Apr 24, 2009

Argentina 1976-1983

Estaba la Madre

Senin, 20 April 2009

"Ibu itu di sana, berdiri, berkabung…"

Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedih­an manusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.

Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terban­dingkan. Tapi pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan.

Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah titah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ribuan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu orang hilang.

Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik. Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio, Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap.

Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkat­an laut menceritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda yang diculik itu. Pada suatu saat mere­ka akan dibius dan ditelanjangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat. Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu….

Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak mengingatkan orang lagi akan zaman yang buas itu. Ia menciptakan sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di YouTube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesunyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda itu muncul seje­nak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah. Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.

Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan sejumlah perempuan yang tak lazim. "Inilah orang-orang gila itu," begitu kita dengar di pembukaan.

Para "orang gila", umumnya separuh baya, berbaris di jalan, dengan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah dihilangkan. Me­reka "gila" karena di negeri yang ketakutan itu, mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama 20 tahun.

"Saya tak bisa melupakan," kata Renee Epelbaum. "Saya tak bisa memaafkan." Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai "Para Ibu di Plaza de Mayo"—sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-angsur, jumlah itu jadi 400.

Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo. Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre, misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang digubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan di Golgotha: "Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius…"—"Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung."

Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang "hilang".

Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. "Kamis, mereka menunggunya untuk makan malam di rumah," demikianlah paduan ­suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali.

"Ini pukul sembilan.

Ini pukul 10.

Tengah malam

Fajar datang,

dan ia tak pernah pulang."

Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan?

Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika "Tim Mawar" dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutalan dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak yakin akan legitimasinya sendiri.

Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka mengancam si lemah dan meng­ajukan dalih kebersamaan—hingga terdengar menggelikan:

Hidup kemerdekaan!

Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.

Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang

mengaku.

Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka

menjerit.

Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, di pel­bagai sudut di Buenos Aires, kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: "Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan."   Goenawan Mohamad

 
Sumber: Tempo, 20 April 09

Apr 9, 2009

Regional role model - Election day

Selamat mencoblos, eh salah, mencontreng, Saudara2 sebangsa setanah air! 
(Happy piercing, sorry, ticking, my fellow countrymen.... -- Emil Jayaputra)
 

Democracy in South-East Asia

The Indonesian surprise

Apr 2nd 2009
From The Economist print edition

The world's biggest Muslim country has changed from authoritarian basket-case to regional role model


EPA

THE Asian financial crisis of the late 1990s helped bring regime change in both the country where it started, Thailand, and the one where the devastation it wrought was most profound, Indonesia. At the time Thailand's prospects for political stability seemed infinitely brighter. A cohesive nation whose army seemed to have withdrawn from politics, it adopted a new constitution, drafted in an impeccably consultative process. Indonesia, however, woke up in 1998 from the 32-year Suharto dictatorship with a dreadful hangover—blood on the streets of Jakarta, separatist conflicts on the periphery and a chaotic explosion of repressed political activity, some of it tinged with Islamist extremism.

Yet as Indonesia prepares for its third national parliamentary elections since then, to be held on April 9th, it has a fair claim to be South-East Asia's only fully functioning democracy. Unfettered by Thailand's draconian lèse-majesté laws, or the fierce interpretations of what constitutes defamation in Singapore and Malaysia, the press is vibrant and free. Unlike Thailand's army, which returned to politics with a coup in 2006, Indonesia's has stayed back in the barracks. And unlike the Philippines, where elections dominated by guns, goons and gold lead to dozens of murders, Indonesia has enjoyed a largely peaceful campaign. Indonesia's corruption rates probably still top regional charts, but the government of President Susilo Bambang Yudhoyono has made strides in attacking it.

Moreover, pluralist politics and a decentralisation of power have helped bring Islamist politics into the mainstream. Jemaah Islamiah, the local al-Qaeda franchisee, responsible for the bombing in Bali in 2002 and other attacks, has been marginalised: its most dangerous fanatics are in jail or hiding in the jungles of Mindanao in the southern Philippines. No attacks on foreign targets in Indonesia have been recorded since 2005. The above-ground Islamist parties have had to become less vehement to gain power. About two-fifths of local elections have been won by coalitions forged between Islamist and secular parties. In the two other huge Asian Muslim-majority nations—Pakistan and Bangladesh—extremism gained ground in the early years of this century in part because of the suppression of political competition.

Of course Indonesia is not a paragon of Jeffersonian democracy. The parties contesting the election (see article) are doing so largely on the basis of their leaders' charisma, and the quality of the packed lunches and other handouts they provide at their rallies. And those leaders are mostly people who thrived under Suharto, too, testifying not just to the elite's tenacious staying power, but also to the lack of any accountability for the abuses of the Suharto years. One is the former army chief, Wiranto, who was indicted by a United Nations-backed tribunal for his role in the violence that surrounded Indonesia's withdrawal from Timor-Leste in 1999. Another, Prabowo Subianto, is the divorced husband of one of Suharto's daughters, and a former special-forces commander whose human-rights record is such that he cannot get a visa to America.

In the short term, however, the biggest difficulty facing Indonesian democracy is the election itself. Despite the experience of the previous votes in 1999 and 2004 it was always going to face huge difficulties: a voting system of Byzantine complexity; constantly evolving rules; the logistics of organising polls in an archipelago of 17,000 islands and 240m people; and the apparent ineptitude of the election commission. A new one was added, however, with the exposure of the apparent rigging of a recent election for a provincial governorship, in East Java, in favour of Mr Yudhoyono's Democratic Party.

The scale of the errors uncovered—over a quarter of the names on the voters' list were fictitious or repeated—seems too large for it to be simply an instance of incompetence. But instead of helping the investigation, the police in Jakarta intervened to downgrade it and sideline the local police chief responsible. Since then errors have been detected in voters' lists elsewhere. This makes it even more likely that many losing candidates in the election will challenge the results. Indonesia's love affair with democracy could enter a rocky patch.

Pricking the pretext of "Asian values"

It should, however, be no more than that. The manipulation was uncovered, publicised and is being exploited by opposition candidates: the system worked. As governments elsewhere in the region retreat into repression, Indonesia can still be proud of its young but vibrant pluralism. Although Malaysia's Mahathir Mohamad and Singapore's Lee Kuan Yew did most of the talking about the "Asian values" that justify authoritarianism, Suharto was their role model and proof. Indonesia is now an altogether different sort of model. Like India it has shown that democracy can work in huge, diverse and poor countries. And like Brazil, Taiwan and South Korea, it has shown it does not need generations to strike roots. ***