Aug 31, 2010

Menjaga Hati

Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena dari situlah terpancar kehidupan. (Amsal Salomo 4:23)


Menjaga Hati

MetroTV - Senin, 30 Agustus 2010 14:24 WIB

GAGASAN 12 ANALIS METROTV
Tentang Indonesia Sejahtera


Suryo 
HATI, merupakan bagian diri manusia yang misterius. Karena kemisteriusannya pula penggunaannya pun seringkali sangat simbolik. Sering kita mendengar ungkapan "hatiku terluka" atau "hatiku tercabik-cabik" yang biasanya dilontarkan orang yang baru ditinggalkan orang yang dikasihinya, atau baru mendengar berita duka. Demikian pula ketika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, hati menjadi "heart", yang padahal terjemahan literalnya adalah jantung. Mungkin ini menunjukkan bahwa hati yang seringkali disebutkan dalam konteks ungkapan seperti di atas tadi adalah bagian yang vital bagi hidup manusia seperti vitalnya fungsi jantung bagi kita. Karenanya menjaganya menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka yang ingin menjaga hidup dan kehidupan.


Sedemikian pentingnya hati, maka meskipun dalam berkomunikasi kita melibatkan telinga, mulut, pikiran, mata dan tangan, tapi untuk meminta agar komunikasi berjalan dua arah, maka ungkapan yang dikeluarkan adalah "mohon per-hati-an" dan bukan "mohon per-telinga-an".  Atau kita perhatikan ungkapan-ungkapan lain yang sifatnya meminta, menyarankan seperti "Harap diper-hati-kan!" atau "Hati-hati di jalan." 

Kita tidak tahu siapa orang pertama yang membawa istilah "hati" ini menjadi khazanah bahasa Indonesia dan dalam komunikasi harian. Dalam bahasa Inggris dan Arab, terdapat beragam kata yang serumpun dengan kata "hati", yang semuanya berkaitan dengan sikap batin, yang selalu ingin mendapatkan rasa damai, kasih, sadar, tulus, dan peduli serta cinta. Ketika kita bingung memutuskan suatu perkara, dianjurkan agar mendengarkan "hati nurani" atau "suara hati".  Ketika hendak memilih pasangan hidup, orang tua selalu pesan, "Sing ati-ati milih konco urip kanggo sak lawase". Yang hati-hati memilih teman hidup untuk selamanya.  Demikian vitalnya peran hati sehingga Nabi Muhammad bersabda, siapapun yang hatinya baik,  maka baiklah semua perilakunya. Dan siapa yang hatinya  sakit, maka sakitlah semua amalnya. Jadi, betapa sentralnya peran "hati" dalam kehidupan sehari-hari, karena dari situlah terpancar energi kebaikan dan keburukan, dorongan ke arah  kemuliaan atau kenistaan.

Karena suara hati selalu mengajak pada kebaikan, maka orang yang bijak mesti mendengarkan kata hatinya sebelum berbicara dan bertindak. Hati nurani adalah guru, pembimbing dan konsultan yang tidak mau berbohong. Terlebih jika hati ini selalu diterangi dan ditambah energi ilahi, maka akan semakin kuat dan jelas petuahnya agar kita berada di jalan yang benar, yang baik, dan ingin menggembirakan sesama.

Salah satu fungsi ibadah dan puasa adalah untuk membersihkan kotoran-kotoran agar tidak mengeras dan berkarat sehingga menutupi masuknya cahaya ilahi untuk menerangi relung hati. Kalau sudah tertutup maka suara hati nurani bisa kalah, suaranya lemah, perintahnya tidak wibawa. Yang cenderung terjadi, seseorang lalu begitu rentan dipengaruhi dan dikendalikan oleh nafsu rendahan yang hanya mengejar kenikmatan fisik, dengan mengurbankan kebahagiaan moral-spiritual. Kenikmatan fisik durasinya pendek,  dan semakin tua usia seseorang, maka semakin mengecil kenikmatan fisik yang bisa diraih. Ketika kesehatan kian menurun, berbagai macam penyakit berdatangan, satu-satu kenikmatan fisik menyatakan "selamat jalan".  Dulu ketika masih berstatus mahasiswa ingin makan enak tidak punya uang, setelah tua punya jabatan tinggi dan uang berlebih tidak boleh makan enak. Sungguh, kalau saja direnungkan betapa singkatnya kenikmatan dunia melayani dan memanjakan kita.

Tetapi mereka yang hatinya selalu berjaga, selalu aktif dan senantiasa disirami dengan energi cahaya ilahi, maka semakin tua usia seseorang hatinya justru semakin sehat, semakin lapang dan semakin bijak sehingga kebahagiaan yang akan diraih justru lebih tinggi kualitasnya, yaitu kebahagiaan moral-spiritual. Jika kebahagiaan  fisik didapat dengan mengumpulkan dan menumpuk materi, maka kebahagiaan moral-spiritual didapat justru dengan banyak memberi dan berbagi pada sesama. The more you give, the more you recieve.
Tak ada dermawan jatuh miskin, justru rejekinya semakin berkah dan bertambah. Ketika memberi dengan penuh ikhlas, sesungguhnya seseorang tengah menabung dengan bunga berlipat ganda sebagaimana dijanjikan Tuhan.

Jadi, menjalani hidup mesti "hati-hati". Mesti didengarkan suara  hati yang selalu membisikkan kebenaran, kebaikan dan kedamaian. Tentu saja pikiran harus juga digunakan, namun mesti didampingi dengan hati. Tanpa didampingi hati nurani, kecerdasan yang berdampingan dengan nafsu serekah bisa berbuat sangat kejam, tidak mengenal belas kasih. Pikiran bertugas memecahkan problem teknis, sedangkan hati yang memberikan makna dan arah kehidupan.  Misalnya, bagaimana menciptakan mobil, itu tugas pikiran yang kemudian dibantu ketrampilan tangan. Bagaimana menciptakan telepon, itu prestasi kecerdasan nalar. Tetapi jika ditanyakan, untuk apa mobil dan telepon diciptakan, hati nurani yang mestinya menjawab. Mobil dicipta bukan untuk berperang, bukan untuk pamer, bukan untuk menaikkan gengsi, tetapi mempermudah silaturahmi, mempermudah cari nafkah, mempermudah anak-anak berangkat sekolah yang semua itu bermuara agar hidup ini semakin berkualitas dan bermakna baik di hadapan manusia maupun Tuhan.

Sadar bahwa yang dimohon adalah per-hati-annya, maka mestinya yang diberikan adalah hati. Menyadari agar semua tugas harus dilaksanakan dengan hati-hati – ingat kata "hati" sampai diulang dua kali -  maka ketika melaksanakan tugas juga harus sepenuh hati. Lagi-lagi, betapa dalam dan bijaknya orangtua yang menyelipkan kata "hati" dalam bahasa Indonesia. Saya belum tahu, apakah bahasa lain memiliki wisdom seindah itu?   

Bagaimana bekerja dengan menghadirkan hati? Contoh paling mudah dan nyata adalah sewaktu berdoa. Ketika berdoa, yang mesti hadir dan berbicara adalah hatinya. Peran mulut hanyalah membantu agar hati fokus dalam berdoa. Jadi, ketika yang berdoa hanya mulut, meski hafal dan keras, tetapi hatinya absen, maka itu bukanlah berdoa, melainkan hanya melafalkan kalimat doa. Ketika sembahyang hatinya tidak hadir dan fokus pada Tuhan, secara ekstrim itu bukanlah sembahyang, melainkan olahraga menyerupai gerak sembahyang.

Saya sendiri sering merenung, mengapa ada buku yang usianya sudah puluhan dan ratusan tahun masih terasa segar dan menyegarkan ketika dibaca? Tapi ada buku yang terasa hambar ketika dibaca? Konon katanya, ada orang yang ketika menulis buku disertai kehadiran, ketulusan dan kecerdasan hati. Dari lubuk hati terdalam mereka ingin berbagi cinta dan ilmu dengan pembacanya. Bahkan ada yang menyucikan diri ketika dalam proses penulisan. Mungkin karya-karya tulis semacam itu yang memang ditulis dari hati dan akan memperoleh respons dari hati pembacanya. Mari kita ber hati-hati menjaga hati.

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Aug 26, 2010

Tan Ana Baskara Kembar

"Tatkala matahari masih berpendar, rembulan harus menerima nasib tenggelam atau, meski kelihatan, berona pucat."

Another true story that reinforces the notion 'substance over form'. 
Substansi mengungguli "casing" - interesting.
Matahari over rembulan.
(EJ)


TOKOH PARTAI
Soetrisno yang "Terluka"
Kompas, Kamis, 26 Agustus 2010 | 03:20 WIB

Mundurnya Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional bukan suatu kejutan. Sudah lama khalayak tahu dia patah arang dengan partai politik yang ikut serta dibesarkannya itu.

Sesungguhnya, yang inspiratif adalah pernyataan Soetrisno Bachir, yang biasa disapa SB, yakni, "Keberhasilan seorang pemimpin justru dilihat dari kemampuannya melahirkan pemimpin baru dan bukan pengekor. Kalau seorang pemimpin hanya melahirkan pengikut, pengekor, atau pembebek, bangsa ini tidak akan pernah maju."

Sepertinya, kemunduran dirinya dari PAN melalui pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Proses pemikirannya telah melewati babak pengendapan emosi, didera kemasygulan, dan mungkin juga kekecewaan dan sakit hati.

"Dia memilih waktu puasa untuk menyampaikan unek-uneknya sehingga lebih tenang. Sekalipun dia orang yang sangat sakit hati, dengan kontrol inni soimun (saya sedang berpuasa), dia bisa menyampaikan dengan jernih dan bernas," kata M Sulthon Amin, mantan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN Jawa Timur.

Sulthon tahu betapa SB kecewa dan sakit hati. Dia dipinang oleh pendiri PAN, Amien Rais, untuk memimpin partai itu. Dia sama sekali tidak dikenal sebelumnya di PAN. Berkat dukungan Amien, yang akhirnya diamini peserta Kongres PAN di Semarang, ia pun terpilih memimpin partai "matahari biru".

SB pun membuktikan dirinya. Dia total mengurus PAN. Kantong pribadinya dikuras. Dalam waktu singkat melalui politik pencitraan, ia pun menjadi tokoh nasional.

SB mungkin lupa, PAN, walaupun disebut partai modern, partai reformasi, berakar kultur politik "mataraman". PAN itu secara substantif "kerajaan", seperti Kerajaan Mataram. Amien Rais "rajanya". Raja adalah pusat denyut kehidupan kerajaan.

"Partai modern itu hanya casing-nya, tetapi isinya tetap politik tradisional. Akar kulturnya tetap politik Jawa mataraman. Hal ini tidak cuma PAN, tetapi juga partai lain," kata Latief Wiyata, sosiolog dari Universitas Negeri Jember.

Dalam kultur politik mataraman berlaku kredo, tan ana baskara kembar (tidak ada matahari kembar). Matahari ya cuma Amien Rais. Ketua Umum PAN menjadi rembulan saja. Tatkala matahari masih berpendar, rembulan harus menerima nasib tenggelam atau, meski kelihatan, berona pucat.

Gesekan matahari dan rembulan akhirnya tak bisa dihindari tatkala SB mencoba mempromosikan diri untuk maju ke pemilu presiden, entah sebagai calon presiden atau wakil presiden. Langkah SB ini dianggap bughot (makar) karena semestinya PAN masih mengusung Amien sebagai calon.

Rembulan memang ditakdirkan kalah tatkala bergesekan dengan matahari. SB tergencet. Jangankan masuk nominasi calon, kursi menteri pun tidak dia rengkuh. Padahal, hampir semua ketua umum partai koalisi pendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menjadi menteri. Di PAN, SB seperti batu yang terbuang.

SB tampaknya benar-benar ingin putus total dengan PAN. Ia pergi tanpa masih dicurigai akan balas dendam untuk merusak PAN dari dalam. Dia tak ingin namanya jadi kerikil sandungan bagi (bekas) pengikut setianya di PAN. (ANWAR HUDIJONO)


Aug 25, 2010

Suara & langkah tegas pemimpin

dan food for thought tadi belum lengkap tanpa yg terakhir ini  :-)


Gita Citra (Cita) dari Istana
Kompas, Rabu, 25 Agustus 2010 | 03:34 WIB
EFFENDI GAZALI

Semua pemimpin dunia yang terpilih secara langsung pasti melalui pencitraan. Waktu memerintah, mereka pasti pula memainkan pencitraan. Ketika "mencurahkan hati" pun (seperti saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, banyak pihak menyerang, mendiskreditkan, dan menyalahkannya, Kompas, 23/8), bisa- bisa dianggap bagian dari pencitraan.

Dalam posisi seperti itu, tidak semua pemimpin memiliki daya pegas sama. Itu tentu juga hak asasi masing-masingnya. Bisa juga merupakan bawaan genotipe atau fenotipe (pengalaman, kebiasaan, pengaruh lingkungan). Mereka yang banyak menekuni bidang seni, seperti mencipta puisi atau lagu, barangkali lebih perasa dibandingkan pemilik kegemaran lain.

Gita citra istana di satu sisi memang akan abadi berhadapan dengan kritik di sisi lainnya. Saat praktiknya bertumbuh pesat, ilmu pencitraan juga berkembang cepat. Umumnya ia jatuh ke wilayah political marketing. Secara paralel, ilmu mengkritik juga melaju. Biasanya jatuh pada kekhususan komunikasi politik. Ambil contoh studi-studi soal hibrid jurnalistik dan parodi (Feldman & Young, 2008). Di sini bukan citra, melainkan elemen cita (dibaca: structure of action, Ryfe, 2009) yang menjadi obyek utama.

Cita untuk rakyat

Mengenai Pak Beye, tentu pengamat harus pula memuji hal yang positif darinya. Kami, misalnya, sangat memuji reaksi cepat Presiden, tanpa gembar-gembor, saat mengubah pola pengawalan kendaraannya menanggapi sebuah surat pembaca. Tetapi, di sisi lain, apa yang disampaikan pengamat harus pula disimak secara lengkap. Jangan langsung digeneralisasi bahwa pengamat tahunya cuma kritik melulu. Sama seperti Presiden yang tetap bekerja sambil merajut citra, sebagian besar pengamat tetap mengajar dan bekerja bersama rakyat akar rumput.

Dalam hal tertentu, kritik memang perlu disertai usulan. Sama juga, pidato citra perlu dilengkapi dengan cita dalam bahasa rakyat. Kira-kira untuk bagian citra, bolehlah 70 persen. Sisanya mesti untuk cita bangsa.

Misalnya, rakyat barangkali merindukan Pak Beye menambah uraian kedaulatan RI yang merdeka dengan menyapa tiga petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan kita sambil menegaskan aksi. Kita bayangkan Presiden berkata, "Saya menyampaikan salam kepada Erwan, Asriadi, Sevo (saat masih ditahan di Malaysia). Kita akan terus bersama mereka dan selanjutnya akan memastikan bahwa insiden seperti ini tidak terulang lagi. Kita akan bertindak tegas sambil memperkuat armada perbatasan kita. Kita juga akan memberikan beasiswa untuk 200 anak bangsa terpilih agar kita segera memiliki ahli-ahli hukum laut dan perbatasan. Mereka kita tugaskan belajar di negeri-negeri yang memiliki akses untuk penyelesaian persoalan ini di tingkat internasional!"

Tentang ledakan gas, mungkin rakyat rindu pernyataan Pak Beye seperti ini, "Dari rancangan belanja yang saya uraikan tadi, kita akan mengeluarkan jumlah yang signifikan untuk memperbaiki kekurangan kita dalam evaluasi program konversi minyak tanah ke gas, yang mestinya harus kita lakukan satu tahun setelah kesepakatan nasional tersebut kita jalankan. Kami minta maaf atas kekurangan ini. Seluruh peralatan gas akan kita cek bersama. Kita akan mengadakan tempat pelayanan untuk konsultasi dan penukaran secara cuma-cuma semua peralatan yang diragukan atau tidak memenuhi standar nasional. Pemerintah juga akan mengganti seluruh biaya perawatan korban dari sejumlah musibah yang terjadi."

Inspirasi

Cita biasanya juga berarti menginspirasi. Rasanya akan banyak rakyat dan jajaran kepolisian terinspirasi untuk bersikap jelas serta bertindak tegas seandainya Pak Beye juga pernah menyatakan, "Apa yang menimpa umat beragama di Kuningan, Bekasi, dan lainnya harus menjadi yang terakhir. Bangsa kita jelas memegang prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Tidak ada seorang pun yang boleh menyerang inisiatif dan kegiatan anak bangsa lain sebagai umat beragama. Saya menuntut pertanggungjawaban aparat hukum secara serius di mana pun kasus ini terjadi."

Analisis Presiden tentang biaya politik amat tinggi juga menarik untuk dikembangkan jadi bahan inspirasi. Mungkin rakyat bisa membayangkan Pak Beye berkata, "Saya usulkan agar dari dana KPU sekitar lima belas triliun per tahun, dua triliun dialokasikan untuk TVRI dan RRI. Ini merupakan alokasi untuk sosialisasi pemilu dan iklan politik cuma-cuma bagi semua peserta, dalam jumlah serta jam tayang yang sama. Hal ini akan memangkas sebagian biaya politik tinggi. Persaingan harusnya pada kualitas iklan politik. Bersamaan dengan itu, kita akan memiliki penyiaran publik yang kuat mengimbangi gaya stasiun komersial. Iklan dan debat pilkada pun lebih tepat di TVRI-RRI daerah masing-masing."

Pastilah Presiden dan para penasihat ahlinya punya lebih banyak cita dan inspirasi yang menyentuh rakyat. Untuk hal seperti ini, tentu Presiden tak perlu menahan diri berbicara. Pengkritik pun harus terus meneriakkan gita citanya. Apalagi sebagian pengamat sudah setia melakukan kritik sejak zaman Pak Harto. Seperti kata pepatah, terkadang "anjing menggonggong, kafilah berlalu". Pernah pula terjadi "anjing menggonggong, kafilah terjatuh". Yang penting, mereka tidak mengkritik untuk negosiasi agar diangkat jadi menteri atau staf ahli!

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI


Crème de la crème bukan berarti ultra vires!

...dan inilah tangkisan atas tulisan tadi yang "harum-scarum".


Konsistensi Presiden
Kompas, Rabu, 25 Agustus 2010 | 03:27 WIB
Julian Aldrin Pasha

Mendalami tulisan profesor riset Mochtar Pabottingi atas pernyataan Presiden pada peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR di Kompas, 23 Agustus 2010, perlu dibuat tanggapan klarifikatif.

Setelah pernyataan Ruhut Sitompul dilontarkan, banyak pertanyaan datang kepada saya. Intinya, bagaimana sikap Presiden? Terus terang, perasaan saya sama dengan perasaan Prof Pabottingi: seperti mendengar pernyataan yang jatuh dari langit di siang bolong tanpa ujung pangkal. Atas nama akal sehat, pernyataan itu harus diluruskan. Mengapa ditanggapi serius?

Jawabannya: karena concern media massa. Menjadi penting karena hampir semua media, baik elektronik, dunia maya, microbloggers (Facebook dan Twitter), maupun media cetak, tampak begitu bersemangat menaikkan dan mengedepankan "nyanyian" sumbang itu. Substansinya spekulatif. Seputar bahwa apakah suara itu sesungguhnya berasal dari Istana? Atau, mungkinkah ia hanya orang suruhan? Atau, sebaliknya, sebagai menu pembuka hidangan politik, hitung-hitung testing the water? Atau, mungkin ini justru perintah "certiorari" dari dalam parlemen sendiri?

Rangkaian probabilitas di atas kemudian mendorong saya menyampaikan kepada Presiden bahwa perlu dibuat pernyataan pada saat sambutan peringatan Hari Konstitusi. Pertimbangannya, momentumnya tepat karena wacana itu bersinggungan dengan konstitusi. Seandainya tanpa ada pernyataan Presiden, hampir pasti isu tersebut kemudian menggelinding memenuhi ruang publik, menggeser isu atau substansi penting lainnya, seraya memberi ruang yang lebih dari cukup bagi para komentator, pengamat, atau pakar komunikasi politik untuk mengemukakan hipotesis dan analisisnya yang belum tentu sepenuhnya benar, kalau tidak pantas dikatakan ngawur.

Diskursus semu

Wacana seputar citra Presiden tidak perlu didramatisasi. Wacana dan diskursus terhadap hal itu sungguh tidak relevan dalam konteks Presiden SBY. Bahwa ada garis batas dan perbedaan jelas antara politik pencitraan serta keseriusan bersikap dan konsistensi tindakan. Politik pencitraan adalah bentuk lain dari "pepesan kosong". Tidak ada permanenitas dan konsistensi di dalamnya. Ibarat salon mobil atau salon kecantikan, cukup dipoles sehingga baret atau luka dapat tertutupi. Beberapa konsultan politik telah demikian mahir sehingga mampu dalam sekejap "memoles" sesuai dengan citra yang ingin diciptakan. Namun pasti, make up semacam itu tidak tahan lama, cepat luntur, karena tidak bersumber dari hati dan dilakukan secara konsisten. Keseharian seorang SBY adalah bersikap dan bertindak secara konsisten, disiplin, berdasarkan kebiasaan serta keyakinannya.

Berangkat dari realitas, tudingan bahwa Presiden menghabiskan waktu untuk membangun citra ilusif dan bersikap evasif menunda konfrontasi dengan masalah serta sama sekali tidak fully in charge, sebagaimana disebut sang Suhu, mahaguru, membuat saya bertanya, apakah postulat ini berdasarkan kajian riset dan terhindar dari harum-scarum serta bebas-nilai? Atau, hanya keyakinan berdasar informasi dunia maya dengan sejuta ilusi di dalamnya? Undreamed-of, memang sulit memahami secara utuh cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang presiden bila dibayangkan atau dilihat hanya dari kejauhan.

Sedikit orang yang tahu bahwa hampir seluruh waktunya didedikasikan bagi kepentingan, kemajuan, dan keselamatan bangsa dan negara. Bagaimana seorang SBY harus menghadapi kompleksitas luar biasa dalam memimpin negara Indonesia. Dibutuhkan wawasan pemahaman komprehensif yang cerdas, bijak, dan terukur. Permasalahan senantiasa muncul. Sejauh ini, sebagian telah dikelola dengan baik, sisanya masih merupakan tantangan untuk diselesaikan sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab pemerintahan SBY hingga Oktober 2014.

Sejarah mencatat bahwa bangsa yang maju ditopang oleh kerja keras dari orang- orang terbaik. Ibarat logam mulia atau crème de la crème, mereka memiliki semangat segar-sehat-harmoni, dengan pikiran maju untuk membangun negaranya. Mereka maju karena pemerintahan berjalan optimal tanpa diganggu oleh intrik dungu, narrow-minded, kesinisan, atau hujatan yang "dimainkan" oleh sekelompok orang yang punya vested-interests.

Negara ini memiliki segalanya, termasuk resources yang diperlukan menjadi negara maju. Menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara dalam menjaga dan membangun negara, sebagaimana diamanatkan founding fathers bangsa lebih dari enam puluh lima tahun lalu.

Presiden sebagai lembaga

Sering kali disalah mengerti bahwa presiden sesungguhnya lembaga, bukan pribadi. Bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan tidak serta-merta dikultuskan sebagai individu sebagaimana seorang pemimpin ultra-Vires. Pandangan semacam ini mungkin bisa dipahami di masa lalu. Ketika ekspektasi terlalu besar dialamatkan kepada lembaga kepresidenan, jangan dilupakan bahwa ada pranata politik atau institusi lain yang juga—harus—bekerja. Lebih dekat, spesifik, dan teknis. Lembaga kepresidenan bukan segalanya. Di pusat juga ada kementerian dan lembaga, sementara daerah pun memiliki lembaga sesuai tugas dan fungsi dalam menjalankan pemerintahan.

Akhirnya, secercah harapan kepada para peneliti sosial untuk melakukan kajian demi menjawab keraguan dan kecemasan dalam menyongsong tantangan lima tahun ke depan, pasca-2014. Perlu dibuat proyeksi bangsa kita ke depan. Harus diakui, setidaknya dalam lima tahun terakhir bangsa ini telah melangkah maju. Tidak perlu terlalu pelit memberi apresiasi karena masyarakat dunia mengakuinya. Tentu banyak hal yang masih harus dikejar, diperbaiki, dan disempurnakan. Sebaliknya, sebagai antisipasi hal-hal yang dapat menjerumuskan kita menjadi failed state, sebagaimana dikhawatirkan, akan sangat diapresiasi bila muncul kajian empiris yang mengungkapkan filling the gap, what went wrong with our lovely country? Dan para komentator politik tidak cukup punya waktu melakukannya.

Julian Aldrin Pasha Juru Bicara Presiden RI

SBY vs. Obama

Politik pencitraan vs. politik pasang badan

* tulisan straight to the point yg akan direspon oleh tulisan juga *

Presiden dan Evasi Eksekutif
Kompas, Senin, 23 Agustus 2010 | 02:45 WIB
Mochtar Pabottingi

PADA peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR, Presiden SBY melontarkan suatu wacana yang mengundang tanda tanya.

Dia menegaskan "akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada akhir periode kedua dan tidak akan memperpanjang masa kepemimpinannya dengan mengubah konstitusi" (Kompas, 19/8). Weleh! Weleh! Pernyataan ini seperti mendadak turun dari langit. Nalarnya lemah, terasa dicari-cari, dan karena itu langsung mengguratkan kernyit di kening.

Dalam wacana publik sepanjang pemerintahannya tak pernah terbetik adanya kekhawatiran mendasar bahwa Presiden SBY akan mengubah konstitusi untuk kembali berkuasa hingga 2019. Kita dapat memahami jika imbauan untuk mempertahankannya satu periode lagi datang dari Ruhut Sitompul—dan tampaknya memang hanya dia yang bisa melontarkan imbauan demikian.

Kita juga mengerti jika benar Lee Kuan Yew melontarkan imbauan serupa. Kita cukup tahu siapa Lee bagi Indonesia. Bagi saya, Ruhut maupun Lee mengimbau ke negeri antah berantah. Disayangkan, lagi-lagi, mengapa Presiden menanggapinya secara serius di tempat yang serius.

Jika Presiden SBY beserta segenap pendamping, pengiring, dan juru bicara setianya mau benar-benar menyimak lubuk hati masyarakat bangsa kita terutama dalam setahun terakhir ini, maka mereka rata-rata akan berjumpa dengan sesuatu yang sama sekali lain dari "wacana lima tahun lagi". Mereka umumnya akan berhadap-hadapan dengan keresahan dan keprihatinan yang begitu luas bukan hanya tentang ke mana negara kita mau dibawa oleh para pelaksananya, melainkan lebih-lebih sampai seberapa jauh lagi bangsa kita bisa tahan dengan pembiaran negara yang skalanya kian meluas.

Dalamnya keresahan dan keprihatinan ini juga tergambar pada harian Kompas yang bahasanya selama ini selalu santun. Harian ini tak urung menulis bahwa "potensi kemungkinan Indonesia menjadi 'negara gagal' semakin besar" ("Kesalehan Sosial Bangkrut") dan bahwa negara kita memerlukan "terobosan radikal dengan prioritas jelas" (Tajuk "Persoalan Berlapis-Lapis", Kompas, 10/8). Dengan tingkat keresahan dan keprihatinan ini, "lima tahun lagi" adalah sungguh jauh panggang dari api.

Tantangan terbesar

Tantangan terbesar Presiden SBY datang dari atau berada dalam dirinya sendiri. Dia terlalu kerap berwacana sebagai pengamat, terlalu sering mengimbau dan mengadu, dan terlalu banyak menghabiskan waktu membangun citra ilusif. Kesibukan demikian membuatnya hampir selalu bersikap evasif, menunda konfrontasi dengan masalah, dan keranjingan mendelegasikan persoalan—sama sekali tidak fully in charge.

Presiden seolah-olah tidak menyadari bahwa dialah pemimpin eksekutif—pengambil keputusan, bukan pemimpin pengelak, juru tunda, atau solisitor keputusan dari para bawahannya. Inisiatif utama dan eksekusi tegas untuk mengatasi simpul- simpul persoalan kenegaraan yang selama ini mendera masyarakat semestinya berasal, bertumpu, dan bertolak dari diri dan kantor presiden, sebab memang itulah tugas inheren kepresidenan.

Jika Presiden SBY benar pengagum Amerika Serikat, dia bisa menarik rangkaian pelajaran segar-prima dari Presiden Obama. Setelah setahun lebih memimpin Amerika, kita tahu bahwa Obama telah tampil sebagai "logam mulia". Ia tak gentar berhadap-hadapan langsung dengan lawan-lawan utama politiknya atau dengan tantangan-tantangan besar yang kini dihadapi bangsanya.

Dia tidak memasuki gelanggang hanya untuk membangun citra dari soal-soal sepele yang kebetulan menyita perhatian publik. Dia memprakarsai dan melancarkan solusi-solusi centennial atas tantangan-tantangan besar tadi. Sudah dua tiga kali dia memasang badan tepat di ujung tombak tantangan.

Pemahaman konsisten-progresif

Kontras dengan SBY, Obama sama sekali tidak sibuk membangun citra, apalagi dari mengurusi soal-soal yang bisa ditangani jenjang otoritas bertingkat-tingkat di bawahnya. Dia tak takut kehilangan popularitas. Ketegasan pendiriannya menyangkut rencana pembangunan The Cordoba Islamic Center dengan masjid di dalamnya yang diprakarsai oleh Imam Feisal Abdul Rauf dua blok dari "Ground Zero" 9/11 kembali membuktikan hal itu.

Landasan utama Obama adalah pemahaman konsisten-progresifnya akan konstitusi Amerika serta ketegaran-tulusnya berdiri di situ. Bebas dari rekayasa pepesan kosong, darinya terpancar hati yang teguh dan bersih, kerja yang penuh dan gigih. Maka, tanpa dipoles-poles, adicitra yang menyata dari sosok Obama sejauh ini adalah benar-benar sebagai "logam mulia".

Tanpa pemenuhan harapan rakyat dari Presiden SBY, sulit membayangkan kemurnian dan signifikansi pengikut Lee-Ruhut, jika pun ada, dengan lantunan koor "Encore!" Sejujurnya, dari suara-suara di sekitar kita, yang terbetik dominan justru adalah kecemasan merata tentang apakah bangsa kita sanggup menanggungkan begitu banyak pembiaran dari mayoritas pelaksana pemerintahan, terutama di jajaran eksekutif, selama empat tahun lagi! Alih-alih mendengarkan lagu-lagu melankolis dari istana, yang justru sudah terus mengentak adalah lagu Barbara Streissand, "Enough is enough!"

Jika kita ikhlas mau menyelamatkan republik kita dari nasib "negara gagal", mari bersama mengimbau Presiden untuk berhenti bercitra-hampa, berhenti terus menghindar ("Itu bukan wilayah saya, itu bukan wewenang saya"), dan mulai sungguh-sungguh memasuki gelanggang sebagai pemimpin eksekutif sejati.

Percayalah bahwa jika pun ada, amat sangat sedikit rakyat yang menginginkan Pak SBY terus repot memimpin Indonesia hingga 2019. Tetapi darinya seluruh rakyat sudah lama merindukan rangkaian langkah yang konkret meringankan beban mereka dan tidak melulu memedulikan mereka dalam citra, yang riil memberantas korupsi dan tidak melulu memberantasnya dalam citra—apalagi sembari terus membiarkan KPK diobok-obok dalam babak-babak dagelan pengadilan yang sama sekali tidak lucu!

Mochtar Pabottingi Peneliti Senior


Aug 24, 2010

Indonesianist Peneliti Keraton Yogyakarta

"Saya sebenarnya sudah separuh pensiun, tetapi tidak bisa diam dan ingin terus belajar..."


Menggelar Indonesia di Mancanegara
Selasa, 24 Agustus 2010 | 02:43 WIB
KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN
JENNIFER LINDSAY

MAWAR KUSUMA

Abdi dalem Keraton Yogyakarta, KRT Rintaiswara, menyodorkan buku katalog karya Jennifer Lindsay saat menjelaskan kekayaan koleksi manuskrip di Kewedanaan Hageng Punakawan Perpustakaan Widya Budaya. Buku itu menjadi panduan bagi mereka yang ingin mempelajari manuskrip tentang Keraton Yogyakarta.

Lindsay, peneliti Australia itu, membuat buku proyek mikrofilm naskah di Keraton Yogyakarta dibantu dua rekannya, RM Soetanto dan Alan Feinstein, tahun 1985. Proyek itu atas permintaan Sultan Hamengku Buwono IX. Setelah 20 tahun kemudian buku karyanya itu masih menjadi satu-satunya katalog manuskrip Keraton Yogyakarta.

Tak berhenti pada manuskrip keraton, dia terus menunjukkan ketertarikannya pada budaya dan sejarah Indonesia. Kini perempuan kelahiran Selandia Baru itu memimpin proyek penelitian "Indonesia's Cultural History 1950-1965: in Search of a Lost Legacy". Pada proyek ini dia meneliti dan menulis misi kesenian Indonesia ke luar negeri.

Ia mewawancarai langsung para pelaku seni budaya era 1950-1965-an yang merupakan duta Indonesia ke berbagai negara. Dia menangkap, betapa pentingnya budaya sebagai alat diplomasi saat Indonesia masih berusia muda.

"Dari awal, saya sangat menghargai mereka yang memilih hidup tidak gampang," ujarnya.

Selain menghasilkan buku penelitian 20 penulis, dibantu Australia-Netherlands Research Collaboration Scheme, Lindsay juga menyutradarai film dokumenter, Menggelar Indonesia. Film ini berisi wawancara dengan 30 duta seni budaya Indonesia pada awal kemerdekaan, yang menjadi produk sampingan penelitiannya.

Film itu diputar gratis di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, dan Bali. Rencananya, Menggelar Indonesia juga akan diputar di perguruan tinggi dan komunitas lain di luar negeri. Ia mengaku senang karena para pelaku sejarah itu kembali diperhatikan, sekaligus menginspirasi kaum muda untuk menghargai sejarah.

Bersama Bulantrisna Djelantik, Irawati Durban Ardjo, dan Menul Robi Sularto, Lindsay memproduksi film dokumenter berdurasi 90 menit itu. Sebelumnya, ia meneliti periode awal kemerdekaan Indonesia selama setahun. Buku hasil penelitian kolaborasi baru itu akan dirilis awal September nanti. "Film ini arsip sejarah. Tak hanya sejarah Indonesia, tapi sejarah dunia," katanya.

Lindsay prihatin sebab perhatian masyarakat pada era 1950-1965 amat kurang. "Saya terkesan, pada awal berdirinya Republik ini, budaya begitu penting. Budaya yang membawa Indonesia ke luar negeri sekaligus membentuk rasa Indonesia di dalam negeri," tambahnya.

Kecintaan bertahap

Kecintaannya kepada Indonesia dibangun bertahap. Pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia pada usia 19 tahun, Lindsay jatuh cinta pada budaya Indonesia. Itulah kali pertama dia ke luar negeri. Ia tinggal di Yogyakarta selama enam tahun, sejak 1971. Di sini Lindsay belajar gamelan, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa.

Ingin semakin mengenal Indonesia, ia melanjutkan kuliah S-2 di Cornell University, Amerika Serikat, pada 1978-1980. Ia mengambil jurusan Sejarah Asia Tenggara. Pemilihan jurusan Sejarah itu, diakuinya, sebenarnya aneh. Sebab, ia pernah tak lulus mata kuliah Sejarah saat kuliah S-1 Sastra Inggris di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Lindsay lalu melanjutkan S-3 jurusan Kajian Indonesia di University of Sydney, Australia. Katalog mikrofilm naskah Keraton Yogyakarta adalah buku pertama yang ditulisnya, ketika menggelar penelitian PhD pada 1981-1983. Disertasinya diterbitkan tahun 1991, berjudul Klasik, Kitsch, Kontemporer: Sebuah Studi Mengenai Pertunjukan Jawa.

Setelah menyelesaikan S-3, ia bekerja pada Australia Council, membidangi kebijakan kesenian dengan pendanaan dari pemerintah. Dia lalu diangkat sebagai Atase Kebudayaan Australia di Kedutaan Australia di Jakarta pada 1989-1992. Dia juga sempat bekerja di Ford Foundation, Jakarta. Selanjutnya, Lindsay mengajar pada program Asia Tenggara di National University of Singapore, menjadi peneliti tamu pada Asia Research Institute, serta dosen Kajian Pagelaran Asia di University of Sydney. Karier mengajarnya berhenti tahun 2006 ketika ia memutuskan pensiun dan fokus sebagai penulis, penerjemah, dan peneliti.

Kini dia menjadi peneliti tamu pada School of Culture, History and Language, College of Asia and the Pacific, di Australia National University (ANU). Sejak tahun 2008 ia juga menjadi peneliti tamu pada International Institute of Asian Studies and KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) Leiden, Belanda.

Menguasai segudang pengetahuan tentang sejarah dan budaya Indonesia, Lindsay merasa semakin tidak tahu apa-apa. Semua pelajaran tentang budaya ataupun sejarah yang telah dipelajarinya, semuanya terasa baru dan menarik.

"Semakin tua, semakin belajar sesuatu yang baru, saya semakin merasa tidak tahu," katanya.

Ia yakin, setiap orang tak akan bisa memahami masa sekarang tanpa melirik masa lalu. Sejatinya, sejarah adalah sesuatu yang mengasyikkan dan menarik. Sejarah sama sekali tidak kering. Sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan menjadi bagian dari kekinian.

Jennifer Lindsay bercerita, kecintaannya terhadap seni budaya sudah tertanam sejak masih kanak-kanak. Orangtuanya berprofesi sebagai pemusik. Ayahnya dirigen orkes dan pemain violin, sedangkan ibunya antara lain bermain piano. Lindsay kecil pun belajar bermain piano dan selo. Maka dia juga menyukai hampir semua jenis musik, bukan hanya gamelan Jawa.

Perempuan yang lebih senang disebut sebagai pemerhati budaya itu mengatakan, ia akan terus memberikan pemikirannya bagi Indonesia. Ikatan batin Lindsay dengan Indonesia dan teman-temannya di Indonesia membuat dia lebih sering menghabiskan waktu di Indonesia dibandingkan di Selandia Baru atau Australia.

"Saya sebenarnya sudah separuh pensiun, tetapi tidak bisa diam dan ingin terus belajar (tentang Indonesia)," katanya menegaskan.

Sumber: Kompas, 24/8/10

Aug 17, 2010

Kicauan Seputar Makna Kemerdekaan

Selected Tweets seputar Peringatan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2010

hattarajasa Kemerdekaan itu mustahil bila kita tak percaya pada kemampuan dan kekuatan tangan kita sendiri. Dirgahayu Negeriku #Indonesia65

desianwar Merdeka itu kedewasaan. Membakar bendera negara tetangga menunjukkan kita belum dewasa

NajwaShihab Dear Pak Beye, ini acara kenegaraan bkn arisan keluarga. RT @VIVAnewsGroup: Buku Anak Sulung SBY Jadi Souvenir Istana http://bit.ly/9MTiyE

ulil Inget guyonan alm. KH. Qosim Nurseha: kalau sedang puasa, dilarang menjunjung tinggi tanah air. | Tanah air=kendi. Maksudnya: minum.

pramonoanung Yg membanggakan dr upacara di Istana ; tampilan Paskibraka dan paduan suara anak2 yg bagus... Eh Kapolri hadir, sehat dan banyak senyum.

ulil Hubbul watan minal iman: cinta tanah air adalah bagian dari iman. #merdeka

NajwaShihab Merdeka itu bisa kritis tanpa takut dituding tidak patriotis. #Indonesia65

anasurbaningrum Kemerdekaan adalah terbebas dari perpecahan, dendam, korupsi, ketakutan, kemiskinan dan keterbelakangan. Merdeka!

ulil Ini bangsa besar, jangan sampai ada bangsa2 lain yg meremehkan dan men-tetek-bengek-kan bangsa ini!" kata Surya Paloh.

gm_gm Bisakah kita, bbrp menit ini, berhenti mencemooh sesama kita, dari posisi politik manapun, selama ia tak menentang ke-Indonesia-an kita?

tifsembiring Kemerdekaan bukan hadiah, tapi hasil perjuangan, pengorbanan darah, harta, air mata dan nyawa. Kita berdaulat, tdk boleh didikte bgs lain

bangfauzibowo Dirgahayu HUT RI ke-65. Amanah Reformasi tanggungjawab kita bersama. Mari berperan aktif sukseskan pembangunan. Wujudkan Indonesia sejahtera

komar_hidayat Org yg ditahanan demi membela kbenaran, membela rakyat dan bangsa adl org yg merdeka ketimbang pejabat korup meski dg fasilitas hidup mewah.


Aug 16, 2010

Pre-election Jessica Rudd's first novel launch

It's not everyday that your very first book proved to be largely prescient... (EJ)


Jessica Rudd's novel Campaign Ruby to launch tomorrow

Jessica Rudd

Jessica Rudd, daughter of the Prime Minister, in Sydney's Botanic Gardens. Picture: Alan Pryke Source: The Australian

ANOTHER Rudd is threatening to steal Labor's campaign thunder with the launch of Jessica Rudd's prescient first novel.

The launch of Ms Rudd's Campaign Ruby is sure to grab the headlines tomorrow - and Capital Circle has put together a handy cheat sheet so you're in the loop, even if you don't read the book.

The book's publishers, Text, say they don't know if Mr Rudd will be at the launch tomorrow, although they are "hopeful".

Calls to Mr Rudd's office have gone unanswered.

But whether the former PM fronts for the 6pm launch at the Riverbend bookshop, in Brisbane's Bulimba, the plot has set tongues wagging.

The story revolves around Ruby Stanhope, a young Brit who loses her high-paying job in the financial services sector in London and who, on a whim (and with a hangover), ends up in Melbourne a day later.


But her plan to take time off is thrown out the window when, after a chance meeting, Ruby is hired to work for Opposition Leader Max Masters - and is immediately thrown into an election campaign when Prime Minister Hugh Patton is deposed by his ambitious deputy, Gabrielle Brennan.

Sound familiar?

In a revealing interview in Saturday's Good Weekend, Ms Rudd admitted she had called her publisher in tears after Mr Rudd lost his job to Julia Gillard.

"Michael [Heyward, Text publisher], my book is coming true," she is reported to have said.

"Jess, you didn't make this happen," he told her.

But the book is a realistic peek inside the political world, peppered with characters that Capital Circle recognises: media consultants, gruff advisers, glamorous (and not so glamorous) journalists, all constructed around the 24-hour news cycle.

Ms Rudd's first-hand knowledge of politics shines through in the novel: Ruby battles through a political "shitstorm" when the LOO (leader of the opposition) uses the word "bull", tries to gain traction for a small and medium business policy, cops a whacking from the banking sector and, along the way, dallies with a devilishly handsome reporter, one Oscar Franklin (no relation to The Australian's Matthew, we think).

Without spoiling the plot - and with plenty of slip-ups, stuff-ups and to-do lists along the way - the book powers towards an exciting conclusion for Ruby.

Publication of the book has been brought forward from September to capitalise on the election campaign. Text, no doubt, will be delighted with the results so far.
Sumber: The Australian, 16 Aug 10