Jul 23, 2007

Harry Potter & Pendidikan Anak

Refleksi

Harry Potter

Andar Ismail

Tidak! Saya tidak senang sihir! Saya tidak suka sihir! Apalagi percaya sihir! Uhhh, amit-amit! Boro-boro percaya, disuruh baca buku sihir pun, saya emoh banget!

Lho, kalau begitu kenapa ada buku tentang Harry Potter ini? Tenang, jangan buru-buru sewot. Jangan lihat buku ini langsung jadi sewot, "Murtad! Emangnya BPK Gunung Mulia itu penerbit sihir?"

Buku Injil menurut Harry Potter ini sama sekali tidak menggarisbawahi sihir. Sebaliknya, buku ini justru mengkonfrontasi praktik sihir dengan iman kristiani. Buku ini menyoroti praktik okultisme dalam terang Injil Kristus. Buku ini diterbitkan aslinya oleh penerbit milik Presbyterian Church USA, yaitu Westminster John Knox Press, yang sangat selektif dalam menerbitkan naskah. Pengarangnya pun mempunyai reputasi baik, yaitu Connie Neal, seorang pakar literatur Kristen.

Tetapi bukankah Harry Potter penuh sihir? Memang. Bahkan sihir dalam cerita Harry Potter banyak yang serupa dengan praktik dunia sihir sesungguhnya. Sampai-sampai ada tuduhan bahwa cerita Harry Potter secara terselubung bertujuan meracuni anak dengan ilmu sihir.

Jenis sastra cerita Harry Potter adalah fantasi dan berpanggung tentang sekawanan remaja yang berpetualang dengan berbekal kemampuan sihir.

***

Buku cerita fantasi memang merupakan wahana ampuh untuk mendidik anak. Jenisnya beraneka, tentang legenda dan fauna, peri dan kurcaci, epik dan profetik, pahlawan gagah berani melawan penjahat keji. Pokoknya seru! Belum lagi fiksi realistik, yang walaupun realistik namun tetap merupakan fantasi. Cerita fantasi berguna untuk mengembangkan imajinasi anak, sebab setiap orang perlu mengembangkan kemampuan berimajinasi.

Dengan membaca cerita fantasi, anak belajar membedakan antara khayalan dan kenyataan. Bisa jadi, setelah membaca cerita Harry Potter, anak ini meniru dan menyihir kucingnya, "Sim, sim salabim, kucing jadilah kau harimau!" Tetapi kucing itu malah lari ketakutan sambil mengeong. Tahulah anak ini bahwa khayalan bukan kenyataan.

Memang sejak dini anak memerlukan jenis-jenis bacaan fiksi atau non-fiksi yang beraneka ragam supaya ia mempunyai pilihan dalam mencari dan mengarahkan pembentukan jati dirinya. Kemajemukan jenis bacaan diperlukan untuk perkembangan kepribadian.

Semua itu hanya wahana. Yang penting lagi adalah tujuan, yaitu fungsi pedagogis di balik cerita. Apa nilai-nila hidup yang terkandung di dalamnya?

Cerita Harry Potter mengandung nilai-nilai pedagogis. Melalui alur yang padat rintangan dan solusi yang ditangani Harry Potter dan kawan-kawan, para pembaca melihat nilai-nilai seperti prakarsa, rasa ingin tahu, tekun, kreatif, inovatif, bersahabat, kerja sama, setia, jujur, mau berusaha dan berlelah, berani melawan yang jahat, dan banyak lainnya.

Dalam buku Injil menurut Harry Potter ini, Connie Neal mengajak kita melihat bahwa cerita Harry Potter menyiratkan banyak tema Injil Kristus yang dipraktikkan oleh para pelaku, misalnya mengampuni, mengasihi, merangkul yang tersisih, bertekun dalam derita, bermurah hati, menolong yang tidak berdaya, dan lainnya. Secara kasat mata Neal membandingkan berbagai adegan cerita Harry Potter dengan perikop-perikop dari keempat kitab Injil.

Tetapi bukankah perbuatan sihir Harry Potter berurusan dengan kuasa jahat? Memang! Justru karena itu kita diajak oleh Neal untuk menaati suruhan Kristus, yaitu menangkal kuasa jahat. Tulis Neal, "Therefore, although, they are real and dangerous, we need not cover in fear of evil spirits. Like Harry and friends, we can learn to practice Defense Against the Dark Arts, trusting that there is a greater power at work that we may not yet fully understand," Alkitab tidak menyangkal kuasa-kuasa sihir. Namun kuasa-kuasa itu dinilai tidak langgeng dan akan punah, sekalipun banyak sihirmu dan sangat kuat manteramu" (Yesaya 47:9).

Kuasa sihir sungguh ada, namun kita tidak percaya, dalam arti tidak mempercayai dan tidak mempercayakan diri kepadanya.

***

Sama seperti Harry Potter, kita pun hidup di tengah kuasa-kuasa kejahatan. Tetapi sumber pertolongan kita dalam menangkal kuasa-kuasa kejahatan itu berbeda dari Harry Potter, bahkan bertolak belakang. Justru cerita Harry Potter memawaskan kita pada sumber pertolongan kita, yaitu Kristus. Tulis Neal, "The Promised return of Jesus, the Prince of Peace, is bright opposite to the ominous expectation of the Dark Lord's return in Harry's world."

Tetapi apakah iman kristiani kita tidak jadi goyah jika membaca buku Harry Potter?

Ah, masakan! Masakan iman jadi goyah cuma gara-gara membaca dongeng? Tulis Neal, "Is our own faith so fragile that we dare not know what those of different sect of Christianity, or those of undisclosed religious persuasions, or those of different religious background are thinking?"

Cerita Harry Potter diminati dan dimusuhi. Yang suka cerita Harry Potter banyak, namun yang membencinya juga banyak. Bahkan ada gereja yang begitu sewot sehingga membakar buku Harry Potter.

Mendengar sewot-sewot itu, saya jadi berimajinasi. Apakah Tuhan juga ikut sewot? Maka saya pun mengetuk ruang belajar Tuhan. Ruangan itu penuh dengan buku. Sambil memperlihatkan buku Harry Potter, saya bertanya secara sopan, "Tuhan, maaf mengganggu sebentar. Buku Harry Potter ini menimbulkan heboh. Ada gereja yang memaki-maki pengarangnya dan membakar bukunya. Mereka sewot banget."

Kok, Tuhan tidak ikut sewot? Tuhan tersenyum, lalu Tuhan menoleh ke atas meja tulis-Nya. Astaga, ternyata di atas meja Tuhan pun ada buku Harry Potter. ***

(Penulis adalah pengarang buku-buku renungan "Seri Selamat" BPK Gunung Mulia)

Sumber: Suara Pembaruan, 21 Juli 2007

Jul 10, 2007

Anak-Anak Borobudur

Another movie worth watching: "Salahkah kita, kala berkata benar?" (EJ)

Gelitik dari Kaki Bukit Borobudur

Di sinilah dialog-dialog suara hati anak dari kaki bukit Borobudur itu diangkat oleh Arswendo. "Salahkah kita, kala berkata benar?" Itulah yang ingin disampaikan Arswendo.

AAFlm - Adegan dalam film �Anak-anak Borobudur� yang mengangkat kisah pemahat di sekitar Candi Borobudur.

Film: Anak-Anak Borobudur

Sutradara: Arswendo Atmowiloto

Pemain: Adadiri Tanpalang, Adi Kurdi, Djenar Maesa Ayu, Acintyaswasti Widianing, Lani Regina, Alexandra T Gottardo, Christine Hakim, Butet Kartaredjasa.

Skenario: Arswendo Atmowiloto

Produksi: aaFilm

Genre: Drama Keluarga

Candi Borobudur yang berada di atas sebuah bukit memang banyak menyimpan cerita. Masyarakat sekitar tentu saja punya banyak cerita soal candi nan agung itu.

Sepenggal kisah masyarakat sekitar Candi Borobudur diangkat oleh Arswendo Atmowiloto dalam film Anak-Anak Borobudur.

Seperti halnya film-film Indonesia yang mengangkat kekhasan sebuah tempat, Anak-Anak Borobudur ini pun mengangkat cerita tentang kehidupan para pemahat batu di sana. Cerita itu dibungkus dalam dialog anak-anak yang akan menghadapi tantangan zaman berikutnya.

Seperti saat menangani serial Keluarga Cemara, Arswendo masih menggunakan Adi Kurdi berperan dalam film itu. Namun masih ada nama besar lain yang ikut mendukung Anak-Anak Borobudur, seperti Christine Hakim dan Butet Kertaradjasa. Namun Arswendo juga mempercayakan pemain-pemain baru sebagai pemeran utamanya. Tersebutlah nama-nama seperti Adadiri Tanpalang, Acintyaswasti Widianing, dan Lani Regina yang menjadi pemeran utama dalam film.

Cerita skenario yang ditulis oleh Arswendo bercerita tentang sebuah kegelisahan anak-anak menyuarakan kicauan hati mereka yang sering kali mendapat tantangan orang tua. Dengan setingan lokasi sebuah desa yang dikelilingi tujuh gunung di sekitar Candi Borobudur, film ini berkisah tentang keluarga Pak Amat (Adi Kurdi) dan anaknya Amat (Adadiri Tanpalang).

Seperti masyarakat di desa itu, keluarga Pak Amat mendapat penghidupan dari keahliannya memahat dan mengukir batu. Amat seorang bocah kelas V SD memiliki kemampuan memahat turunan dari ayahnya. Bahkan kemampuan Amat ini kemudian menjadi harapan semua orang saat Amat diikutsertakan dalam sebuah lomba.

Karya patung-patung Amat diharapkan jadi pemenang dan bisa mengangkat citra sekolah, desa, kecamatan, bahkan kabupaten tempatnya tinggal. Tidak hanya teman-teman, guru, dan kepala sekolah, bahkan bupati pun memberikan perhatian khusus kepada Amat.

Tetapi Amat tidak hanya pintar menggunakan palu dan pahatnya, ia juga cerdas dan berani dengan keyakinannya. Sehingga ketika ia dinyatakan sebagai pemenang, ia menolak hadiah itu meskipun yang memberikan adalah bupatinya. Amat menolak karena ia merasa belum mengirimkan karyanya untuk diikutsertakan dalam lomba.

Patung yang disebutkan menjadi pemenang memang buatannya, tetapi ayahnya yang menyelesaikannya. Dan yang mengirimkan patung itu adalah sahabatnya yang bernama Siti (Acintyaswasti Widianing).

Sehingga ketika harus mengucapkan pidato terima kasih saat menerima hadiah, ia menyebutkan terima kasih kepada ayahnya yang telah menyelesaikan patungnya, terima kasih kepada Siti yang telah membawa patung itu kepada gurunya, dan kepada kepala sekolah yang telah mengirimnya kepada pantia perlombaan. Kontan semua yang hadir dalam acara pemberian penghargaan itu kaget dan memusuhi Amat.

Di sinilah dialog-dialog suara hati anak dari kaki bukit Borobudur itu diangkat oleh Arswendo. "Salahkah kita, kala berkata benar?" Itulah yang ingin disampaikan Arswendo dan menjadi tagline film itu.

Bagi seorang Amat, dialog-dialog yang dihadirkan dalam film itu mungkin akan terasa menggurui. Seperti misalnya ketika ia mendesak ayahnya untuk berbicara apa yang mereka rasakan sesungguhnya. Pikiran-pikiran dan keyakinan Amat serasa melebihi pandangan orang yang lebih tua darinya. Tetapi apakah salah jika Amat berlaku demikian.

Pemeran Amat, Adirda Tanpalang memang masih aktor baru, wajar saja dalam dialog-dialognya di film masih terkesan kaku. Tetapi setidaknya kehadiran Adirda dengan dialek bahasa Jawanya yang kental mampu menghidupkan karakter Amat, bocah dari Borobudur.

Sebagai bocah Borobudur, karakter Amat memang unik. Dengan supel ia mampu bermain dengan siapa saja, termasuk dengan Yoan (Lani Regina), yang sedang kesulitan beradaptasi setelah pindah dari Jakarta. Dengan wajah sumringahnya Amat mampu mendekati Yoan.

Selain itu kamera Arswendo pun menangkap potret keseharian masyarakat di sekitar Borobudur, baik kehidupan pemahat, petani, ataupun penggerak tarian. Dengan setingan pemandangan alam di sekitar Borobudur, film ini sebenarnya cocok untuk ditonton keluarga. Film yang hanya akan diputar di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta itu memberikan darah baru di dunia film nasional. Kekuatan cerita. Akting pemainnya dan tentu saja teknik-teknik penggambarannya. [SP/Kurniadi]


Last modified: 9/7/07

Jul 6, 2007

Kata Serapan Yunani dalam Kamus Indonesia

Judul Buku : Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia
Penyusun : JS Badudu
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Cetakan I, Maret 2003
Tebal : xiv + 378 hlm

SEBAGAI profesor bahasa Dr JS Badudu berpengalaman menyusun kamus: Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia, 1975; Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2001; Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (KKSADBI), 2003.

Maka, selain patut memuji dengan takzim akan pekerjaan beliau yang tak enteng itu, izinkan pula saya memberi sekelumit catatan untuk menunjukkan apresiasi bagi karya beliau yang terakhir, KKSADBI. Catatan ini khusus menyangkut kata-kata yang berhubungan dengan Yunani, bahasa yang melembaga dalam sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Menurut KKSADBI 'alokasi' berasal dari bahasa Yunani. Membaca keterangannya "penentuan banyaknya barang yang disediakan", maka sebetulnya makna itu dalam bahasa Yunani yang terpakai adalah 'anathese' atau katanome'.

Menurut KKSADBI 'asbes' dari bahasa Yunani. Keterangannya, "serat mineral dipakai dalam industri...". Jika asbes di sini sama dengan bahasa Inggris 'asbestos', maka bahasa Yunani yang terpakai adalah 'amiantos'. Sementara kata bahasa Yunani 'asbestes' artinya 'kapur'.

Menurut KKSADBI 'autopsi' dari bahasa Yunani. Padahal, bahasa Yunani untuk makna 'pemeriksaan mayat' yang sama dengan bahasa Inggris 'autopsy' sebetulnya 'nekrotome'.

Menurut KKSADBI 'dialog' berasal dari bahasa Latin. Akan tetapi, sebenarnya kata ini berasal dari bahasa Yunani 'dialogos', kalimat percakapan dalam sastra drama, juga judul karya Plato.

Menurut KKSADBI 'teater' dari bahasa Latin. Yang benar dari bahasa Yunani, 'theatron' artinya 'tempat di mana drama dipentaskan', turun dari kata 'theaomai' artinya 'berkunjung untuk menyaksikan'.

Menurut KKSADBI 'teater' dari bahasa Latin. Yang benar Yunani, dari 'thetron' artinya 'tempat di mana drama dipentaskan', turun dari kata 'theaomai' artinya 'berkunjung untuk menyaksikan'.

Menurut KKSADBI 'ekumene' dari bahasa Latin. Yang betul Yunani, dari kata 'oikoumene' artinya 'segenap wilayah bumi yang ada manusianya'. Mulanya terbatas 'dunia hellenenisme' seperti diacu Aristoteles dalam Meteorlogica (362 b 26).

Menurut KKSDBI 'evengeli' dari bahasa Latin. Yang benar Yunani, dari 'euaggelion' artinya tak lebih 'kabar baik'. Aristophanes mengacunya dalam drama komedinya Plutus (765). Selain itu, banyak pula lema yang seharusnya Yunani tetapi dalam KKSADBI disebut Belanda. Misalnya 'hierarki', 'magi', 'misteri', 'paradigma'. Yunaninya 'ierarkhia', 'magoi', 'mysterio', 'paradeigma'.

Malahan ada lema dari bahasa Yunani dalam KKSADBI disebut Perancis, khususnya 'paradiso'. Dalam bahasa Yunani 'paradeisos' artinya 'surga', diambil dari bahasa Persia 'pairi daeza' artinya 'kebun taman'. Sejarah masuknya kata bahasa Persia ini ke Yunani melalui penerjemahan filologi Ibrani LXX atau Septuaginta atas titah Raja Mesir Ptolemy II (309-247 SM).

KKSADBI mengatakan 'idola' adalah "orang atau tokoh yang dijadikan pujaan". Dalam bahasa Yunani, aslinya 'eidolon' berarti 'dewa kafir' (pagan dei). Muasalnya di abad pertama Masehi orang Yahudi yang berbahasa Yunani menyejajarkan kata ini dengan kata-kata Ibrani 'gilullim', 'terafim', 'asabh', kemudian dibuat muradif dengan 'mifletseth', 'semel', 'otseb'.

Adapun 'pornografi' dari 'porno' aslinya bahasa Yunani 'porne' berarti pelacur, 'porneia' berarti 'pelacuran', 'porneuo' berarti 'praktik sundal'. Sumber tulis Yunani sebelum Masehi tentang kata ini tersua pertama dalam karya Lucian, Alexander (5). Setelah tarikh Masehi, di abad pertama, kata ini mengacu pada persundalan di Roma dan Yerusalem, tersua dalam karya Ioanes, Apocalypsis ( 17.1).

PATUT diketahui, dalam studi teologi, bahasa Yunani dibagi dua, yaitu Yunani Sekular (untuk semua karya filologi sebelum Masehi) dan Yunani Eklesia (untuk bahasa Yunani setelah Masehi sekitar pustaka gerejawi). Banyak lema dari Yunani Sekular yang berubah makna saat ini melalui Yunani Eklesia.

Salah satu kata paling menarik dari pergantian Yunani Sekular ke Yunani Eklesia adalah 'hipokrit'. Dalam KKSADBI 'hipokrit' diartikan 'munafik'. Yang diacu KKSADBI ini adalah Yunani Eklesia. Sebelumnya, dalam Yunani Sekular, 'hipokrit', atau aslinya 'hypokrites' berarti 'aktor', pelakon drama atau penafsir peran di atas teater. Plato mengartikannya demikian dalam Republik (373 B), Sokrates menyebutnya dalam Symposium (194 B), Xenofon menyebutnya dalam Memorabilia(II 2.9).

Berubahnya 'hypokrites' menjadi 'munafik' sebab penulis evangeli dari latar Yahudi yang tak punya tradisi teater, memandang aktor dalam kesimpulan: laki-laki yang jadi perempuan, bertopeng, menangis pura-pura. Ini dihubungkan dengan kata bahasa Ibrani 'hanef' artinya 'pelaku jahat'. Sumber pertama yang mengalihkan 'hypokrites' dari aktor menjadi 'munafik' adalah sastra Yunani yang ditulis Yahudi, Maththaion( 7.5). Kini, setelah 'hypokrites' berarti 'munafik', maka sebutan untuk aktor dalam bahasa Yunani sekarang adalah 'ethopoios'.

Terakhir 'psalm'. KKSADBI benar, lema ini berasal dari bahasa Yunani. Akan tetapi, keterangannya tak tepat: "nyanyian pemujaan terhadap Tuhan dalam Injil". Yang benar, 'psalm' tidak ada hubungannya dengan Injil. Psalm, dari 'psalmos' adalah terjemahan Yunani atas kitab Ibrani, Sepher Tehillim-Klinkert menerjemahkannya sebagai 'zabur tahlil'-dan umumnya dianggap sebagai puisi-puisi tembang Daud. Sedang Injil aslinya berbahasa Yunani dan tersua dalam kitab E Kaine Diatheke. Psalm sudah ditulis seribu tahun sebelum Injil ditulis. Seharusnya yang sudah lazim, 'psalm' cukup disebut 'mazmur'.

Saya memang hanya membatas diri untuk menyimak lema-lema yang berhubungan dengan bahasa Yunani. Ini tidak berarti saya alpa memberikan apresiasi terhadap keterangan-keterangan yang diacu pada sejumlah lema yang lain. Dan, meskipun catatan-catatan saya ini menunjukkan adanya kekurangan, percayalah ini tidak mengurangi takzim saya tersebut. Seperti kata penerbitnya, "Kamus ini bukan kamus istilah, bukan juga buku yang berisi pedoman untuk mengistilahkan kosakata asing dalam Bahasa Indonesia." Jadi, ya, syabaslah. Dari situ pula kiranya apresiasi ini bertolak.

Remy Sylado - Pemerhati bahasa

Subordinasi Wanita dalam Damar Wulan

Beni Setia

TOKOH paling mengemuka dalam cerita Damar Wulan, suka atau tak suka, adalah sang antagonis Minak Jingga. Dia hadir sebagai tokoh mahaperkasa, raksasa, dan dikontraskan dengan dua istri yang subordinan dan punakawan klemar-klemer kewanita-wanitaan, Dayun. Keperkasaannya dimanifestasikan dengan pusaka gada Wesi Kuning--representasi lingga--senjata mematikan, sekaligus bagi pemilik bila senjata itu berpindah majikan.

MENARIK sekali prosesi berpindahnya kepemilikan Wesi Kuning dari Minak Jingga ke Damar Wulan. Simbol kelelakian itu dicuri dan dialihkan kedua istri Minak Jingga yang terpikat kehalusan budi Damar Wulan-semacam pemberontakan pada dominasi lelaki kasar dan urakan, semacam penolakan Sinta pada Rahwana, dan penentangan Dewi Supraba pada Nilakawaca. Tampaknya di balik cerita Damar Wulan ini ada pendidikan perilaku halus mriyayeni khas Jawa.

Dengan kata lain, apa tidak mustahil tema sampingan-bila tidak cukup pantas diakui sebagai tema utama-Damar Wulan adalah upaya komparasi terhadap eksistensi lelaki ideal yang pantas dipertuan di Majapahit? Setidaknya lelaki tipe Arjuna, yang memuaskan di pembaringan dan dalam pergaulan sosial, karena secara trah penguasa Majapahit pada masa itu harus wanita bila mengikuti fakta Ratu Majapahit dalam cerita Damar Wulan, Prabu Kenya-dalam cerita biasanya disebut Kencana Wungu-dikaitkan dengan Suhita. Karena itu, Brandes mengaitkan peperangan antara Majapahit dengan Minak Jingga ini dengan Perang Puregreg. Sedangkan ilmuwan lain mengaitkan sosok Ratu Majapahit itu dengan Tribhuwanottunggawijayaawisynuwardhani, dan cerita tentang Perang Blambangan dikaitkan dengan peristiwa Perang Sadeng (lebih lengkapnya lihat CC Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1985, halaman 90-92).

Oleh karena itu, tidak terhindarkan kesan komparasi dan penonjolan keutamaan Damar Wulan yang asal-usulnya disembunyikan dan tetap tersembunyi sebelum akhirnya terbuka di puncak kemenangan. Bahwa Damar Wulan itu anak dari Patih Udara, pemimpin Majapahit yang pergi bertapa sehingga kedudukannya diganti Patih Logender. Sejak kecil Damar Wulan dididik hidup prihatin dan santun oleh kakeknya sehingga ketika nyantrik dan ngenger di rumah Patih Logender, dia tidak kaget ketika diterima sebagai tukang kuda. Kontras dengan Layang Seta dan Layang Kumitir yang cuma bisa hura-hura memanfaatkan fasilitas jabatan ayah. Di titik ini, sekaligus mereka berbeda dari Minak Jingga yang sewenang-wenang berdasarkan kekuatan sendiri.

KOMPARASI dan kontras itu dimulai dari fakta Patih Udara mundur, melepaskan diri dari fatamorgana kekuasaan dunia dan masih tetap memegang wibawa pemimpin dan pamor kekuasaan. Setidaknya, kalau dibandingkan dengan Patih Logender, tokoh yang ketiban pulung memegang kekuasaan, tetapi tidak memiliki wibawa pemimpin dan pamor kekuasaan, sehingga kraton dipenuhi pamong yang pandai menjilat dan cuma memperjuangkan kepentingan golongan dan pribadi. Puncaknya, terutama ketika ada ancaman aneksasi oleh Blambangan dengan kedok lamaran Minak Jingga. Jalan keluar dari krisis itu menggelikan, yaitu menyelenggarakan sayembara. Dengan kata lain, memberikan kerajaan dan dirinya kepada sembarang lelaki yang mampu mengalahkan Minak Jingga. Jalan keluar yang mengelucak harga diri.

Oleh karena itu, fakta sayembara berhadiah "takhta dan wanodya" ini menunjukkan adanya sebuah fenomena besar di belakang layar. Bahwa Kencana Wungu tak bisa lagi mempercayai pamong dan prajuritnya, sekaligus menggarisbawahi sosok Kencana Wungu yang subordinan meski secara politik dia pemegang kekuasaan tertinggi. Karena itu dia membutuhkan lelaki gentleman, sang Arjuna yang mriyayeni, yang bisa mengayomi dirinya dan banyak wanita lainnya, bukan lelaki perkasa urakan semacam raksasa dalam diri Minak Jingga. Karena itu, seluruh keperkasaan kasar Minak Jingga-episode Minak Jingga gandrung yang interaktif komik dengan Dayun yang mbanceni selalu jadi adegan fragmen favorit lakon Damar Wulan-kontras dengan ketidakberdayaan Kencana Wungu.

MANIFESTASI dari pukau kelelakian Damar Wulan terbukti dengan (a) terpukaunya Anjasmara, putri Patih Logender dan adik dari Layang Seta dan Layang Kumitir, sehingga mereka terpaksa harus mengangkat derajat Damar Wulan agar adik mereka dan diri mereka tak terbenam ke dalam fakta bermenantukan dan beradik ipar tukang kuda. Dan, (b) luluh dan terpukaunya kedua istri Minak Jingga sehingga selain menghidupkan kembali Damar Wulan, mereka juga mencuri gada Wesi Kuning Minak Jingga sehingga Minak Jingga bisa dikalahkan Damar Wulan dan Blambangan tetap di bawah hegemoni Majapahit. Pengkhianatan kepada suami dengan jaminan mereka akan diperistri lelaki sejati yang tidak akan menyia-nyiakan mereka sebagai istri kedua dan ketiga, dengan Anjasmara sebagai istri pertama. Bahkan, akhirnya, ketiga wanita itu cuma berstatus selir karena istri utama Damar Wulan adalah Kencana Wungu, si Ratu Majapahit.

Dengan kata lain, puncak manifestasi pukau kelelakian Damar Wulan itu ada pada fakta dan fenomena terpanggilnya ia oleh situasi negara yang lemah dengan menerima tantangan (sayembara) mengalahkan Minak Jingga. Peperangan ini seharusnya beraras antarnegara dengan peserta negara taklukan Majapahit dan/atau negara merdeka yang mau berperang melawan Blambangan, bukan peperangan personal antarindividu Damar Wulan melawan Minak Jingga sehingga momen perpisahan kasmaran antara Damar Wulan dan Anjasmara jadi fragmen sentimentil favorit dari lakon Damar Wulan.

Damar Wulan terpanggil menjadi lelaki utama Majapahit dan berbeda dengan lelaki Majapahit lainnya. Keutamaan semacam ini yang menyebabkan Damar Wulan dianggap pantas bersanding dengan Ratu Kencana Wungu, bahkan diakui dan disadari para wanitanya sehingga mereka ikhlas menjadi wanita pendamping, wanita yang menjadi pengantar ke gerbang kemuliaan, kalau kita memakai terminologi Ibu Inggit pada sosok Soekarno.

Kelengkapan itu-satu wanita utama dan tiga wanita terpilih-menjadikan Damar Wulan lelaki Jawa utama. Sekaligus komparasinya dengan empat lelaki terpuruk-derajatnya kasar-perkasa-berkuasa, halus- kosong-berkuasa (memanfaatkan fasilitas jabatan orangtua), dan lemah-subordinan-mbanceni-membuat kita tiba pada hipotesis tentang motif di balik "penulisan" cerita Damar Wulan. Yakni, situasi Majapahit yang kacau karena kelemahan kepemimpinan ratu wanita yang mendorong kerinduan masyarakat pada kehadiran lelaki utama.

Masyarakat muak dan jenuh dengan pamong lelaki yang oportunistik mementingkan keuntungan golongan dan pribadi, sekaligus masyarakat lelah dengan kepemimpinan ratu wanita yang lemah, yang hanya bisa menangis dan tersenyum. Padahal senyum bisa dimanifestasikan sebagai kelembutan di balik ketegasan mengamalkan kekuasaan-"Westerling pun tersenyum," kata Iwan Fals dalam lagu Pesawat Tempurku-dan bukan sebuah pertanda ketakberdayaan. Memang.

Beni Setia - Penyair dan Cerpenis

Sumber: Kompas, 25 Agustus 2003

Thinking out of the box

Gumilar "Berpikir di Luar Kotak"

Kompas, 1 Juli 07

Akhir Juni lalu Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri (44) menerbitkan dua buku sekaligus, "Transformasi Pendidikan Tinggi di Era Knowledge Based Society: Studi Kasus Universitas Indonesia" (170 halaman) dan "Transformasi Perguruan Tinggi Berbasis Riset dan Berdaya-Usaha: Catatan Pengalaman FISIP UI 2002-2006" (96 halaman). Ia mengubah FISIP UI sejak jadi dekan tahun 2002 berkat kepemimpinan "berpikir di luar kotak" atau "thinking out of the box".

Buku Transformasi persembahan lengkap untuk mengawal perubahan Universitas Indonesia (UI) jadi universitas riset dan berkewirausahaan. Gumilar sering menyebut "turbulensi" sebagai kata kunci untuk menggambarkan proses transformasi itu.

"Dukungan dana dari pemerintah turun seiring dengan otonomi pendidikan. Biaya pendidikan meningkat dan globalisasi serta kompetisi juga terus naik. Pasar juga butuh pelayanan pendidikan tinggi yang lebih baik. Inilah tantangannya," kata Gumilar tentang bukunya.

Mau tak mau pengelolaan universitas harus lebih profesional dan itu sudah dibuktikan Gumilar lewat buku Catatan Pengalaman FISIP UI. Ia tak membusungkan dada karena bukti sudah terlalu banyak. "Kata orang, FISIP UI maju pesat. Harus diakui kami paling rapi dalam implementasi administrasi akademik dan non-akademik. Bahkan, kami pelopor di ASEAN yang mengenalkan sabbatical leave dengan orientasi acedemic-contagion-effect yang sangat berorientasi keilmuan," ujarnya dengan menyebut contoh sosiolog Dr Robert Lawang dan pengajar ilmu politik Dr Makmur Keliat sebagai contoh.

Kedua buku saling baku kait, melengkapi, dan terprogram dengan berbagai solusi konkret. Pertama, Gumilar menawarkan kepemimpinan di fakultas yang memiliki keunikan karena keberagaman ilmu (sosial, politik, administrasi, komunikasi, kriminologi, dan lain-lain) ke tingkat universitas.

"Kini zamannya ilmu-ilmu sosial dan politik. Setiap fakultas telah mempunyai sistem serupa, tinggal dikonvergensikan dengan kepemimpinan yang mengandalkan keberagaman," katanya.

Kedua, keberagaman disiplin ilmu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) tentu akan membentuk inkorporasi yang lebih padu. "Ini masalah capacity building. Contohnya fitur-fitur telepon genggam yang tak ada artinya jika berdiri sendiri-sendiri. Namun, kalau disajikan bersamaan, telepon genggam menjadi benda yang meledakkan perubahan besar," katanya.

Ketiga, di kedua buku itu Gumilar banyak bercerita tentang good governance sebagai satu-satunya opsi dalam pengelolaan universitas sebagai lembaga pendidikan. "Tak bisa lain, good governance telah menjadi tuntutan wajar. Masalah tinggal bagaimana setiap fakultas dan juga universitas bersama-sama mengubah UI dari good menjadi great," tambahnya.

Gumilar ditunjuk jadi ketua Panitia Pengarah Hari Lahir Pancasila yang menghadirkan 600 intelektual dan tokoh dalam "Seminar Pancasila" tahun 2006. Acara itu dilanjutkan dengan pembacaan "Maklumat Keindonesiaan" dan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 1 Juni di Jakarta yang dihadiri sekitar 3.500 tokoh.

"Itu prakarsa bersama-sama yang dimulai karena kegalauan kami terhadap anggapan bahwa Pancasila itu salah. Padahal, ia merupakan nilai-nilai inti dari kehidupan kebangsaan kita," ujarnya.

Di kalangan alumni ia dijuluki "The Green Dean" (Dekan Peduli Alam) karena kehirauan dia pada pelestarian lingkungan. Ia kolektor berbagai jenis ikan, aneka unggas, dan beragam tanaman. Kampus ia sulap menjadi taman asri yang membuat betah dosen, karyawan, serta mahasiswa. Ia memang lahir sampai jadi siswa di daerah Bumi Priangan.

"Ayah orang India alias Indhiang, kota kecil di Tasikmalaya. Ibu asli Turki alias Turunan Kidul, di Tasik Selatan," kata Gumilar tertawa lepas.

Berpikir di luar kotak

Sebagai dekan ia percaya pada moto "berpikir di luar kotak" alias artinya "tidak mau biasa". Kampus yang jadi tempat sekitar 8.000 mahasiswa belajar kini bak hotel berbintang lima. Karyawan wajib berseragam, tetapi gaji mereka naik rata-rata 20 persen per tahun. Gaji dosen inti rata-rata Rp 9 juta per bulan (di luar gaji PNS) berkat kas fakultas yang terbesar kedua di UI—sekitar Rp 30 miliar per tahun.

Di kampus ada restoran masakan Korea, toko IT (information technology), toko suvenir, toko buku internasional, atau kantin yang menampung 20 pedagang kaki lima. Dari parkir motor saja FISIP UI mendapat penghasilan tambahan sekitar Rp 200 juta. FISIP terpilih sebagai kampus tebersih dan terindah UI, merebut Piala Rektor dalam lomba yang pertama kali diadakan tahun 2006.

Rasa mewah terasa di Miriam Budiardjo Resource Center atau Selo Soemardjan Research Center yang sudah empat tahun ber-"Wi-Fi". Ruang kerja staf pengajar layaknya kantor eksekutif perusahaan raksasa yang bertebaran di Jalan Sudirman, Jakarta. Perpustakaannya lengkap dan dikunjungi 700-1.000 orang per hari.

Gumilar memelopori terselenggaranya Research Days yang di UI pertama kali diadakan FISIP tahun 2004. Waktu penyelenggaraan tahun 2006 dipresentasikan 200 karya ilmiah. Kesempatan itu juga dimanfaatkan jadi ajang pertemuan perdana dekan FISIP se-Indonesia dan berbagai kegiatan ilmiah domestik serta internasional lainnya. UI pun tak mau kalah dan akan menyelenggarakan Gelar Ilmu tanggal 29 Juli mendatang.

"Semua dekan, termasuk almarhum Pak Selo Soemardjan, almarhumah Ibu Miriam Budiardjo, atau Pak Juwono Sudarsono, sampai Pak Martani Huseini adalah para pelopor dengan cara masing-masing. Insya Allah saya hanya meneruskan saja," ujar pria kelahiran 11 Maret 1963 ini. "Saya memakai pola ’berpikir di luar kotak’ untuk memotong lingkaran setan. Bagi FISIP yang terpenting memperbaiki infrastruktur dulu, baru fokus ke berbagai upaya mencapai academic excellence," ujar mantan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah saat sekolah menengah atas (SMA) di Tasikmalaya itu.

Bagi sebagian orang ia mengganggu "harmoni". "Saya banyak belajar mengendalikan perasaan dengan memasukkan rasionalitas dalam menilai keadaan. Akselerasi membutuhkan toleransi agar perubahan yang cepat juga menimbang cermat kondisi riil. Cara berpikir di luar kotak tak mudah dimengerti orang, saya juga selalu memeriksa kelemahan-kelemahan saya," kata doktor lulusan Fakultas Sosiologi, Universitas Bielefeld, Jerman, itu.

Metafora pulang kampung

Gumilar adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, sekaligus anak lelaki tertua. "Saya diwajibkan Ayah lari pagi dan memberi makan ikan di kolam dekat sawah. Lari pagi untuk kesehatan diri dan kasih makan ikan untuk tambahan uang sekolah. Setelah itu, baru sekolah," kenangnya.

Ayahnya guru lulusan sarjana muda dan menjadi kepala sekolah dasar. "Tak heran jika kami anak-anak wajib punya rapor bagus. Kalau rapor jelek, itu aib bagi keluarga. Ayah saya juga mengerjakan lahan tanaman sayur dan buah, sama dengan penduduk kampung lainnya. Ia menanam jeruk dan nanas. Ia pernah bergabung dengan Tentara Pelajar TNI AL, tetapi memutuskan menjadi pendidik.

Jejak sang ayah yang telah membangkitkan keinginan Gumilar ikut-ikutan menjadi guru walau pernah terobsesi jadi jenderal atau dokter. "Kenapa jenderal? Sebab Ayah suka cerita tentang tokoh-tokoh pergerakan nasional yang mimpin. Saya kagum kepada dokter karena mengobati orang sakit. Sederhana kan?" katanya sambil tertawa renyah.

Sang ayah satu-satunya orang desa yang berlangganan koran. "Kami langsung tahu informasi apa yang terjadi di luar desa. Selain koran, sumber lainnya radio yang selalu memancarkan warta berita RRI Jakarta," katanya lagi.

"Ada prinsip yang selalu saya ingat hingga kini. Kami tujuh bersaudara dididik mengatasi rasa malas dan malu. Malas membuat kami tidak mau berusaha, maunya dapat hasil besar tanpa berkeringat. Bagi saya itu tidak adil dan dalam agama tidaklah halal mendapatkan sesuatu tanpa berkeringat. Rasa malu juga membuat kita enggan bertanya, padahal banyak yang kita tak tahu dalam hidup ini," tuturnya.

Dengan bekal dua pesan penting inilah Gumilar tetap gembira meski ketika sekolah di sekolah menengah pertama (SMP) harus menempuh jarak lima kilometer (km) dari desa. Begitu juga ketika harus melanjutkan sekolah di SMA Negeri Ciawi, Tasikmalaya. Jaraknya sekitar 40 km dari desa. "Makanya, saya indekos di rumah kerabat di kota kawedanan tersebut. Seminggu sekali saya pulang dengan bus antarkota. Turun dari bus, belum langsung tiba di rumah, jalan kaki lagi dua jam. Karena jadwal sekolah sore hari, acara ’pulang kampung’ itu saya lakukan menjelang magrib. Tak heran baru tiba di rumah sekitar jam sembilan malam," kenang dia.

Perjalanan ini sering kali terasa melelahkan, meskipun ia tidak sendirian karena ada teman-teman sekampung. Namun, tak jarang kaki terantuk batu di jalan terjal dan gelap. Itu sebabnya ia senang sekali kalau sedang bulan purnama, jalan agak terang.

Metafora "pulang kampung" bersama teman di bawah temaram Bulan menghindari jalan terjal dan gelap inilah yang membentuk kepribadian Gumilar memimpin FISIP UI. Ia selalu ingin bersama-sama mengerjakan apa pun, enggan meninggalkan dosen, karyawan, maupun mahasiswa yang dia asuh nun di belakang sana. ***

Jul 3, 2007

Hikayat Seri Rama

Ramayana, Cerita yang Tidak Pernah Usang

Judul : Hikajat Seri Rama
Penerbit : Balai Poestaka
Tahun : 1938
Tebal : 256 halaman

RAMA dan Sita (Sinta) merupakan sejoli yang berasal dari epik Ramayana. Dalam proses perjalanan dari negeri asalnya, kedua sosok tersebut telah berubah dari versi aslinya menjadi bentuk cerita yang sarat dengan muatan lokal di mana cerita itu berkembang. Sebenarnya kisah Ramayana bukanlah sekadar cerita cinta seperti Romeo dan Juliet, tetapi sebuah drama kehidupan yang penuh idealisme, nilai moral, penggambaran kondisi sosial, budaya, dan politik.

Inilah yang terjadi dengan Hikajat Seri Rama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1938. Tradisi lisan yang mengusung kisah Ramayana ke Nusantara pada abad ke-13 itu biasanya dibawakan oleh seorang penutur cerita atau pendongeng dalam sebuah pertunjukan.

Sejak abad ke-16, saling terjemah naskah genre "yang indah" atau kesusastraan antara Jawa dan Melayu terjadi. Itu pula yang terjadi dengan epik Ramayana. Kisah tersebut pernah diterbitkan PP Roorda van Eysinga tahun 1843, dan pernah dimuat di majalah Journal of the Straits Branch of Royal Asiatic Society, April 1917. WH Rassers, seorang ahli ilmu bahasa Timur yang menulis Disertasi De Pandji Roman (1922) mengungkapkan bahwa Hikajat Seri Rama, Rama Keling, dan lakon-lakon wayang purwa yang menceritakan tentang Rama sama dengan Rama Kekawin dan Serat Rama karangan Walmiki atau ada yang menyebut Valmiki.

Akan tetapi, tradisi lisan tidak mampu menjaga cerita itu sama persis seperti aslinya. Lingkungan sosial yang kemudian diadaptasikan oleh penutur cerita menjadikan cerita Ramayana sarat dengan muatan lokal. Hal ini pernah diungkapkan oleh WG Shellabear yang menerbitkan epik Ramayana tahun 1957. Menurut dia, cerita itu sama sekali tidak sesuai dengan karangan Walmiki sebab pengaruh Islam tampak kuat dalam cerita tersebut. Sementara cerita Ramayana yang diterbitkan Balai Pustaka adalah hasil tulisan PP Roorda van Eysinga.

Sebenarnya sejak kapan Ramayana ditulis? Tidak ada yang tahu dengan pasti. Perkiraan kasar antara tahun 1500 SM sampai 200 SM. Sebuah laporan Press Trust of India, yang dimuat oleh koran Ananda Bazar Patrika pada tanggal 24 Desember 1980, mengungkap bahwa jika hasil penyelidikan yang dilakukan ahli geologi Ahmedabad bisa dipercaya, maka Ramayana tidak mungkin berumur lebih dari 2.800 tahun.

Dalam Hikajat Seri Rama dikisahkan tentang Dasarata Maharaja dari negeri Ispaha Boga yang memiliki lima anak dari dua istri. Istri pertama Mandoe Daki memiliki anak Seri Rama dan Laksmana. Sementara dari Selir Balia Dari punya tiga anak, yaitu Tjitradana, Kikoewi Dewi, dan Berdana. Setelah dewasa, dikisahkan Dasarata menetapkan Seri Rama sebagai putra mahkota. Namun, atas desakan selir, akhirnya Tjitradana-lah yang harus menjadi raja. Hingga akhirnya Seri Rama harus dibuang ke hutan dan ditemani oleh istrinya, Sita Dewi, serta adiknya, Laksmana. Dalam pengasingannya itu Seri Rama dan Laksmana berkelahi dengan Soera Pandaki, raksasa perempuan adik Rahwana. Kalah bertarung membuat Soera Pandaki meminta kakaknya untuk menculik Sita Dewi.

Cerita terbitan Balai Pustaka ini mengadaptasi kisah yang berasal dari India tersebut menjadi bermuatan lokal dan dengan bahasa Melayu, seperti dialog yang muncul saat Sugriwa bertemu Rama : "Ja toeanku sjah alam, hambalah yang bernama Soegriwa, saudara maharadja Balia (Subali), radja segala kera, beroek, lotong, dan koekang siamang, radja negeri Lagoer Katagina".

Penulis India, P Lal, menerjemahkan Ramayana dari tulisan asli Walmiki dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Inggris, dengan judul The Ramayana of Valmiki tahun 1981, kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa Indonesia oleh Djokolelono tahun 1995. P Lal mencoba menyingkat karya asli Walmiki menjadi sepertiganya, tetapi dia tidak memperluas, mengadaptasi, menafsirkan. Namun, yang ia lakukan hanyalah memperpendek dengan jalan menyunting dengan taat mengikuti naskah Sansekerta asli, meskipun dia mengakui penyingkatan itu sendiri semacam penafsiran. Dalam epik terjemahan P Lal menunjukkan bahwa Walmiki seorang penyair utama, banyak dialog antartokoh diungkapkan secara puitis dengan gaya tulisan yang baik. Sementara dalam buku Hikajat Seri Rama, tradisi lisan masih tampak kuat di dalamnya. Tulisannya menggunakan gaya bertutur sehingga pembaca merasa seolah-olah ada pendongeng yang membawakan cerita itu secara lisan.

Dalam tulisan P Lal dikisahkan, Dasarata, Raja Ayodya, mempunyai empat putra dari tiga istri. Yang tertua Rama dari permaisuri Kausalya, kemudian Laksmana dan Satrugna dari ibu Sumitra, serta Barata dari istri kesayangan raja, Keikayi. Menjelang usia tua, Dasarata memutuskan untuk menobatkan Rama sebagai putra mahkota. Namun, rencana itu berubah karena Dasarata pernah berjanji akan menjadikan putra Keikayi, Barata, sebagai penggantinya. Karena khawatir akan terjadi perebutan kekuasaan, maka Rama dibuang ke hutan selama 14 tahun. Ditemani istrinya, Sita, dan adiknya, Laksmana, Rama meninggalkan Ayodya. dalam pengasingan tersebut, Laksmana dan Rama berkelahi dengan Sarpakenaka, adik Rahwana, kemudian hidungnya dipotong oleh Rama. Karena kekalahan tersebut, Sarpakenaka membujuk Rahwana untuk menculik Sita hingga terlaksana. Rahwana berkeras tidak akan mengembalikan Sita ke Rama hingga pertempuran terjadi.

TAMPAKNYA epik Ramayana telah menjelma dalam berbagai bentuk di Indonesia. Ini terbukti dengan adanya Kekawin Ramayana dalam bahasa Kawi (Jawa kuno), yaitu cerita dalam bentuk macapat. Macapat adalah syair tertulis menceritakan kehidupan dengan filosofi tinggi. Macapat juga merupakan bagian dari tradisi lisan Jawa karena disampaikan secara lisan sambil berdendang atau biasanya dikenal dengan nembang. Penerjemahan Kekawin Ramayana itu dilakukan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali dari bahasa Kawi (Jawa kuno) ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan tahun 1987. Buku ini tetap menggunakan bentuk asli macapat dalam huruf latin dan diberikan terjemahannya.

Ada lagi epik Ramayana yang ditulis Sunardi DM tahun 1976 bersumber dari buku Serat Padhalangan Ringgit Purwa Jilid 36 dan jilid 37, kemudian dipadu dengan cerita-cerita silsilah yang terdapat dalam buku Arjuna Sasrabahu karangan Raden Ngabehi Sindusastra terbitan Balai Pustaka Weltevreden 1930. Penulis sendiri menyebut kisah Ramayana yang dibuatnya adalah versi Indonesia sebagai terjemahan bebas dari Kekawin Ramayana.

Nuansa Indonesia tampak dari ilustrasi tempat, seperti kutipan berikut: "Berbahagia juga Rama menyaksikan istrinya, Putri Mantili, itu bergembira selalu mengejar capung atau kupu-kupu, memetik bunga-bunga, atau duduk di bawah pohon-pohon rindang sambil mendengarkan burung-burung prenjak, srigunting, dan cocak berkicau bersahut-sahutan". Selain itu, kesan Jawa sangat terasa di sini, seperti Anoman (Hanoman) dikatakan sangat pandai mendendangkan macapat, dan dalam buku itu pun masih memuat beberapa macapat.

Ada perbedaan mendasar tentang asal-usul Sita, dalam Hikajat Seri Rama diceritakan Sita adalah anak Rahwana yang dibuang saat bayi karena dia tak menghendaki anak perempuan. Sementara versi Sita tulisan P Lal mirip yang diceritakan Sunardi DM bahwa Sita adalah anak Janaka dari negeri Mantili.

Selain dari penulisan Ramayana dalam fiksi roman, RA Kosasih membuat epik Ramayana dalam bentuk komik dan membuat kisah India itu menjadi sangat Jawa dengan bahasa lisan dan kostum para tokoh yang mengenakan pakaian seperti raja-raja Jawa. Sejak tahun 1980-an sampai sekarang, komik wayang ini masih beredar dan digemari masyarakat. (Umi Kulsum/Litbang Kompas)

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/21/pustaka/379292.htm