Oct 17, 2012

Sendratari Ramayana - Roro Jonggrang

 

SENI TARI

Sendratari Prambanan Pecahkan Rekor Dunia

Para penari Yayasan Roro Jonggrang tampil dalam pemecahan rekor dunia pergelaran sendratari Ramayana Prambanan episode Api Suci, Senin (15/10), di panggung terbuka Sendratari Ramayana Prambanan, Sleman, Yogyakarta. (KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN)

Yogyakarta, Kompas - Mengerahkan 260 personel dalam lakon Api Suci, kelompok sendratari Ramayana Yayasan Roro Jonggrang memecahkan rekor dunia dalam penampilannya, Senin (15/10), di panggung terbuka Ramayana, kompleks Candi Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Bukan hanya jumlah personel yang dinilai spektakuler, rekor ini juga diraih karena grup ini bisa bertahan hingga 51 tahun dalam melestarikan seni tradisi.

Timbul Haryono, Ketua Yayasan Roro Jonggrang, menyatakan, keistimewaan dalam pentas Ramayana lakon Api Suci, jumlah pemainnya memang luar biasa. Selama 51 tahun kelompok tari Yayasan Roro Jonggrang pentas, baru kali ini mereka mengerahkan 260 orang. "Ini memang sengaja menciptakan karya yang benar-benar kolosal, dengan teknik penggarapan yang berat dan membutuhkan waktu latihan cukup lama," tuturnya.

Menurut Timbul, yang juga dosen Arkeologi Universitas Gadjah Mada, keistimewaan tarian ini adalah upaya menampilkan seluruh peri kehidupan, entah itu binatang, manusia, raksasa, dan setan.

Ia menjelaskan, dari 260 personel itu, 30 orang di antaranya adalah pengrawit (penabuh musik pengiring). Selebihnya adalah 48 raksasa, 56 kera (wanara), 16 penari, 28 setan, 70 pemeran api, serta 12 pemain utama dan pembantu.

Lakon Api Suci adalah kisah akhir dari kisah panjang cerita Ramayana. Lakon ini mengisahkan Dewi Shinta yang membakar diri untuk membuktikan cinta dan kesetiaannya kepada Rama.

Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Purnomo Siswoprasetjo mengatakan, pemecahan rekor dunia ini diajukan sejak enam bulan lalu.

Sumber: Kompas, 17 Oktober 2012

Internal Adjudicator Guinness World Records Lucia Sinigagliesi mengatakan, sendratari Ramayana menjadi kategori baru rekor dunia. (TOP/ABK)

Oct 16, 2012

Stable Allocations & Market Design Theories

...the theory that finds out how best to bring different parties together for mutual benefit...
 

Alvin E Roth dan Lloyd S Shapley

Peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2012

Alvin E Roth dan Lloyd S Shapley

Kompas, 16 Oktober 2012 - Oleh Simon saragih

Menemukan sekolah yang pas, mencari dokter yang paling cocok untuk dipekerjakan di sebuah rumah sakit, hingga mencari pasangan hidup paling ideal. Itulah metode yang disusun dua ekonom AS, Alvin E Roth dan Lloyd S Shapley, yang disebut sebagai "theory of stable allocations and the practice of market design". 

Intinya, bagaimana sebuah barang atau jasa terbaik bisa kita dapatkan dan tidak ada lagi barang atau jasa lain yang lebih baik untuk dicari. Itulah inti dari teori ekonomi yang dilahirkan dua ekonom ini.

Itulah kontribusi Roth dan Shapley yang membuat Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia menganugerahkan Hadiah Nobel Ekonomi 2012 dengan uang sebesar 1,2 juta dollar AS.

Secara teknis, ini bukan Hadiah Nobel karena tidak termasuk dalam surat wasiat Alfred Nobel, seorang industrialis Swedia penemu dinamit. Dia mewasiatkan penghargaan untuk mereka yang andal di bidang kimia, fisika, sastra, perdamaian, dan kedokteran saja. Hadiah Nobel Ekonomi diciptakan oleh Bank Sentral Swedia tahun 1968 untuk mengenang Nobel.

Sejak itu, setiap tahun, penghargaan diberikan dan kali ini diumumkan di Stockholm, Swedia, Senin (15/10). Dominasi para ekonom AS masih belum tertandingi.

"Fokus penghargaan tahun ini terkait persoalan inti ekonomi: bagaimana membuat semua agen bisa cocok. Sebagai contoh, bagaimana para siswa cocok dengan sekolah yang dituju, bagaimana donor organ manusia bisa menemukan pasien paling pas," demikian dikatakan komite Nobel Ekonomi, memberi alasan pemberian penghargaan kepada Roth dan Shapley.

"Bagaimana semua itu bisa diraih dengan mungkin? Metode apa yang paling pas diterapkan ke berbagai kelompok? Komite memberi penghargaan kepada dua akademisi yang telah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini," ungkap komite.

Dikatakan, kedua ekonom AS itu mendapatkan sebuah teori yang tadinya abstrak semata. Teori ini disebut teori tentang "alokasi-alokasi yang stabil". Teori ini dikembangkan menjadi praktis.

Sebagai contoh, temuan mereka berhasil diterapkan di sejumlah rumah sakit di AS. Sejumlah pasien di beberapa rumah sakit, misalnya, berhasil menghindari kematian karena mendapatkan transplantasi organ tubuh dari orang yang paling tepat.

Sejumlah sekolah kedokteran di AS mengalami penurunan drastis dalam hal mahasiswa drop out setelah menerapkan metode mereka. Demikian juga sejumlah rumah sakit di AS berhasil menjadi rumah sakit yang tergolong terbaik karena mendapatkan para dokter yang paling pas sesuai kebutuhan.

Ada banyak institusi di AS dan di negara lain yang dapat mencapai kinerja terbaik dengan menerapkan teori mereka.

Kaget

Roth yang berusia 60 tahun adalah profesor di Harvard Business School di Boston, Massachussets. Ini adalah sekolah di mana teori ekonom terapan banyak didalami. Roth melakukan studi mendalam tentang agen-agen ekonomi dan praktik rancangan pasar.

Roth sebenarnya melanjutkan karya Shapley yang berusia 89 tahun dan berstatus profesor emeritus di University of California, Los Angeles (UCLA).

Kepada Televisi Swedia, Roth mengatakan terkejut dengan penghargaan itu. "Tidak, saya sungguh tidak menyangka. Namun, penghargaan itu pasti cocok untuk Lloyd Shapley. Saya bahagia bisa berbagi hadiah itu dengannya," kata Roth.

Roth mengatakan, dia bangga dengan hadiah itu. Ini akan meningkatkan minat pada hal-hal yang mereka dalami tentang rancangan pasar (market design). Ini adalah sebuah bidang terbaru dalam ilmu ekonomi.

"Jika saya mengajar nanti, murid-murid saya akan memberi perhatian yang lebih tinggi kepada saya," kata Roth.

Shapley tidak bisa dihubungi dan sudah tidak mengajar di UCLA. Akan tetapi, prestasinya membuat UCLA tetap memberi penghargaan dengan memberinya julukan profesor emeritus.

Shapley adalah lulusan Harvard pada tahun 1943. Saat keadaan genting, Shapley pernah memasuki dinas militer AS. Dia meraih penghargaan karena bisa memecahkan kode-kode rahasia Uni Soviet soal kondisi cuaca.

Seusai menjalani dinas militer, dia melanjutkan kuliah di Princeton University dan meraih gelar doktor ekonomi. Pada 1981, Shapley mulai mengajar di UCLA.

Per Krusell, Ketua Economic Sciences Prize Committee, mengatakan, tema pemberian Hadiah Nobel Ekonomi 2012 tidak memiliki kaitan apa pun dengan masalah terkini ekonomi Eropa yang sedang didera krisis.

"Sukses riset-riset mereka terletak pada kombinasi teori Shapley yang berhasil dikembangkan Roth dalam kehidupan praktis," kata Krusell.

Teori yang mereka ciptakan telah menarik banyak minat untuk mendalami bidang serupa.

"Perjodohan terbaik"

Awalnya hanya sebuah teori yang diciptakan Shapley. Pada dekade 1960-an, profesor dari UCLA ini mengembangkan teori matching methods. Ini adalah metode soal perjodohan paling pas antara sejumlah orang dari lain jenis untuk menikah.

Sebagai contoh, beberapa laki-laki dan perempuan berpikir untuk menikah. Metode Shapley dipakai untuk melahirkan pasangan paling cocok sehingga pernikahan mereka langgeng hingga akhir hayat. Alasannya, setiap pasangan telah mendapatkan jodoh terbaik dan tidak ada jodoh lain yang paling baik dari itu. Setiap pasangan merasa bahwa mereka sudah mendapatkan pasangan paling menarik dan paling pas.

Shapley dan koleganya sesama pengajar di UCLA bernama David Gale mengembangkan sebuah proses yang menjamin pernikahan paling aman atau stabil. Dalam proses ini, yang mereka sebut sebagai "Algoritme Gale-Shapley" ada beberapa langkah. Para laki-laki dan perempuan, antara lain, menyusun daftar calon jodoh paling pas sesuai kriteria yang mereka inginkan. Lalu, pilihan ditentukan setelah masing-masing menemukan calon terbaik.

Simulasi ini hanya abstrak. Tidak ada pernikahan yang terjadi didasari Algoritme Gale-Shapley itu.

Penggunaan praktis

Roth kemudian mendalami karya Shapley. Hal paling awal dan paling paling luas dipakai adalah pencarian para dokter yang paling pas untuk semua rumah sakit di AS.

Pada dekade 1990-an, Roth mengembangkan algoritme baru yang dipakai National Resident Matching Program, yang mempertemukan para dokter dengan rumah sakit terbaik.

Ini berhasil, tetapi teori Roth juga amat cocok dengan termuan Gale-Shapley. Setelah itu, kini banyak perusahaan juga mencari karyawan baru dan terbaik dengan memakai metode " perjodohan" itu.

Sekolah-sekolah di New York City pernah menghadapi problem dengan angka drop out tinggi. Roth menolong sekolah-sekolah itu dengan metode yang dia temukan. Roth membantu sekolah-sekolah itu dengan membuang sistem lama dan menggantinya dengan teori Shapley. Hasilnya luar biasa.

"Beberapa orang mengatakan, ilmu ekonomi memiliki berbagai jenis alat dan teknik yang baik. Akan tetapi, ilmu ini kurang menyajikan hal-hal menarik," ujar Roth, suatu waktu pada tahun 2010, kepada majalah Forbes.

"Saya melihat ke sekitar, dan saya lihat banyak hal menarik. Berbagai masalah harus kita atasi dengan alat yang kita miliki," kata Roth, lulusan Columbia University, New York, pada tahun 1971. Ia melanjutkan pengambilan gelar doktor di Stanford University, yang dia raih tahun 1973.

Sumber: Kompas, 16 Oktober 2012

Oct 10, 2012

Dulu pembungkaman, kini pengabaian

Ketika pena masih bisa menjadi senjata, maka kekuasaan pun masih bisa dikontrol, tapi apa jadinya bila pena (kata-kata) bisa leluasa bersuara tapi menjadi tak bermakna di telinga? Hanya menjadi hal yang diabai? Maka kata-kata, sesungguhnya telah mati. Kata-kata telah terpendam dingin, bisu di pusaranya.

Bersimpuh di Pusara Kata

Metro Ambassador | Selasa, 21 Agustus 2012 08:08 WIB
INDRA MAULANA
INDRA MAULANA



"Kata-kata telah mati! Kita berada di zaman kematian kata-kata!"


Seorang teman tiba-tiba berseru dalam sebuah diskusi kecil, atau tepatnya obrolan ringan suatu malam. Aku terhenyak, lalu terpekur dan mengendapkan kabar duka itu.

Mulanya kami hanya berbincang tentang keluh kesah yang itu-itu saja; seputar tidak hadirnya negara (pemimpin) dalam berbagai permasalahan. Tapi obrolan seolah mengarah makin serius. Mereka yang mengaku aktivis, cendekia, dan berbagai sebutan lainnya, seperti sudah sampai pada taraf putus asa. Putus asa karena berbagai cara telah disampaikan kepada pemerintah, kepada wakil rakyat, pada penguasa, tentang sejumlah problematika negeri. Putus asa karena mereka bebas berunjuk rasa, bebas meneriakkan protes tentang sesuatu yang salah, tentang sesuatu yang dituntut untuk diperbaiki oleh seluruh elit negerinya, tapi kebebasan bersuara itu seperti berakhir sia-sia, tidak didengar. Atau didengar tapi diabaikan.

Seorang teman lain berseru: "Di zaman Orba, mulut kami dibungkam, tetapi suara (kata) kami bisa menjadi sangat tajam, hingga merobek telinga mereka (penguasa). Tapi kini kami dibebaskan bersuara, kami tidak dibungkam, tapi mereka menutup telinganya, hingga suara kami pun tak berdaya".

Aku pun langsung teringat sepotong sajak perlawanan seorang aktivis 98, yang karena kalimat dalam sajaknya itu, menggemakan gerakan reformasi dan menjadikannya nyata.

Kekuatan sajaknya itu; "...hanya ada satu kata, Lawan!" membuat sang penyair cum aktifis Wiji Thukul, menjadi salah satu korban penculikan yang belum ditemukan hingga sekarang. Tetapi benih reformasi yang turut disebarnya melalui dorongan kata-kata dalam sajaknya itu telah dituai hasilnya kini.

Ketika pena masih bisa menjadi senjata, maka kekuasaan pun masih bisa dikontrol, tapi apa jadinya bila pena (kata-kata) bisa leluasa bersuara tapi menjadi tak bermakna di telinga? Hanya menjadi hal yang diabai? Maka kata-kata, sesungguhnya telah mati. Kata-kata telah terpendam dingin, bisu di pusaranya.

Yudi Latif, dalam "menyemai karakter bangsa" (2008) menyebut "setiap gerakan kebangkitan bermula dari tanda. Dan bahasa (kata-kata) adalah rumah tanda". Ini menunjukkan betapa pentingnya peran kata-kata, dalam setiap gerakan kebangkitan. Dimulai dari sadar berkata-kata, sadar dalam keberaksaraan, maka akses menuju perubahan yang lebih baik pun terbuka lebar.

Dalam kata, tentu ada gagasan/pikiran. Karena sebenarnya, meminjam ungkapan Radhar Panca Dahana, kata-kata adalah baju dari segala pemikiran/gagasan. "Kata-kata dan pikiran ibarat sebuah kertas, seseorang tak bisa memotong satu sisi, tanpa memotong sisi lainnya di waktu yang sama", ujar Ferdinand de Saussure.

Dengan tidak didengar, dengan hanya diabaikan, maka kata-kata seperti dilolosi dari tubuh makna dan gagasannya.  Dilepasnya jubah kata-kata dari tubuh makna, maka sebenarnya kata-kata telah dibunuh, telah dibuat mati oleh sang 'pengabai' itu.

Ibarat mendengar kabar duka tentang orang tercinta, kabar kematian pun beranjak melahirkan cemas.

Karena itulah, di saat orang berteriak "Merdeka" sebagai selebrasi yang berulang tiap tahunnya, aku memilih bersimpuh di pusara kata-kata. Lalu berharap, kata-kata sebenarnya belum mati, tapi berharap ia hanya mati suri. Karena tanpa kata-kata apalah arti manusia dengan segala peradabannya?

Selintas terdengar sayup dari kejauhan, di luar jendela sana, John F. Kennedy berbisik; "Jika politik itu kotor, biarlah puisi yang membasuhnya"

Indra Maulana


Oct 7, 2012

Memoar si Jablay

Esai personal yang bersifat human akan lebih mudah menyentuh orang lain. Ketika pengalaman subyektif dibagi lewat buku, orang lain bisa ikut merasakan, dan memberi pembacanya inspirasi sehingga menjadi sebuah karya yang obyektif. (AA)


TREN FIKSI

Novel di Zaman Janda Galak

 Nur Hidayati dan Yulia Sapthiani

Buku tak lagi ranah milik sastrawan. Novel yang diangkat dari kisah nyata bukan lahir dari sastrawan besar. Memoar bukan lagi hanya tentang orang terkenal. Siapa pun boleh menuliskan kisah hidup, jadi buku laris, dan syukur-syukur menginspirasi banyak orang.

Gaun ketat membalut tubuh Aira Miranti Dewi (39). Potongan gaun itu membuat pundak dan punggung Miranti yang bertato terekspos memikat. Ia berdiri di atas panggung, menyapa sahabat-sahabatnya yang datang ke acara prapeluncuran novel tentang dirinya, Aku Jalak, Bukan Jablay, Kamis, (27/9), di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan.

Tamu undangan acara di kafe itu pun disyaratkan hadir dengan busana bernuansa fuschia—alias pink tajam—seperti warna gaun Miranti. Bersamaan dengan prapeluncuran novel itu, diputar pula video klip single perdana Miranti yang bertajuk sama dengan novelnya. Ia menyanyi dan menari di situ.

Aku Jalak, Bukan Jablay, kata Miranti, berarti "aku janda galak, bukan janda jablay". Jablay adalah bahasa gaul yang artinya jarang dibelai. Disebut prapeluncuran karena novel itu baru dijadwalkan naik cetak akhir Oktober ini. Jadi barangnya belum ada di toko. Uniknya, walaupun belum dicetak dan belum bisa dibaca, novel itu sudah terjual Rp 55 juta atau setara dengan hampir 1.000 eksemplar pada saat prapeluncuran. Ck... ck... ck...!

Novel ini diangkat dari kisah hidup Miranti. Novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata kehidupan seseorang adalah fenomena baru yang ditawarkan kepada pembaca di Tanah Air.

Miranti tak punya pengalaman menulis buku. Ia dulu pernah sukses berkarier menjual produk keuangan. Ia pernah jadi associate director Danareksa Investment Management. Ia hanya dua semester mencicipi bangku perguruan tinggi. Lalu ia menikah dan jadi ibu di usia muda. Lalu dua kali menjanda. Ketika menapaki tangga karier, cemoohan tak henti dialamatkan kepadanya. "Aku mau ceritaku ditulis karena dendam," ujar Miranti.

Lewat novel itu, ia ingin menyampaikan pesan, tidak mudah jadi orangtua tunggal, tetapi tak perlu pula menyerah karena ketajaman lidah orang lain. "Kenapa jadi janda disebut aib, apalagi kalau si janda ini cantik dan merawat diri," ujar perempuan yang sudah 14 tahun jadi orangtua tunggal dengan dua anak itu.

Miranti tak menulis sendiri kisahnya. Novel tentang dirinya itu ditulis oleh penulis profesional Dewi Ria Utari.

Anak sopir angkot

Pengalaman hidup pula yang dituangkan Iwan Setyawan (37) dalam novel yang ia tulis, 9 Summers 10 Autumns, dari Kota Apel ke The Big Apple. Novel yang disebut Iwan sebagai tulisan panjang pertamanya ini sudah dicetak delapan kali sejak pertama terbit Februari 2011. Kisah itu pun kini tengah difilmkan oleh sutradara Ifa Isfansyah.

Dalam novel itu, Iwan menceritakan perjalanannya, dari anak sopir angkutan kota di Batu, Jawa Timur, ia mengenyam pendidikan di Institut Pertanian Bogor hingga berkarier di Nielsen Consumer Research, New York, Amerika Serikat (2000-2010). Iwan menduduki jabatan direksi saat memutuskan mundur untuk kembali ke Indonesia.

"Saya ingin punya buku keluarga karena tak punya foto keluarga semasa kecil. Saya ingin menulis buku agar ponakan-ponakan saya tidak terputus dengan sejarah keluarga," kata Iwan.

Berbekal keinginan itu, mulailah ia menulis. Ketika naskah siap terbit, ia sempat gamang. Namun, sang ibu membuat keberanian Iwan muncul lagi. "Siapa tahu akan ada dua atau tiga anak sopir angkot seperti kamu yang akan baca dan terinspirasi," kata ibunya.

Juni lalu, sebuah surat elektronik diterima Iwan. Isinya, cerita seorang pembaca muda yang akan segera kuliah di San Francisco dengan beasiswa. Si pengirim surat ini juga anak sopir angkot. "Saya menangis membacanya," kata Iwan.

Sulit menjawab

Oki Setiana Dewi (23) punya cerita lain. Namanya melejit sebagai pemeran utama film Ketika Cinta Bertasbih (KCB,) salah satu film terlaris Indonesia pada 2009. Tak kalah laris pula sekuel film ini dan sinetron bertajuk sama yang ditayangkan TV pada 2010-2011.

Sebagai artis, Oki yang sehari-hari berjilbab kerap ditanya wartawan, sejak kapan dan kenapa ia berjilbab. Bukan pertanyaan yang mudah ia jawab. Akhirnya Oki menuangkan kisahnya dalam buku memoar Melukis Pelangi (Mizania, 2011). Buku ini menjadi best seller. Kini buku itu sedang dalam proses cetak ulang ke-10.

Di situ, Oki menuturkan, sejak kecil ia bercita-cita jadi artis dan merantau sendiri ke Jakarta pada usia 16 tahun untuk mengejar mimpi itu. Gaya dia berpakaian pun saat itu jauh berbeda.

Sambil kuliah di Sastra Perancis, Universitas Indonesia, ia jatuh bangun mengejar audisi peran. Mimpi jadi artis itu ia hapus ketika ibunya divonis sakit serius. "Saya cuma ingin jadi anak sholihah supaya Allah mendengar doa saya untuk ibu," katanya.

Tak dinyana, justru saat itulah ia mendapat peran utama di film bertema religi itu. Dikenal sebagai artis, membuka jalan baginya untuk lebih banyak mengajak orang beraktivitas sosial. Bersama komunitas penggemarnya, Oki rutin berkegiatan sosial, salah satunya mengadakan program edukasi mingguan di Lapas Wanita Tangerang, sejak Oktober 2011.

"Saya menulis buku untuk menginspirasi orang, mengajak orang bersandar kepada Tuhan dan berbuat lebih dari sekadar untuk diri sendiri," ujar Oki yang juga menjadi duta untuk organisasi Rumah Autis ini.

Buku memoar juga dipilih untuk mengawali kembalinya Ariel, Uki, Lukman, Reza, dan David —awak band Peterpan yang kini jadi Noah—ke kancah musik Indonesia. Buku Kisah Lainnya (2012) menceritakan perjalanan lima personel band ini, dari latar keluarga hingga saat berjuang melewati badai masalah yang sempat menghentikan langkah mereka bermusik, setelah Ariel terkena kasus.

Tren baru

Editor Fiksi Gramedia Pustaka Utama (GPU) Hetih Rusli mengamati, novel yang diangkat dari pengalaman pribadi penulisnya sedang menjadi tren dalam satu-dua tahun terakhir. Memoar atau novel itu dinilai inspiratif walaupun berkisah tentang orang yang belum dikenal luas.

Secara kuantitas, GPU misalnya, masih lebih banyak menerbitkan biografi orang terkenal. Namun, Hetih yakin, penulisan novel dari kisah nyata akan makin marak. "Bahkan, orang yang tidak bisa menulis pun berpikir mereka bisa mencari orang untuk membantu menulis," kata Hetih.

Berbeda dengan orang-orang ternama, yang dibukukan dalam bentuk biografi, kisah hidup mereka yang tak dikenal ini, menurut Hetih, lebih menjual ketika ditulis dalam bentuk novel. "Novel sifatnya lebih ringan, ada unsur drama dan emosi yang disukai pembaca. Namun bukan berarti membohongi pembaca karena ceritanya tetap terinspirasi kisah nyata," ujarnya.

Pengamat buku Arswendo Atmowiloto menilai positif maraknya penulisan buku dari penggalian pengalaman pribadi itu. "Esai personal yang bersifat human akan lebih mudah menyentuh orang lain. Ketika pengalaman subyektif dibagi lewat buku, bisa dirasakan orang lain, dan memberi pembacanya inspirasi itu jadi karya obyektif," ujarnya.

Sumber: Kompas, 07 Oktober 2012