Dec 31, 2007

Pembelajaran Demokrasi di Timur dan Barat

-Catatan Akhir Tahun 2007-


THE GLOBAL NEXUS

Benazir, Demokrasi, dan Pilpres AS

Christianto Wibisono

Tewasnya Benazir Bhutto dan kesimpangsiuran berita penembakan dan pengeboman yang dibantah tanpa otopsi dan penghilangan jejak forensik merupakan bukti nyata kebiadaban rezim otoriter militer Pakistan. Ternyata kesamaan agama dan bangsa saja tidak cukup untuk menjamin kesetiakawan atau persaudaraan. Justru perang saudara antara sesama bangsa merupakan perang yang selalu paling berdarah, paling mengakar, dan makan waktu turun-temurun untuk membebaskan dari semangat dendam kesumat. Zulfikar Ali Bhutto dibunuh oleh Zia ul Haq yang kualat dan tewas jatuh dalam helikopter bersama Dubes AS untuk Pakistan. Sekarang Benazir Bhutto dibunuh menjelang pemilu 8 Januari 2008 yang hampir pasti akan menempatkan Benazir menjadi PM untuk ketiga kalinya.

Dunia benar-benar menjadi selebar daun kelor atau rata (The world is flat tulis Thomas Friedman) karena terbunuhnya Benazir mendadak mengubah peringkat capres yang sedang bertarung di AS. Posisi John McCain (Republik) melejit ke tempat kedua karena orang AS mulai memikir bahwa ternyata masalah teror masih tetap menghantui. Kalau Pakistan berganti rezim menjadi Taliban maka presiden baru di Gedung Putih tentu harus siap berdiplomasi atau menghadapi tantangan itu dengan kesigapan yang bisa diandalkan. Pamor Senator Obama, yang pernah menyatakan akan membom Pakistan, agak merosot karena dianggap kurang berpengalaman dalam politik luar negeri.

Setelah dua kali menjabat perdana menteri sebetulnya Benazir sudah menikmati hidup mewah dengan mondar-mandir London-Dubai-Paris- New York. Rekening yang sempat terbongkar di Swiss senilai US$ 13,8 juta masih disengketakan, tapi jelas dia masih mempunyai rekening di luar jumlah yang terpantau oleh Musharraf. Hasil wawancara terakhir Benazir dengan Gail Sheehy akan muncul dalam tabloid Parade (suplemen The Washington Post edisi 6 Januari 2008). Judulnya, I'm the one the terrorist most hate.

Kepulangan Benazir Bhutto merupakan diplomasi diam-diam AS untuk menciptakan duet Musharraf - Bhutto. Rencana Condi Rice ini tidak mempunyai plan B karena tidak siap dan menduga bahwa Benazir akan secepat ini terbunuh. Pengamat menyatakan heran bagaimana dua macan akan disatukan tanpa saling menerkam.

Kemanusiaan

Demokrasi memerlukan ke-kesatria-an dan kemanusiaan. Kalau yang bertarung tidak punya moral dan etika manusia beradab, serta menganggap politik dan demokrasi mirip adu gladiator atau adu manusia lawan singa/macan di mana salah satu harus mati maka itulah yang terjadi dalam sejarah manusia di mana saja termasuk di Barat sebelum demokrasi dipraktekkan. Demokrasi memang tidak sempurna dan terkadang tidak efisien, lebih cepat otoriter model Soeharto atau Vladimir Putin. Tapi, kalau orang tidak mau belajar demokrasi dengan alasan nilai asing Barat dan tetap mau bertahan dengan model suksesi perang dan dendam kesumat ala dinasti kerajaan kuno, ya tragedi seperti Benazir akan menimpa siapa saja, di mana saja, dan entah sampai kapan.

Manusia mengalami evolusi dengan mengubah cara penyelesaian konflik politik dari adu otot sampai salah satu mati, dengan adu otak, argumen dan program. Jadi, politik adalah seperti sport yang tidak perlu harus dimenangkan secara mutlak, pihak lawan harus mati kalau kalah. Riwayat bunuh-membunuh diktator dan raja merupakan warisan universal termasuk yang disebut orang bule, atau budaya Barat. Yunani membunuh Socrates, dan Romawi membunuh Julius Caesar.

Raja Charles I masih dipenggal kepalanya di Inggris pada 1649. Prancis masih meng-guillotine raja dan ratunya pada 1792. Hitler masih menjadi diktator dan tiran sampai 1945. Jadi, untuk Barat pun demokrasi dan pemilihan pemimpin politik secara damai, melalui ballot dan bukan dengan bullet, peluru adalah fenomena baru .

Pendapat yang menganggap demokrasi itu monopoli dan warisan Barat karena itu tidak cocok dengan manusia Timur non-Barat masih berkumandang termasuk pada elite Indonesia yang kecewa dengan demokrasi model reformasi setengah matang. Oleh karena itu, orang mulai bicara soal meniru Putin, kembali ke Soeharto, jangan terlalu liberal, harus ada pembatasan, dan seterusnya. Pada saat orang menjual pembatasan demokrasi dengan menghilangkan unsur liberalnya, maka yang muncul ialah machstaat. Macht bisa diwakili oleh birokrasi yang di Pakistan secara mencolok mencoba membodohi rakyat dengan menyatakan bahwa Bhutto meninggal karena kepalanya terbentur atap mobil. Kekuatan pengekang dan penindas hak asasi yang mengatasnamakan bangsa, negara, dan rakyat untuk kekuasaan pribadi yang tidak terkontrol.

Substansi utama demokrasi yang harus dipertahankan ialah pengawasan berimbang atas kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Juga tidak boleh terjadi korupsi bersama, atas nama legislatif, yudikatif setelah pengurangan kekuasaan eksekutif pasca-reformasi.

Penyakit parah Indonesia ialah setelah korupsi eksekutif dibatasi ternyata pihak legislatif dan yudikatif termasuk aparat penegak hukum, masih melanjutkan pola korupsi absolut rezim Orde Baru. Kalau dulu dalam satu monolit kekuasaan, sekarang justru secara independen, saling mempertahankan kekuasaan untuk menikmatinya tanpa kontrol.

Benazir Bhutto mengajukan syarat amnesti terhadap tuduhan korupsi sebelum pulang ke Pakistan. Seluruh elite negara berkembang dan sebetulnya sebagian negara maju juga masih bergelimang kolusi dengan pengusaha. Presiden Sarkozy, misalnya, diberitakan berpesiar dengan pacarnya dalam jet pribadi jutawan Vincent Bollore. Seluruh pers terkemuka Eropa langsung mengecam opera sabun Sarkozy.

Jadi, penyakit korupsi atau conflict of interest bukan merupakan budaya orang Timur, tapi di Barat juga masih bisa terjadi. Yang membedakan ialah, di Barat masih terdapat mekanisme politik yang beradab untuk menyelesaikan dengan upaya supremasi hukum dan Trias Politika yang efektif. Itulah yang vacum di dunia ketiga dan itulah yang terjadi di akhir 2007. Sehingga, setiap kali pergantian politik harus melalui kudeta, pembunuhan, dan penjarahan politik, dari Mei 1998 di Jakarta sampai kini di Pakistan. Benazir meninggalkan dunia memasuki Tahun Tikus Bumi 2008 menurut Imlek, dalam suasana waswas oleh ancaman ektremis bernuklir.

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional


SP, 31/12/07

Dec 21, 2007

Polemik muatan religi dalam kesusasteraan anak

Resensi Buku

Pullman, Agama, dan Dongeng Pascamodern

TRISNO S SUTANTO

Trilogi His Dark Materials karya Philip Pullman, yang edisi Indonesia-nya baru-baru ini diterbitkan oleh Gramedia, boleh jadi akan dicatat sebagai tonggak baru sejarah kesusastraan anak berbahasa Inggris bersama Alice's Adventures in Wonderland (1865) karya Lewis Carroll, trilogi The Lord of the Rings (1954-1955) dari JRR Tolkien, dan tujuh jilid Chronicles of Narnia (1950-1956) karya CS Lewis.

Sedikitnya sudah tujuh juta eksemplar trilogi ini terjual, diterjemahkan ke dalam lebih dari 37 bahasa, dan rencananya akan diadaptasi menjadi film layar lebar akhir tahun ini oleh produser The Lord of the Rings.

Akan tetapi, berbeda dengan mereka semua, karya Pullman lebih memancing banyak kontroversi, khususnya dari kalangan Kristen konservatif karena secara blak-blakan menyerang otoritas gereja. Apalagi, dalam soal agama, posisi Pullman memang sangat jelas.

"Saya seorang ateis," kata Pullman dalam konferensi di Oxford, Agustus 2000. "Tetapi, bagaimanapun juga, kita membutuhkan surga, kita membutuhkan segala hal yang dirujuk oleh (kata) surga, kita butuh kegembiraan, makna dan tujuan dalam kehidupan kita, ketersambungan dengan alam semesta, segala hal yang dulu dijanjikan oleh Kerajaan Surga pada kita tetapi gagal dipenuhinya." Tidak heran jika Peter Hitchens, seorang penulis Kristen konservatif, menyebut Pullman sebagai "Penulis paling berbahaya di Inggris", dan menuduh adanya "konspirasi kaum ateis" untuk membuang sisa-sisa terakhir kekristenan (Baca: The Mail on Sunday, 27 Januari 2002, hal 63).

Saya tidak ingin menyibukkan diri dengan urusan konspirasi itu, yang jelas tidak dapat dicari bukti pembenarannya. Lagi pula, seperti dilaporkan ensiklopedia online wikipedia.org, tokoh sekaliber Rowan Williams, Uskup Agung Canterbury, malah menganjurkan agar trilogi His Dark Materials dijadikan bahan ajar untuk pendidikan agama di sekolah-sekolah! Sebab apa yang disajikan Pullman adalah sebuah dongeng pascamodern tentang pergolakan jiwa menuju kematangan, semacam bildungsroman bagi mereka yang merasa bahwa dunia agama tradisional tidak lagi mampu memuaskan kebutuhan terdalam manusia.

Membunuh "Otoritas"

Trilogi His Dark Materials adalah cerita anak-anak. Tidak lebih dari itu. Tetapi, sama seperti karya-karya lain yang bermutu, His Dark Materials menggabungkan berbagai unsur, mulai dari mitologi, agama, fisika kuantum, sampai permenungan filosofis yang memukau.

Dalam bagian pertama trilogi ini, The Golden Compass (judul Inggris: Northern Lights) yang menyabet The Carnegie Medal dan The Guardian Award untuk fiksi anak-anak, Pullman memulai kisahnya ketika Lyra Belacqua bersama Pantalaimon, daemonnya, bersembunyi di lemari pakaian dan tanpa sengaja mencuri dengar cerita pengembaraan Lord Asriel ke wilayah Utara kepada para Cendekiawan Akademi Jordan di Oxford. Cerita Lord Asriel tentang "Debu" dan praktik kejam di Bolvangar, di mana anak-anak diputuskan hubungannya dari "daemon" mereka, serta lenyapnya Roger, teman bermain Lyra, karena diculik "para pelahap", membuat Lyra dan Pantalaimon memutuskan untuk memulai pengembaraan mereka. Dan bekal Lyra hanya satu: kompas emas yang disebut "alethiometer" yang selalu memberi jawaban yang benar.

Bagian kedua, The Subtle Knife, menambah kompleks plot kisah petualangan yang tampak sederhana itu, dengan masuknya dua tokoh utama lain: Will Parry, seorang anak yang tanpa sengaja menjadi pembunuh dan menemukan "jendela" untuk memasuki "dunia lain", serta Mary Malone, seorang peneliti fisika, tetapi menyukai I Ching yang mencurahkan upayanya untuk membuka misteri "Bayangan", atau "materi gelap" dalam istilah fisika kuantum. Tanpa sepengetahuannya, Will ditakdirkan menjadi "pembawa pisau gaib" yang mampu membuka jendela-jendela penghubung antardunia.

Di kota Cittàgazze yang berada di dunia lain, Will bertemu Lyra, bersahabat, dan memulai petualangan mereka. Keduanya mencari sang ayah. Lyra mencari Lord Asriel yang memasuki dunia lain dengan mengorbankan Roger, sementara Will mencari ayah yang tidak pernah dikenalnya, John Parry, perwira Marinir Kerajaan yang tiba-tiba lenyap dalam ekspedisi penelitian di Utara. Dan Pullman perlahan-lahan membuat kita menyadari kerangka besar yang mendasari triloginya. Setiap tokoh, termasuk para penyihir maupun malaikat, sesungguhnya berada di dalam jalinan ambisi puncak Lord Asriel untuk memberontak terhadap kekuasaan tertinggi, yakni mencari dan membunuh Sang Otoritas!

Baru dalam bagian ketiga, The Amber Spyglass, buku fiksi anak- anak pertama yang menyabet sekaligus penghargaan Whitbread tahun 2001 maupun Whitebread Book of the Year tahun 2002, seluruh jalinan rumit dongeng Pullman menjadi jelas. Sang Otoritas itu tidak lain adalah figur yang selama ini disebut dan mendaku diri sebagai Tuhan, yang diwakili sekaligus dipenjarakan oleh Metatron.

Pemberontakan itu berhasil. Otoritas berhasil dibunuh, Metatron dengan seluruh bala tentaranya berhasil dihancurkan. Dan Lyra pun menyadari nasib yang menentukan dirinya. Dia adalah Hawa, ibu kehidupan yang kemudian jatuh cinta kepada Will si Adam, karena cerita Mary Malone, sang ular penggoda. Sebuah dongeng yang mengingatkan kita pada kitab Kejadian dalam Alkitab, tetapi dengan tafsir berbeda.

Jika kisah Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian selama ini dipandang sebagai titik awal jatuhnya manusia ke dalam dosa, Pullman menganggap sebaliknya. Itu adalah titik awal ketika manusia meninggalkan alam kanak-kanak yang serba "murni" (innocence) untuk menjadi dewasa, mengenal cinta, membuang ketaatan mutlak pada "Otoritas", baik agama maupun lainnya, mengambil tanggung jawab dan menjadi bijaksana.

Bildungsroman pascamodern

Jelas, dengan visi semacam itu, Pullman menjadi penulis kontroversial, khususnya bagi kalangan agamawan konservatif yang menganggap agama—dengan seluruh perangkat institusinya—adalah barang yang suci yang tidak boleh diganggu, dipertanyakan, apalagi dikritik. Jika Anda termasuk kelompok seperti ini, sebaiknya Anda tidak membaca trilogi Pullman. Apalagi The Amber Spyglass, di mana Pullman bicara blak-blakan dan melontarkan kritik tanpa tedeng aling-aling terhadap "agama".

Misalnya, lewat tokoh Mary Malone, mantan biarawati yang menjadi peneliti "materi gelap" dalam fisika kuantum, ia menandaskan bahwa "Agama Kristen adalah kesalahan yang sangat berpengaruh dan meyakinkan" (hal 524). Begitu juga ketika diperhadapkan dengan Pater MacPhail, Presiden Lembaga Pengadilan Disiplin Agama, lembaga superkuat di bawah Magisterium Gereja, Mrs Coulter justru menggugat balik: "Well, di mana Tuhan, kalau Ia masih hidup? Dan kenapa Ia tidak berbicara lagi?" (hal 391).

Akan tetapi bagi mereka yang cukup terbuka dan kritis, dongeng Pullman merupakan perenungan memukau tentang makna agama yang tidak lagi dilandaskan pada kewenangan Otoritas dengan seluruh birokrasinya, atau terjebak pada figur-figur mitologis, melainkan lebih sebagai pencarian makna kehidupan yang hakiki. Suatu pemahaman keagamaan yang telah mampu melangkaui kritik akal budi Pencerahan, ambang batas di mana umat manusia—memakai metafora Kant yang masyhur—sudah mencapai "akil balig". Sebab, seluruh kritik pedas Pullman memang ditujukan pada kewenangan atas nama "Otoritas" yang selama ini telah membelenggu manusia.

Sementara bagi Lyra dan Will, seluruh petualangan mereka adalah proses pergolakan jiwa yang harus dilalui untuk menjadi dewasa, melewati ambang pubertas dan pertama kali menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta. Di akhir cerita, Will harus mematahkan "pisau gaib" dan menutup setiap jendela penghubung antardunia, sementara Lyra kehilangan kemampuan alamiahnya dalam membaca alethiometer. Itulah harga kedewasaan. Menjadi dewasa berarti kehilangan kemampuan untuk berpindah-pindah dunia, atau selalu mendapat jawaban yang tepat untuk setiap persoalan. Akan tetapi menjadi dewasa juga berarti menyadari bahwa dunia di mana kita ada, di sini dan sekarang ini, sungguh merupakan tempat terpenting yang layak menerima seluruh perhatian kita. Sebab "Kerajaan sudah berakhir, kerajaan surga, semuanya sudah tamat," kata Lyra di akhir buku. "Kita tidak boleh menjalani kehidupan seakan-akan hal itu lebih penting daripada kehidupan di dunia ini, karena tempat yang terpenting adalah di mana kita berada."

Dengan kata lain, trilogi Pullman bisa dibaca sebagai terjemahan, dalam bentuk bildungsroman yang canggih, dari panggilan dasar Pencerahan: Sapere Aude! Beranilah berpikir sendiri!

Trisno S Sutanto Pencinta Buku Cerita Anak-anak

Sumber: Kompas, 21 Mei 2007


Dec 20, 2007

Ateisme dan kesulitan bahasa

Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada

GOENAWAN MOHAMAD

Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ

Atheisme dimulai dengan kesulitan bahasa. Dan, jika kita membaca buku Christopher Hitchens, God is Not Great, kita akan tahu: ada juga salah sangka.

Atheisme tak datang dari kecerdasan semata-mata, tapi juga dari kaki yang gemetar dan tubuh yang terdesak. Kegamangan kepada agama yang sedang tampak kini mengingatkan suasana sehabis perang agama di Eropa di beberapa dasawarsa abad ke- 16. Agama nyaris identik dengan kekerasan, kesewenang- wenangan, dan penyempitan pikiran. Dari sinilah lahir semangat Pencerahan: terbit karya Montaigne dan Descartes, buah skeptisisme yang radikal. Doktrin agama diletakkan di satu jarak.

Kini berkibarnya "revivalisme", terkadang dalam bentuk "fundamentalisme", dan tentu saja bercabulnya kekerasan menyebabkan reaksi yang mirip: buku Hitchens terbit di dekat The End of Faith oleh Sam Harris (tahun 2004). Juga The God Delusion karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi. Satu kutipan oleh Dawkins: "Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama."

Namun, agaknya bukan karena waham bila dalam masa tiga dasawarsa terakhir ada "gerak" lain yang cukup berarti: mendekatnya filsafat ke iman. Dalam gerak "pascamodern" ke arah Tuhan ini diangkat kembali pendekatan fenomenologis Heidegger yang mendeskripsikan "berpikir meditatif", atau lebih khusus lagi, "berpikir puitis", yang lain dari cara berpikir yang melahirkan metafisika dan ilmu-ilmu.

Bersama itu, ada kritik Heidegger terhadap "tuhan menurut filsafat", atau tuhan dalam metafisika—yang baginya harus ditinggalkan. Dengan meninggalkannya, kata Heidegger, manusia justru akan lebih dekat ke "Tuhan yang ilahi" (göttlichen Gott).

Mungkin dengan itu kita bisa memahami Derrida: ia menyebut diri atheis, tapi juga mengatakan "tetapnya Tuhan dalam hidup saya" yang "diseru dengan nama-nama lain".

Jelas gerak "menengok kembali agama" itu bukan gerak kembali kepada asas theisme yang lama. Dalam Philosophy and the Turn to Religion, Hent de Vries mengikhtisarkan kecenderungan itu dalam sepatah kata Perancis yang mengandung dua makna: kata á Dieu 'ke Tuhan' atau adieu 'selamat tinggal', "satu gerakan ke arah Tuhan, ke arah kata atau nama Tuhan", yang juga merupakan ucapan "selamat tinggal yang dramatis kepada tafsir yang kanonik dan dogmatik… atas pengertian 'Tuhan' yang itu juga".

Syahadat Nurcholish Madjid

Tampak, tak hanya ada satu makna dalam nama "Tuhan". Bahkan, sejak berkembang pendekatan pascastrukturalis terhadap bahasa, kita kian sadar betapa tak stabilnya makna kata.

Kata Tuhan hanyalah "penanda" (signans) yang maknanya baru kita "dapat" tapi dalam arti sesuatu yang berbeda dari, misalnya, "makhluk". Beda ini akan terjadi terus-menerus. Sebab itu, pemaknaan "Tuhan" tak kunjung berhenti.

Penanda itu tak pernah menemukan signatum atau apa yang ditandainya. Signatum ("petanda"?) itu baru akan muncul nanti, nanti, dan nanti sebab kata Tuhan akan selamanya berkecimpung dalam hubungan dengan penanda-penanda lain.

Maka, tiap kali "Tuhan" kita sebut, sebenarnya kita tak menyebut-Nya. Saya ingat satu kalimat dari sebuah sutra: "Buddha bukanlah Buddha dan sebab itu ia Buddha". Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa "Buddha" atau "Tuhan" yang kita acu dalam kata itu sebenarnya tak terwakili oleh kata itu, kita pun akan sadar pula tentang Sang "Buddha" dan Sang "Tuhan" yang tak terwakili oleh kata itu.

Agaknya itulah maksud Nurcholish Madjid ketika menerjemahkan kalimat syahadat Islam dengan semangat taukhid yang mendasar: "Aku bersaksi tiada tuhan selain Tuhan sendiri". Dengan kata lain, nama "Allah" hanyalah signans, dan tak bisa dicampuradukkan dengan signatum yang tak terjangkau. Jika dicampuradukkan, seperti yang sering terjadi, "Allah" seakan-akan sebutan satu tuhan di antara tuhan-tuhan lain—satu pengertian yang bertentangan dengan monotheisme sendiri.

Di abad ke-13, di Jerman, Meister Eckhart, seorang pengkhotbah Ordo Dominikan, berdoa dengan menyebut Gottes (tuhan) dan Gottheit (Maha Tuhan). Yang pertama kurang-lebih sama dengan "pengertian" tentang Tuhan, sebuah konsep. Yang kedua: Ia yang tak terjangkau oleh konsep. Maka, Eckhart berbisik, "aku berdoa… agar dijauhkan aku dari tuhan". Di tahun 1329 Paus Yohannes XXII menuduhnya "sesat". Ia diadili dan ditemukan mati sebelum vonis dijatuhkan.

Masalah bahasa itulah yang membuat akidah dan teologi jadi problematis. Teologi selamanya terbatas—bahkan mencong. Jean-Luc Marion mengatakan teologi membuat penulisnya "munafik". Sang penulis berlagak bicara tentang hal-hal yang suci, tetapi ia niscaya tak suci. Sang penulis bicara mau tak mau melampaui sarana dan kemampuannya. Maka, kata Marion, "kita harus mendapatkan pemaafan untuk tiap risalah dalam teologi".

"Satu", Zizek, dan ontologi Badiou

Theisme cenderung tak mengacuhkan itu. Theisme umumnya berangkat dari asumsi bahwa dalam bahasa ada makna yang menetap karena sang signatum hadir dan terjangkau—asumsi "metafisika kehadiran".

Ini tampak ketika kita mengatakan "Tuhan yang Maha Esa". Bukan saja di sana ada anggapan bahwa makna "Tuhan" sudah pasti. Juga kata esa menunjuk ke sesuatu yang dapat dihitung. Jika "tuhan" dapat dihitung, Ia praktis setaraf dengan benda. Ketika kita mengatakan "Tuhan itu Satu", kita sebenarnya telah menyekutukan-Nya.

Justru di situlah atheisme bermula. Slavoj Zizek mencoba membahas ini dengan menggunakan tesis ontologis Alain Badiou. Dalam tulisannya yang menawarkan sebuah "teologi materialis" dalam jurnal Angelaki edisi April 2007, Zizek mengatakan, "Satu" adalah pengertian yang muncul belakangan.

Zizek mengacu ke Badiou: "banyak" (yang juga berarti "berbagai-bagai") atau multiplisitas adalah kategori ontologis yang terdasar. Multiplisitas ini bukan berasal dari "Satu" dan tak dapat diringkas jadi "Satu". Lawan multiplisitas ini bukan "Satu", tapi "Nol"—atau kehampaan ontologis. "Satu" muncul hanya pada tingkat "mewakili" —hanya sebuah representasi.

Monotheisme tak melihat status dan peran "Satu" itu. Tak urung, monotheisme yang menghadirkan Tuhan sebagai "Satu" memungkinkan orang mempertentangkan "Satu" dengan "Nol". Maka, orang mudah untuk menghapus "Satu" dan memperoleh "Nol". Lahirlah seorang atheis. Tepat kata Zizek ketika ia menyimpulkan, "atheisme dapat bisa terpikirkan hanya dalam monotheisme".

Namun, memang tak mudah bagi kita yang dibesarkan dalam tradisi Ibrahimi untuk menerima "teologi materialis" Zizek. Umumnya tak mudah bagi para pemeluk Islam, Kristen, dan Yahudi menerima argumen ontologis Badiou yang menganggap "Satu" hanya sebuah representasi meskipun dengan demikian mereka telah memperlakukan Tuhan sama dan sebangun dengan representan-Nya—satu hal yang sebenarnya bertentangan dengan dasar taukhid Surah al-Ikhlas dalam Al Quran, yang menegaskan "tak suatu apa pun yang menyamai-Nya".

Kaum monotheis memang berada dalam posisi yang kontradiktif. Apalagi, bagi mereka, Tuhan yang Satu itu juga Tuhan yang personal.

Syahdan, Emmanuel Levinas mengkritik keras Heidegger. Kita tahu, acap kali Heidegger berbicara dengan khidmat tentang Sein (Ada). Sein (Ada) adalah yang menyebabkan hal-hal-yang-ada muncul ber-ada. Bagi Levinas, dengan gambaran itu Sein (Ada) seakan-akan mendahului dan di atas segala hal yang ada (existents). Artinya, dalam ontologi Heidegger, Ada menguasai semuanya. Bagaikan "dominasi imperialis".

Tampaknya Levinas menganggap Heidegger—pemikir Jerman yang pernah jadi pendukung Nazi itu—berbicara tentang Ada sebagai semacam tuhan yang impersonal. Juga ketika Heidegger menyebut Yang Suci (das Heilige).

Menurut Levinas, ini menunjukkan kecenderungan "paganisme". Tanpa mendasarkan Ada dan Yang Suci dalam hubungan interpersonal, Heidegger telah mendekatkan diri bukan ke "bentuk agama yang lebih tinggi, melainkan ke bentuk yang selamanya primitif".

Levinas—yang filsafatnya diwarnai iman Yahudi—tampaknya hanya memahami agama dengan paradigma monotheisme Ibrahimi. Tentu saja itu tak memadai. Bukan saja Levinas salah memahami pengertian Ada dalam pemikiran Heidegger. Ia juga tak konsisten dengan filsafatnya sendiri, yang menerima Yang Lain sebagaimana Yang Lain, tanpa memasukkannya ke dalam kategori yang siap.

Padahal, dengan memakai iman Ibrahimi sebagai model, Levinas meletakkan keyakinan lain—Buddhisme dan Taoisme misalnya—dalam kotak. Apabila baginya agama lain itu "primitif", itu karena tak sesuai dengan standar Kristen dan Yahudi. Ia menyimpulkan: di ujung "agama primitif" ini tak ada yang "menyiapkan munculnya sesosok tuhan".

Levinas tak melihat, justru dengan tak adanya "sesosok tuhan" dalam "agama primitif", atheisme jadi tak relevan. Dengan kata lain, persoalannya terletak pada theisme sendiri. Saya teringat Paul Tillich.

Teolog Kristen itu menganggap theisme mereduksi hubungan manusia dan Tuhannya ke tingkat hubungan antara dua person, yang satu bersifat "ilahi". Dari reduksi inilah lahir atheisme sebagai antitesis. Maka, ikhtiar Tillich ialah menggapai "Tuhan-di-atas-Tuhan-dalam- theisme".

Tuhan "Tak Harus Ada"

Kini suara Tillich (meninggal di tahun 1965) sudah jarang didengar. Setidaknya bagi saya. Tapi, niatnya menggapai "Tuhan-di-atas-Tuhan-dalam-theisme" dan ucapannya bahwa Tuhan "tidak eksist"—sebab Ia melampaui "esensi serta eksistensi"—saya temukan reinkarnasinya dalam pemikiran Marion.

Marion, seperti Heidegger, menafikan tuhan kaum atheis yang sejak Thomas Aquinas (dan secara tak langsung juga sejak Ibnu Rushd, dengan dalil al-inaya dan dalil al-ikhtira'-nya) dibenarkan "ada"-nya dengan argumen metafisika. Baginya, Tuhan yang dianggap sebagai causa sui, sebab yang tak bersebab, adalah Tuhan yang direduksi jadi berhala: Ia hanya jadi titik terakhir penalaran tentang "ada". Ia hanya pemberi alasan (dan jaminan) bagi adanya hal ihwal, jadi ultima ratio untuk melengkapi argumen. Tapi, di situlah metafisika tak memadai.

Sebab Tuhan bukanlah hasil keinginan dan konklusi diskursus kita. Tuhan benar-benar tak harus ada (n'a justement pas á être). Ia mengatasi Ada, tak termasuk Ada. Ia mampu tanpa Ada. Bagi Marion, Tuhanlah yang datang dengan kemerdekaannya ke kita karena Kasih-Nya yang berlimpah, sebagai karunia dalam wahyu.

Di momen yang dikaruniakan itu kita bersua dengan manifestasi les phénomènes saturés, 'fenomena yang dilimpah-turahi'. Di hadapan fenomena dalam surplus yang melebihi intensiku itu, aku mustahil menangkap dan memahami obyek—kalaupun itu masih bisa disebut "obyek". Bahkan, aku dibentuk olehnya.

"Fenomena yang dilimpah-turahi" itu juga kita alami dalam pengalaman estetik ketika melihat lukisan Matisse, misalnya: sebuah pengalaman yang tak dapat diringkas jadi konsep. Apalagi pengalaman dengan yang ilahi, dalam wahyu: hanya dengan aikon kita bisa menjangkau-Nya.

Aikon, kata Marion, berbeda dengan berhala. Berhala adalah pantulan pandangan kita sendiri, terbentuk oleh arahan intensi kita. Sebaliknya pada aikon: intensi kita tak berdaya. Yang kasatmata dilimpah-turahi oleh yang tak-kasatmata, dan aikon mengarahkan pandanganku ke sesuatu di atas sana, yang lebih tinggi dari aikon itu sendiri. "Aikon" yang paling dahsyat adalah Kristus. Marion mengutip Paulus: Kristuslah "aikon dari Tuhan yang tak terlihat".

Di sini Marion bisa sangat memesona, tetapi ia tak bebas dari kritik. Dengan memakai wahyu sebagai paradigma "fenomena yang dilimpah-turahi", Marion—seperti Levinas—berbicara tentang "agama" dengan kacamata Ibrahimi. Bagaimana ia akan menerima Buddhisme, yang tak tergetar oleh wahyu dari "atas", melainkan pencerahan dari dalam?

Bagi Marion, berhala terjadi hanya ketika konsep mereduksikan Tuhan sebagai "kehadiran". Tapi, mungkinkah teologi yang ditawarkannya sepenuhnya bebas dari tendensi pemberhalaan?

Dengan pandangan khas Katolik, ia bicara tentang aikon. Tapi, bisa saja aikon itu—juga Tuhan—di-atas-Ada yang diperkenalkannya kepada kita, sebagaimana Gottheid yang hendak digayuh Eckhart—merosot jadi berhala, selama nama itu, kata itu, dibebani residu sejarah theisme yang, jika dipandang dari perspektif Buddhisme Zen, tetap berangkat dari Tuhan yang personal, bukan dari getar Ketiadaan.

Di sinilah kita butuh Derrida. Marion mengira "Tuhan-Tanpa-Ada" yang diimbaunya bisa bebas dari sejarah dan bahasa, tapi dengan Derrida kita akan ingat: kita selamanya hidup dengan bahasa yang kita warisi, dari tafsir ke tafsir. "Tuhan" tak punya makna yang hadir.

Maka Yudaisme, misalnya, cenderung tak menyebut Nama-Nya; dalam nama itu Tuhan selalu luput. "Dieu déja se contredit", kata Derrida: belum-belum Tuhan sudah mengontradiksi diri sendiri.

Maka, lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa. Dengan kata lain, hidup dengan janji: kelak ada Makna Terang yang akan datang—betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran.

Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Jakarta, 27 September 2007

GOENAWAN MOHAMAD Penyair, Pendiri Majalah Tempo

Sumber: Kompas, 06 Oktober 2007

Dec 19, 2007

Belajar dari Teladan Pemimpin Kristen

Adakah Pengganti Dr Leimena?

Salahuddin Wahid

Sebuah tabloid khusus kalangan Kristen menurunkan tulisan yang mengeluhkan tidak adanya atau kurangnya pemimpin saat ini, apalagi di tingkat nasional, yang beragama Kristen. Apa benar demikian? Gubernur yang beragama Kristen cukup banyak: di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Papua, Irjabar, Maluku, NTT. Hampir 25 persen gubernur di Indonesia beragama Kristen, lebih besar daripada persentase penduduk beragama Kristen (di bawah 10%) di Indonesia.

Beberapa menteri beragama Kristen atau Katolik, yaitu Mari Pangestu, Purnomo Yusgiantoro, Freddy Numberi. Pimpinan DPR, MPR dan DPR memang tidak ada yang beragama Kristen. Dalam Pilpres 2004 tidak ada satu pun capres atau cawapres yang beragama Kristen, padahal tidak ada UU yang melarangnya.

Kita tampaknya lupa bahwa seorang non-Jawa dan non-Muslim pernah menjadi pejabat presiden sebanyak tujuh kali saat Bung Karno (BK) melawat ke luar negeri (1961-1964), yaitu Dr Johannes Leimena. Dia adalah salah satu pemimpin terbaik bangsa Indonesia dan pemimpin Kristen yang mencapai karier paling tinggi dan paling mengesankan. Amat layak bagi umat dan tokoh Kristen untuk belajar dari Leimena.

Dr Leimena, sama seperti pemimpin lain pada masa lalu, tumbuh dari bawah, tidak bergantung pada pemimpin lain. Mereka punya karakter, sikap, prinsip, dan rendah hati. Tidak banyak yang oportunis atau penjilat. Secara pribadi mereka saling percaya dan saling membantu, walaupun berbeda agama. Mereka tidak memperebutkan jabatan, beberapa dari mereka menolak jabatan menteri, seperti Dr Muwardi dan Ibu Trimurti.

Oom Jo berwatak sederhana, terus terang, setia, kritis, penuh tanggung jawab dan kecil pamrihnya. Bagi dia, politik bukan teknik untuk berkuasa tetapi etika untuk mengabdi. Menurut Dr Zakaria Ngelow, ada lima hal yang dapat dipelajari dari kehidupan dan pemikiran Dr Leimena. Pertama, mengutamakan pengembangan diri dalam hal kualitas moral dan iman. Kedua, pembaruan visi keagamaan yang lebih memberi tempat kepada fungsi sosialnya. Ketiga, visi keagamaan mengacu pada kemanusiaan dan bertujuan mewujudkan kesejahteraan sosial. Keempat, sebagai nasionalis sejati, Leimena sepenuhnya mencintai dan mengabdi pada kemerdekaan, kesatuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Beliau menentang separatisme dan ideologi alternatif. Bagi Dr Leimena, Indonesia adalah suatu bangsa majemuk di bawah satu ideologi, Pancasila. Kelima, dia adalah sosok ideal cendekiawan Indonesia, yang menyatukan dalam dirinya wawasan moral, keagamaan, kemanusiaan, nasionalisme, kepemimpinan, dan intelektualitas, yang dibingkai dalam sosok yang tenang, sederhana, dan rendah hati.

Ketenangan dan Ketabahan

Salah satu yang menonjol dari pribadi Dr Leimena ialah ketenangan dan ketabahan. Ketenangan dan ketabahan Oom Jo tampak saat beliau mendorong dan agak memaksa BK untuk pergi ke Bogor saat BK di Halim mengalami kesulitan menentukan apakah ke Bogor atau ke Madiun. Juga saat sidang kabinet 11 Maret 1966. BK meninggalkan sidang dan menuju Bogor dengan memakai helikopter. Subandrio dengan tergopoh-gopoh mengikuti BK. Dengan tenang, Oom Jo mengambil alih pimpinan sidang kabinet dan dengan tenang menutup sidang itu. Mahasiswa dan Angkatan 66 tidak bersikap negatif terhadap Oom Jo, seperti terhadap Subandrio dan Chairul Saleh.

Mengapa BK memilih Dr Leimena terus-menerus sebagai Pejabat Presiden dan tidak pernah memilih dua Waperdam lainnya? Tentu hanya BK yang bisa menjawabnya dengan tepat. Tetapi, kita bisa menduganya. Tampaknya Dr Leimena adalah yang paling dipercaya BK di antara ketiga Waperdam itu. Itu pasti tidak lepas dari pendapat BK tentang Dr Leimena seperti berikut: "Ambillah misalnya Leimena... saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui."

Ucapan BK di atas menunjukkan bahwa Dr Leimena adalah pemimpin yang punya integritas. Menurut Oxford Dictionary, integritas ialah sifat jujur dan punya prinsip moral yang kuat; kebenaran moral. Pemimpin yang punya integritas harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, harus transparan, jujur dan tidak manipulatif. Kedua, harus harus bisa dipercaya dengan menepati semua janjinya. Ketiga, harus berani bertanggung jawab atas segala keputusan dan tindakannya. Keempat, harus bersikap konsisten.

Seperti umumnya pemimpin masa lalu, Dr Leimena adalah seorang negarawan. Menurut The World Book Encyclopedia, a statesman is a person with a broad knowledge of government and politics, who take a leading part in public affairs. Most people think of statesman being concerned with the needs and interest of their country as a whole. In contrast, they think of politicians as having only party or political aims. Salah satu ucapan dari Winston Churchill yang terkenal ialah, The duty to my party ends when the duty to my country begins.

Leimena adalah pemimpin yang mempunyai visi. Salah satu visi yang menarik ialah tentang ke-Kristen-an dan ke-Indonesia-an. Dia menggunakan istilah double-citizenship. Bagaimanakah kita dapat hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan sebagai warga negara yang sejati dan bertanggung jawab?

Ada beberapa pandangan Dr Leimena yang menarik tentang hubungan gereja dan negara. Pertama, negara berkewajiban menyelenggarakan/memelihara ketertiban itu, dengan demikian menjadi pegawai Allah. Karena Allah dalam Yesus Kristus adalah Tuhan dari dunia dan sorga, maka kekuasaan negara berasal dari Tuhan. Dengan demikian negara tidak mempunyai tujuan dan norma dalam dirinya. Fungsi yang diberikan kepada negara ialah memelihara ketertiban itu atas dasar Hukum dan Keadilan, dan menciptakan kemungkinan kepada warga negara untuk bertindak sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Kedua, gereja harus turut serta menegakkan ketertiban tersebut di atas. Ia tidak dapat membagi kehidupannya ke dalam dua lapangan yang terpisah sama sekali: kehidupan batin dan kehidupan politik, tetapi kerajaan Allah harus dikabarkan dalam semua lapangan kehidupan, juga dalam lapangan politik. Menurut panggilannya dalam lapangan politik ini, ia tiap kali harus menentukan sikapnya yang bergantung pada situasi dan soal yang dihadapinya.

Latar Belakang

Wajar kalau muncul pertanyaan, adakah pengganti Dr Leimena pada saat ini? Kita tahu bahwa pemilihan pimpinan tingkat nasional tidak harus dipengaruhi dikotomi sipil-militer, tua-muda, Jawa-non Jawa dan Islam-non Islam. UUD memperbolehkan orang non-Jawa dan non-Islam untuk menjadi Presiden RI. Tetapi, wajar kalau saat ini orang Jawa memilih tokoh Jawa dan orang Islam memilih Muslim menjadi Presiden. Perkembangan sejarah di banyak negara menunjukkan bahwa latar belakang suku dan agama secara perlahan menurun pengaruhnya.

Sebenarnya pada Pilpres 2004 sudah hampir muncul pasangan capres/cawapres Kristen yang didukung oleh PDS dan sejumlah partai kecil, tetapi konon gagal mencapai kesepakatan dalam negosiasi yang terkait dana. Memang tidak mudah untuk mencari tokoh yang layak dicalonkan, tetapi bukan berarti tidak mungkin atau tidak ada. Saat ini tokoh partai di tingkat nasional beragama Kristen yang menonjol adalah Ruyandi Hutasoit, Mangindaan, dan Theo Sambuaga. Gubernur beragama Kristen yang menonjol prestasinya adalah Gubernur Sulawesi Utara Harry Sarundayang dan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Tentu masih ada lagi potensi lain.

Salah satu dari mereka bisa dipasangkan sebagai cawapres dengan tokoh beragama Islam sebagai capres. Kalah menang bukanlah masalah utama. Yang penting ialah menunjukkan kepada dunia internasional bahwa sesuai UUD, Indonesia bisa menerima cawapres (bahkan mungkin saja capres) beragama Kristen.

Penulis adalah Pengasuh Pesantren Tebuireng


Sumber: Suara Pembaruan, 10 Desember 2007