Dec 24, 2008

Penerjemah & Pendidik

 Kombinasi profesi yang unik, namun teramatlah mulia. -- Emil Jayaputra
 
Slamet Riyanto dan Karakter Anak Bangsa
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO 
Jumat, 12 Desember 2008 | 03:00 WIB

Oleh IRENE SARWINDANINGRUM

Belajar bahasa asing tak berarti menjadi orang asing. Prinsip inilah yang mendasari niat Slamet Riyanto menyadur dongeng di Nusantara ke dalam bahasa Inggris. Dari balik barisan perbukitan, guru Bahasa Inggris SMA Negeri 2 Wonosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, ini berusaha menjaga anak bangsa agar tak menjadi asing terhadap budaya sendiri.

Menurut warga Kepek, Wonosari, Gunung Kidul, ini, generasi muda semakin tak kenal nilai-nilai budaya bangsanya. Ini karena tak ada yang mengenalkannya kepada mereka. Maka, mengalirlah sekitar 40 karya saduran Slamet yang tercetak dalam seri buku cerita dongeng. Buku dalam bahasa Inggris ini terutama untuk para pelajar.

Bagi dia, dongeng rakyat menyimpan petuah dan kebijaksanaan dalam kesederhanaan. Bentuk seperti inilah yang perlu diteruskan dari generasi ke generasi. Kadang petuah itu menjiwai seluruh dongeng, beberapa di antaranya ia sisipkan dengan jelas.

Dalam The Legend of Dewi Sri, misalnya, Slamet menyisipkan nasihat untuk menjaga lingkungan. "Meski sederhana, nilai-nilai itu sangat mendasar untuk membentuk karakter anak, seperti menghormati orangtua, menjaga lingkungan, atau jangan serakah," ujarnya.

Keprihatinannya itu timbul ketika Slamet kesulitan menemukan bahan ajar yang bernapaskan budaya Indonesia untuk para murid. Sebagian besar cerita berbahasa Inggris merupakan kisah-kisah dari negara asing.

Jarang didongengi

Tak juga menemukan bahan ajar yang diharapkan, Slamet bertekad membuat sendiri bahan penunjang pelajaran yang dekat dengan budaya bangsa Indonesia. Walaupun pada masa kecilnya jarang didongengi orangtua, ia masih sering mendengar dongeng-dongeng itu dari kerabat atau tetangga. Sampai kini petuah-petuah dongeng itu masih mengendap di benaknya.

Slamet juga gemar membaca. Di ruang tamunya, di bawah poster besar mantan Presiden RI Soekarno dan Soeharto, terdapat rak yang sarat berbagai jenis buku, mulai buku agama, komputer, hingga novel. Dalam empat hari, ia biasanya membaca tiga buku. Slamet pun telah membaca habis semua buku berbahasa Inggris di perpustakaan sekolah tempatnya mengajar. Sebagian buku lagi dia pinjam, antara lain dari berbagai perpustakaan di Yogyakarta.

Tahun 1997 ia mulai menuliskan dongeng-dongeng Nusantara dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini dilakukannya di sela-sela tugas sebagai guru Bahasa Inggris.

Berpengalaman mengajar selama 20 tahun, Slamet tak sekadar "mengajar di depan kelas". Ia pun aktif menarik minat para murid untuk menulis dalam bahasa Inggris. Hasilnya, sejak awal 1990-an para murid SMAN 2 Wonosari sudah menghasilkan majalah sekolah berbahasa Inggris, Kontras.

Tahun 1999, ia dan murid-muridnya diundang mengikuti Konvensi Kreativitas Guru Nasional di ITB. Dalam acara yang terselenggara atas kerja sama ITB, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Globetre Foundation Swedia ini, penampilan kelompok Slamet menarik perhatian Depdiknas.

Setelah itu, tanpa terduga, dana bantuan pengembangan pendidikan lalu mengalir ke sekolah di balik bukit itu. "Seorang dirjen rupanya terkesan melihat sekolah terpencil, tapi murid-muridnya tidak kalah prestasinya dengan mereka yang bersekolah di kota," ceritanya.

Sejak itu, motivasi Slamet untuk mengajar dan menulis semakin terpacu. Berbagai karyanya mengalir, seperti kumpulan cerita pendek dalam bahasa Inggris, Do It Please (2003), The Secrets of a Smart High School Student (2005), dan panduan berbahasa Gateway for Active Communication (2007). Sampai kini ia telah menulis lebih dari 78 buku berbahasa Inggris, termasuk serial dongeng.

"Sebagian besar buku itu terutama saya maksudkan untuk penunjang pelajaran Bahasa Inggris," katanya.

Rasa lokal

Buku seri dongeng karyanya ditulis dalam pola kalimat dan struktur yang sederhana agar mudah dimengerti siswa. Khusus untuk buku dongeng, Slamet terutama menyasar pelajar SD dan SMP.

Umumnya dongeng karyanya kental dengan nuansa lokal. Dalam buku Do It Please, misalnya, Slamet berkisah tentang pengalaman lucu Deddy, seorang pelajar SMA, dalam suatu liburan sekolah. Untuk menambah rasa lokal, ia sengaja tidak menerjemahkan atribut tokoh dalam bahasa Inggris.

Pada buku The Story of Timun Emas, ia tetap menyebut orangtua Timun Emas sebagai Pak Simin dan Bu Simin, bukan Mr dan Mrs Simin, atau Prabu Rama dalam The Legend of Dewi Sri. Setiap buku itu juga dilengkapi panduan membaca dongeng dan teori singkat tentang bahasa Inggris. "Teori dan panduan ini ditambahkan oleh penerbit," kata Slamet.

Hasil dari penerbitan karyanya itu, Slamet bisa membangun rumah berlantai dua yang sempat rusak akibat gempa pada 2006. Namun, keuntungan yang baginya tak bisa dinilai dengan uang adalah kesempatan bertemu penulis buku pelajaran Bahasa Inggris yang selama ini digunakannya untuk panduan mengajar, yakni Jeremy Hamer dan Jack Richard.

Pertemuan itu berlangsung pada Konferensi Guru Bahasa Inggris se-Asia (Teacher English as a Foreign Language/TEFL), di mana ia diundang sebagai salah satu pembicara, Agustus lalu di Bali. Tema konferensi ini, "Globalizing Asia: The Role of English Language Teacher", rupanya sesuai dengan kiprahnya.

Guru sejati

Kepala Dinas Pendidikan DI Yogyakarta Suwarsih Madya menyebut Slamet sebagai guru sejati yang mau berbuat demi kemajuan pendidikan, tanpa mengharap imbalan. Tanpa fasilitas berlebih dari pemerintah, ia membuktikan kemandirian dan kemauan dengan mengolah hal-hal sederhana menjadi bahan ajar. Buku-bukunya mampu mengasah kemampuan akademis murid, juga memperkuat karakter siswa.

"Buku dongeng berbahasa Inggris yang dia tulis merupakan terobosan. Tak muluk-muluk, tapi justru mengakar pada jati diri bangsa," kata Suwarsih yang tengah membimbing Slamet untuk menyelesaikan disertasi studi pascasarjana di UNY.

Meski karyanya sudah terpajang di toko-toko buku di berbagai kota, dalam kehidupan sehari-hari Slamet relatif tetap sederhana. Hak atas karya-karya sadurannya telah dia jual kepada pihak penerbit sehingga selaris apa pun bukunya, tak menambah pendapatannya.

Walaupun begitu, tekad Slamet untuk menulis tidak padam. Ia bahkan tak ingin menghitung biaya yang harus dikeluarkan dari koceknya untuk riset dan fotokopi.

"Bagaimanapun, kepuasan batin itu tidak tergantikan dengan uang. Kalau soal penghasilan, ya biarkan Yang di Atas saja yang mengatur," katanya. ***

Sumber: Kompas, 12 Desember 2008.