Jan 29, 2013

Limbah Kebudayaan dan Sampah Peradaban

...kita hidup di dalamnya.
 

Tantangan Sebuah Bangsa

HANDINING

Oleh Radhar Panca Dahana

What is in a date? Apalah arti sebuah tanggal? Sebagai penanda berganti (mata) hari, atau peristiwa-peristiwa yang kita selebrasi secara global?

Tanggal tetap sebuah hal yang abstrak dan kosong. Hal yang sepanjang sejarah kebudayaan mati-matian mau dimaterialisasi. Pikiran yang memiliki anggapan demikian. Seolah waktu bisa kita tundukkan, lalu kita kerat dalam potongan atau satuan tertentu.

Waktu (mungkin) adalah entitas yang berlangsung melalui diri sendiri. Manusia tak bisa menjangkau, mengendalikan, apalagi membagi-baginya dalam kalender atau buku agenda. Yang terjadi sebaliknya, manusia teperdaya dan dikendalikan waktu.

Karena itu, makna 31 Desember atau 1 Januari tidak berbeda dengan 3 Agustus atau 16 Juli. Tahun Baru pun sudah tidak punya konteks dengan kita, terlebih mengingat ini perayaan yang ditiru dari agama pagan. Ia mendapat arti "baru" semata untuk menghargai Julius Caesar—penggubah kalender Masehi—yang dipadankan dengan Dewa Janus, asal kata Januari.

Ia pun sesungguhnya tidak berhubungan dengan agama, bahkan Kristen. Betapa pun Paus Gregorius pernah menetapkannya sebagai kalender liturgi, dan zaman pertengahan mengaitkannya dengan kelahiran Yesus pada 25 Desember, Tahun Baru tetap tinggal sebagai hari "biasa". Tahun Baru tinggal semata sebagai produk industri, di mana masyarakat global merayakan dengan membelanjakan uang. Inilah puncak kekalahan kesadaran manusia atas logika terhadap nafsu industri yang gigantik.

Limbah kebudayaan

Tahun Baru sesungguhnya berpeluang besar ketika masyarakat dunia dapat digerakkan untuk menyadari realitas kekinian (kontemporer)-nya. Dunia kini berada dalam momen kontemplatif itu karena realitas kontemporer sudah memberi desakan kedaruratan yang memberi ancaman tidak ringan bagi keberlangsungan peradaban, bahkan kemanusiaan itu sendiri.

Kita harus membuat seruan bahwa momen global yang tidak tertandingi ini (kecuali oleh olimpiade dan piala dunia sepak bola) harus kita daya gunakan untuk penciptaan dunia mental, intelektual, dan spiritual baru. Setidaknya agar kita tidak menjadi pandir dan nir-adab karena hanya meladeni nafsu hedonis. Kesenangan bukan sebuah dosa, tapi kontemplasi akan memberi kita makna, termasuk untuk apa kesenangan itu ada.

Selama ini sesungguhnya kita melihat berbagai masalah dalam kehidupan global ini. Remaja yang membunuh ibu kandungnya sendiri, ayah yang menggauli putri kandung hingga hamil, penembakan yang menewaskan ratusan anak sekolah di Amerika Serikat, hingga pemerkosaan atas mahasiswi kedokteran sampai meninggal di India. Semua ini menjadi alarm kuat bahwa peradaban sedang berjalan ke arah yang menghancurkan.

Manmohan Singh, Perdana Menteri India, menegaskan perlunya perubahan sosial (juga mental) di dalam masyarakat India. Begitu pun PM Perancis Dominique de Villepin menyerukan perlunya mengubah cara berpikir orang Perancis, bahkan memperhitungkan kembali prinsip-prinsip dasar Revolusi Prancis akibat kerusuhan hebat di Banlieus.

Pemimpin-pemimpin (negara) besar dunia kian menyadari, di samping desakan-desakan hidup yang membuat mereka menjadi sangat pragmatis, ada persoalan-persoalan idealistis yang jika tidak segera diantisipasi akan membuat semua perhitungan pragmatis sia-sia. Betapa pun dunia mencoba menghindari, tetap bisa terjadi munculnya pemimpin yang megalomania, bahkan maniak, dan memulai sebuah perang global.

Sebuah kegilaan yang berdampak dalam hitungan detik, dalam kurs, harga minyak, distribusi barang, dan berbagai nilai atau kegiatan vital lainnya.

Tanpa fakta itu pun kita semua menyadari, cadangan energi yang menipis tidak akan mengurangi nafsu untuk terus mengeksploitasi. Namun, kebutuhan energi-tak-terbarukan yang meningkat membuat banyak negara krisis. Pada masa itu, kita mungkin akan bertempur—dengan parang atau pistol—demi sekaleng bensin atau air bersih.

Sebuah laporan yang dilansir Newsweek menjelang kematian edisi cetaknya memperlihatkan kepada kita, bagaimana kenaikan suhu dunia 1ยบ Fahrenheit saja membuat kemerosotan produksi bahan pangan utama dunia (jagung, gandum, dan beras) hingga 20 persen. Kejadian kecil pada cuaca membuat pedagang tempe kita blingsatan beberapa waktu lalu.

Baiklah kita sadari dan renungi bersama, hidup bukan melulu soal terompet tahun baru, Shahrukh Khan, James Bond, Sinchan, atau Gangnam Style. Bukan hanya ritus membanjiri outlet atau mal-mal untuk menyerbu diskon merek ternama. Dunia global juga adalah limbah kebudayaan dan sampah peradaban, yang menumpuk-menggunung tanpa kita siap menghadapi itu semua.

Jawaban kebudayaan

Maka celakalah sebuah bangsa, sebuah negara, jika para pemimpin atau calon pemimpinnya tidak memiliki kesadaran, visi, bahkan imajinasi yang cukup lapang mengenai tantangan-tantangan kritis di atas. Kebesaran sebuah bangsa diukur dari seberapa adekuat bangsa itu—dihela para pemimpinnya—merespons semua persoalan yang kini berdimensi global itu.

Perlukah penyelesaian bersifat universal untuk kemudian diterapkan di tingkat lokal? Atau kita mengakselerasi dunia lokal untuk memberikan jawaban ke dunia global? Bagaimana visi sebuah negara-bangsa, apa strategi kebudayaan yang harus mereka susun dan tetapkan?

Akan jadi bencana bila sebuah bangsa atau negara justru diisi oleh para pemimpin dan kandidat yang melulu sibuk, mengeluarkan miliaran bahkan triliunan rupiah, hanya untuk mempersolek dan memoles gincu urat malunya. Akan menjadi kenistaan sejarah (historic embarrassment) jika kita, satu bangsa, membiarkan pemimpin dan calon pemimpin dengan hasrat kekuasaan di bibir, membiarkan anak dan cucu kita menghadapi tantangan berat di zamannya, tidak dengan bekal yang kita cukupkan, tapi justru dengan sisa sumber daya yang keropos.

Tidak perlu gosip murahan atau speculative analysis dari para peneliti atau pakar bodong asing yang menyatakan ada peradaban besar atau kejayaan kebudayaan di negeri ini pada masa lalu. Indonesia, tetap perlu menyadari, sebagai sebuah negeri—sebelum menjadi negara atau bangsa—tetap sebuah peradaban yang tidak bisa diremehkan. Ratusan tradisi hebat masih bertahan dan menjadi bukti di dalamnya.

Karena itu, di sini, Nusantara yang bahari ini, adalah naif jika kita merasa tak mampu menemukan jawaban atas semua persoalan di atas. Jutaan rakyat dan ratusan tradisi sesungguhnya telah menjawab lewat cara mereka melakoni hidup, survive, dan tetap tumbuh. Kenaifan, mungkin kebebalan juga, justru terasa di kalangan elite atau para penentu kebijakan publik, yang tidak mampu menemukan jawaban kebudayaan.

Krisis terjadi atau kian parah justru dari kalangan yang paling menikmati surplus dari negerinya sendiri. Ia melahirkan sebuah mekanisme yang sistemik, yang menggaransi comfort zone dari hedonisme bermuka baru itu. Politik seperti itu bukan politik yang ideal-reflektif, tapi cenderung banal-destruktif. Memang, terlalu bodoh dan hina jika persoalan sebesar ini diserahkan hanya kepada politisi.

Radhar Panca Dahana Budayawan

...

Jan 25, 2013

Hadir secara psikologis

Ayah, Antara Ada dan Tiada
Kompas, 27 Juni 2012  
 
Penyiar Anton Budinugroho mengganti popok anaknya di studio siaran Radio A Jakarta di Jalan Dr Saharjo, Tebet, Jakarta, Rabu (20/6/2012).

KOMPAS.com - Anton Budinugroho (34) adalah ayah muda yang penuh perhatian. Sambil "nongkrong" di mal, dia mengasuh anaknya yang lincah.

Ya, Anton punya kesadaran penuh ambil bagian dalam mengurus anaknya sampai urusan ganti popok. Mantan anggota kelompok musik Tofu itu mengatakan, dia dan istrinya, Aprina Sulisyani (26), berkomitmen mengurus dan mengasuh anaknya yang masih balita, Aryoda Adinugroho (2), bersama- sama.

"Kami tak mengotak-ngotakkan ini tugas lu, ini tugas gue. Pokoknya siapa yang sempat silakan urus anak mulai mengganti popok, bikin makanan, sampai mengajak main," ujar Anton yang sehari-hari bekerja sebagai penyiar radio.

Siang itu, Rabu (13/6/2012), Anton punya waktu luang untuk mengurus anak. Sementara itu, istrinya yang berprofesi sebagai koordinator model sedang ada pekerjaan. Karena siang itu punya janji di mal, Anton membawa serta Ayodya. Tanpa kelihatan canggung sama sekali, Anton mengurus semua keperluan anaknya sambil nongkrong di sebuah kedai bersama teman- temannya.

"Kadang saya membawa Ayodya ke studio. Saya siaran, Ayodya diajak main teman-teman saya. Kalau kami berdua sibuk, Ayodya kami titip ke neneknya," ujar Anton yang piawai mengganti popok dan meracik makanan untuk anaknya.

Hendro Utomo (44) juga mengambil peran dalam pengurusan dan pengasuhan anaknya, Oka Mahesa Utomo (5). Hendro ikut mengurus Oka, mulai dari memandikan, memberi makan, hingga mengajaknya bermain. Selasa (12/6/2012) menjelang senja, Hendro menyempatkan diri bermain ayunan di halaman rumahnya yang luas.

Hampir sepanjang hari itu, Hendro bersama Oka. Dia mengambilkan rapor Oka yang masih duduk di taman kanak-kanak. Lalu, Hendro membawa Oka bertemu seorang mitra kerjanya. "Saya mengatur waktu dengan istri untuk mengasuh Oka. Kalau sama- sama sibuk, Oka bisa kami ajak ke kantor," ujar Hendro, yang mengelola perusahaan konsultan PR dan marketing bersama istrinya, Wida Septarina (40).

Awalnya, Hendro tak berpikir akan terlibat dalam pengasuhan anak. Pasalnya, Hendro tidak nyaman berada di dekat anak kecil. "Hobi saya sangat laki-laki, yakni memelihara anjing pitbull dan aktif di SAR. Bayangkan kalau sedang enak-enak ngumpul dengan teman-teman komunitas, tiba-tiba saya harus mengurus popok anak. Enggak macho banget," katanya.

Namun, begitu istrinya hamil, pandangan Hendro berubah drastis. Ia terdorong menjalin kedekatan dengan jabang bayi yang masih di dalam kandungan. "Setiap hari saya sapa dan cium, ternyata lucu juga. Terasa ada ikatan batin yang kuat," katanya.

Ketika anaknya lahir, Hendro mengambil keputusan besar. Dia menanggalkan jabatannya sebagai senior manager di sebuah perusahaan swasta agar setiap hari bisa mengurus anaknya. Sebagai gantinya, dia terjun mengelola perusahaan kehumasan yang didirikan istrinya. "Sekarang saya bisa bekerja di rumah sambil mengurus anak," kata Hendro.

Dipandang aneh
Peran ayah dalam pengasuhan anak tidak bisa diremehkan. Irwan, penggerak Sahabat Ayah—lembaga yang mendorong keterlibatan ayah dalam mengasuh anak—mengatakan, kehadiran ayah secara fisik dan psikologis memberikan stimulus maskulin pada anak. "Kalau ayah tidak hadir secara psikologis, terutama pada anak usia 0-2 tahun, memori tentang sosok ayah bisa tidak ada."

Pentingnya peran ayah juga digarisbawahi sebuah penelitian internasional yang dimuat situs artikel sains, Science Daily edisi 12 Juni 2012. Penelitian menyebutkan, kasih sayang ayah sama penting—bahkan bisa lebih penting—dengan kasih sayang ibu dalam pembentukan kepribadian anak.

Mengapa bisa begitu? Sebab anak- anak menaruh perhatian kepada orangtua yang mereka anggap memiliki kekuatan interpersonal dan prestise lebih besar. Karena ayah sering kali dianggap punya prestise lebih tinggi daripada ibu, ayahlah yang lebih berpengaruh dalam hidup anak.

Penelitian yang melibatkan 10.000 peserta di beberapa negara ini juga menemukan, anak yang mengalami penolakan dari orangtuanya cenderung agresif, mudah cemas, dan penuh permusuhan. Luka karena penolakan yang terjadi di masa kanak- kanak cenderung bertahan hingga dewasa. Efek lanjutannya, ketika dewasa, mereka sulit membina hubungan yang dilandasi rasa percaya kepada orang lain.

Irwan melihat masyarakat Indonesia secara umum masih menganggap pengasuhan dan pendidikan anak adalah tanggung jawab perempuan (ibu). Hasil penelitian yang pernah dia lakukan di empat provinsi menunjukkan, anak kebanyakan hanya diasuh ibunya. Ayah umumnya hadir secara fisik, tetapi tidak secara psikologis. "Ayah itu sosok yang antara ada dan tiada buat anak," katanya. Ketika anak mulai mengikuti pendidikan usia dini, pengajarnya pun hampir 100 persen perempuan.

Anton dan Hendro juga merasakan, masyarakat belum terlalu siap menerima ayah yang berperan dalam pengurusan anak. Anton menceritakan, dia sering dikasihani orang ketika mengurus anak hingga ke urusan popok. "Mereka pasti tanya, 'Memang ibunya ke mana, kok sampai ngurus anak sendirian?'."

Hendro bahkan dikira baru dicerai istrinya ketika sedang mengasuh anak sendirian. Aduh bapak...!

(Budi Suwarna)

 

Jan 24, 2013

Falsafah Politik: Wacana + Aksi Nyata


Maulid Politik Kenabian

Oleh ASEP SALAHUDIN

Dalam titik tertentu, setiap nabi dihadirkan tidak hanya sebagai penanda perubahan rohaniah, tetapi juga bersentuhan dengan persoalan politik praktis. Hal ini juga tak terhindarkan dengan sosok Muhammad SAW, yang hari kelahirannya diperingati umat Islam bertepatan dengan tanggal 24 Januari 2013 (AD) / 12 Rabiulawal 1434.

Muhammad bukan hanya seorang Nabi, melainkan sekaligus politisi. Politik di sini tidak sekadar berkaitan dengan hasrat kuasa, tetapi juga dalam makna yang lebih luas—dalam tilikan Michel Foucault—berhubungan dengan institusi budaya, sosial, agama, bahkan pengetahuan. Kekuasaan dalam arti vertikal (mandat individual) dan horizontal-sosial (mandat sosial).

Dalam praktiknya, hampir dipastikan tak ada orang yang terlepas dari politik dan tak mungkin melepaskan diri dari politik. Watak manusia memang makhluk politik, zoon politicon, yang senantiasa didiskusikan, baik menyangkut perilaku maupun basis yang menjadi pijakannya. Sebut saja ada masanya ketika politik itu dijangkarkan pada rasionalisme, individualisme, materialisme, dan metafisika ketuhanan.

Semua fundamen politik itu membayangkan sebuah hasrat tergelarnya kesejahteraan umum dan terbangunnya keadaban publik. Aristoteles menyebutnya dengan tujuan meraih kebaikan utama (highest good) atau ruang berkeadaban (al-madinah al-fadhilah) dalam term Al-Farabi. Dalam nalar falsafah kita diwadahi spirit Pancasila yang berporos pada semangat: ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, kerakyatan, dan keadilan sosial.

Politik nilai

Tentu saja politik yang diusung Muhammad SAW lebih mengarah pada politik berbasis kekuatan nilai, yang dijangkarkan kepada tautan metafisik dengan segala sanksi moral dan penghargaan transendental di belakangnya. Tak ubahnya tema nilai yang diusung khas nabi-nabi Ibrani lainnya.

Demi tersampaikannya nilai-nilai ini, Muhammad SAW bukan sekadar berbicara sebatas wacana baik-buruk, sehat-sakit, indah-jelek, sederhana-bermegahan, melainkan langsung menjadikan nilai itu sebagai bagian integral dari perilakunya.

Keteladanan lebih dikedepankan ketimbang perbincangan. Falsafah politiknya bukan hanya menjadi "renungan", melainkan sekaligus "tindakan"; tidak sebatas "wacana", tetapi juga "aksi nyata". Contoh konkret menjadi strategi utama dalam menanamkan nilai-nilai politik itu dalam batang tubuh bermasyarakat.

Politik simbolik-imajiner yang terumuskan dalam senarai firman Tuhan (musyawarah, toleransi, lapang dada, keterbukaan, relasi antaragama, distribusi ekonomi, keadilan, kejujuran, transparansi, amanah, kecerdasan nalar) diturunkan menjadi "yang riil" melalui langkah-langkah konkret yang tampak dan jelas.

Inilah sisi kekuatan politik kenabian: politik karakter. Nilai-nilai kenabian seperti ini, meminjam telaah Mohandas K. Gandhi, dapat menghindarkan tujuh dosa sosial: politik nir-prinsip; kekayaan yang diraih tidak melalui kerja keras; bisnis defisit moralitas; kebahagiaan yang kehilangan nurani; pendidikan yang menanggalkan karakter; ilmu pengetahuan yang jauh dari humanitas; dan peribadatan yang terjebak pada formalitas.

Dalam melebarkan pengaruh politiknya, Nabi membangun basis dukungan yang solid tanpa harus menafikan yang "liyan", seperti terbaca dalam Piagam Madinah yang populer itu. Visi yang ditawarkannya berbasis pada upaya menanamkan kesadaran ontologis (menyangkut tujuan hidup) sekaligus aksiologis (berhubungan dengan peran dan posisi manusia).

Untuk direnungkan

Merenungkan politik nilai yang diusung Muhammad SAW hari ini—seperti tergambarkan dalam kitab-kitab "kelahiran Nabi", seperti Maulid Jawahir al-Nazm al-Badi' Fi Maulid al-Syafi' karya Syeikh Yusuf al-Nabhani, Kitab al-Yumnu Wa al-Is'ad Bi Maulid Khar al-'Ibad karya Ibn Ja'far al-Kattani, Itmam al-Ni'mah 'Ala al-'Alam Bi Maulid Saiyidi Waladi Adam karya Ibn Hajar Al-Haitami, dan al-Maulid al-Hana ditulis al-Hafiz al-Iraqi—bukan hanya perlu, melainkan satu keniscayaan.

Relevansinya itu terletak justru ketika kita hari ini lebih mengedepankan politik citra ketimbang logika, eksploitasi bukan emansipasi, ingar-bingar oleh semangat kebendaan bukan hikmat ketulusan, gaduh oleh politik perkauman yang serba eksklusif-intoleran bukan siasat kesemestaan yang berangkat dari roh kebersamaan.

Medan kehidupan harus dikembalikan lagi kepada nilai-nilai keutamaan. Slavoj Zizek (Robertus Robet, 2010) menyebutnya dengan "yang politik" (politik penuh adab) sebagai lawan dari "politik" (ricuh, dagang sapi, tanpa prinsip, transaksional, penuh cela, korup, munafik).

Meminjam analisis Hannah Arendt, "yang politik" menghajatkan pergulatan agar tak hengkang dari percaturan sosial dan ruangnya keburu diisi oleh "politik" yang serba kotor. Pergulatan ini bukan hanya ikhtiar menghindar dari sekapan keterasingan positif ala dialektika Hegel, keterasingan ekonomi serupa Marx yang bersumber dari sentimen kapitalisme, ataupun keterasingan religius berwujud wacana absolut keterlemparan kepada dosa. Namun, kita berkelit dengan cermat dari "keterasingan eksistensial" berupa abainya kita mewujudkan keadaban publik dan politik penuh adab karena hilangnya kita sebagai pribadi politik yang otonom, otentik, merdeka, dan independen sesuai dengan arus khitahnya.

"Yang politik" seharusnya jadi kiblat utama politik nasional dalam menghadapi tahun-tahun politik menjelang 2014. Politik kenabian dalam titik tertentu memberikan suplai berharga tentang "yang politik" itu.

Maulid adalah momen penting untuk menginjeksikan segenap nilai-nilai dalam sesuatu yang banyak berpengaruh bagi kelangsungan hidup kita: politik! Tanpa kesadaran ini, semua hanya sebatas menjadi sebuah upacara dan akhirnya politik kembali menjadi muslihat yang licik.

ASEP SALAHUDIN Esais dan Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat

Sumber: Kompas, 24 Januari 2013

Jan 18, 2013

Banjir Akronim

 

BAHASA

Soak

Oleh KURNIA JR

Ketika membaca sebuah berita di lembaran "Kabar Jabar" koran Republika terbitan 26 Desember 2012 halaman 26, saya dihentikan oleh sepotong kata: rutilahu. Saya balik ke awal. Ternyata rutilahu itu akronim dari rumah tidak layak huni.

Saya tidak tahu apakah faktor "Jabar" yang memicu "kreativitas" penciptaan akronim baru ini. Maklum, saya terkesima melihat suburnya akronim di masyarakat Priangan. Dimulai dari akronim comro dan misro. Comro (oncom di jero atau oncom di dalam) adalah gorengan dari singkong parut berisi oncom, sedangkan misro (amis di jero atau manis di dalam) berisi gula aren.

Ada colenak (dicocol enak), yakni tape singkong bakar yang disantap dengan cocolan gula merah. Cilok (aci dicolok), tepung tapioka goreng yang disajikan pada tusukan bambu atau lidi seperti sate. Cireng (aci digoreng). Kombinasi cireng dan cilok menghasilkan cimol (aci digemol, aci yang dibentuk bulat).

Ada Cimol yang lain. Dulu, di Jalan Cibadak, Bandung, banyak pedagang kaki lima khusus pakaian bekas. Muncullah julukan Cibadak Mall (dibaca Cibadak Mol, jadinya Cimol). Meski lokasinya sudah dipindahkan ke Gedebage, Cimol sebagai nama tidak luntur.

Di Jakarta, sampai 2007, ada pertokoan Sogo di Plaza Indonesia yang mengilhami julukan Sogo Jongkok bagi pedagang pakaian kaki lima sebab pembelinya terpaksa jongkok di muka lapak dagangan. Andai julukan ini jatuh ke tangan orang Bandung, saya tak yakin ia bakal selamat dari cinta mereka yang berlebihan kepada akronim.

Selain itu, ada batagor (bakso tahu goreng) dan gehu (tauge di dalam tahu). Di depan sebuah rumah dekat Jalan Gatot Subroto, Bandung, ada tulisan batras. Rupanya itu pun akronim dari pengobatan tradisional.

Di Jawa Tengah ada nasgithel (panas, legi, kenthel), yakni teh panas, manis, kental; dan bangjo (abang-ijo atau merah-hijau) untuk lampu lalu lintas. Entah mengapa, tampaknya lampu kuning tak masuk hitungan. Di Makassar ada bentor, akronim dari becak-motor (tambahan n di tengah akronim tampaknya hanya supaya enak diucapkan), yakni sepeda motor yang kepalanya dipancung lalu dilas dengan becak. Mirip helicak (helikopter becak?) di Jakarta tempo dulu.

Kecuali rutilahu dan bangjo, kasus-kasus akronim di atas merupakan kreativitas spontan rakyat kecil demi keringkasan, juga untuk kemudahan lisan mengucapkan dan konsumen mengingat sebab konteksnya komersial.

Sedangkan rutilahu, alutsista, curanmor, menparekraf dan lain-lain keluaran lembaga-lembaga negara, dan disponsori media massa, sebaiknya tak dipakai, sebagai pedoman bagi masyarakat. Produksi dan akumulasi akronim formal oleh instansi pemerintah, terutama kepolisian dan militer, mengacaukan sistem kata. Sering kali kata-kata yang diringkus di dalamnya sulit diurai dan dilacak oleh kita sekarang ini, apalagi generasi masa depan.

Lantas, apa itu soak, yang jadi judul tulisan ini? Kata serapan dari bahasa Belanda, zwak, yang artinya lemah? Oh, bukan. Itu akronim juga. Kepanjangannya "Soal Akronim". Maaf, lupa menjelaskan.

Kurnia JR, Pujangga

Sumber: Kompas, 18 Januari 2013

Jan 4, 2013

Wujud Kebudayaan Masyarakat

 

TEROKA

Potret Sastra Kita

Oleh M Abdul Rohim

Jika kehidupan ini diibaratkan sebagai tubuh, sastra merupakan perasaan. Sementara realitas adalah tubuh. Dunia sastra adalah dunia yang penuh dengan rasa. Sapardi Djoko Damono mendefinisikan sastra sebagai dunia puitik dari realitas (Wahyu Wibowo; 1993).

Sastra adalah wujud dari kebudayaan masyarakat. Dunia kepengarangan pujangga merupakan nadi sastra. Bahkan, sastra adalah sebuah penjelmaan dari apa yang sebenarnya tengah terjadi. Banyak novel yang lahir dari tangan seorang sastrawan merupakan rekaman sejarah yang dibalut dengan cerita fiktif. Akan tetapi, novel-novel tersebut merupakan hasil dari penelitian panjang sang penulis. Salah satu sastrawan yang getol dengan novel sejarahnya adalah Pramoedya Ananta Toer.

Sastrawan lain adalah Sapardi Djoko Damono. Sapardi, yang lebih dikenal sebagai penyair karena kegetolannya di dunia sajak, juga pernah menyabet penghargaan SAE Write Award di Bangkok. Namun, yang menjadi kebanggaan bukanlah penghargaan simbolis seperti itu. Yang terpenting bagi penyair adalah karya itu sendiri. Karya bagi sastrawan, penyair, ataupun pujangga adalah napas kehidupannya. Selama karyanya masih bisa memberikan wawasan dan terbaca, sastrawan akan sangat bersyukur dan bangga.

Tak diperhatikan

Namun kini, dunia kesusastraan tak lagi dihiraukan oleh masyarakat. Pemerintah yang merupakan pengayom dan pelindung sastra tak lagi memikirkan nasibnya. Pemerintah enggan untuk menjadikan sastra sebagai basis kebudayaan di negerinya. Padahal, sastra merupakan lambang kebudayaan bangsa dari pelbagai generasi dan pemerintahan. Pada masa Kartasura, sastra merupakan salah satu unsur yang sangat diperhatikan oleh kerajaan. Seorang pujangga ditempatkan pada posisi agung.

Pujangga zaman kerajaan memiliki totalitas dalam dunia kepenyairan. Karyanya tidak hanya merupakan kegelisahan dalam hati, tetapi karya yang diciptakan juga merupakan hasil olah rasa yang panjang dan mendalam. Hal ini senada dengan kebudayaan Jawa yang selalu mengedepankan olah rasa dalam setiap gerak-gerik kehidupannya (Niels Mulder; 2009).

Salah satu karya fenomenal yang masih menjadi perbincangan karena daya magisnya adalah Serat Jayabaya. Serat Jangka Jayabaya ini disusun oleh Pangeran Widjil pada 1741-1743 (R Tanojo; 1946) dan digubah oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito pada 1842.

Serat ini tidak hanya berupa karya sastra yang biasa dikenal dengan dunia fiktifnya. Namun, serat ini juga merupakan salah satu hasil olah rasa sang pujangga yang mampu meramalkan masa depan sebuah bangsa (Indonesia). Banyak peneliti mengamini kebenaran yang terkandung dalam serat ini.

Pendidikan sastra

Mayoritas masyarakat tidak mengenal sastra dengan baik. Kurangnya pemahaman masyarakat akan sastra adalah akibat pendidikan yang tidak memberikan ruang. Agus R Sarjono (2003) menjelaskan, munculnya Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1960-an merupakan salah satu alternatif yang digunakan oleh para penyair dan pekerja seni untuk mendapatkan ruang. TIM awal mulanya adalah oase bagi para penyair untuk ruang ekspresi. Namun kemudian TIM tak dapat membendung arus politis yang terjadi pada waktu itu sehingga akhirnya banyak bermunculan komunitas baru.

Untuk itu, pendidikan sastra merupakan salah satu langkah penting yang harus diperhatikan.

Pendidikan sastra seharusnya bisa menjadi solusi alternatif bagi krisis sastra di negeri ini. Pendidikan sastra tidak hanya memberikan pengetahuan tentang pembuatan kreatif sastra, tetapi di dalamnya yang terpenting adalah isi dari karya itu.

Oleh karena itu, dalam pendidikan sastra ini yang terpenting adalah kritik mengenai sastra itu sendiri. Dengan kritik sastra orang akan banyak bergumul dengan pujangga, penyair, sastrawan lama hingga angkatan baru.

Pendidikan sastra menemu ruangnya sebagai oase sastra di masa depan. Pendidikan sastra sebagai solusi alternatif agar sastra Indonesia bisa lebih hidup dan bernapas dengan tenang.

* Penulis adalah Esais, Wakil Direktur Paradigma Institute

Sumber: Kompas, 04 Januari 2013