Polemik muatan religi dalam kesusasteraan anak
Pullman, Agama, dan Dongeng Pascamodern
TRISNO S SUTANTO
Trilogi His Dark Materials karya Philip Pullman, yang edisi Indonesia-nya baru-baru ini diterbitkan oleh Gramedia, boleh jadi akan dicatat sebagai tonggak baru sejarah kesusastraan anak berbahasa Inggris bersama Alice's Adventures in Wonderland (1865) karya Lewis Carroll, trilogi The Lord of the Rings (1954-1955) dari JRR Tolkien, dan tujuh jilid Chronicles of Narnia (1950-1956) karya CS Lewis.
Sedikitnya sudah tujuh juta eksemplar trilogi ini terjual, diterjemahkan ke dalam lebih dari 37 bahasa, dan rencananya akan diadaptasi menjadi film layar lebar akhir tahun ini oleh produser The Lord of the Rings.
Akan tetapi, berbeda dengan mereka semua, karya Pullman lebih memancing banyak kontroversi, khususnya dari kalangan Kristen konservatif karena secara blak-blakan menyerang otoritas gereja. Apalagi, dalam soal agama, posisi Pullman memang sangat jelas.
"Saya seorang ateis," kata Pullman dalam konferensi di Oxford, Agustus 2000. "Tetapi, bagaimanapun juga, kita membutuhkan surga, kita membutuhkan segala hal yang dirujuk oleh (kata) surga, kita butuh kegembiraan, makna dan tujuan dalam kehidupan kita, ketersambungan dengan alam semesta, segala hal yang dulu dijanjikan oleh Kerajaan Surga pada kita tetapi gagal dipenuhinya." Tidak heran jika Peter Hitchens, seorang penulis Kristen konservatif, menyebut Pullman sebagai "Penulis paling berbahaya di Inggris", dan menuduh adanya "konspirasi kaum ateis" untuk membuang sisa-sisa terakhir kekristenan (Baca: The Mail on Sunday, 27 Januari 2002, hal 63).
Saya tidak ingin menyibukkan diri dengan urusan konspirasi itu, yang jelas tidak dapat dicari bukti pembenarannya. Lagi pula, seperti dilaporkan ensiklopedia online wikipedia.org, tokoh sekaliber Rowan Williams, Uskup Agung Canterbury, malah menganjurkan agar trilogi His Dark Materials dijadikan bahan ajar untuk pendidikan agama di sekolah-sekolah! Sebab apa yang disajikan Pullman adalah sebuah dongeng pascamodern tentang pergolakan jiwa menuju kematangan, semacam bildungsroman bagi mereka yang merasa bahwa dunia agama tradisional tidak lagi mampu memuaskan kebutuhan terdalam manusia.
Membunuh "Otoritas"
Trilogi His Dark Materials adalah cerita anak-anak. Tidak lebih dari itu. Tetapi, sama seperti karya-karya lain yang bermutu, His Dark Materials menggabungkan berbagai unsur, mulai dari mitologi, agama, fisika kuantum, sampai permenungan filosofis yang memukau.
Dalam bagian pertama trilogi ini, The Golden Compass (judul Inggris: Northern Lights) yang menyabet The Carnegie Medal dan The Guardian Award untuk fiksi anak-anak, Pullman memulai kisahnya ketika Lyra Belacqua bersama Pantalaimon, daemonnya, bersembunyi di lemari pakaian dan tanpa sengaja mencuri dengar cerita pengembaraan Lord Asriel ke wilayah Utara kepada para Cendekiawan Akademi Jordan di Oxford. Cerita Lord Asriel tentang "Debu" dan praktik kejam di Bolvangar, di mana anak-anak diputuskan hubungannya dari "daemon" mereka, serta lenyapnya Roger, teman bermain Lyra, karena diculik "para pelahap", membuat Lyra dan Pantalaimon memutuskan untuk memulai pengembaraan mereka. Dan bekal Lyra hanya satu: kompas emas yang disebut "alethiometer" yang selalu memberi jawaban yang benar.
Bagian kedua, The Subtle Knife, menambah kompleks plot kisah petualangan yang tampak sederhana itu, dengan masuknya dua tokoh utama lain: Will Parry, seorang anak yang tanpa sengaja menjadi pembunuh dan menemukan "jendela" untuk memasuki "dunia lain", serta Mary Malone, seorang peneliti fisika, tetapi menyukai I Ching yang mencurahkan upayanya untuk membuka misteri "Bayangan", atau "materi gelap" dalam istilah fisika kuantum. Tanpa sepengetahuannya, Will ditakdirkan menjadi "pembawa pisau gaib" yang mampu membuka jendela-jendela penghubung antardunia.
Di kota CittĂ gazze yang berada di dunia lain, Will bertemu Lyra, bersahabat, dan memulai petualangan mereka. Keduanya mencari sang ayah. Lyra mencari Lord Asriel yang memasuki dunia lain dengan mengorbankan Roger, sementara Will mencari ayah yang tidak pernah dikenalnya, John Parry, perwira Marinir Kerajaan yang tiba-tiba lenyap dalam ekspedisi penelitian di Utara. Dan Pullman perlahan-lahan membuat kita menyadari kerangka besar yang mendasari triloginya. Setiap tokoh, termasuk para penyihir maupun malaikat, sesungguhnya berada di dalam jalinan ambisi puncak Lord Asriel untuk memberontak terhadap kekuasaan tertinggi, yakni mencari dan membunuh Sang Otoritas!
Baru dalam bagian ketiga, The Amber Spyglass, buku fiksi anak- anak pertama yang menyabet sekaligus penghargaan Whitbread tahun 2001 maupun Whitebread Book of the Year tahun 2002, seluruh jalinan rumit dongeng Pullman menjadi jelas. Sang Otoritas itu tidak lain adalah figur yang selama ini disebut dan mendaku diri sebagai Tuhan, yang diwakili sekaligus dipenjarakan oleh Metatron.
Pemberontakan itu berhasil. Otoritas berhasil dibunuh, Metatron dengan seluruh bala tentaranya berhasil dihancurkan. Dan Lyra pun menyadari nasib yang menentukan dirinya. Dia adalah Hawa, ibu kehidupan yang kemudian jatuh cinta kepada Will si Adam, karena cerita Mary Malone, sang ular penggoda. Sebuah dongeng yang mengingatkan kita pada kitab Kejadian dalam Alkitab, tetapi dengan tafsir berbeda.
Jika kisah Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian selama ini dipandang sebagai titik awal jatuhnya manusia ke dalam dosa, Pullman menganggap sebaliknya. Itu adalah titik awal ketika manusia meninggalkan alam kanak-kanak yang serba "murni" (innocence) untuk menjadi dewasa, mengenal cinta, membuang ketaatan mutlak pada "Otoritas", baik agama maupun lainnya, mengambil tanggung jawab dan menjadi bijaksana.
Bildungsroman pascamodern
Jelas, dengan visi semacam itu, Pullman menjadi penulis kontroversial, khususnya bagi kalangan agamawan konservatif yang menganggap agama—dengan seluruh perangkat institusinya—adalah barang yang suci yang tidak boleh diganggu, dipertanyakan, apalagi dikritik. Jika Anda termasuk kelompok seperti ini, sebaiknya Anda tidak membaca trilogi Pullman. Apalagi The Amber Spyglass, di mana Pullman bicara blak-blakan dan melontarkan kritik tanpa tedeng aling-aling terhadap "agama".
Misalnya, lewat tokoh Mary Malone, mantan biarawati yang menjadi peneliti "materi gelap" dalam fisika kuantum, ia menandaskan bahwa "Agama Kristen adalah kesalahan yang sangat berpengaruh dan meyakinkan" (hal 524). Begitu juga ketika diperhadapkan dengan Pater MacPhail, Presiden Lembaga Pengadilan Disiplin Agama, lembaga superkuat di bawah Magisterium Gereja, Mrs Coulter justru menggugat balik: "Well, di mana Tuhan, kalau Ia masih hidup? Dan kenapa Ia tidak berbicara lagi?" (hal 391).
Akan tetapi bagi mereka yang cukup terbuka dan kritis, dongeng Pullman merupakan perenungan memukau tentang makna agama yang tidak lagi dilandaskan pada kewenangan Otoritas dengan seluruh birokrasinya, atau terjebak pada figur-figur mitologis, melainkan lebih sebagai pencarian makna kehidupan yang hakiki. Suatu pemahaman keagamaan yang telah mampu melangkaui kritik akal budi Pencerahan, ambang batas di mana umat manusia—memakai metafora Kant yang masyhur—sudah mencapai "akil balig". Sebab, seluruh kritik pedas Pullman memang ditujukan pada kewenangan atas nama "Otoritas" yang selama ini telah membelenggu manusia.
Sementara bagi Lyra dan Will, seluruh petualangan mereka adalah proses pergolakan jiwa yang harus dilalui untuk menjadi dewasa, melewati ambang pubertas dan pertama kali menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta. Di akhir cerita, Will harus mematahkan "pisau gaib" dan menutup setiap jendela penghubung antardunia, sementara Lyra kehilangan kemampuan alamiahnya dalam membaca alethiometer. Itulah harga kedewasaan. Menjadi dewasa berarti kehilangan kemampuan untuk berpindah-pindah dunia, atau selalu mendapat jawaban yang tepat untuk setiap persoalan. Akan tetapi menjadi dewasa juga berarti menyadari bahwa dunia di mana kita ada, di sini dan sekarang ini, sungguh merupakan tempat terpenting yang layak menerima seluruh perhatian kita. Sebab "Kerajaan sudah berakhir, kerajaan surga, semuanya sudah tamat," kata Lyra di akhir buku. "Kita tidak boleh menjalani kehidupan seakan-akan hal itu lebih penting daripada kehidupan di dunia ini, karena tempat yang terpenting adalah di mana kita berada."
Dengan kata lain, trilogi Pullman bisa dibaca sebagai terjemahan, dalam bentuk bildungsroman yang canggih, dari panggilan dasar Pencerahan: Sapere Aude! Beranilah berpikir sendiri!
Trisno S Sutanto Pencinta Buku Cerita Anak-anak
Sumber: Kompas, 21 Mei 2007
No comments:
Post a Comment