May 19, 2009

Kartun dan politik

Dari dunia kartun, politik hingga roh yg penurut dan kedagingan yg lemah... (Emil Jayaputra)


27  April  2008

Mengalah untuk Menang

Oleh Geger Riyanto

Judul: Kartun Benny & Mice: Talk About Hape
Penulis: Benny Rachmadi & Muh.Misrad
ISBN: 9-789792-690132
Uk.& Hlm: 15 x 21cm, vi + 106 hlm.

Dalam kompetisi, kelemahan dapat diterjemahkan sebagai kekuatan. Mereka yang dianggap lemah, tidak dijagokan alias underdog, justru akan bermain tanpa tekanan karena dipandang sebelah mata oleh lawannya maupun penonton.

Toh, politikus atau pengusaha mana yang akan menggubris dua sosok kartunis yang hanya lulusan sebuah institut kesenian sebagai ancaman? Tetapi itulah strategi yang juga mereka gunakan dalam kartun mereka, mengalah untuk menang. Menikam tanpa disadari bahwa mereka sedang menikam.

Kartun pasca-kolonial
Bre Redana menyebut kartun mereka menyajikan sesuatu yang apa adanya, tanpa kelihatan ingin mengarifkan diri, namun berpihak kepada rakyat. Dalam kata pengantarnya untuk buku kumpulan kartun, Jakarta Luar Dalem itu Bre menggolongkan kartun mereka sebagai realisme sosial.

Menurut saya, kartun mereka tidak hanya menggambarkan kenyataan. Sebab tidak dengan sendirinya kenyataan yang disajikan dalam karya seni lalu menimbulkan keberpihakan kepada rakyat, tetapi mesti dioperasionalisasikan terlebih dahulu melalui benak pengarangnya. Dan yang Benny dan Mice lakukan adalah mempermainkan, dan mengaduk-aduk kenyataan itu—kenyataan Jakarta yang telah mereka geluti sejak buku pertama mereka.

Tentu pada kenyataannya, tidak ada yang mengenakan anting sangkar burung dan anting ember seperti yang Benny dan Mice tampilkan dalam kartun. Tentu tidak ada yang sampai memakai kawat beneran untuk menandingi tren kawat gigi di antara anak-anak muda metropolitan, kecuali sosok kartun mereka.

Di atas kanvas tipis putih itu, mereka menumpahkan kegilaan yang hendak—namun tak mungkin—mereka sampaikan di ranah nyata. Yang hendak mereka lakukan adalah mengganggu keseimbangan nan absurd yang berlaku di Jakarta.

Jakarta tidak pernah menjadi metropolitan sebagaimana metropolitan di Barat. Tubuh warga Jakarta bukanlah tubuh Barat. Ketika kehendak mereka memerintahkan untuk mengidentifikasi diri semirip mungkin dengan Barat, ketidaksadaran mereka selalu menjegal. Di sinilah timbul keabsurdan itu. Orang membeli telepon seluler canggih, laptop mahal, sound system mobil yang dahsyat tidak lagi berdasarkan fungsinya, tetapi untuk kecanggihan diri yang seolah-olah.
Bagi Benny dan Mice ini persoalan. Walau begitu, mereka tak pernah menunjukkan ketidaksetujuannya dengan lagak menggurui. Dalam hal ini, mereka memiliki dua strategi yang saling berjalin kelindan. Pertama, mengalah; dan kedua, mimikri.

Pernah pada satu kartun mereka mengkritik perilaku seorang wanita yang membeli telepon seluler mahal, tetapi di boks cerita terakhir mereka dipecat oleh bosnya. Dan ada kartun lain mereka yang serupa polanya, di boks akhir mereka merenung apakah mereka kritis ataukah hanya karena kere—yang berarti iri. Meski sebagai pengarang, mereka selalu mengalah—menjadikan diri mereka sebagai obyek kekonyolan itu sendiri.

Tetapi itulah yang menghancurkan tembok relasi pengarang dan pembaca yang selama dibangun selayaknya relasi guru dan murid oleh kartunis-kartunis lain. Kehadiran mereka terasa begitu dekat dan akrab di imaji pembacanya. Dan saat pembaca nyaman dengan kedekatan itu, pembaca menurunkan penjagaannya. Lalu pesan yang mereka selundupkan ke pembaca, dan masuk bagai pengaruh dari teman sendiri.

Dan mimikri adalah strategi menyamar meniru obyek yang dilawan agar dapat menandinginya, namun tetap sembari menjaga kekhasan dan identitasnya. Konsep ini kerap dikemukakan oleh Homi Bhabha dalam kritik pasca-kolonial, menggambarkan perlawanan masyarakat yang terkolonisasi dengan menyusuri dan memanfaatkan balik bahasa hegemoni dari penjajahnya, untuk mengejek dan menghancurkan panoptikon pihak penjajah dalam ranah wacana.

Di Jakarta, ujar Benny dan Mice, lebih baik kurang berat badan daripada kurang gaya; di Jakarta tubuh-tubuh asiatik itu terbata-bata ketika hendak berlaku layaknya manusia dari belahan dunia yang lain. Jakarta, kota ini berdiri di atas keseimbangan yang absurd.

Dalam mimikri, mereka seolah mengikuti tren namun dengan memasukkan aspek ke-"udik"-an, ke-"terbata"-an, ke-"kampung"- an yang dikembangkan secara begitu hiperbolis. Begitu udiknya sehingga absurdnya melampaui batas, dan bagai menimbulkan overdosis bagi Jakarta. Hasilnya adalah luluh lantaknya otoritas diiringi gelak tawa pembacanya. Tanpa sadar, pembaca sebagai subyek wacana Barat-sentris, canggih-sentris, nge-tren-sentris telah ditikam.

Politik manusia
Dalam membaca kartun Benny dan Mice sebagai kartun pasca-kolonial, kita akan menemukannya sarat dengan politik sindiran atau politik mengganggu keseimbangan. Tetapi kartun mereka tak hanya berhenti pada level dekonstruksi. Pada tahap selanjutnya, mereka menyusupkan sosok-sosok manusia Jakarta yang dalam proses menerabas tren yang absurd, untuk menemukan diri yang sesungguhnya.

Dalam kartun 100 tokoh yang mewarnai Jakarta, sosok itu mereka tampilkan pada pedagang kerak telor yang tak kunjung jemu menjalankan usahanya meski telah berpuluh-puluh tahun. Lalu dinarasikan pada pemuda pencari kerja yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan, namun akhirnya meletakkan ijazahnya untuk memilih kehidupan yang lurus, sebagai penangkap kodok di selokan.

Siapa pun tak bisa menyangkal bahwa pemuda itu menari-nari perasaannya di boks-boks terakhir guratan Benny dan Mice, bahwa kebahagiaan dirinya dapat meluap meski berkubang dan tak usah membohongi atau merugikan orang lain. Batasan antara pilihan yang rasional dan tidak rasional, yang bersih dan yang jorok, yang tinggi dan yang rendah telah dilebur. Pemuda itu telah menang meski mengalah, sebab ia tak mengalah untuk nuraninya.

Dan pada akhirnya, tiap sehabis membaca kartun Benny dan Mice saya selalu merasa babak belur. Disepak oleh kepolosan tokoh Benny dan Mice yang menyindir, dan dibuat gamang oleh ketulusan tokoh-tokoh mereka lainnya. Saya menjadi gamang sebab pilihan-pilihan hidup yang tadinya rasional telah dijungkirkan, ditelan imaji manusia yang mereka tawarkan. Namun, bagaimanapun imaji manusia itu terlampau berat untuk saya jalankan. Roh memang penurut, tetapi daging lemah.

Geger RiyantoAlumnus Sosiologi Universitas Indonesia
Kompas Minggu, 27 April 2008 | 01:30 WIB



May 15, 2009

Trading places: Thailand & Indonesia

"While Indonesia glowed with the success of hosting 189 nations' representatives at the Bali climate change conference in December 2007, Thailand was humiliated last month when it had to abort a summit of 16 national leaders for the East Asian summit."
----
* We can probably hold our heads a bit higher now... * [Emil Jayaputra]
 
Thailand turns into Indonesia - and vice versa

THAILAND likes to call itself The Land of Smiles. And for a while after the advent of democracy in 1992 this seemed to be unusually accurate for an official slogan.

Democracy seemed to flourish. Even during the traumatic Asian economic crisis of 1997 the generals stayed in their barracks. Growth quickly returned. The tourists flooded in. Foreign investors smiled on the Thais, who returned the favour.

In the parallel universe known as Indonesia, the picture was more ominous. Its slogan, Unity in Diversity, seemed an exercise in dark sarcasm. Diversity was hammered into frightened unity by its military dictator, Soeharto. When the Asian crisis forced Soeharto out of power in 1998 the outlook only seemed to darken.

A succession of simpletons and underperformers took the presidency. The economy was moribund. Islam woke from its long slumber under Soeharto and seemed to be asserting itself. Its diversity would now be repressed by the Muslim majority, it appeared.

Indonesia's prospects seemed to go from bad to worse. Terrorists bombed tourists in the peaceful holiday destination of Bali. The Petri dish of Indonesian Islam seemed to be breeding a newly virulent form of violent extremism. Investors gave the country a wide berth.

If Thailand seemed to represent sunrise in South-East Asia, Indonesia appeared to be the region's nightfall.

Today we see an extraordinary role reversal. Thailand is now a wreck, suffering a constitutional crisis, emergency rule and an investment strike.

As the Bangkok Post put it last month: "How could the Rice Bowl of Asia, a trade and transport hub of the Greater Mekong sub-region, an erstwhile Asian Tiger and 'Amazing Thailand' in tourism terms … come dangerously close to becoming a failed state?"

Indonesia, on the other hand, is stable and tolerant under a mature and clean president, with better growth prospects than any of the states in the region. The US think tank Freedom House has designated Indonesia for the first time as the only fully free and democratic country in South-East Asia.

As Andrew MacIntyre and Douglas Ramage put it in a paper for the Australian Strategic Policy Institute: "Indonesia in 2008 is a stable, competitive electoral democracy, with a highly decentralised system of governance, achieving solid rates of economic growth, under competent national leadership, and playing a constructive role in the regional and broader international community."

While Indonesia glowed with the success of hosting 189 nations' representatives at the Bali climate change conference in December 2007, Thailand was humiliated last month when it had to abort a summit of 16 national leaders for the East Asian summit.

With the Thai Army rendered impotent by surging red-shirted protesters in Pattaya, the leaders of China and Japan were evacuated by helicopter, and other leaders' planes turned around in midair. It was a shocking blow to Thai credibility, unable to host a meeting, incapable of protecting world leaders on its soil.

Consider the same point and counterpoint last weekend.

While about 20,000 red-shirted protesters took to the streets of Bangkok to demonstrate against the violently repressive tactics of the unelected government, Indonesia announced the results of its peaceful parliamentary elections.

What happened? How did these two key states of South-East Asia come to trade places so dramatically?

Thailand's trajectory changed with the decision to mount an unconstitutional coup against the prime minister Thaksin Shinawatra, first elected in 2001 and resoundingly re-elected in 2005.

The billionaire businessman was a polarising leader. He was wildly popular with the rural poor and the working class, but bitterly opposed by the urban elites and the army.

The decision to send the army to remove him came from the royal palace.

The last time the king had intervened decisively in politics was to end a violent constitutional crisis. This time he provoked one.

The army and the palace imposed an unelected regime on the country, promising future elections. But Thaksin's supporters wage an unending war of civil disobedience. Thaksin himself, running from a corruption charge, continues to foment protest from abroad. Thai analysts say it is hard to see any resolution. The two sets of opposing forces are roughly equal, and an election would be unlikely to solve the stand-off, they say.

Indonesia's fortunes pivoted on the election of Susilo Bambang Yudhoyono, known universally in Indonesia as SBY. The former general has proved to be wise as well as popular since taking power in 2004. He is pro-business and pro-West, and also forcefully anti-terrorism and anti-corruption. Indeed, he has allowed the prosecution of his own brother-in-law on corruption charges.

Islamic political parties have moderated, not radicalised.

Indonesia now has a vibrant free press and a judiciary that is uneven but improving. Democracy has become solidly legitimised - generals and muftis alike compete for power at the ballot box, not in the streets. He is the easy favourite for the two-step presidential election due in July with a run-off in September, if required.

The region is suffering from the global financial crisis. But while the Asian Development Bank forecasts that Thai economic growth will fall from 2.6 per cent last year to minus 2 per cent this year, it expects Indonesia to suffer more mildly, slowing from 6.1 per cent to 3.6 per cent.

The essential difference is that Indonesian power elites universally respect the legitimising power of democracy. The Thais have not. And the leading source of anti-democratic arrogance in Thailand has proved to be the king. So Indonesia has emerged as a model state, a living rebuttal of the notion that Islam and democracy are incompatible. Its diversity has unified behind democracy. Thailand is turning into just another sad, broken autocracy. The smile has become a grimace.

Peter Hartcher is the Herald's international editor.

Source: SMH, 12 May 09