Jun 30, 2010

Tulisan sebagai Instrumen Berpikir

Membaca, berpikir, dan menulis. Tiga serangkai yang baru. (EJ)
 
BAHASA
Lisan dan Tulisan

Jumat, 18 Juni 2010 | 03:39 WIB

SAMSUDIN BERLIAN

"…bahasa pada hakikatnya adalah lisan, bukan tulis," kata Lie Charlie dalam kolom Bahasa edisi Jumat, 11 Juni 2010. Ini hanya benar secara kronologis. Bahasa memang berevolusi dari lisan ke tulisan, budaya bergerak dari orality ke literacy. Dengan percetakan, teks menjadi makin utama. Kini radio, televisi, dan internet pun hanya bisa ada dan berfungsi dengan tulisan. Tulisan tidak akan ada tanpa lisan, tetapi bahasa tulisan bukan sekadar bahasa lisan yang dituliskan. Hakikat bahasa tidak lagi lisan.

Baik dunia oral maupun literer kaya makna, tetapi ciri dan dampaknya pada proses pikiran manusia, dan sebagai kekuatan pengarah evolusi sosial, sangat berbeda. Bukan hanya itu, sejak tulisan pertama lahir lebih dari 5.000 tahun lalu di Sumeria (Irak Selatan), disusul Mesir, China, dst, dan sampai detik ini, sejarah mencatat bahwa bangsa bertulisan lebih unggul daripada bangsa berlisan saja. Nyatanya, sejarah adalah tulisan. Tulisan adalah cikal-bakal peradaban. Tulisan tinggal, lisan tanggal.

Tulisan jauh lebih akurat, tahan lama, dan efisien dalam melahirkan, menyimpan, memproses, dan memperkembangkan gagasan, sampai yang serumit-rumitnya dan seluas-luasnya. Dari gagasan ke tindakan hanya selangkah. Tanpa tulisan, tidak ada dunia modern, ilmu pengetahuan lambat berkembang, teknologi sebatas sederhana, komunikasi sejauh teriakan, transportasi sekuat tungkai selebar layar. Buta tulisan, biarpun kaya lisan, adalah resep kemiskinan dan ketakberdayaan.

Filsuf Yesuit dan pakar ilmu bahasa, Walter Ong, mendaftarkan beberapa ciri oralitas yang berkontras dengan budaya tulisan. Karena ingatan adalah satu-satunya alat memelihara pengetahuan, dalam dunia lisan kosakata sedikit, tata bahasa sederhana, kata dan konsep diulang-ulang, dan gaya formula umum dipakai, ciri-ciri yang memang masih kental dalam bahasa Indonesia. Formula seperti pantun dan syair misalnya sangat terkenal di dunia Melayu, yang tidak asing dengan pidato, pepatah-petitih, dan silat lidah.

Guru-guru yang hidup dalam dunia lisan selalu menuntut murid-murid menghafal, bahkan menghafal mati, sampai hal-hal yang seremeh-remehnya. Dalam dunia tulisan, hanya hal-hal mendasar yang perlu dihafal. Yang perlu adalah mengasah pemahaman, ketajaman berpikir, kemampuan analitis, abstraksi, dan seterusnya. Dalam lisan yang penting data. Dalam tulisan yang utama olah-data. Akibatnya, lisan itu statis menoleh ke belakang. Tulisan itu dinamis menatap masa depan.

Dunia oralitas juga penuh dengan ungkapan-ungkapan ekspresif seperti adil makmur, aman sentosa, dan lain-lain. Klise memang berkembang dalam dunia lisan. Dengan tulisan, kata-kata dalam ungkapan-ungkapan seperti itu bisa dipecah dan dianalisis sehingga timbul kompleksitas yang merombak dan memperkaya makna. Yang perlu bukan hanya kemampuan baca tulis, melainkan memfungsikan tulisan sebagai instrumen berpikir. Misalnya, hanya dengan tulisanlah bisa dikembangkan daftar, tabel, dan statistik. Bukan berpikir lalu menulis, melainkan menulis sebagai bagian dari proses berpikir canggih.

Tulisan meningkatkan pikiran. Pikiran meningkatkan tulisan. Pemikir adalah penulis.

SAMSUDIN BERLIAN Pemerhati Makna Kata

Sumberhttp://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/18/03391992/lisan.dan.tulisan


Jun 17, 2010

Modernitas & Nasionalisme dalam Sejarah Sosial

dalam rangka memperingati bulan Juni...

JUNI

Juni adalah bulan Bung Karno—kesempatan kita mengenang yang kecil dan yang besar dari tokoh ini.

Ada satu kejadian dalam riwayat yang direkam Cindy Adams: ketika Bung Karno pertama kali menikah, ketika ia jadi mempelai bagi Utari.

Utari adalah putri H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, yang menampung Soekarno sewaktu anak kepala sekolah dari Blitar itu berumur 14 tahun dan datang ke Surabaya untuk masuk HBS, sekolah menengah Belanda. Hubungan antara Soekarno dan Tjokroaminoto makin lama makin erat. Pemuda ini praktis jadi kadernya dalam pergerakan. Ia tinggal di rumah keluarga itu sampai 1920, sampai ia lulus dari HBS dan melanjutkan ke Technische Hooge School di Bandung.

Tapi, sebelum itu, Nyonya Tjokroaminoto wafat. Kesedihan merundung suaminya, yang ditinggal dengan beberapa anak yang masih remaja. Mereka dan anak-anak yang indekos, termasuk Soekarno, pun pindah ke rumah lain. Tapi Tjokroaminoto tak terlipur penuh. Untuk meringankan hati orang tua itu, Soekarno memutuskan untuk menikahi Utari—meskipun masih merupakan "perkawinan gantung", sebab Utari masih 16 tahun dan Soekarno sendiri baru 20.

Yang menarik kisah Bung Karno tentang hari pernikahan itu. Sang mempelai—seorang yang suka berdandan—datang dengan mengenakan jas, pantalon, dan dasi. Melihat itu, penghulu berkeberatan. "Anak muda," katanya, "dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen… tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam."

Soekarno membela diri. Cara berpakaian kini "sudah diperbaharui".

Sang penghulu membentak, pembaharuan itu hanya terbatas pada pantalon dan jas buka, katanya.

Menghadapi suara keras itu, Soekarno membalas. Ia tak sudi. Tuturnya: biar "Nabi sendiri sekalipun tak kan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi". Maka ia bangkit dari kursi dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia harus mencopot dasi. Ketika penghulu tak mau mundur, mempelai yang kelak jadi tokoh utama pergerakan politik untuk kemerdekaan itu berkata: "Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan selalu memberontak. Saya tak mau didikte orang di hari perkawinan saya."

Suasana tegang. Tapi akhirnya akad nikah dilakukan bukan oleh si penghulu, melainkan oleh seorang alim yang ada di antara tamu….

Insiden ini bukan hanya menunjukkan watak Bung Karno, melainkan juga problem Indonesia zaman itu: bagaimana membebaskan diri dari penjajahan dan sekaligus dari apa yang disebut Bung Karno "pendirian yang kolot".

Orang ada yang melawan para penjajah Eropa dengan ambil posisi kembali ke akar yang tertanam di masa lalu. Tapi pemuda Soekarno tak begitu. Juga Hatta, Tan Malaka, dan sebelumnya Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Pergerakan menentang kolonialisme Belanda telah melahirkan sebuah nasionalisme yang lain: melihat ke depan. Nasionalisme itu berkait dengan agenda modernitas.

Bung Karno, dengan prosanya yang penuh api, pernah mencemooh para "oude-cultuur maniak" yang "pikiran dan angan-angannya hanya merindui candi-candi, Negarakertagama, Empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno".

Tan Malaka menegaskan bahwa pendapatnya yang dirumuskan sebagai "Madilog" (Materialisme, Dialektika, Logika) berlawanan dengan segala yang berhubungan dengan mistik dan kegaiban. Tan Malaka, seorang Marxis yang bertahun-tahun mengembara di Eropa, menyebut semua yang ditentangnya itu "ketimuran".

Bagi Hatta, sebagaimana dikatakannya pada 1924 di Belanda, Indonesia yang muda harus memutuskan semua hubungan dengan masa lampau "untuk membangun kehidupan nasional baru yang sesuai dengan tuntutan peradaban modern".

Sebuah konfrontasi tak bisa dielakkan. Nasionalisme itu tak hanya memutuskan kaitan dengan masa silam yang setengah feodal, yang sering disebut "kebudayaan daerah" atau segala yang dikibarkan sebagai bendera identitas lokal. Nasionalisme itu juga ingin melepaskan diri dari adat yang mengikat kebebasan, lembaga lama yang menindas perempuan, keyakinan yang tak membuat orang mencari informasi baru. Bagi nasionalisme ini, kolonialisme harus dihadapi dengan cara yang jadi sumber kekuatan "Barat". Para perintis kemerdekaan Indonesia melihat Jepang sebagai tauladan dan Turki baru sebagai inspirasi. Dalam sebuah tulisan panjang tentang Turki pada 1940, Bung Karno mengutip sebagai pembuka: "Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju Barat."

Syahdan, pada 1939 ada sebuah berita tentang Bung Karno: ia meninggalkan sebuah rapat Muhammadiyah sebagai protes. Bung Karno tak setuju karena ada tabir yang dipasang di sana untuk membatasi tempat perempuan dengan tempat laki-laki.

Maka koresponden Antara pun mewawancarainya. Bung Karno menegaskan: tabir tampaknya "soal kecil, soal kain yang remeh". Tapi sebenarnya "soal mahabesar dan mahapenting", sebab menyangkut posisi sosial perempuan. "Saya ulangi: tabir adalah simbol dari perbudakan kaum perempuan!"

Bagi Bung Karno, tabir adalah aturan agama yang lahir dalam sejarah sosial. Seperti halnya kolonialisme, "perbudakan" seperti itu bukan hasil dari sabda yang kekal. Ia akan berubah. Ia bisa diubah.

Itu sebabnya nasionalisme Indonesia mengandung optimisme. Hatta, misalnya, percaya kepada dialektika sejarah yang berakar pada Marxisme: tiap keadaan "menimbulkan syarat yang mesti mengubah keadaan itu sendiri".

Tentu, optimisme semacam ini tak selamanya terbukti benar. Tapi sejak awal abad ke-20 zaman terasa bergerak. Entah ke mana, tapi banyak hal yang tak tumbuh jadi membatu, jadi benda antik atau ditinggalkan.

Goenawan Mohamad - 14 Juni 2010


Jun 6, 2010

Story from the real maker in the iFactory

So this is the working condition of the very people who physically built into our 'beloved' iPhone & iPad...


No talking, just working 12 hours a day in iFactory hell

STEPHANIE WONG AND JOHN LIU

June 5, 2010

Focus ... a Foxconn staff member works on the production line at the company complex near Shenzhen. Right, Ma Zishan carries a picture of his dead son.

Focus ... a Foxconn staff member works on the production line at the company complex near Shenzhen. Right, Ma Zishan carries a picture of his dead son.Photo: AP/Reuters

Focus ... a Foxconn staff member works on the production line at the company complex near Shenzhen. Right, Ma Zishan carries a picture of his dead son.Photo: AP/Reuters

Pressure is mounting on electronics company Foxconn to explain its employee suicides, write Stephanie Wong and John Liu in Shenzhen.


Ah Wei has an explanation for the chairman of Foxconn, Terry Gou, why some of his workers are committing suicide at the company's factory near the southern Chinese city of Shenzhen.

''Life is meaningless,'' said Ah Wei, 21, his fingernails stained black with the dust from the hundreds of mobile phones he has burnished during a 12-hour overnight shift. ''Every day I repeat the same thing I did yesterday. We get yelled at all the time. It's very tough around here.''

Advertisement: Story continues below

He said conversation on the production line is forbidden, bathroom breaks are kept to 10 minutes every two hours, and constant noise from the factory washed past his ear plugs, damaging his hearing.

The company has rejected three requests for a transfer and his monthly salary of 900 yuan [$158] is too meagre to send money home to his family, said Ah Wei, who asked that his real name not be used because he is afraid of his managers.

At least 10 employees at Foxconn had taken their lives this year, half of them last month, said the Taiwanese company, also known as Hon Hai Group. The deaths have forced the billionaire founder, Terry Gou, to open his factories to outside scrutiny and apologise for not being able to stop the suicides.

Mr Gou built his company into the world's largest contract electronics manufacturer and now his clients, including Apple, Dell and Hewlett-Packard, are investigating working conditions.

Steve Jobs, Apple's chief executive officer, who depends on Foxconn to make the iPhone and iPad, said the suicides were ''very troubling''.

''We're all over this,'' Mr Jobs said, speaking this week at a technology conference in California. His company did one of the best jobs inspecting suppliers, he said, adding the company was ''not a sweatshop''.

Foxconn's Longhua complex outside Shenzhen spans three square kilometres and is criss-crossed by tree-lined streets with a fountain at the centre.

Workers wearing polo shirts emblazoned with ''Foxconn'' in Chinese characters walk along the streets. Men wear blue, women wear red. Security personnel wear white.

The complex boasts its own hospital, a collection of restaurants and a swimming pool surrounded by palm trees. The workers, 86 per cent of whom are under age 25, live in dormitories with eight to 10 people in a room. The living quarters have stairs running up the outside walls and the company has begun covering them with nets to prevent people from jumping.

At a factory devoted to computer motherboards, rows of young men and women stand at assembly lines, their feet shod in blue slippers and white caps on their heads. The smell of solvent hangs in the air.

About 80 per cent of the front-line production employees work standing up, some for 12 hours a day for six days a week, said Liu Bin, 24, an employee.

''It's hard to make friends because you aren't allowed to chat with your colleagues during work,'' Mr Liu said at Shenzhen Kang Ning Hospital where he was seeking help for insomnia.

''Most of us have little education and have no skills so we have no choice but to do this kind of job. I feel no sense of achievement and I've become a machine.'' The company provided counselling for workers such as Mr Liu, said a supervisor, Geng Yubin.

Mr Geng, who has worked six years at Foxconn, said between 30 and 50 workers came to him daily for advice on their personal lives. Common problems were homesickness, financial woes, lovers' quarrels and spats with co-workers, he said.

''For many of the young people who are here, this is the first time they've been away from home,'' Mr Geng said. ''Without their families, they're left without direction. We try to provide them with direction and help.''

Tian Yu fits Mr Geng's description. Ms Tian, 18, had left her parents and a life of growing sweet corn and rice in Hubei province, in central China, to find a job in Shenzhen after graduating from high school, her father, Tian Jiandang, said. She was isolated and without friends at work, he said. She worked at Foxconn for about a year.

On March 17 she jumped from the fourth storey of her dormitory in the Longhua complex.

She survived and was in a coma for almost two months.

Her father still did not know why she jumped and was afraid to ask because he thought it would upset her, he said in an interview by her hospital bed.

Foxconn is paying for her medical care.

The suicides and how to stop them mystify Mr Gou. ''Are we going to have this happen again?'' said Mr Gou, speaking on May 27 when he opened the factory to the largest media gathering in company history. ''From a logical, scientific standpoint, I don't have a grasp on that. No matter how you force me, I don't know.''

Less than a day after Mr Gou had made the remarks, a 23-year-old Foxconn worker jumped to his death, said Shenzhen police. Another worker slit his wrist and was hospitalised.

Mr Gou was born in 1950 in Taipei to parents who emigrated from China.

He formed his company in 1974 with $US7500. Over 36 years, he transformed the company from a supplier of plastic television knobs to the maker of iPhones and Sony PlayStations. Hon Hai Precision Industry generates more revenue each year than Microsoft, Apple and Dell. His net worth reached $US5.9 billion this year, according to Forbes magazine. The basis of his success was clear, said Pam Gordon, the founder of Technology Forecasters, a market research firm specialising in contract manufacturers and supply chains. ''Their prices are lower for high-quality work,'' Ms Gordon said.

Mr Gou's ambition and discipline come through in his workplace interactions, say people who have worked with him.

He could talk for hours without notes and remembered product plans in minute details, they said.

Foxconn won Apple's order to make the iPhone after Mr Gou had ordered the business units that made components to sell parts at zero profit, said two people familiar with the plans, who declined to be named.

The company's labour policies and practices were in line with industry standards and were regularly reviewed by government authorities and customers, Foxconn said in an emailed response to questions.

''The fundamental problem for Foxconn and other Chinese factories is that their business model relies on a low-cost workforce sourced from rural areas of China,'' said Pun Ngai, a professor of applied social sciences at the Hong Kong Polytechnic University. ''Due to its size, Foxconn has to be that much tougher than other factories, and has to become more emotionally detached from its employees than others.''

Apple and other computer makers should emulate American toy makers, who faced a similar predicament, said Gene Grabowski, who heads the crisis and litigation practice at Levick Strategic Communications, a public relations firm in Washington.

After Chinese suppliers for Mattel were found to be allowing lead paint into products sold in the US in 2007, the company sent inspectors to watch over the plants and invited the media to monitor improvements. ''Apple is especially vulnerable because Apple's computer buyers tend to be more socially aware,'' Mr Grabowski said.

Bloomberg

Jun 5, 2010

Aneka Wisata Taman Air seputar Jabotabek

Ide jalan-jalan selama di Tanah Air...


JALAN-JALAN
Saatnya Mendinginkan Tubuh

Sabtu, 5 Juni 2010 | 03:11 WIB

Mengisi liburan pada cuaca yang sangat panas ini memang paling asyik dilakukan di air. Entah itu berenang, berseluncur, atau sekadar berendam. Jumlah taman wisata air di Jakarta dan sekitarnya sudah banyak. Tinggal Anda memilih, mana yang paling seru.

Di Jakarta, taman wisata air yang paling dulu ada tentu saja Ancol Taman Impian. Selain pengunjung bisa bermain di pantai, di sana juga ada Atlantis Water Adventure.

Hari Minggu (6/6) besok akan diresmikan sebuah wahana baru di taman air ini, yakni Kolam Apung. Dalam kolam tersebut, para pengunjung bisa merasakan mengapung di air, seperti di Laut Mati, Jordania. Dengan kadar air yang sangat tinggi, yakni 240 ppm, setiap pengunjung akan mengambang tanpa takut tenggelam di kolam berukuran 500 meter persegi dengan kedalaman satu meter.

Bergerak ke arah Jakarta Timur, peminat taman wisata air juga bisa bermain air di Snow Bay, Taman Mini Indonesia Indah. Di sana, suasana dibuat seperti bermain seluncur di tengah alam berwarna putih seperti warna salju.

Ingin merasakan air yang lebih dingin? Cobalah ke taman air di Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Bogor. Air yang digunakan untuk kolam-kolam renang di TSI adalah air dari gunung. Di areal seluas sekitar tiga hektar itu, ada tiga fasilitas kolam renang dan berseluncur.

"Air kolam ini langsung dari mata air Gunung Gede Pangrango. Airnya asli air gunung sebagaimana pemandangan di sini, langsung melihat hutan Gunung Gede Pangrango. Jadi, seperti berenang di jungle (hutan). Sudah pastilah air dan hawa di sini dingin menyegarkan," kata Yulius Suprihardo, Humas TSI.

Karena ingin "menyatu" dengan alam, di pinggir kolam ada akuarium berisi buaya, berang-berang, dan berbagai jenis ikan hias air tawar dan laut.

Taman wisata air yang juga memiliki akuarium adalah The Jungle di kawasan Bogor Nirwana Residence di Kota Bogor. Berbagai ikan air tawar berukuran besar ada di akuarium yang panjang itu.

"Pengunjung di sini bisa bermain futsal dan menikmati musik hidup di panggung," kata Winda Okta Nurbaini dari Promosi The Jungle.

Selain The Jungle, Kota Bogor juga punya Marcopolo Water Adventure (MWA) di kawasan perumahan Bukit Cimanggu City, Tanah Sareal.

Di sini menara luncurnya setinggi 20 meter. Selain ada kolam renang yang sangat luas, ada juga fasilitas "air terjun", kolam air panas, dan flying fox yang melintas kolam renang.

"Kami beroperasi sejak 4,5 tahun lalu. Air yang digunakan di semua kolam di sini adalah air mineral curah," kata Aroel Geirhard, Manajer Pemasaran dan Promosi MWA.

Melestarikan alam

Ke arah Cikarang, 35 kilometer dari Jakarta, juga ada Water Boom Lippo Cikarang. Selain bisa berenang dan bersantai di air, taman wisata air ini juga menyediakan fasilitas rekreasi dan edukasi berbasis lingkungan, yakni Eco Friendly Garden.

Di sini, anak-anak dapat belajar dan melakukan langkah sederhana untuk melestarikan alam dan menjaga lingkungan, misalnya dengan menanam pohon. "Bibit pohonnya kami sediakan. Setelah anak-anak menanam, bibit pohon itu dapat dibawa pulang," kata S Widi Karyaningsih, Sales and Marketing Manager Water Boom Lippo Cikarang.

Wahana rekreasi air dan petualangan alam terbuka di Water Boom Lippo Cikarang dipadukan dengan lanskap alam pedesaan Bali dan bangunan berbahan kayu dengan hiasan bergaya Bali. Suasana Bali semakin terasa dengan terdengarnya alunan gamelan mulai dari gerbang masuk Water Boom Lippo Cikarang.

Di Tangerang, wisata air bisa dinikmati di Ocean Park Water Adventure, Bumi Serpong Damai. Di taman ini, pengunjung dapat menikmati suasana pantai. Misalnya, di wahana Pacific Wave, seluas 2.350 meter persegi, terdapat kapal bajak laut. Di area ini juga sering dikenal sebagai kolam ombak karena setiap satu jam, akan datang ombak selama 15 menit. Ombak buatan ini bisa mencapai 1,5 meter yang akan membuat Anda merasa berada benar-benar di pantai atau laut lepas.

Tawaran wisata air dengan konsep berbeda diberikan Marcopolo Water Adventure Serpong Town Square di CBD Serpong Lantai 5, Serpong, Tangerang. Marcopolo Serpong ini unik karena terletak di atas mal atau 50 meter di atas permukaan laut. Konsep taman air di atas mal ini adalah yang pertama di Indonesia.

Tawaran lain adalah kolam air panas dengan kedalaman 40 cm. Kolam air panas ini bisa digunakan untuk terapi kesehatan. "Pada hari Sabtu dan Minggu, kami menawarkan ramuan herbal yang ditaburkan dalam kolam untuk terapi," kata Susanti, Manajer Marcopolo Water Adventure Serpong.

Sekarang, tentukan pilihan Anda untuk mendinginkan tubuh. (RTS/PIN/COK/ARN)

Sumberhttp://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/05/03110472/saatnya.mendinginkan.tubuh