Dec 31, 2009

Cita-cita Gus Dur & Bung Karno

Andai Gus Dur Menjadi Presiden Sebelum Sakit
KAMIS, 31 DESEMBER 2009 | 07:58 WIB

Catatan oleh Yahya Cholil Staqup, mantan Juru Bicara Presiden Gus Dur

KOMPAS.com - Ini kehilangan tak terperi. Tapi diam-diam aku merasakannya seperti formalitas saja. Ketuk palu atas sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kehilangan yang sesungguhnya telah terjadi dua belas tahun yang lalu, ketika suatu hari kamar mandi kantor PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), di Kramat Raya Jakarta, tak kunjung terbuka. Kamar mandi itu terkunci dari dalam dan Gus Dur ada di dalamnya. Orang-orang menggedor-gedor pintu, tak ada sahutan. Ketika akhirnya pintu itu dijebol, orang mendapati Gus Dur tergeletak bersimbah darah muntahannya sendiri. Itulah stroke-nya yang pertama dan paling dahsyat, yang sungguh-sungguh merenggut kedigdayaan fisiknya.

Sebelum malapetaka itu, Gus Dur adalah sosok "pendekar" yang nyaris tak terkalahkan. Pada waktu itu, tak ada yang tak sepakat bahwa beliau adalah salah satu tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Tapi ketika akhirnya memperoleh kesempatan menakhodai bangsa ini, keruntuhan fisik telah membelenggu beliau sedemikian rupa sehingga gelombang pertempuran yang terlampau berat pun menggerusnya. Aku tak pernah berhenti percaya bahwa seandainya yang menjadi presiden waktu itu adalah Gus Dur sebelum sakit, pastilah hari ini Indonesia sudah punya wajah yang berbeda, wajah yang lebih cerah dan lebih bersinar harapannya.

Aku telah menjadi pengagum berat Gus Dur dan mendaulat diriku sendiri sebagai murid beliau sejak aku masih remaja. Tapi memang Gus Dur telampau besar untukku, sehingga aku tak pernah mampu menangkap secuil pemahaman yang berarti dari ilmunya, kecuali senantiasa terlongong-longong takjub oleh gagasan-gagasan dan tindakan-tindakannya.

Ketika datang kesempatan bagiku untuk benar-benar mendekat secara fisik dengan tokoh idolaku, yaitu saat aku ditunjuk sebagai salah seorang juru bicara presiden, saat itulah pengalaman-pengalaman besar kualami. Bukan karena aku melompat dari santri kendil menjadi pejabat negara. Bukan sorot kamera para wartawan, bukan pula ta'dhim pegawai-pegawai negeri. Tapi inspirasi-inspirasi yang berebutan menjubeli kepala dan dadaku dari penglihatanku atas langkah-langkah presidenku.

Sungguh, langkah-langkah Presiden Gus Dur waktu itu mengingatkanku kembali pada kitab DBR (Di Bawah Bendera Revolusi) yang kukhatamkan sewaktu kelas satu SMP dulu. Mengingatkanku pada "Nawaksara", mengingatkanku pada "Revolusi belum selesai!"

Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun aku justru melihat daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika. Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahunnya, sedangkan kita mengimpor lebih separuh jumlah itu, dari Amerika pula. Maka presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika. 

Venezuela mengimpor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus persen rempah-rempah ke sana. Maka presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita. Gus Dur mengusulkan kepada Sultan Hasanal Bolkiah untuk membangun Islamic Financial Center di Brunei Darussalam, lalu melobi negara-negara Timur Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura ke sana…

Barangkali pikiranku melompat serampangan. Tapi sungguh yang terbetik di benakku waktu itu adalah bahwa Gus Dur, presidenku, sedang menempuh jalan menuju cakrawala yang dicita-citakan pendahulunya, Pemimpin Besarku, Bung Karno. Yaitu mengejar kemerdekaan yang bukan hanya label, tapi kemerdekaan hakiki bagi manusia-manusia Indonesia. Yaitu bahwa masalah-masalah bangsa ini hanya bisa dituntaskan apabila berbagai ketidakadilan dalam tata dunia yang mapan pun dapat diatasi. Yaitu bahwa dalam perjuangan semesta itu harus tergalang kerjasama diantara bangsa-bangsa tertindas menghadapi bangsa-bangsa penindas.

Hanya saja, Gus Dur mengikhtiarkan perjuangan itu dengan caranya sendiri. Bukan dengan agitasi politik, bukan dengan machtsforming, tapi dengan langkah-langkah taktis yang substansial, cara-cara yang selama karir politiknya sendiri memang menjadi andalannya. Yang bagi banyak orang terlihat sebagai kontroversi, bagiku adalah cara cerdik beliau menyiasati pertarungan melawan kekuatan-kekuatan besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang terlampau berat untuk ditabrak secara langsung dan terang-terangan. Gus Dur terhadap Bung Karno, bagiku layaknya Deng Xiao Ping terhadap Mao Tse Tung.

Tapi pahlawanku bertempur di tengah sakit, seperti Panglima Besar Soedirman di hutan-hutan gerilyanya. Maka nasib Diponegoro pun dicicipinya pula…

Banyak orang belakangan bertanya-tanya, mengapa orang tua yang sakit-sakitan itu tak mau berhenti saja, beristirahat menghemat umurnya, ketimbang ngotot seolah terus-menerus mencari-cari posisi di tengah silang-sengkarut dunia yang kian semrawut saja. Saksikanlah, wahai bangsaku, inilah orang yang terlalu mencintaimu, sehingga tak tahan walau sedetik pun meninggalkanmu. Inilah orang yang begitu yakin dan determined akan cita-citanya, sehingga rasa sakit macam apa pun tak akan bisa menghentikannya. Selama napas masih hilir-mudik di paru-parunya, selama detak masih berdenyut di jantungnya, selama hayat masih dikandung badannya.

Kini Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyelimutkan kasih sayang paripurnanya untuk hambaNya yang mulia itu. Memperbolehkannya beristirahat dari dunia tempat ia mengais bekal akhiratnya. Semoga sesudah ini segera tercurah pula kasih sayang Allah untuk bangsa yang amat dicintainya ini, agar dapat beristirahat dari silang-sengkarut nestapa rakyatnya. Gus Durku, Bung Karnoku… Selamat jalan….


Dec 24, 2009

Selamat Natal

Merry Christmas, everyone!
May the peace of Christmas & the Good News that brings with it surpass our minds and immerse deep in our hearts.

Salam,
Emil, Natalia,
& Christelle


Selamat Natal

Sabtu, 19 Desember 2009 | 02:58 WIB

Oleh Hasibullah Satrawi 

Sebagai seorang Muslim, penulis mengucapkan selamat hari raya Natal kepada saudara-saudari Kristiani di mana pun berada.

Bagi seorang Muslim, mengucapkan selamat hari raya Natal bukan hanya menjadi kesadaran persaudaraan, melainkan tuntunan keimanan yang sangat mendasar. Karena Nabi Isa atau Yesus menegaskan (sebagaimana disampaikan Al Quran), keselamatan atas diriku ketika dilahirkan, ketika meninggal dunia, dan ketika (nanti) dihidupkan kembali, Qs 19: 22.

Dalam konteks negara majemuk seperti Indonesia, ucapan selamat hari raya Natal merupakan salah satu bentuk kesadaran kebangsaan yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara; bahwa Indonesia adalah negara bagi semua agama yang ada di haribaan Bumi Pertiwi; bahwa setiap pemeluk agama memiliki kebebasan untuk merayakan dan menjalankan keyakinannya; dan bahwa penganut satu agama di Indonesia harus menghormati penganut agama lain.

Kerukunan

Bagi agamawan, mengucapkan selamat kepada umat agama lain dalam merayakan hari besar keagamaan, seperti Natal, mempunyai makna yang sangat penting. Selain tuntunan agama, ucapan selamat bagi seorang agamawan bisa juga karena menjadi langkah awal untuk menciptakan kerukunan dan kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, terutama dalam kehidupan bangsa majemuk seperti Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh agamawan di Mesir bisa dijadikan sebagai contoh oleh para agamawan di Tanah Air. Dalam persoalan hari raya Natal, contohnya, sejumlah agamawan terkemuka di Mesir, seperti Grand Syeikh Al-Azhar Kairo, Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang Muslim turut merayakan hari raya Natal. Lebih daripada itu, mereka memberikan keteladanan baik dengan menghadiri undangan perayaan Natal umat Kristen (Koptik) di sana. Momen-momen damai seperti ini digunakan oleh sejumlah agamawan di Mesir untuk mengukuhkan tali persaudaraan kebangsaan, mengukuhkan bangunan perdamaian, dan menghormati segala jenis perbedaan.

Begitu pun sebaliknya, sejumlah pemimpin Kristen (Koptik) di Mesir turut merayakan dan mengucapkan selamat ketika hari raya keagamaan umat Islam tiba. Suasana damai, kondusif, dan penuh persaudaraan menyelimuti kehidupan masyarakat di sana, dimulai dari kalangan agamawan kemudian diikuti oleh segenap umat dan pengikutnya.

Peran agamawan seperti di Mesir memberikan sumbangsih cukup besar bagi terjaganya hubungan damai dalam kehidupan masyarakat Mesir, terlepas apa pun agama ataupun kelompoknya. Setidak-tidaknya masyarakat Muslim di sana tidak diharamkan bila turut merayakan Natal bersama sahabat atau kerabat yang beragama Koptik.

Pengalaman Mesir seperti di atas sangat patut dipertimbangkan. Sejauh ini, konflik berbau agama jarang terjadi di Negeri Piramida itu.

Melahirkan ketegangan

Hal inilah yang jarang terjadi dalam kehidupan umat beragama di Tanar Air. Peran agamawan sangatlah terbatas dalam mendorong bangsa ini terbebas dari konflik agama. Sebaliknya, peran dan keterlibatan agamawan yang cukup masif terjadi dalam kehidupan politik, apalagi pada saat menjelang pemilu.

Hingga hari ini, konflik antaragama masih terus membayang, bahkan juga konflik intraagama. Umat beragama tidak disuguhi pemandangan damai dari kalangan agamawan yang mengucapkan selamat kepada umat agama lain dalam merayakan hari besarnya, termasuk hari raya Natal. Dan hingga hari ini masih terdapat sejumlah pihak yang mengharamkan hadir pada perayaan Natal bagi seorang Muslim atau hari raya agama lainnya.

Pengharaman seperti di atas tidak melahirkan apa pun, kecuali ketegangan dalam kehidupan umat yang berbeda agama. Pihak paling diuntungkan oleh fatwa seperti ini adalah mereka yang "bersyahwat" politik. Bangsa, masyarakat, dan agama adalah pihak yang paling dirugikan oleh pengharaman seperti di atas yang merupakan akibat tak langsung keterlibatan kaum agamawan dalam dunia politik pragmatis yang cukup masif, baik perpolitikan nasional maupun lokal.

Dikatakan akibat tidak langsung karena tidak semua dan tidak setiap saat agamawan melakukan "politisasi agama" dalam bentuk fatwa-fatwa politis atau lainnya. Harus jujur diakui, masih terdapat sekian agamawan yang turun ke kancah politik dengan niat tulus-ikhlas dan membawa tujuan perjuangan murni. Namun, agamawan seperti ini tampak sangat terbatas.

Natal adalah momen penting yang bisa digunakan oleh kaum agamawan untuk menyampaikan sabda perdamaian, kasih sayang, dan menghormati perbedaan keagamaan. Silaturahim antaragamawan dapat dilakukan dalam momen-momen keagamaan seperti Natal ini. Hingga umat beragama terbiasa dalam menghormati perbedaan dan perayaan hari besar agama lain.

Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir; Aktivis Moderate Muslim Society, Jakarta

Sumber: Kompas, 19 Des 09


Dec 21, 2009

What does Business Intelligence do?

Making best use of business intelligence to stay ahead of competition. / EJ

Business benefits from user-friendly Intelligence, SAP

Zatni Arbi ,  Contributor ,  Jakarta   |  Mon, 11/16/2009 2:34 PM  |  Sci-Tech

The word "intelligence" often gives us butterflies in our stomach, as the British say. Each time we hear the word, we think of the CIA, the KGB, Mossad and even our own Badan Intelijen National (BIN). Those agencies consist of highly trained, high IQ people for whom death is just an ordinary affair. We had better not mess up with any of them.

But, whether we like it or not, the word "intelligence" has for several years invaded the business world as well. That is why we have applications and tools that we call Business Intelligence (BI). What do they do?

First, remember the age-long concept called Enterprise Resource Planning (ERP), which automates transaction processes. When a customer places an order, for example, a chain of reactions takes place. The finance department will check the person's credit line to see whether their order can be accepted or if they have to settle a previous debt first. Sales will check whether the goods wanted are readily available and, if not, production will have to manufacture them. Production will also have to be able to tell everyone how long it will take until the goods are ready for shipment.

After ERP, people started to think, "Now that transactions are taken care of, why don't we capture all the transaction data and create a huge data warehouse?" That is when Data Warehousing came into the picture. Credit card issuers, for example, keep track of every single purchase we make.

Then they use the information for various purposes, including cross-selling. If you have a fetish for buying branded bags, for example, they will make a note of it and send you catalogs of luxury bags from other brands - and perhaps the shoes to match.

However, data and information are not limited to what the Data Warehouse can supply. What about what is going on in the market? What about changing customer behavior? Which bottled tea sells most in East Java, for example? Which model of car sells most in Central Kalimantan? For strategic decision-making, such external data is also as important as internal transactional data.

External data can be purchased. That is what independent research firms like Bloomberg and Nielsen do. They capture data, clean it and verify it, and then sell it to businesses at premium prices. Research firms also customize their data based on the needs of their customers. "To collect external data, people have also been using data crawlers, a robot-like program that crawls through the web and go after the data it has been programmed to find," said Singgih Wandojo, Operations Director, SAP Indonesia, during a recent lunch with a small group of IT reporters.

Certainly, having mountains of data will only defeat the purpose. Businesses require powerful analytical tools to extract the relevant data and to make sense of it. Such tools are known collectively as Business Intelligence, or BI. "Banks, financing institutions and telco operators are the top users of BI solutions," said Singgih.

Three to four of the biggest BI players in Indonesia are IBM with its Cognos, Oracle with its Hyperion, SAP with its BusinessObjects and SAS - the company that, during my student days, used to be known for their very advanced statistical software.

BusinessObjects used to be the name of a company founded by John Schwartz. When it had a market value of US$1.5 billion, $8 billion SAP acquired it, which clearly indicates how SAP needed great BI tools to complete its business software portfolio. Schwartz joined SAP in 2008.

But, when the analysis is done, there is still another horrendous task: How do users get to the extracted data they want without depending too much on their IT division? SAP has SAP BusinessObjects Explorer. Hasso Plattner, the company's co-founder, has a lot of influence on its development. Although he has retired, he still challenges his mind with software and application development. He even suggested that the data be placed in the memory for faster processing.

BusinessObjects Explorer can perhaps be described as an interface that casual users can easily customize to suit their individual requirements. "The emphasis in the Explorer is the ease-of-use," said Singgih. Eddy Then, business development manager, SAP Indonesia, added that the Explorer has been designed to be as familiar as Google. Eddy gave us a demonstration of the Explorer during the lunch briefing.

So, if you want to know how well pretzels were selling in Germany in the second quarter of 2008, for example, you can enter the keyword "food" and keep drilling down by selecting the relevant items until you get to pretzel. As the accompanying screenshot shows, you can also see the data in chart forms.

Do all BI products have the same power? Goenawan Loekito from Oracle Indonesia does not really agree. "Oracle's Hyperion has stronger analytical tools," he told me over the phone. But he admits that combining Hyperion with BusinessObjects Explorer will be like adding caramel to your pretzel.

Nonetheless, no matter how easy it is to use BI with the help to great software like BusinessObjects Explorer, the reality in the business world remains the same. Ignore intelligence, and you will be swallowed by your rival. That is why, in the uncertain business environment we find ourselves today, it is critical to have an easy to use BI solution.

Sumber: Jakarta Post, 16 Nov 09


Dec 18, 2009

Falsafah & Tiga Dimensi Hijrah

Ini artikel renungan yg dibaca oleh Menkominfo KIB II, Tifatul Sembiring mantan Presiden PKS, pagi ini (18/12/09) seusai sarapan dan menuju bandara (dari Pontianak menuju Jakarta).  Semoga kita juga bisa memetik manfaatnya.

Rahasia Hijrah

16/12/2009 | 28 Zulhijjah 1430 H | Hits: 1.047

Kirim Print

timbangandakwatuna.com - Hijrah adalah keniscayaan. Allah swt. membangun sistem di alam ini berdasarkan gerak. Pelanit bergerak, berjalan pada porosnya. Allah berfirman: "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (QS. Yasin: 38). Imam Syafii'i menggambarkan dalam sya'irnya yang sangat indah bahwa air yang tergenang akan busuk dan air yang mengalir akan bening dan jernih. Seandainya matahari berhenti di ufuk timur terus menerus, niscaya manusia akan bosan dan stres.

Benar, hijrah sebuah keniscayaan. Karena dalam diam tersimpan segala macam keburukan. Mobil yang didiamkan berhari-hari akan karat dan hancur. Jasad yang didudukkan terus menerus akan mengidap banyak penyakit. Itulah rahasia mengapa harus olah raga. Syaikh Muhammad Al Ghazali berkata: "Bahwa orang-orang yang menganggur adalah manusia yang mati. Ibarat pohonan yang tanpa buah para penganggur itu adalah manusia-manusia yang wujudnya menghabiskan keberkahan."

Terbukanya kota Mekah adalah keberkahan hijrah. Seandainya Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya tetap berdiam di kota Mekah, tidak pernah terbayang akan lahir sebuah kekuatan besar yang kemudian menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Sungguh berkat hijrah ke kota Madinah kekuatan baru umat Islam terbangun, yang darinya kepemimpinan Islam merambah jauh, tidak hanya melampaui kota Mekah, pun tidak hanya melampaui Jazirah Arabia, melainkan lebih dari itu melampaui Persia dan Romawi.

Ada beberapa dimensi hijrah yang harus kita wujudkan dalam hidup kita sehari-hari di era modern ini, agar kita medapatkan keberkahan:

Pertama, dimensi personal, bahwa setiap mukmin harus selalu lebih baik kwalitas keimannya dari hari kemarin. Karenanya dalam Al-Qur'an Allah swt. selalu menggunakan kata ahsanu amala (paling baiknya amal). Maksudnya bahwa tidak pantas seorang mukmin masuk di lubang yang sama dua kali. Itulah sebabnya mengapa sepertiga Al-Qur'an menggambarkan peristiwa sejarah. Itu untuk menekankan betapa pentingnya belajar dari sejarah dalam membangun ketaqwaan. Dari sini kita paham mengapa Allah swt. dalam surah Al Hasyr:18 menyandingkan perintah bertaqwa dengan perintah belajar dari sejarah: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Kedua, dimensi sosial, bahwa seorang mukmin tidak pantas berbuat dzalim, mengambil penghasilan secara haram dan hidup bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Seorang mukmin harus segera hijrah dari situasi sosial semacam ini. Seorang mukmin harus segera membangun budaya takaful –saling menanggung-. Itulah rahasia disyari'atkannya zakat. Bahwa di dalam harta yang kita punya ada hak orang lain yang harus dipenuhi. Allah berfirman :"Walladziina fii amwaalihim haqqun ma'luum (dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.") (QS. Al Maarij: 24).

Dan ini telah terbukti dalam sejarah bahwa membangun budaya takaful akan menyelesaikan banyak penyakit sosial yang akhir-akhir ini sangat mencekam. Terlalu tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di tengah negeri yang kaya secara sumber alam, sungguh suatu pemandangan yang naif. Namun ini tentu ada sebabnya, di antaranya yang paling pokok adalah karena kedzaliman dan ketidak jujuran. Dari sini jelas bahwa hijrah yang harus dibuktikan saat ini adalah komitmen untuk tidak lagi mengulangi budaya korupsi. Sebab dari budaya inilah berbagai penyakit sosial lainnya tak terhindarkan.

Ketiga, dimensi dakwah, bahwa seorang mukmin tidak boleh berhenti pada titik sekedar mengaku sebagai seorang mukmin secara ritual saja, melainkan harus dibuktikan dengan mengajak orang lain kepada kebaikan. Ingat bahwa syetan siang dan malam selalu bekerja keras mengajak orang lain ke neraka. Syetan berkomitmen untuk tidak masuk neraka sendirian.

Dari sini saatnya seorang mukmin harus bersaing dengan syetan. Ia  harus hijrah dari sikap pasif  kepada sikap produktif. Produktif dalam arti bekerja keras mengajak orang lain ke jalan Allah. Sebab tidak pantas seorang mukmin bersikap pasif. Pasifnya seorang mukmin bukan saja akan membawa banyak bakteri pelemah iman, melainkan juga membawa bencana bagi kemanusiaan.

Itulah sebabnya mengapa seorang pemikir muslim abad ini dari India Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi menulis sebuah buku yang sangat terkenal dan menomental: maadzaa khasiral aalam bin khithaathil muslimiin (betapa dahsyatnya kerugian yang dialami dunia ketika umat Islam tidak berdaya).

Ini benar, bahwa dunia ini memang membutuhkan umat Islam yang berdaya. Umat Islam yang produktif. Bukan umat Islam yang pasif. Dan kini kita menyaksikan dengan mata kepada betapa kerusakan merejalela melanda kemanusiaan akibat dari lemahnya umat Islam. Bandingkan dengan dulu ketika Umar Bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz memimpin dunia. Inilah hijrah yang harus segara kita buktikan. Wallhu a'lam bishshawab.

http://www.dakwatuna.com/2009/rahasia-hijrah



Dec 13, 2009

Falsafah kebahagiaan, sukses, dan uang

...bukan hal baru, tapi yang mau tak mau masih terus terasa 'baru' karena kekeliruan yg sudah mendarah daging bahkan mungkin hingga sekarang... Semoga tidak kita tularkan ke generasi penerus yg akan datang.  (EJ)

TEROKA
Seberapa Bahagia Bangsa Kita?

Kompas, Sabtu, 12 Desember 2009

Handrawan Nadesul

Adrian White dari Universitas Leicester bikin survei belum lama ini, bangsa apa paling bahagia di dunia. Hasilnya bukan dari negara terkaya, melainkan bangsa Denmark. Bukti bahwa tidak semua bisa dibeli dengan uang. Indonesia termangu di urutan ke-64.

Survei lain satu dasawarsa lalu menyimpulkan pesan yang sama. Kebahagiaan orang di dunia tidak bertambah secara signifikan sejak tahun 1950. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan fasilitas dunia ternyata tidak menambah kebahagiaan orang. Lalu apa?

Rasa bersyukur. Orang Denmark gampang bersyukur, menikmati hidup tanpa perlu berkelimpahan, hidup secukupnya (contentment), serta merasa tak perlu diperbudak kesuksesan. Kenapa Denmark bisa begitu?

Di Denmark pendidikan dan kesehatan gratis, hari tua terjamin, ditunjang filosofi hidup tak perlu ngoyo. Lain dari itu tingkat pengharapan (ekspektasi) orang Denmark rendah. Kesuksesan kecil saja sudah bikin mereka bahagia. Apabila gagal, mereka pun masih berbesar hati untuk bangkit lagi.

Itu berarti tingkat stres hidup orang Denmark minimal. Berbeda dengan seorang atlet nasional kita, yang kita kira sangat sehat, tercatat kena serangan jantung juga. Musababnya faktor stres. Pembuluh koroner jantung bisa saja menguncup (coronary spasm) kalau stres merundung.

Stres merusak badan, selain merongrong kebahagiaan. Sebagian besar penyakit orang sekarang, stres pemicunya. Jiwa yang gundah dihibahkan ke bentuk penderitaan badan (pscychosomatic). Hidup yang salah arah dan keliru pula menempuhnya menambah pikulan stres kebanyakan orang sekarang.

Paradoks "n-Ach"

Pada awal modernisasi kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh spirit need-for-achievement ("virus jiwa n-Ach"). Jiwa bangsa-bangsa yang tak pernah merasa puas lebih laju akselerasi pembangunannya. Semua bangsa berlomba ingin lebih maju. Bangsa Troya dulu, dan bangsa Jepang sekarang, contohnya. Spirit tak pernah puas tersebut pokok pesatnya lonjakan ekonomi bangsa.

Namun, kini terbukti, bangsa yang didikte oleh keinginan dan ambisi tinggi tidak lebih berbahagia dari bangsa yang mendahulukan rasa bersyukur dan hidup secukupnya. Hal itu karena betul tak ada batas tertinggi buat kepuasan. Sayang hanya seperempat responden dunia yang meniscayai itu.

Dengan mengukur satisfaction with life index, kebahagiaan bangsa Jepang hanya di urutan ke-90 dunia. Negara kecil dan tak terlalu kaya, seperti Bahama, Swedia, Malta, Kosta Rika, dan Bhutan, termasuk 20 besar dunia dalam kebahagiaan bangsanya. Hidup juga perlu enjoy.

Survei kebahagiaan yang memakai data WHO, UNESCO, CIA, dan New Economic Foundation tersebut diukur dari kepuasan subyektif bangsa terhadap kesehatan, pendidikan, dan kekayaan relatif, selain tingkat pengharapan terhadap hidup. Makin rendah ekspektasi suatu bangsa, makin gampang tumbuh rasa bersyukurnya dan terangkat rasa bahagianya. Sebaliknya, makin tinggi ekspektasi bangsa, makin sering tidak puas dan menjadi kurang bahagia.

Kita melihat bagaimana orang Jepang berjalan kaki seperti dikejar hantu. Mereka rata-rata gila kerja dan tinggi ekspektasi dalam hidupnya. Begitu juga orang Korsel, China, dan Thailand, yang derajat kebahagiaannya masing-masing di urutan ke-102, ke-82, dan ke-76 saja. Tingkat pengejaran prestasi tanpa henti bangsa berbanding terbalik dengan tingkat perolehan kebahagiaan hidup.

Banyak uang tak bahagia

Filosofi orang banyak yang salah kaprah. Rata-rata orangtua membawa anak bersekolah dengan tujuan menjadi mesin pencetak uang semata. Kesuksesan hidup dibahasakan dengan uang.

Sejatinya uang betul penting. Tapi, bukan uang yang menambah kebahagiaan. Orang Denmark melihat kesuksesan hidup penting. Tapi, menikmati hidup, guyub bersama keluarga, dan teman dijadikan nilai utama. Supaya lebih berbahagia, ke situ patutnya arah hidup perlu dibawa.

Karena kesuksesan kebanyakan orang ditakar dengan uang dan harta, orang terjebak banting tulang demi uang dan harta semata. Uang, harta, dan kuasa berlimpah, tapi merasa tidak bahagia sering karena tak menyukai bidang pekerjaan. Rata-rata orangtua dan universitas sekarang telanjur keliru mengantar anak memetik kebahagiaan.

Orang bisa membeli ranjang emas, bukan tidur. Bisa membeli seks, bukan cinta. Bisa membeli obat, bukan kesehatan. Jadi benar adanya paradigma pendidikan mesti diputar agar para lulusannya bekerja hanya di profesi yang betul dicintai. Itu juga sebabnya uji motivasi masuk universitas sekarang dipandang penting menyeleksi agar kelak calon profesional tidak meraih kesuksesan yang semu. Banyak duit, tetapi tidak berbahagia.

Universitas di negara maju sekarang menerima mahasiswa tidak semata melihat prestasi akademis. Calon mahasiswa pintar katanya banyak. Namun, yang bakal menjadi profesional sejati makin sedikit. Hanya karena bila mencintai bidang pekerjaan, kesuksesan sejati dan produktivitas buat negara akan terpetik.

Pintar saja tak cukup. Sekarang anak perlu pintar plus. Beberapa jenis kecerdasan belum tentu diperoleh di sekolah. Ada jenis kecerdasan yang tak bisa dipelajari tetapi berkembang sendirinya bila anak tidak kutu buku. Kelebihan tacit knowledge seperti itu yang tidak semua anak miliki. Menyimpan kecerdasan mampu meraih kebahagiaan, salah satunya.

Kekayaan negara bukan segalanya. Gandrung terhadap American Dreams konon yang bikin kebahagiaan bangsa Amerika yang kaya-raya cuma di urutan ke-23. Melihat hasil survei di atas tak susah bikin bangsa bahagia.

Buat kita, supaya bisa sebahagia orang Denmark, sekurang-kurangnya negara harus cukup memberi pendidikan dan kesehatan, selain jaminan hari tua. Sekolah wajib mendidik anak mudah merasa bersyukur dan meniscayai bahwa tidak ada batas tertinggi dalam hal kepuasan hidup, selain meniscayai bahwa uang tidak bisa membeli apa saja. Tidak juga mampu menebus kebahagiaan dalam hidup. ***

Handrawan Nadesul, Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, dan Penulis Buku



Nov 26, 2009

Substansi Haji yang Mabrur

Makna substantif di atas simbolisasi.Substansi itu mengungguli bentuk. Substance over form. (EJ)


Haji, Sebuah Pengembaraan

Kamis, 26 November 2009

Oleh Moeslim Abdurrahman

Di kalangan sufi, ada kisah menarik yang sering diceritakan, terutama menjelang orang mau berangkat haji. Dalam kisah itu diceritakan tentang dua santri, yaitu Si Fulan dan Si Rojul. Sebelum menuju ke Tanah Suci, kedua santri itu tidak lupa sowan dulu, pamitan kepada Kiai, guru yang mereka hormati yang selama ini menjadi panutan spiritual mereka.

Dengan senang hati, Sang Guru mendoakan agar kedua santri itu nanti memperoleh haji mabrur. Sudah tentu, sebagai seorang kiai, selain membekali doa, biarpun agak singkat, ia juga memberikan nasihat yang penting-penting. Tetapi, yang selalu ditekankan dalam nasihat itu, Kiai bilang, ingat ya bekal yang paling pokok menunaikan ibadah haji itu tidak lain adalah iman dan takwa kita sendiri.

Banyak orang berhaji, kata Kiai tersebut, hanya datang dengan jasmani, sambil membawa daftar permintaan dan mengingat-ingat doa apa yang seharusnya dibaca di tempat-tempat tertentu, tanpa berusaha secara rohaniah melakukan penyerahan batin dan spiritual sepenuh- penuhnya, sebagai submission kepada Khalik, Tuhan seru sekalian alam.

Seusai mendengarkan nasihat Kiai, dengan rasa hormat dan terharu, kedua santri tersebut mulailah melakukan perjalanan menuju Mekkah, kota suci, tempat berdirinya bayt-Allah, kiblat kaum Muslimin di seluruh dunia. Mereka sengaja berpisah, masing-masing menempuh rutenya sendiri, yang penting keduanya akan bertemu di tanah haram, agar dalam perjalanan itu ada pengalaman yang berbeda, ada juga horizon yang berbeda.

Singkat cerita, selama kedua santrinya pergi haji itu, tidak ada kabar tidak ada berita. Tahu-tahu, begitu selesai musim haji, eh Si Fulan dan Rojul datang lagi menemui Kiai-nya.

Dengan syukur alhamdulillah, Kiai tersebut menyambut, merasa gembira, karena kedua santri kesayangannya telah pulang. Bagaikan seorang anak yang baru dilahirkan, Kiai tersebut memandang keduanya dengan mata berseri-seri karena setiap orang pulang dari haji memang dianggap dosanya lunas, kembali putih dan bersih seperti warna kapas.

Bahkan, kata Kiai itu, selama 40 hari kepulangannya, Si Fulan dan Rojul masih membawa berkah dan dapat memberkahi orang lain. Betapa Si Fulan gembira dengan sambutan Kiai-nya itu. Ia kemudian mulai menceritakan bagaimana perjalanan haji yang telah ditempuhnya.

Sewaktu pertama kali masuk Masjidil Haram, ia bilang hampir-hampir tak bisa melanjutkan langkah kakinya. Dengan nada sedikit terharu, ia menggambarkan betapa suasana emosionalnya tatkala itu melihat, oh inilah rumah Tuhan yang didirikan kembali oleh Nabi Ibrahim AS yang kemudian menjadi arah sujud berjuta-juta umat Islam sekarang ini. Sambil tak henti-hentinya membaca subhanallah, Si Fulan menangis tersedu-sedu karena dalam hidupnya ternyata, toh, dikaruniai kesempatan bisa datang ke Mekkah, dan bisa bersembahyang di dekat Kabah dan secara fisik memang sangat dekat sekali. Si Fulan kemudian melakukan tawaf, mencium Hajar Aswad, dan tidak lupa ia berdoa di Multazam.

Perasaan terharu dan sempat menangis yang kedua kalinya adalah tatkala ia mendaki bukit Rahmah di Arafah. Betapa di tempat itu, ia ingat kisah Nabi Adam AS yang dipertemukan kembali dengan istrinya setelah turun dari surga.

Yang ketiga, dalam seluruh paket perjalanan hajinya itu, Si Fulan juga mengaku tidak bisa menahan tangisnya sewaktu di Madinah berziarah ke makam Rasulullah. Sungguh, ujarnya, sebagai seorang pelaku sufi yang selama ini selalu mendambakan dalam mimpinya agar bisa bertemu Nabi Muhammad, ia merasa bahagia sekali ada di sana, dekat dengan tempat jasad nabi tersebut disemayamkan.

Dengan rendah hati tampak sekali Si Fulan ingin segera mendapat konfirmasi dari Kiai-nya, apakah dengan menangis di tiga tempat tadi, hal itu merupakan tanda-tanda bahwa hajinya mabrur. Dengan agak lamban akhirnya Kiai menjawab dengan singkat sekali, katanya, "Insya Allah, insya Allah, Lan."

Kini, giliran Si Rojul. Ia bilang, "Kiai, sebelumnya saya mohon maaf," begitulah dengan suara lirih dan nada tampak penyesalan. Dengan jujur Rojul bilang bahwa perjalanannya ternyata tak sampai ke Tanah Suci.

"Sungguh maaf Kiai, bekal saya habis di tengah jalan," ucapnya. Bekal itu, oleh Rojul, katanya, habis diberikan kepada anak-anak yatim, orang-orang tua yang lapar, fakir-miskin yang menjumpainya selama dalam perjalanan. Jadi, alhasil, Si Rojul urung, tidak sampai niatnya ke Mekkah, apalagi menunaikan wukuf di Arafah dan bisa menziarahi makam Rasulullah. Sambil terharu dan sedikit terisak-isak, Rojul menyudahi cerita pahitnya itu.

Anehnya, berbeda dengan yang dirasakan oleh Si Rojul, Kiai sepuh yang alim itu, setelah mendengarkan betapa terjal jalan setapak yang pernah dilalui Rojul menuju ke Tanah Suci ini, dengan sangat spontan berkomentar, "Alhamdulillah," yang diucapkannya beberapa kali menunjukkan kepuasan batinnya.

"Kau Rojul," ungkapnya, "ternyata telah mengerjakan haji mabrur yang sesungguh-sungguhnya." Sebab, tambahnya, "Kamu dengan niat ikhlas selama ini ternyata sudah berihram. Memakai pakaian itu dalam hidupmu, dalam hati dan jiwamu, biarpun secara fisik ibadah hajimu belum sampai ke Arafah."

Dan kata Kiai ini, memang tidak semua orang yang telah pergi haji memperoleh makna substantif ibadahnya seperti itu. Sebab, ritual haji, yang sebenarnya lebih banyak didominasi oleh ibadah gerak untuk merekonstruksi sejarah kenabian monoteistik itu, jika dilaksanakan tanpa refleksi, tanpa perenungan kritis, ya bisa saja memuaskan secara emosional seperti ungkapan tangisnya Si Fulan tadi. Apalagi kalau orang yang pergi wukuf hanya sekadar ingin mencuci dosa pribadi, maka bunyi istigfar tak akan membekas secara spiritual dan memberikan implikasi yang bermakna bagi kehidupan sosial. Sebab, tanpa kesadaran yang mendalam bahwa noda kesalehan yang harus kita bersihkan di samping yang sifatnya perorangan, di sana tentu ada banyak dosa struktural, yakni bagian dari tanggung jawab kita bersama untuk membangun kesetaraan, keadilan, dan keadaban publik.

Dalam hal ini, simbolisasi berpakaian ihram dalam haji, tidak lain, saya kira merupakan pernyataan dan peringatan tentang betapa penting menegakkan secara terus-menerus komitmen keberagamaan dan kesalehan egalitarianistik seperti itu, apalagi dalam kehidupan yang hedonistik dan individualistik sekarang ini.

Masuk dalam horizon makna yang luas seperti itu adalah pilihan kita. Pilihan tatkala harus merumuskan diri kita sendiri, apa yang kita maksud dengan ibadah, dengan kesalehan selama ini.

Dan kisah tentang Kiai dan dua santrinya itu, saya kira tidak lain dan tidak bukan memberikan pelajaran yang bagus, betapa pentingnya kita selalu mencari makna yang lebih substantif di luar semaraknya ritual selama ini, yang ditandai misalnya dengan semakin meningkatnya jumlah jemaah haji setiap tahun dan bisa jadi akan semakin banyaknya hewan kurban yang secara seremonial akan kita sembelih, sehabis shalat Idul Adha besok pagi.

Moeslim Abdurrahman Ketua Al-Maun Institute, Jakarta

Sumber: Kompas, 26 Nov 09

Nov 12, 2009

Mengakrabi Pelajaran Matematika & Sains untuk Anak

Apakah Memang Penting Mata Pelajaran Matematika Dan Sains Itu ?

Kamis, 12-11-2009 13:43:34 oleh: Marjohan M.Pd
Kanal: Opini

Kita bersyukur bahwa banyak orang tua siswa sekarang sangat peduli terhadap pendidikan dan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) anak-anak mereka . Sejak anak kecil hingga berusia remaja, mereka ikut mencikarui- melakukan -interferensi positif- terhadap pendidikan anak. Toko-toko buku sekarang sudah menjadi tempat yang sangat popular untuk dikunjungi demi kepentingan ilmu pengetahuan. Pengunjung yang posisinya sebagai orang tua paling senang mengunjungi bagian pojok buku psikologi, menemukan buku tentang cara mendidik anak dan sampai kepada pojok buku filsafat , nuansa buku agama atau buku pendidikan popular lainnya.

Di rumah banyak orang tua yang juga sudah mendorong pertumbuhan dan perkembangan SDM anak. Mereka mengantarkan anak untuk pendidikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan TK. Pada pendidikan dini ini, anak mulai mengenal adaptasi dengan sosial, serta berlatih untuk menguasai gerak halus dan gerak kasar. Suasana belajar pada pendidikan dini tersebut betul-betul menyenangkan, atau diistilahkan bahwa suasana belajar sudah bernuansa PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan) atau PAIKEM (Pembelajaran Aktif, inovatif, Kreatif Efektif dan Menyenangkan).

Guru-guru untuk pendidikan usia dini tersebut selalu memberikan pelayanan prima atauexcellent service terhadap manusia-manusia kecil ini. Sebagai responnya, maka manusia kecil (anak didik) tadi menyambut pelayanan prima sang guru dengan suka cita, riang gembira dan penuh rasa cinta. Sekaligus mereka menjadikan ibu guru pada PAUD atau TK sebagai guru idola mereka.

Namun waktu selalu bergulir dan anak didik kecil mungil tadi melangkah masuk ke pendidikan SD. Sebagian anak didik akan beradaptasi dengan mudah di sekolah yang baru (SD) mana kala berjumpa dan belajar dengan guru kelas yang juga melayani anak dengan prima, yaitu guru-guru yang senang mengekspresikan kata-kata yang penuh dengan muatan emosi "anak-anakku sekalian, anak anak yang pintar, anak-anakku tersayang" Guru-guru kelas pada SD pun menjadi "guru idola".

Namun anak didik bakal kaget, stres dan mengalami nightmare (mimpi buruk) mana kala belajar dengan guru-guru yang kikir dengan ekspresi yang hangat, kecuali kalimat penuh mengancam "bila tidak membuat tugas dihukum berdiri kaki itik di depan kelas, ketahuan mencontek maka kertasnya ujian dirobek….". Guru-guru yang kurang bisa beradaptasi dengan pedagogi dan perkembangan jiwa anak sangat tepat untuk segera mengundurkan diri sebagai pendidik.

Pada mulanya fokus pengajaran pada bangku Sekolah Dasar adalah supaya anak menguasai "tiga R", yaitu keterampilan reading, writing dan arithmetic (keterampilan membaca, menulis dan berhitung). Keterampilan menulis terasa menyenangkan manakala guru kelas ikut memegang jari-jari halus siswa menulis di atas kertas. Demikian pula dengan pelajaran membaca. Anak merasa mulutnya bisa berubah menurut vokal "a, i, u, e dan o", dan mengekspresikan ungkapan yang lucu-lucu yang diikuti dengan bentuk alfabetnya.

Pelajaran matematika di kelas satu Sekolah Dasar, sangat berkesan bila dihubungkan dengan pengalaman atau unsur-unsur emosional dan yang berhubungan dengan kebutuhan anak. Orang-orang yang berusia 40-an sekarang ini, kemungkinan masih ingat dengan pelajaran berhitung saat mereka di SD dulu. "Satu manggis ditambah tiga manggis menjadi empat manggis".Ekspresi ini mungkin masih membekas, namun bagaimana dengan suasana belajar matematika anak sekarang ?

Gara-gara peringkat mutu matematika dan sains siswa Indonesia menempati posisi yang sangat rendah di negara-negara Asean, apa lagi untuk tingkat dunia, maka kurikulumnya pun digenjot dan ditambal sulam. Guru-guru matematika dan sains sejak dari SD sampai ke bangku SLTA diharapkan untuk proaktif.

Ada wujud kepedulian sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kualitas matematika dan sains anak. Guru guru dan tokoh pendidik yang lain berpacu untuk merancang- menyusun buku matematika dan sains, mulai untuk tingkat SD, SMP dan tingkat SMA. Sebagian buku ada yang diujicobakan di sekolah-sekolah super sebelum dicetak dan sisebar luaskan untuk menjadi konsumsi siswa-siswa di berbagai sekolah di Indonesia yang kualitas otak mereka amat jauh berbeda dengan kualitas otak siswa di sekolah yang bermutu. Kualitas orang tua orang siswa pun juga berbeda dengan sekolah kebanyakan.

Mata pelajaran sains dan matematika cenderung menjadi mata pelajaran yang kurang bersahabat dengan anak didik. Sementara itu guru- guru wajib menyajikannya sesuai dengan tuntutan kurikulum. Karena rancangan materi buku matematika terlalu sulit maka lambat laun anak anak memandang mata pelajaran ini sebagai monster yang menakutkan dan membosankan. Anak-anak selalu susah payah untuk memahaminya, apalagi guru guru cenderung tegang dalam memperkenalkan mata pelajaran ini. Ya karena di rumah orang tua mereka sendiri juga jarang kedengaran berhitung, maka anak miskin dengan logika dan sang guru sering menjadi naik pitam, "wah soal berhitung demikian mudah juga kamu tidak tahu, dasar bloon".

Ada seorang staf pendidik memiliki anak yang belajar di kelas 3 SD, berkata bahwa tiap hari ia menemani anaknya belajar, sudah membudayakan belajar mandiri di rumah, membuat PR dan membaca. Namun hampir setiap hari anaknya rewel dan merengek gara-gara kurang mengerti dengan PR matematika."Ya ampun pelajaran matematika untuk konsumsi murid kelas 3 SD dirancang tidak begitu menarik- tingkat bahasa cukup tinggi bagi imajinasi anak, kita saja yang sudah lulus S.1 dan S.2 masih harus konsentrasi untuk memahaminya, apalagi murid kelas 3 SD yang masih hijau dan belum cukup pengalaman untuk memahami spasial dan logika, kemudian diberi tugas yang melebihi kekuatan jari-jari kecil mereka", dan itulah fakta serta kenyataannya. Bila anak terpaksa belajar- belajar dalam kondisi tertekan (stress), tentu akan mendatangkan rasa bosan dan dipaksa, maka terjadilah pembunuhan karakter mereka dalam belajar.

Namun buku buku matematika dan sains tersebut kan sudah disahkan oleh BSNP- Badan Standar Nasional Pendidikan. "Nah itulah masalahnya, pengesahan buku-buku oleh BSNP mungkin berdasarkan verifikasi dari atasnya- top down, dilihat dari kacamata siswa cerdas dan sekolah unggulan melulu. Buku-buku tersebut dianggap layak dan bermutu untuk sekolah berkualitas dan anak anak cerdas yang cuma berdomisili di pulau Jawa dan kota-kota besar. Sementara itu coba lihat, banyak buku-buku yang walau sudah disahkan oleh BSNP tetap tidak teresentuh dan menumpuk di perpustakaan. Seharusnya BSNP juga rajin-rajin untuk mencek buku yang telah mereka rekomendasikan itu sampai ke lapangan di berbagai pelosok negeri. Kemudian juga perlu merekomendasi tingkat kesulitan buku berdasarkan verifikasi bottom-up, dari arus bawah- berdasarkan sekolah sekolah kebanyakan tersebar di persada ini".

Ada orang tua bertanya tentang seberapa jauh pentingnya mata pelajaran matematika dan sains tersebut. "Matematika dan sains itu sangat penting, syarat untuk lulus UN, kalau anak cerdas untuk bidang studi ini, ia bisa kuliah di Pulau Jawa, Universitas bergengsi, anak bias jadi dokter, jadi insinyur. Bila anak masuk jurusan IPA, peluang untuk kuliah lebih bagus dari jurusan IPS dan Bahasa". Berarti secara tidak langsung jurusan IPA lebih hebat dari dua jurusan lain, maka siswa yang masuk jurusan IPA akan merasa superior dan yang masuk jurusan Bahasa dan IPS menjadi inferior atau rendah diri.

Menyadari begitu sulit dan pentingnya mata pelajaran matematika dan sains, maka solusinya adalah para siswa mulai dari SD, SMP dan SLTA direkomendasikan untuk mengikuti belajar siang, atau belajar tambahan di les-les privat. Malah pebisnis franchise pendidikan merespon dengan riang gembira, segera membuka kelas-kelas bimbingan belajar dan meraup laba sampai ratusan juta rupiah atas derita kesulitan belajar anak. Namun tentu saja bisa dijangkau oleh siswa yang orang tuanya berduit, sementara bagi siswa miskin harus gigit jari atau cari bimbingan belajar yang murah meriah.

Kini banyak sekolah menyadari atas problem belajar anak untuk mata pelajaran matematika dan sains, yang nota benenya adalah juga mata pelajaran yang diujikan dalam UN (Ujian Nasional). Maka usai PBM yang normal, maka kembali siswa disekap- atau direkomendasikan untuk sekolah tambahan. Apakah proses PBM belajar tambahan untuk mata pelajaran yang dipandang sangat primadona ini effisien dan efektif ? Yang jelas siswa terlihak lesu, bosan, merasa terpaksa, sehingga mengikuti PBM hanya secara main-main saja. Akibat PBM nya sendiri tidak menarik, suasana hati untuk belajar juga tidak pas "Sang guru saja juga merasa terpaksa untuk mengajar sore". Maka jadilah guru yang merasa bosan mengajar siswa yang juga merasa bosan. Anak didik merasa tersekap lagi sepanjang hari di sekolah, akibatnya badan dan jiwa menjadi letih. Setelah pulang sekolah tentu juga tidak bisa mengulang pelajaran, apalagi untuk berbakti pada orang tua dan untuk masyarakat sekitar.

Kalau sekarang banyak siswa kurang bisa bertegur sapa dengan orang tua atau guru dengan santun, ya itu gara-gara mereka tidak punya waktu bersosial, karena disekap oleh PBM- belajar tambahan, "Anak sekarang sombong-sombong tidak ramah dan tidak biasa menyapa orang tua !" .Kalau pemuda kita juga tidak jago lagi dalam olah raga, malas turun ke sawah atau tidak kenal dengan laut (bagi anak nelayan, sehingga ikan-ikan kita pun dicuri oleh negara lain) adalah juga gara-gara anak tidak punya waktu untuk ke laut atau ke pedalaman, juga karena disekap terlalu lama di sekolah atas nama meningkatkan PBM yang sebenanrnya tidak begitu signifikan dampaknya. Kemudian kalau siswa menjadi acuh tidak acuh dengan kehidupan sosial di seputar rumah dan miskin dengan life skill serta sirnanya karakter ramah tamah adalah juga karena gara-gara anak dipaksa lagi oleh mata pelajaran matematika dan sains untuk sekolah tambahan, termasuk bagi mereka yang tidak berminat dengan mata pelajaran tersebut.

Fenomena dalam kehidupan di sekolah, terutama untuk tingkat SMA dan MA, bahwa mayoritas siswa dan orang tua mengidolakan mata pelajaran sains termasuk matematika."Masuklah ke jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau sains niscaya masa depan mu cerah !". Demikian sugesti secara implisit dan eksplisit di sekolah dan di rumah. Tanpa analisa yang mendalam berdasarkan bakat dan minat maka anak didik setuju saja. Maka diserbu dan diidolakanlah "jurusan IPA tersebut". Guru-gurunya pun keciprat beruntung, karena dihormati melebihi guru bidang studi lain, sementara jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), apalagi jurusan Bahasa dan mungkin juga guru-gurunya, dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai jurusan kelas dua. Dalam pemilihan jurusan di SMA, bila anak ternyata masuk ke IPS dan Bahasa akan dipandang kurang cerdas. Orang tua yang IPA maniak akan marah-marah, "Kok kamu masuk jurusan IPS, bodoh kamu, percuma saja kamu ikut les dulu dan buang-buang uang saja". Malah ada anak yang rela tinggal kelas asal tahun berikutnya bias masuk jurusan IPA, apakah jurusan IPA itu adalah segala-galanya ?

Kini banyak anak-anak cerdas belajar pada jurusan IPA. Tetapi tunggu dulu, apakah mereka betul-betul cerdas? Belum tentu, mereka kan cuma sekedar terlatih menjawab soal-soal Ujian Nasional (UN), dan soal ujian SNMPTN (Sistem Nasional Masuk Perguruan Tinggi), namun begitu dibawa ke laboratorium mereka tidak mengerti dengan cara praktikum, di rumah kalau listrik mati karena korslet, mereka bingung untuk membuatnya nyala. Malah mereka pun sudah menjadi orang yang anti kritik karena merasa sudah jagoan di kelas. Inilah akibat PBM Cuma sekedar memburu skor out-put dan memasung proses pembelajaran dan proses bersosial anak di rumah (akibat banyak ditahan di sekolah).

Ada orang mengatakan bahwa pintarnya anak Indonesia cuma sebatas menjawab soal-soal UN semata, tapi tidak pintar memegang tangkai cangkul buat membersihkan halaman rumah, tidak tahu cara membantu diri sendiri, keluarga apa lagi buat membantu orang lain- gara-gara hanya berorientasi belajar tanpa diimbangi dengan rasa peduli pada sosial. Sekali lagi, pintarnya anak Indonesia hanya sekedar mencari selembar ijazah dan habis itu bengong dan nongkrong dalam tangga pengangguran.

Apakah memang penting mata pelajaran matematika dan sains itu? Mata pelajaran ini memang sangat penting, namun gara-gara mengidolakan mata pelajaran ini, dan anak didik terlalu disekap berlama-lama di sekolah sehingga kesempatan mereka untuk mengembangkan diri di sore hari jadi hilang. Terus terang siswa sekarang perlu kehidupan seperti siswa generasi dulu, punya waktu untuk main voli, membuat acara ulang tahun, pergi mengaji, ikut kegiatan keluarga dalam rangka memahami adat istiadat, tahu cara mengelola usaha bisnis keluarga, tahu cara menggoreng telur dadar dan punya waktu untuk beramah tamah dengan tetangga. Bila mata pelajaran matematik dan sains terasa sangat membosankan, maka PBM dengan sistem PAKEM atau PAIKEM sangat perlu untuk dimiliki oleh guru bidang studi tersebut- tentu orang tua (terutama untuk tingkat SD karena pelajaran ini belum begitu sulit) juga perlu menjadi guru sains dan matematika di rumah. Mengajar bidang studi ini dengan memberi PR segudang sangat percuma, karena siswa pasti saling mencontek dan saling menyalin tugas teman, tanpa mengerti kecuali sekedar menyenangkan hati sang guru untuk menganggap mereka sebagai siswa yang rajin.

Akhir kata bahwa pokok permasalahan anak didik dalam belajar sains dan matematika di sekolah adalah karena mereka memiliki minat belajar dan motivasi belajar yang cukup rendah. Maka kurang tepat solusinya dengan memaksa mereka belajar tambahan setiap hari sampai sang surya tenggelam lagi di ufuk barat dan mereka pulang ke rumah dengan penuh lesu dan bosan, serta miskin dengan life skill dan kurang peka dengan kehidupan sosial. Belajar tambahan begitu lama setiap hari mungkin bisa menyebabkan mereka kehilangan masa-masa indah untuk mempelajari keterampilan hidup dan keterampilan sosial yang mungkin juga jauh lebih penting untuk dimiliki dari pada sekedar belajar tidak sepenuh hati di sekolah sore / sekolah tambahan. Mana tahu andaikata hidup mereka susah dan nilai akademis belum bisa memberi janji untuk pekerjaan yang mereka mimpikan maka life skill mungkin bisa sebagai alternatif dalam hidup, dengan membuka restoran, bengkel, bisnis out door activity, dan lain-lain, tentu saja selagi dalam keridhaan Sang Khalik.

(Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar)

Sumber: Wikimu

Oct 12, 2009

Arah suku bunga 6 bulan & 2 tahun ke depan

Prediksi:
...bakal naik 3x lagi @ 0.25% dalam 6 bulan ke depan...
and a further 2% for the next 2 yrs...

Salam suku bunga, 
E-Jay & Associates
游文源

Why Glenn Stevens is the best in the world

News Limited newspapers

October 12, 2009 12:00am

RESERVE Bank Governor Glenn Stevens is regarded as one of the world's best (if not THE best) central bank bosses and last week he proved it.

No one likes interest rate increases but he had to lift rates last week or risk leaving it too late and potentially having to increase them a lot higher down the track.

Just have a look at what's happening around you. The residential property market is starting to overheat, consumers are still spending, unemployment will peak around the 6% mark rather than the expected 8% and company profit outlooks are rosier.

It's the property boom which would be of most concern to the RBA and the area which needs to be dampened quickly.

While the rest of the world economy is still struggling, the global financial crisis is officially over for Australia even though it turned out to be a lot wimpier than the pessimists expected.

Admittedly the Reserve Bank was a little slow to pick the economic downturn and shouldn't have passed on the last rate hike in March 2008, but they admitted their mistake quickly and decisively slashed rates soon after to levels not seen for 50 years.

Funny article, Glenn Stevens best in the world.... Kochy your jokes are as bad as ever.. Unemployment has NOT peaked !. ...

(Read More)

John Hawke

It was that decisive action, plus the surpluses of the Coalition and the good economic management of the current Government, which have generally insulated us from the worst of the global crisis.

But you need to keep all these measures in perspective and relate them back to where we are in the economic cycle.

Remember economies move in cycles. Every boom ends in a bust and every downturn eventually starts to improve.

The key is timing the cycle.

Australia's official interest rates were slashed to a historically low 3 per cent because everyone thought the global economy was headed down the toilet with many forecasting a Depression. That cut was a Depression-fighting level and it worked.

A "normal" official interest rate level for a "normal" Australian economy is seen to be around 5-6% and that's where we'll eventually get back to in two years or so.

Because our economy didn't go in to Depression and has started to bounce back, the Reserve Bank has to start readjusting rates toward those normal levels.

Last week's 0.25 percentage point rate rise will probably be followed by three more similar rises over the next six months.

That will take official rates back to 4 per cent which is still way below "normal"' level, which means the Reserve Bank is hedging its bets against a big economic calamity overseas.

If that calamity doesn't happen then expect official rates to move up more quickly towards that 5-6 per cent mark.

That's the type of scenario you should be planning on over the next couple of years.

Mortgage rates could rise significantly and if you haven't got your debt levels under control then you're going to find it pretty tough.

Think of a car bogged in sand. You stick some wood under the wheels for traction (that's the Government's stimulus package), you then rev it up and step on the gas (cut interest rates) but when you're on solid ground you have to ease the accelerator (lift interest rates) or the car gets out of control and may crash.

The same with an economy.

If you need convincing, just look at the residential property market.

Houses which have been on the market for the last 18 months in our area have all sold in the last three weeks and I'm getting the same story from friends and Sunrise viewers in all the major capital cities.

A relative of ours sold their house to the first person who saw it and we sold a little investment unit in our superannuation fund on the first weekend it was open for inspection. Crazy stuff.

One of the main reasons our economy didn't plunge to the depths of the US and Europe was that our property values held up because of a lack of stock. US house prices dropped on average 25-30 per cent and it was the same, if not a little worse, in the UK.

By comparison with the rest of the world our residential property prices are very high.

They stagnated during the financial crisis rather than crashed. The last boom simply took a breather and is off again.

That worries us because there was really no major correction to speak of and the bigger the boom, the bigger the bust when it eventually comes.

Sumber: News, 12 October 09

Sep 19, 2009

Win-win Australian politics

...proving the lesson that a smart leader like Rudd does need to have & implement his strategies. Winning bipartisan support, whilst at the same time undermining the opponent & strengthening own party. / EJ

Rudd's strategy to spear and seduce

Paul Kelly, Editor-at-large | September 19, 2009

Article from:  The Australian

THERE is a touch of genius in Kevin Rudd's latest move; at one stroke he champions the unifying ethos of the Labor Party, suffocates the political lifeblood of the Liberal Party and strengthens Australia's diplomacy.

The appointments of Kim Beazley and Brendan Nelson strengthen Australia's profile in important capitals. They also reveal Rudd's complexity as a leader and the historic threat he poses to the Liberal Party of Australia. From the moment Rudd and Brendan Nelson had their friendly cup of tea some time ago, Rudd has been contemplating such an appointment.

The former Liberal leader, as Australian ambassador to the European Union and representative to NATO, will discharge his responsibility to the Labor government with flair and dedication. But this appointment betrays the weakness of the Liberal Party. Does anybody imagine that Kim Beazley, Simon Crean or Mark Latham as former ALP leaders would have accepted equivalent ambassadorial posts in the Howard government? It would have been inconceivable and John Howard would not have made them any such offer.

Yet Nelson heads to Brussels as Rudd's envoy ready to follow Rudd's instructions on trade liberalisation, climate change and Afghanistan strategy. The symbolism is lethal: the man the Liberal Party selected as its leader after the 2007 poll to confront Rudd in mortal combat has become part of Labor's governing apparatus. Nelson never became PM but he will become Rudd's man in Europe.

For Labor, it is an exquisite twist of the political knife. It demonstrates Rudd's expanding control of Australia's middle ground. The implicit message is that it is safe for Liberals to vote for Rudd. The Liberal brand is further weakened.

Howard was too tribal a leader to make such "reverse" political appointments. But Rudd is teaching the old tribal warriors a lesson: it is as easy to seduce your opponents as to slay them. This move is good news for the Rudd government and for Nelson. Because he is serving his country, there can be no objection to his decision. But there is no upside for the Liberal Party, its honour, integrity or principles.

Consider Nelson's farewell speech; he praised Howard, Peter Costello and Peter Reith, asked young people to maintain their idealism, expressed his admiration for George W. Bush and opposed the Rudd government's emissions trading legislation in yet another strike at Malcolm Turnbull knowing the whole time he was about to become Rudd's ambassador.

Consider Rudd's parliamentary reply to Nelson: he praised Nelson as a "decent human being", called him Brendan throughout, recalled their conversations about shared "adult grief" over the death of Nelson's father and Rudd's mother, congratulated Nelson for delivering the Liberal Party behind Rudd's 2008 apology to Aboriginal Australians, applauded Nelson as education minister and declared that "the Australian Labor Party salutes you". Nelson is the sort of Liberal leader that Labor usually only dreams about.

Nelson informed Turnbull of the appointment the morning it was announced. It was a neat Rudd-Nelson compact against Turnbull. The message is that Rudd has a refined grasp of bipartisanship as a technique to advance Labor's cause. This was an appointment on Rudd's terms. The public likes bipartisanship and this theme in his diplomatic appointments reveals Rudd's superior political touch to that of Howard.

It comes just a week after Rudd's partisan assault on the Liberal Party at the launch of my book, The March of Patriots, dismissing the party's claims on any role in Australia's economic modernisation. Such partisanship provoked a furious reply from Turnbull and Howard.

It reminds that Rudd spears and seduces the Liberals. There is a "man for all seasons" quality about Rudd as he moves effortlessly from a divisive dismissal of the Howard government's legitimacy to recruit contemporary Liberals into Labor's umbrella of patronage.

Have no doubt the Liberal Party is at a moment of historic weakness and the Labor Party is at a moment of historic strength. The Beazley and Nelson appointments testify to this. Rudd, with help from Foreign Minister Stephen Smith, got it exactly right. It was Smith, responding to Rudd, who proposed the Brussels appointment for Nelson. It is near perfect, without the sensitivity of Washington yet of a status that suits a former party leader.

Beazley is made for his role as ambassador to the US and the appointment won immediate bipartisan support. There is no figure in the national parliament with Beazley's experience in dealing with the US as academic, politician, defence minister, opposition leader and participant in the Australian-American Leadership Dialogue. But this decision was a moment of truth for Rudd.

If he had failed to appoint Beazley, waves of alarm and complaint would have been transmitted throughout the Labor Party. The decision was not automatic. Relations between Rudd and Beazley have been extremely tense since Rudd deposed Beazley as ALP leader in December 2006. Beazley's service to the party has been long and honourable with nothing more important than Beazley's arduous task as opposition leader after the 1996 defeat and his journey through this valley of tears keeping the Labor Party together and competitive.

The Washington post was the job Beazley wanted. His qualifications were so superior to any other candidate from the diplomatic service or politics that Rudd's overlooking of Beazley would have been a slight against the man and against his Labor history. Given Labor tribalism, it would have been a mistake sure to trigger a damaging internal debate about Rudd's values.

Rudd and Smith examined a shortlist of candidates and reached the natural decision. As a result Rudd has repaired bad blood, honoured a great Labor figure and appointed the best candidate. It mirrors Howard's appointment of former Liberal leader, Andrew Peacock as Australia's ambassador to the US.

Beazley has the standing to become a substantial figure in Washington's community in the broadest sense - dealing with the White House, the cabinet, Pentagon and State, the congress, think tanks and the media. He has the humility to work for Rudd, not an easy task for a former leader with his own deep views about the US alliance. Sensing this concern, Beazley was smart enough to stress he would no longer have his own views but devote himself to representing the Rudd government.

Rudd and Smith are destroying some myths about political appointments. The lesson from history is that the Australian people accept such appointments provided the politician is qualified. It is the rort of "jobs for the boys" without justification the public hates. Obviously, neither Beazley nor Nelson offend this rule.

Rudd has worked furiously with President Barack Obama to provide policy input into a range of issues spearheaded by Australia's proposals on the global financial crisis submitted via the Group of 20.

The two leaders have a sound working relationship.

There is a view in Canberra that nobody really advises Rudd on foreign policy. The reality in Washington, however, is that a new Obama administration is taking shape at a time of unusual American tribulation and global uncertainty with a desperate scramble among nations for influence in the US capital. For Australia, Beazley will be an astute ambassador whose great quality will be that all Americans will like him and some will love him.

Link: http://www.theaustralian.news.com.au/story/0,25197,26093488-7583,00.html