opini publik dunia, itulah arogansi elite RI.

Krisis sektor perumahan AS yang merugikan lembaga keuangan puncak AS, seperti, Citibank, JP Morgan Chase dan Merrill Lynch juga merembet ke bank global di luar AS. Barclays Capital, Northern Rock dan HSBC dari Inggris, Deutsche Bank, BNP Paribas, Credit Llyonais dan Societe Generale Prancis, serta UBS Swiss dan Unicredit Italia. HSBC terkena kredit macet US$ 9 miliar dan DBS (Singapura) harus menghapuskan kerugian dan memberhentikan CEO-nya. Tapi, Temasek dan GSIC masih tetap punya kemampuan untuk menjadi penyelamat dan penyedia dana untuk ikut mengamankan Citibank, Merrill Lynch, dan UBS. Bersama Abu Dhabi Investment Authority dan Kuwait Fund, kekuatan yang dijuluki SWF (Sovereign Wealth Fund atau BUMN pengelola surplus keuangan negara) ini menjadi topik kampanye para capres yang menjadi sok nasionalistis. Hillary mengingatkan bahwa SWF yang mengambil alih sebagian saham bank-bank raksasa AS bisa membahayakan kepentingan nasional AS. Bahasa capres Hillary ini mirip bahasa politisi dunia ketiga yang antikapitalis.

Ironi dari krismon 2008 ialah seolah karma dari krismon 1998. Ketika krismon melanda Asia Timur, Jepang bisa turun tangan menyelamatkannya dengan membentuk dana dari Asia Timur tanpa AS dan Eropa. Tapi, dihalangi oleh IMF yang tetap ingin menguasai sistem moneter global secara manunggal. Sekarang justru kapitalisme Wall Street yang babak belur akibat kerugian spekulasi sub-prime, memerlukan injeksi dana segar dari SWF dunia ketiga. Kalau tidak ada SWF yang menalangi dana maka bank-bank papan atas AS bisa gulung tikar.

Diselamatkan Dunia Ketiga

Sejak Agustus 2007, hampir US$ 100 miliar dana milik SWF dunia ketiga mengalir menyelamatkan perbankan AS dari kebangkrutan. Total aset dari seluruh SWF antara US$ 2-3 triliun atau lebih besar dari hedge funds dan dua kali lipat dana swasta G8. Proyeksi sebelum krisis minggu lalu aset SWF akan berkisar US$ 7-10 triliun pada 2012 atau mendekati GDP AS yang sekarang US$ 13 triliun. Sedang PDB seluruh dunia pada 2006 diperkirakan US$ 46,66 triliun.

IMF telah mendekati Abu Dhabi, Singapura, dan Norwegia untuk merumuskan kebijakan global tentang SWF. Abu Dhabi memimpin ranking SWF dengan aset hampir US$ 1 triliun di bawah bendera Abu Dhabi Investment Auhority. Singapura dengan dua sayap GSIC dan Temasek, di tempat kedua dengan US$ 490 miliar. Norwegia di nomor 3 dengan aset US$ 330 miliar. Arab Saudi menyusul akan membentuk SWF resmi sedang Kuwait sudah sejak krisis energi 1973 menginvestasikan dananya ke perusahaan global, seperti, Mercedes Benz. Di samping negara penghasil minyak Arab seperti Kuwait, Libya, Aljazair, dan Qatar, maka Tiongkok (RRT) dan Rusia juga memiliki SWF yang berkembang pesat. RRT karena surplus neraca perdagangan dan Rusia karena rezeki migas. SWF RRT memegang 30 persen obligasi AS. Keterkaitan dana global diproklamirkan sebagai NyLonKong, New York, London dan Hong Kong secara interaktif mempengaruhi ekonomi dunia.

Di tengah gejolak makro ada juga mega kriminal, petualangan seorang pialang valas dari Societe General berumur 31 tahun, Jerome Kerviel, yang mengulangi kecerobohan Nick Leeson yang pada 1995 membangkrutkan Baring karena rugi US$ 1,4 miliar. Waktu itu, Leeson baru berumur 27 tahun. Setelah dipenjara 3,5 tahun Leeson menjadi CEO klub sepakbola dan hanya ingin memberikan komentar atau wawancara bila dibayar mahal oleh media dalam skandal US $ 7,2 miliar Societe General.

Skandal seperti ini tentu saja semakin memerosotkan kredibilitas Barat yang sering mengecam Timur sebagai korup, tidak transparan, dan tidak accountable. Krismon di AS juga mencerminkan kecerobohan sistem pengawasan dan pencegahan dini, yang ternyata tidak berfungsi, sehingga hampir seluruh bank papan atas dunia terimbas dan terjebak spekulasi kredit perumahan. Sebenarnya, masyarakat AS sudah telanjur menerapkan gaya hidup besar pasak daripada tiang dengan ekspansi kartu kredit yang mengakibatkan tabungan minus. Sebagian besar rumah tangga AS berutang dari kartu kredit. Porsi terbesar memang dari kredit perumahan, tapi kredit konsumsi lain, tertinggi sedunia.

Dalam kondisi seperti itu sebetulnya pemilik dana surplus yang sekarang didominasi oleh SWF dunia ketiga bisa dirangsang untuk berinvestasi di ASEAN termasuk Indonesia. Banyak yang bingung, pesimis, dan panik, bahwa dalam perlombaan ekonomi ASEAN akan ditinggalkan oleh Tiongkok dan India. Dua negara itu memang unik, terutama Tiongkok yang diminati dan dibanjiri investor dan kemudian bisa menghasilkan surplus devisa raksasa yang digulirkan dan diputar kembali di AS untuk membeli obligasi. Kenapa tidak diinvestasikan di ASEAN dengan return yang lebih tinggi. Masalah pokok terutama untuk Indonesia adalah ketidakpastian hukum yang tercermin dari kegamangan pemerintah dan yudikatif yang terjebak pada internal politicking dan bukan menjamin supremasi hukum.

Krismon jilid 2 pada 2008 ini jauh lebih serius dari krismon Asia Timur 1998. Sebab sumber krisis justru raksasa AS yang dulu melalui IMF menjadi penyelamat, tapi sekarang malah harus diselamatkan oleh SWF dunia ketiga dari RRT, Abu Dhabi, Kuwait, Arab Saudi, dan Singapura. Jika Indonesia masih terus melakukan internal politicking dalam kebijakan yang tidak tepat sasaran, krismon 2008 ini bisa mengulangi krismon 1998 dengan segala dampaknya.

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional.


Sumber: SP, 4/2/08

Feb 5, 2008

Jakarta: A Sinking GIANT?

-----------

While almost all major capitals in the region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately "pro-market": profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.

-----------

What do you say, guys?


Jakarta, Indonesia -- A  Sinking Giant?
The Jakarta Post -- by Andre Vltchek

In Graham Greene's Our Man in Havana, the British secret service demotes an agent by reassigning her to the dreaded posting of Jakarta. It is no surprise: For much of the last century, Jakarta was saddled with a reputation as a poverty-ridden hellhole. Andre Vltchek believes nothing has changed.

TODAY, high-rises dot the skyline, hundreds of thousands of vehicles belch fumes on congested arteries and super-malls have become cultural centers of gravity in this fourth largest city in the world. In between these colossal super-structures, humble kampongs house the majority of the city dwellers who often have no access to basic sanitation, running water or waste management.

While almost all major capitals in the region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately "pro-market": profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.

Most Jakartans have never left Indonesia, so they cannot compare their capital with Kuala Lumpur or Singapore, with Hanoi or Bangkok. Comparative statistics and reports hardly make it into the local media. Despite the fact that the Indonesian capital is for many foreign visitors still a hell on earth, the media describes Jakarta as "modern", "cosmopolitan", a "sprawling metropolis".

Newcomers are often puzzled by Jakarta's lack of "public" amenities. Bangkok, not exactly known as a "user-friendly city", still has several beautiful parks.

Even cash-strapped Port Moresby boasts wide promenades, playgrounds, long stretches of beach and sea walks.

Singapore and Kuala Lumpur compete with each other in building wide sidewalks, green areas as well as cultural establishments. Manila, another city without a glowing reputation for its public amenities, succeeded in constructing an impressive sea promenade dotted with countless cafes and entertainment venues while preserving its World Heritage Site of Intramuros.

Hanoi repaved its wide sidewalks and turned a park around Huan-Kiem Lake into an open-air sculpture museum.

But in Jakarta, there is a fee for everything. Many green spaces have been converted to golf courses for the exclusive use of the rich. The approximately one square kilometer of Monas seems to be the only real public area in a city of more than 10 million. Despite being a maritime city, Jakarta has been separated from the sea, with the only focal point being Ancol, with a tiny, mostly decrepit walkway along the dirty beach dotted with private businesses.

Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spend Rp 40,000 in entrance fees, something unthinkable anywhere else in the world. The few tiny public parks which survived privatization are in desperate condition and mostly unsafe to use.

There are no sidewalks in the entire city, if one applies international standards to the word "sidewalk". Almost anywhere in the world (with the striking exception of some cities in the U.S. like Houston and Los Angeles) the cities themselves belong to pedestrians. Cars are increasingly discouraged from the centers. Wide sidewalks are understood to be the most ecological, healthy and efficient forms of short-distance "public transportation" in areas with high concentrations of people.

In Jakarta, there are hardly any benches for people to sit and relax, no free drinking water fountains or public toilets. It is these small but important "details" that are symbols of urban life anywhere else in the world.

Most world cities, including those in the region, want to be visited and remembered for their culture. Singapore is managing to change its "shop-till-you-drop" image to that of the center of Southeast Asian arts. Monumental Esplanade Theatre reshaped the skyline, offering first-rate international concerts of classical music, opera, ballet, but also performances of the leading artists from Southeast Asia. Many performances are subsidized and are either free or cheap relative to the high incomes in the city-state.

Kuala Lumpur spent US$100 million on its philharmonic concert hall located right under the Petronas Towers, the tallest buildings in the world. This impressive and prestigious concert hall hosts local orchestra companies as well top international performers.

The city is presently spending further millions to refurbish its museums and galleries, from the National Museum to National Art Gallery.

Hanoi is proud of its culture and arts, which are promoted as its major attraction: Millions of visitors flock into the city to visit countless galleries, stocked with canvases which can be easily described as some of the best in Southeast Asia. Its beautifully restored Opera House regularly offers Western and Asian music treats. Bangkok's monumental temples and palaces coexist with extremely cosmopolitan fare: International theater and film festivals, countless performances, jazz clubs with local and foreign artists on the bill, as well as authentic culinary delights from all corners of the world. When it comes to music, live performances and nightlife, there is no city in Southeast Asia as vibrant as Manila.

Now back to Jakarta. Those who have ever visited the city's "public libraries" or National Archives building will know the difference. No wonder: in Indonesia education, culture and arts are not considered to be "profitable" (with the exception of pop music), and are therefore made absolutely irrelevant. The country has the third lowest spending in the world on education (according to The Economist, only1.2 percent of its GDP) after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situation is now rapidly improving with the new progressive government).

Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely no important international exhibitions. They look like they fell on the city from a different era and no wonder -- the Dutch built almost all of them. Not only are their collections poorly kept, but they lack elements of modernity: There are no elegant cafes, museum shops, bookstores and even public archives. It appears those running them are without vision and creativity; even if they did have inspired ideas, there would be no funding to carry them out.    

It seems that Jakarta has no city planners, only private developers, with no respect for the majority of its inhabitants who are poor (the great majority, no matter what the understated and manipulated government statistics say). The city abandoned itself to the private sector, which now controls almost everything, from residential housing to what were once public areas.

While Singapore decades ago and Kuala Lumpur recently managed to fully eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from their urban areas, Jakarta is unable or unwilling to offer its citizens subsidized, affordable housing equipped with running water, electricity, a sewage system, wastewater treatment facilities, playgrounds, parks, sidewalks and a mass public transportation system.

Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitants counts on one metro line (Putra Line), one monorail, several efficient Star LRT lines, suburban train links and high-speed rail system connecting the city with its new capital Putrajaya. The "Rapid" system counts on hundreds of modern, clean and air-conditioned buses. Transit is subsidized; a bus ticket on "Rapid" costs only 2 RM (about Rp 5,000) for unlimited day use on the same line. Heavily discounted daily and monthly passes are also available.

Bangkok contracted German firm Siemens to build two long "Sky Train" lines and one metro line. It is also utilizing its river and channels as both public transportation and as a tourist attraction. Despite this enormous progress, the Bangkok city administration claims that it is building additional 80 kilometers of tracks for these systems in order to convince citizens to leave their cars at home and use public transportation.

Polluting pre-historic buses are being banned from Hanoi, Singapore, Kuala Lumpur and gradually from Bangkok. Jakarta, thanks to corruption and phlegmatic officials, is in its own league even in this field.

Mercer Human Resource Consulting, in its reports covering quality of life, places Jakarta repeatedly on the level of African and poor South Asian cities; below Nairobi and Medellin.

Considering that it is in the league of some of the poorest capitals of the world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer Human Resource Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th most expensive city in the world for expatriate employees, well above Berlin (72nd), Melbourne (74th) and Washington D.C. (83rd). And if it is expensive for expatriates, how is it for local people with GDP per capita below US$1,000?

Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appalling air quality just as they have gotten used to the sight of children begging, even selling themselves at the major intersections, to entire communities living under elevated highways and in slums on the shores of canals turned into toxic waste dumps, the hours-long commutes, floods and rats.

But if there is to be any hope, the truth has to be eventually told, the sooner the better. Only correct and brutal diagnosis can lead to treatment and cure. Painful as the truth can be, it is always better than self-deceptions and lies.

Jakarta has fallen decades behind capitals in the neighboring countries: in esthetics, housing, urban planning, standard of living, quality of life, health, education, culture, transportation, food quality and hygiene.  It has to swallow its pride and learn: from Kuala Lumpur and Singapore, from Brisbane and even in some instances from its poor neighbors like Port Moresby, Manila and Hanoi.

Comparative statistics have to be transparent and widely available. Citizens have to learn how to ask questions again, and how to demand answers and accountability. Only if they understand to what depths their city has sunk can there be any hope of change.

"We have to watch out," said a concerned Malaysian filmmaker during New Year's Eve celebrations in Kuala Lumpur. "Malaysia suddenly has too many problems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30 years like Jakarta!"

Could this statement be reversed? Can Jakarta find the strength and solidarity to mobilize and in time catch up with Kuala Lumpur? Can decency overcome greed? Can corruption be eradicated and replaced by creativity? Can private villas shrink in size and green spaces, public housing, playgrounds, libraries, schools and hospitals expand?

An outsider like me can observe, tell the story and ask questions. Only the people of Jakarta can offer the answers and solutions.


Andre Vltchek is an American novelist, filmmaker and journalist, co-founder of Mainstay Press (www.mainstaypress.org) and editorial director of Asiana Press Agency (www.asiana-press-agency.com). He can be reached at: andre-wcn@usa.net.

Jan 9, 2008

Nyai Dasima: Sang Peretas Jalan Menuju Sastra Modern Indonesia

Kesusastraan Indonesia sebetulnya amat kaya terlebih apabila kita menggali pusaka warisan bangsa yg tak pudar dilekang zaman, bahkan sudah "mendunia" dengan keberadaan terjemahan bahasa asingnya. /  EJ

Fenomena Dasima
Oleh IBNU WAHYUDI

DENGAN dibincangkannya Nyai Dasima karya S.M. Ardan (Masup Jakarta, Februari 2007) di TIM, Jakarta, 23 Februari lalu, kian jelaslah posisi penting cerita tragis Dasima dalam lintasan sejarah sastra Indonesia modern.

Memang, masih banyak yang enggan memasukkan Nyai Dasima menjadi bagian integral sastra Indonesia modern, namun realitas kesastraan ternyata jelas menunjukkan gambaran berbeda.

Lebih-lebih kalau kita sempat menonton tayangan "Nyai Dasima" lewat Trans TV, 2 Maret, tak ada lain yang barangkali akan kita bilang, kenapa tragedi yang konon betul terjadi pada awal abad ke-19 ini bisa begitu tenarnya? Apa istimewanya?

Novel Nyai Dasima ini bukan versi terbaru dari perjalanan dramatis seorang nyai bernama Dasima itu. Kendati begitu, diterbitkannya kembali Nyai Dasima versi S.M. Ardan, yang dilengkapi karya G. Francis, menegaskan lagi perihal kesohoran sebuah fiksi yang terbit pertama kali tahun 1896 itu. 

Perjalanan Nyai Dasima 

Seperti disebutkan, Nyai Dasima ini muncul atau dipublikasi pada tahun 1896 dan setakat ini dapat disebut sebagai prosa pertama dalam entitas sastra Indonesia modern. Dinyata-kan demikian lantaran sebelumnya tidak dapat dijumpai adanya prosa de-ngan bahasa Melayu serta diekspresikan lewat cetakan berhuruf latin. Memang, kalau untuk puisi, telah jauh mendahului penerbitan prosa. Setidak-tidaknya, kumpulan puisi Indonesia modern pertama telah terbit pada tahun 1857. Munculnya ragam puisi mendahului prosa ini secara genealogis maupun nalar-sastra, tidak mengherankan mengingat dalam ranah lisan, pola syair atau pantun juga jauh lebih dikenal dan dikuasai masyarakat Indonesia ketika itu dibandingkan dengan hikayat atau prosa pada umumnya.

Dalam cetak ulang Nyai Dasima ini dinyatakan bahwa pengarangnya adalah G. Francis dan penerbitnya adalah Kho Tjeng Bie & Co. Namun buku berjudul lengkap Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban daripada Pemboedjoek, nama G. Francis tertera hanya sebagai "jang mengeloewarken". Sementara, nama penerbit Kho Tjeng Bie & Co. tidak ada. Tidak mengherankan jika W.V. Sykorsky dalam tulisannya berjudul "Some Additional Remarks on Antecedents of Modern Indonesian Literature" (BKI, 1980) me-ragukan sosok G. Francis sebagai penulis Nyai Dasima. Kendati demikian, tetap banyak yang meyakini bahwa G. Francis adalah pengarang yang mungkin sekaligus penerbit, sebab akhir abad ke-19 itu sudah dikenal luas adanya toko buku G. Francis, berlokasi di "Molenvliet (Kebon Djeroek) 10/63, Batavia".

Setahun setelah terbitnya Tjerita Njai Dasima, prosa ini mengalami transformasi menjadi syair yang ditulis O.S. Tjiang. Pengarang ini mengaku bahwa Nyai Dasima yang terbit tahun 1896 itu adalah babon syairnya. Beberapa tahun kemudian, Nyai Dasima yang berupa syair ini ditulis ulang oleh Akhmad Beramka yang menurut dugaan telah menyalinnya antara tahun 1906-1909. Demikian pula dengan Lie Kim Hok, telah menerbitkan syair ini yang selengkapnya berbunyi Sjair Tjerita di Tempo Tahon 1813, Soeda Kadjadian di Betawi, Terpoengoet dari Boekoenja Njai Dasima, sampai mengalami cetakan keenam (1922). Bahkan orang yang hanya memahami bahasa Belanda pun dapat menikmati kisah ini lewat karya A. Th. Manusama dengan judul Nyai Dasima: Het Slachtoffer vanbedrog en misleiding, een historische zeden roman van Batavia (1926).

Transformasi yang terjadi bukan sebatas dalam genre yang sama, melainkan sungguh-sungguh beralih "bahasa", seperti menjadi film, sinetron, atau sandiwara. Dalam bentuk gambar hidup, tercatat pertama kali dibuat tahun 1929 dengan judul "Njai Dasima". Film ini diproduksi oleh Tan's Film dengan sutradara Lie Tek Swie. Oleh produser dan sutradara yang sama, dibuat pula "Njai Dasima" (II) tahun 1930, dan diakhiri dengan "Pembalesan Nancy" (Nancy Bikin Pembalesan) atau "Njai Dasima III" pada tahun yang sama. Ketiga film ini selain masih hitam-putih juga belum bersuara. Baru pada tahun 1932, masih oleh produser sama tapi dengan sutradara berbeda (Bachtiar Effendy), dibuatlah film "Njai Dasima" yang telah memasukkan teknologi suara. Sementara itu, kendati kisahnya agak berbeda, pada tahun 1940 telah diproduksi sebuah film berjudul "Dasima" oleh Java Industrial Film dengan sutradara Tan Tjoei Hock. Akhirnya, untuk produksi layar lebar, tercatat pula sebuah film yang cukup berani pada masanya, berjudul "Samiun dan Dasima" yang dibuat oleh Chitra Dewi Film Production tahun 1970 dengan sutradara Hasmanan.

Kisah Dasima ini memang telah dibuat dalam format sinetron. Selain itu, tahun 1996, tragedi Dasima ini pernah dibuat berseri dan ditayangkan RCTI dengan arahan Ali Shahab. Untuk dunia panggung, cerita wanita cantik dari Curug, yang dipiara Edward W. ini tergolong populer. Setidak-tidaknya tahun 1960-an, perkumpulan "Kuncup Harapan" yang dimotori S.M. Ardan telah pentas keliling dengan kisah ini. Tentu, pementasan lain sangat mungkin telah berlangsung di mana-mana baik yang tradisional maupun modern. Untuk yang tradisional, misalnya pementasan oleh Komedie Stambul seperti diungkapkan oleh Kenji Tsuchiya dalam "On Cerita Nyai Dasima" (Sejarah, No. 7).

Demikian pula dengan Opera Miss Riboet, di masa penjajahan konon sudah mementaskan "Nyai Dasima" sebanyak 127 kali, selain tradisi sahibul hikayat dengan tukang cerita yang sering menampilkan kisah melodramatis ini. Sementara yang berpentas belakangan adalah EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) yang mengangkat judul "Madame Dasima" dalam bentuk drama musikal tahun 2001, meski sesungguhnya drama ini tidak langsung diangkat dari karya G. Francis, S.M. Ardan, atau Rachmat Ali.

Rachmat Ali? Ya, tahun 2000, gubahan Rachmat Ali dalam bentuk novel yang juga berjudul Nyai Dasima, diterbitkan Grasindo. Sedangkan S.M. Ardan sendiri telah menerbitkan karya ini dengan nada yang berbeda dari karya G. Francis, pada tahun 1965 (Penerbit Triwarsa) lalu di-cetak ulang tahun 1971 oleh Pustaka Jaya.

Kalau sejak akhir tahun 1920-an pembaca Belanda telah dapat mengonsumsi kisah ini, pembaca berbahasa Inggris dapat mengapresiasinya melalui terjemahan Harry Aveling, yang terbit tahun 1988. Perjalanan hidup Dasima pun ada yang digubah dalam lagu keroncong yang sering hanya merupakan bagian dari suatu pertunjukan. Kepopuleran Nyai Dasima, secara tersurat termaktub pula dalam beberapa karya fiksi, misalnya menjadi karya yang dibaca oleh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pram atau sebagai drama yang disinggung dalam karya Du Perron. 

Sastra populer

Jelas Nyai Dasima masih luas dikenal dan kerap mewujud menjadi semacam mitos atau legenda, beredar di khalayak dengan bermacam bumbu. Namun, apa sesungguhnya daya tarik Nyai Dasima sehingga ia mampu melintasi waktu dan bermetamorfosis dalam wujud narasi yang berbagai ini? Jawabannya, agaknya tidak lain karena karya ini merepresentasi formula sastra populer yang salah satu tekanannya adalah mengharu-biru emosi pembaca lewat sensitivitas latar multietnis dan bahkan bersentuhan dengan religiusitas yang dikemas dengan bungkus kesetiaan dan perselingkuhan. Pola ini, dalam zaman yang bagaimanapun, rasanya akan selalu menawan.

Ditilik dari aspek penceritaan, Nyai Dasima tidak ada "istimewa"-nya. Terlebih jika didekati dan dikomparasi dengan karya-karya yang terbit setelahnya, yang se-ring diperkaya dengan eksperimentasi dan inovasi, lagi-lagi karya ini memang biasa saja. Tapi, nyatanya, karya ini mampu bertahan untuk sekian lama, bahkan hingga tahun 2007 ini. Tentu kenyataan ini ada musababnya. Agaknya, memang ada sejumlah aspek formal yang beroperasi mengendalikan "kelanggengan" kisah ini di samping sisi romantik yang niscaya telah menjadi stimulator narasi.

Paling kentara, walau hanya sebuah melodrama biasa, tema dalam Nyai Dasima ini niscaya cenderung awet dan berpeluang mampu menggelitik emosi. Perbedaan etnis atau ras, cinta, selingkuh, diskriminasi, pemengaruhan sikap, keirihatian, penaklukan lewat guna-guna, peracunan, penistaan, dan pembunuhan, yang terdapat sekaligus di dalamnya, adalah tema-tema menggoda. Tema-tema "inti" itu, secara implisit memosisikan dirinya sebagai cerita yang selalu menarik perhatian atau menjadi semacam rambu moral.

Adanya stereotif tokoh-tokoh yang berlebihan, bisa saja "jatuh" secara kualitatif, tapi secara atraktif, sangat mungkin mampu memenuhi ekspektasi pembaca. Sebagai karya yang muncul dalam masyarakat yang umumnya masih niraksara (akhir abad ke-19), hadirnya karakter budiman, menawan, atau kebalikannya, kelewat dengki, tega dalam menista, serta kejam, merupakan semacam keharusan yang diam-diam dituntut pembaca. Semua ini ada dalam Nyai Dasima dan pembaca seperti memperoleh tempat pelarian yang menyenangkan. Penampilan tokoh-tokoh yang hitam-putih semacam itu, jangan dikira akan dijauhi oleh pembaca; justru sebaliknya, ia dapat menjadi ruang yang berfungsi sebagai semacam katarsis, meskipun hanya kuasi.

Kelinearan alur yang sederhana tidak berarti membuat pembaca bosan, tapi malahan "memaksa" pembaca masuk ke teras persoalan secara intensif; menyebabkan pembaca masuk dalam penglibatan tak berjarak, sehingga sentimentalitas teraduk-aduk secara efektif. Kondisi semacam ini memang tidak mengarahkan pembaca kepada kekritisan, melainkan hanya pada peluapan emosional belaka.

Melihat faktor-faktor ini saja, tidak salah jika Nyai Dasima dapat diindikasi sebagai karya populer. Namun, kecenderungan "populer" pada sebuah karya tidak semestinya lantas mengarahkan kita kepada sikap "menganggap" atau "menafikan" yang bersifat sosiohistoris. Dinamika khazanah sastra, secara esensial, tidak lain (merupakan) cerminan perjalanan intelektualitas, paling kurang dari kesahajaan menuju ke kekompleksan.

Oleh karena itu, jika Nyai Dasima secara stilistik bersahaja, itu pun merupakan ekspresi jujur dalam menampilkan dirinya bersangkutan dengan lingkungan intelektual saat itu. Semua ini tentu harus dipandang dalam kaitannya dengan tradisi penulisan saat itu, kemelekhurufan atau situasi kependidikan, taraf apresiasi masyarakat semasa, sistem penerbitan atau reproduksi yang ada, maupun sistem-sistem lain yang secara alami membentuk suatu kondisi. Kelahiran Nyai Dasima, sekali lagi, berkaitan dengan situasi intelektualitas yang masih berada dalam taraf "rendah" itu dan tidak berasal dari suatu tradisi penulisan fiksi yang telah mapan.

Bagaimanapun, Nyai Dasima yang memang sebuah karya sastra populer, justru dapat dikatakan sebagai yang meretas jalan kepada hadirnya kesusastraan Indonesia modern.*** 

Penulis, peminat sastra, tinggal di Depok.

Sumber: Pikiran Rakyat, 10 Maret 2007