Oct 10, 2014

Non scholae sed vitae discimus

...

Tentang Pilkada, Gajah, dan Jawaban Tuhan...

Kamis, 9 Oktober 2014 | 20:09 WIB

KOMPAS / HERU SRI KUMORO
Berbagai elemen masyarakat pro demokrasi membawa poster penolakan disahkannya UU Pilkada oleh DPR yang salah satu isinya yaitu kepada daerah dipilih oleh DPRD di Jakarta, Minggu (28/9/2014).

Oleh: Tjatur Wiharyo

KOMPAS.com — Sebuah pepatah latin mengatakan, "non scholae sed vitae discimus". Terjemahan bebasnya—kurang lebih—kita belajar bukan untuk nilai di atas kertas atau pengakuan orang lain, melainkan untuk hidup.

Saya belajar, orang harus tidak dinilai dari hitam di atas putih, yang kini menjadi standar pintar dan sukses. Saya belajar, orang harus dinilai dari perilaku karena perilaku adalah ukuran kesadaran, bukan suku, ras, apalagi agama.

Lahir enggak minta, mati tidak tahu. Apakah adil menilai orang karena sesuatu yang tahu-tahu ia miliki tanpa sempat memilih?

Karena sadar saya bodoh dan sempat merasakan sulit dalam mencari kerja, saya berusaha bekerja sebaik mungkin dan sejujur mungkin. Ibu saya mengatakan—sebetulnya di buku saku Pramuka juga ada—kejujuran itu mata uang yang berlaku di mana-mana.

Itu terbukti benar karena banyak orang mengeluarkan uang banyak dan atau mendapatkan uang banyak untuk membeli atau menggadaikan kejujurannya. Tentu saja, bukan konsep kejujuran seperti ini yang dimaksud ibu saya. "Apesnya", kejujuran yang diajarkan ibu saya itu sudah teramat langka.

Pilkada

Karena menyadari saya bodoh, saya tak mau berpikir dan bicara banyak-banyak soal politik negeri ini. Saya tak tahu, apalagi paham, kenapa UUD 1945 harus diacak-acak. Menurut saya, isinya tambah banyak, tetapi semakin sedikit saja yang paham artinya. Pancasila yang isinya sedikit saja banyak yang tidak hafal, apalagi mengamalkan.

Saya hanya tahu bahwa negara ini adalah negara demokrasi dan demokrasi berarti kekuasaan  ada di tangan rakyat. Gara-gara pengetahuan yang sedikit ini, saya emosi melihat orang-orang ribut soal pemilihan kepala daerah langsung dan tak langsung.

Emosi saya ini cukup besar untuk membuat—meminjam diksi Hercule Poirot—sel-sel kelabu saya bergerak lebih cepat dari biasanya. Hasilnya, saya hanya mengernyitkan dahi.

Saya heran, orang-orang hanya mengeluh, menggerutu, dan mencaci, ketika RUU Pilkada disahkan menjadi UU Pilkada oleh DPR pada 27 September 2014. Ada kekhawatiran, UU tersebut akan menguntungkan kelompok tertentu dan membahayakan pemerintahan baru.

Betul, dengan UU tersebut, keramaian pesta demokrasi seperti terjadi dalam beberapa tahun terakhir akan berkurang. Namun, menurut saya, UU tersebut tidak mengurangi kedaulatan rakyat.

Dengan UU itu, menurut saya, rakyat sebetulnya "diharapkan" berpikir lebih keras, lebih cerdas, dan tentu saja lebih "jual mahal" ketika "musim" pemilihan apa pun tiba.

Menurut saya, dalam konsep demokrasi, suara akan selalu ada di tangan rakyat. Rakyat bisa bersuara sebelum, ketika, dan setelah roda pemerintahan baru berjalan.

Dengan begitu, kekhawatiran UU Pilkada akan merampas suara rakyat hanya merendahkan dan mempermalukan diri sendiri. Sebab, orang yang kita nilai membahayakan itu sesungguhnya lahir dari rahim kita sendiri: rakyat.

Jika suatu hari orang yang diberikan mandat berkhianat, rakyat punya hak untuk mengambil kembali suara yang telah mereka titipkan dan tidak menyerah kepada uang. Jangan pikirkan bagaimana mekanisme atau apa pun namanya karena selalu ada pengecualian dalam dunia manusia.

Tentang gajah dan Tuhan

Dalam kehidupan manusia yang cenderung menuntut kebebasan sampai sering bablas, sudah "hukumnya" bahwa yang kaya menindas, yang miskin berontak. Sudah "hukumnya" yang kaya memeras, yang miskin merampas. Sudah "hukumnya" yang kaya menghukum si miskin, yang miskin menghakimi si kaya.

Jika begitu, ikuti saja dulu apa mau "mereka", seperti kebijakan PT Kereta Api Indonesia soal tiket harian berjaminan, misalnya.

Awalnya, tak ada tiket harian berjaminan (THB). Karena terus-menerus menanggung ongkos cetak tiket yang tak kembali, PT KAI mengimbau masyarakat mengembalikan tiket. Karena imbauan itu tidak dipatuhi, PT KAI mengeluarkan win-win solution dengan mengeluarkan tiket harian berjaminan.

Dengan THB, PT KAI tak akan rugi jika masyarakat ingin "mengoleksi" tiket. Masyarakat juga akan berpikir dua tiga kali untuk mengoleksi THB karena telah membayar di muka ongkos cetaknya. Ya, kurang lebih begitu...

Ada ujar-ujaran yang mengatakan, hanya orang-orang yang siap mati akan siap untuk hidup. Kalau ibu saya mengatakan, Indonesia tak maju-maju (sejahtera) karena orang takut mati dan takut miskin.

Kita hanya berpikir soal rumah sendiri, mobil sendiri, serta keluarga dan diri sendiri. Kita menumpuk harta sampai tak risau saat tetangga kita tidak bisa makan.

Kita tetap duduk anteng di kursi KRL Commuter Line meski wajah kita tepat berada di depan perut seorang nenek yang berdiri dengan menaruh tangan pada tas punggung orang lain untuk menjaga keseimbangan.

Kita melewati orang yang jatuh di jalan karena khawatir terlambat ke sekolah atau ke kantor. Beberapa kali, saya mendapati anak-anak muda, ahli waris dan calon pemimpin bangsa ini, tak mengurangi tekanan pada pedal dan tuas gas kendaraan mereka ketika melewati genangan di dekat halte yang penuh sesak orang berteduh.

Mungkin, jika hidup seperti itu, kita bisa mendapatkan nilai indeks prestasi kumulatif tinggi, lulus cepat, berpenghasilan tinggi, dan punya segalanya pada usia muda.

Namun, dengan hidup begitu, kita tak akan pernah melahirkan "primus inter pares"—keunggulan dibandingkan yang lain—dan akan selamanya khawatir dan merendahkan diri sendiri.

Jika begitu pula, kita tak berhak protes karena kita sebetulnya tak berbeda dari "mereka", yang kita cerca telah menghalalkan segala cara.

Oportunis—jika kata pengkhianat terlalu tajam—akan selalu ada di antara kita. Namun, khawatir saja tak akan membawa kita ke mana-mana.

Bukankah para orangtua dulu mengajarkan, sebelum mencari-cari semut di seberang sana, kita perlu lebih dulu memastikan pandangan kita tak terhalang oleh gajah?

Masih soal semut dan gajah, ada cerita tentang orang yang melihat ada begitu banyak masalah di sekitarnya dan mengadu kepada Tuhan, "Tuhan, ada begitu banyak masalah di dunia. Kenapa Engkau berpangku tangan?"

Apa jawaban Tuhan atas aduan orang itu? Dia menjawab, "Saya sudah melakukan sesuatu. Saya menciptakan kamu."

Sep 29, 2014

3 Fakta Penting Menjadi Orangtua

 
3 Penelitian Mengenai "Parenting" yang Perlu Diketahui Para Orangtua
Minggu, 28 September 2014 | 18:24 WIB
 
SHUTTERSTOCK

Ilustrasi
SHUTTERSTOCK Ilustrasi

KOMPAS.com — Menjadi orangtua bukan sebatas hanya menyediakan fasilitas dan memberikan pendidikan yang layak kepada anak. Sebab, sebenarnya, untuk memberikan kehidupan yang lebih baik itu dibutuhkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan materi. Berikut ini tiga penelitian mengenai hubungan orangtua dan anak yang patut Anda simak.

Menjadi orangtua itu membahagiakan
Beberapa tahun belakangan ini, sejumlah penelitian menemukan bahwa menjadi orangtua itu sangat membahagiakan. Kadar dan kualitas kebahagiaan bisa meredam rasa sakit pada tubuh, entah itu sakit kepala atau kram perut. Hal menarik lainnya adalah ditemukan bahwa kebahagiaan yang dirasakan oleh ayah saat memiliki anak melebihi rasa bahagia seorang ibu.

Manfaat dari memprioritaskan anak
Menurut studi yang dihelat oleh Ashton-James pada 2013 silam, orangtua yang selalu mendahulukan kepentingan dan kebutuhan anak memiliki pribadi yang hangat dan menyenangkan di lingkungan sosialnya. Selain itu, sikap yang demikian juga ampuh dalam menghalau energi negatif yang bisa merusak mood sepanjang hari.

"Penemuan ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi kasih sayang dan perhatian orangtua kepada anak, semakin bahagialah dirinya," ujar James.

Bahaya terlalu disiplin terhadap anak
Sekitar 90 persen orangtua di Amerika Serikat mengaku setidaknya pernah menegur dan memarahi anak secara keras dan terbilang kasar. Sebenarnya, cara ini sama sekali tidak mendidik. Selain tidak menyelesaikan masalah, juga hanya memanjangkan dan membuat anak jadi pendendam. Hal ini sudah diteliti terhadap 967 keluarga di AS. Anak-anak yang tumbuh dengan aturan orangtua yang terlalu disiplin justru menyebabkan mereka memiliki gangguan psikologis saat dewasa.

"Gagasan bahwa keras terhadap anak bakal membuat mereka berpikir itu sebagai bentuk kasih sayang orangtua sama sekali keliru. Kehangatan hubungan dan komunikasi yang baik antar-orangtua kepada anak memberikan hasil akhir yang lebih positif pada tubuh kembang anak," ujar Ming Te Wang, ketua penelitian.

Sumber: Spring

Penulis : 
Kontributor Female, Agustina
Editor :
Syafrina Syaaf

Aug 3, 2014

Legawa dan tak jemawa

Presiden Baru

Minggu, 3 Agustus 2014 | 09:21 WIB

Oleh: M Subhan SD
 
KOMPAS.com - KETIKA "musuhnya" yaitu Ibnu Makhluf meninggal, Ibnu Taimiyah (1263-1328) justru bersedih. Padahal, sang murid, Ibnu Qoyyim (1292-1350), begitu girang menyampaikan kabar kematian itu kepada Ibnu Taimiyah, sang guru. Sebab, selama ini, tokoh yang meninggal ini termasuk yang memfitnah dan menzalimi Ibnu Taimiyah.
 
Karena perbuatan "musuhnya" ini, Ibnu Taimiyah mendekam di dalam penjara di Damaskus. Mendapati kegirangan muridnya menyampaikan kabar kematian itu, sang guru malah menghardik muridnya. Bagi Ibnu Taimiyah, kematian seorang "musuh" bukanlah suatu kegembiraan.
 
Pemikir politik yang menulis buku as-Siyasah asy-Syar'iyyah itu malah berduka. Pemimpin pasukan yang ikut berperang melawan agresi tentara Tartar itu pun melayat ke rumah duka, bertemu keluarga Ibnu Makhluf. Bahkan, di depan istri dan anak-anak "musuhnya" itu, Ibnu Taimiyah mengatakan siap membantu keluarga itu. Tokoh besar itu kira-kira berucap begini, "Sekarang ini saya seperti bapak bagi Anda sekalian. Jikalau kalian membutuhkan sesuatu, saya berusaha memenuhinya."

Begitulah Ibnu Taimiyah. Walaupun hidupnya menderita akibat fitnah, Ibnu Taimiyah tidak pernah menyimpan dendam kepada orang yang menzaliminya. Jiwa besar Ibnu Taimiyah melampaui emosi, amarah, dengki, dan penyakit hati lainnya.

Ibnu Taimiyah menjadi contoh terbaik saat kita berada pada Idul Fitri 1435 Hijriah, yang hari ini (Sabtu, 2 Agustus 2014) adalah hari keenam bulan Syawal. Pesan Idul Fitri itu adalah memaafkan, membersihkan hati, dan membuang jauh-jauh dendam kesumat.

Tahun ini, pesan Idul Fitri begitu sarat makna. Bukan saja secara personal, tetapi juga terutama secara politik. Sebab, pemilu presiden (pilpres) yang digelar pada 9 Juli 2014, tepat pada Ramadhan tahun ini, telah membelah masyarakat secara diametral. Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, seperti menggambarkan dua kutub keterbelahan itu. Kampanye hitam, isu, fitnah, sepertinya tak menghormati lagi kemuliaan bulan Ramadhan. Sayangnya, pasca pilpres pun, ketika real count KPU sudah diumumkan, amarah dan emosi sepertinya tak lantas sirna.

Seperti sama-sama kita ketahui hasil rekapitulasi suara yang dilakukan KPU, pasangan Jokowi-JK meraih 70.997.833 suara (53,15 persen), sedangkan Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen). Hasil real count KPU itu mirip dengan quick count delapan lembaga survei yang kredibel, seperti SMRC, Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, RRI, Litbang Kompas, Poltracking Institute, CSIS-Cyrus, dan Populi Center, yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Hasil rekapitulasi KPU itu menjawab semua keraguan terhadap hasil hitung cepat tersebut.

Namun, ada empat lembaga survei yang menyebut pasangan Prabowo-Hatta unggul, yaitu Puskaptis, Jaringan Suara Indonesia, Lembaga Survei Nasional, dan Indonesia Research Centre. Belakangan pasca hasil KPU, ada lembaga survei yang mengakui kesalahan dalam survei mereka. Hasil KPU juga menjadi pembuktian bahwa kebenaran ilmu (metode survei) tidak perlu disangsikan. Hanya mereka yang mempunyai kepentingan tertentu yang menolak ilmu pengetahuan. Mereka yang waktu itu tidak percaya hasil quick count meminta agar menunggu hasil real count yang dilakukan KPU.

Meskipun demikian, seperti kita saksikan bersama-sama, saat hasil real count KPU dilakukan, 22 Juli 2014, juga tetap tidak dipercaya. Pilpres dinilai ada kecurangan secara masif, sistematis, dan terstruktur. Kemenangan Jokowi-JK pun tertahan. Pada akhirnya, pasangan Prabowo-Hatta, yang sebelumnya menarik diri dari proses penghitungan suara yang dilakukan KPU, kemudian mendaftarkan gugatan sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (25/7) pekan lalu. Tanggal 6 Agustus mendatang, MK akan menggelar sidang.

Harapannya, gugatan ke MK bukanlah dilandasi syahwat ingin berkuasa, tetapi lebih untuk menguji suatu kebenaran. Kekuasaan sebagai presiden atau pemimpin bangsa sejatinya adalah pelayan rakyat. Bukan ingin disanjung-sanjung, tetapi justru dia yang menggendong rakyatnya.

Tidak turuti hawa nafsu

Saya teringat surat-surat politik Ali bin Abi Thalib (599-661), khalifah keempat dari zaman Khulafaur Rasyidin. Surat tersebut ditujukan kepada Muhammad Ibnu Abu Bakar, yang baru saja diangkat sebagai Gubernur Mesir. Sepenggal surat Ali itu tertulis, "Rendahkanlah diri Anda. Hadapilah umat (rakyat) dengan ramah. Temuilah mereka dengan wajah berseri-seri. Berlakulah adil di antara mereka dalam segala hal, … dan orang-orang miskin tidak menderita atau putus asa terhadap keadilan Anda…. Ketahuhilah Muhammad Ibnu Abu Bakar, bahwa aku telah memberi Anda kekuasaan untuk memerintah atas penduduk Mesir. Karenanya, Anda dituntut untuk tidak menuruti hawa nafsu…"

Kekuasaan bukanlah segala-galanya. Pemegang kuasa justru bertindak berdasarkan mandat yang diberikan rakyat, bukan kemauannya sendiri. Pakar politik Harold Lasswell (1902-1978) dan filsuf Abraham Kaplan (1918-1993) menyatakan, kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama. Dalam bahasa mereka, kekuasaan adalah bentuk partisipasi dalam membuat keputusan. Paksaan atau kekerasan bukanlah cara demokrasi.

Kita berharap presiden baru periode 2014-2019 benar-benar mau mengurus rakyat, menanggalkan kepentingan pribadi, kelompok, atau koalisi. Kita membutuhkan presiden yang bekerja tulus untuk membawa bangsa ini maju. Kita juga membutuhkan pemimpin yang tegas untuk membersihkan daki-daki kotor bangsa ini. Namun, ketegasan tidak ada kaitannya dengan bentuk fisik, apalagi dengan teriakan lantang, tangan mengepal, atau pidato berapi-api. Ketegasan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna, "kejelasan, kepastian, keterangan yang jelas (pasti)". Dan, MK menjadi pembuktian terhadap kebenaran akan presiden pilihan rakyat. Presiden yang menang tentunya tidak perlu jemawa. Pihak yang kalah juga mesti legawa. Ibnu Taimiyah telah memberikan contoh.