Jul 18, 2008

How God inspires my NSW rule

Definitely another reveller that celebrates this year's World Youth Day!
 

How God inspires my NSW rule

The Daily Telegraph  By Morris Iemma

July 15, 2008

LIKE five million other Australians, I proudly belong to the Catholic faith - a tradition that stretches back 2000 years and includes more than one billion adherents in every country of the world.

Faith is important to me. Deeply important.

It provides a sense of meaning to life and a set of time-honoured values for our children. Crucially, it also offers a constant reminder of the innate dignity and worth of every human being.

My faith directly influences my Government's policies in areas like mental health, disability services and housing for the needy and homeless.

Faith is also a source of comfort and guidance.

My faith helps achieve a sense of inner calm, understanding and forgiveness. It's important to never lose balance and perspective.

For Christians, as with every other religion, faith is mostly a daily struggle with the challenges of daily life. But occasionally there are times when our faith becomes particularly vivid and alive, as during this week's World Youth Day activities and the historic visit of Pope Benedict XVI.

For Catholics, a papal visit has deep meaning and significance.

This is the first papal visit to this country since 1995. Until 1970, a pontiff had never visited Australia.

In fact, until the early 1960s, the pope never left the Vatican.

In previous eras, the papacy was quite remote.

Today it has become a central role for the pope to travel around the world visiting far-flung communities in person, including Australia. This reminds us that we are part of the universal Church - that despite distance, we count, we belong.

In undertaking these journeys, the Pope comes as a servant and a shepherd who wants to strengthen our faith and commitment through his own wisdom, love and example. That is why Catholics tend to call the Pope by the name Holy Father - or, in Italian, "Papa".

The word, which means something more like "daddy", is especially appropriate for the humble, humane and good-humoured Benedict XVI.

So for me and my family, meeting the Pope will be something special and beautiful.

This isn't just because it is exciting but because it will give us encouragement and inspiration long after His Holiness has flown back to Rome.

That is the real point of World Youth Day and Pope Benedict's visit.

Yes, it's a week of excitement, colour and adventure. But, more importantly, it's a source of strength for the long journey that lies ahead for all of us.

Welcome Pope Benedict. May your visit be peaceful, joyous and enriching.

* Morris Iemma is Premier of NSW

Source: DT, 15 July 08

Jul 14, 2008

Intelektual organik yg Übermensch

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"
Senin, 14 Juli 2008

Oleh Rikard Bagun

Tidak gampang menemukan rumpun kaum intelektual Indonesia yang duduk gelisah karena tergetar oleh momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Benar-benar mati angin!

Gelora kegelisahan hanya bergerak sepoi-sepoi, tidak dapat diubah menjadi badai yang mampu memaksa kaum cerdik pandai duduk bersama, memandang dengan sorotan tajam masa depan bangsa, tanpa membiarkan sedikit pun mata terkedip bagi Indonesia yang lebih baik.

Resonansi atas kenyataan itu seakan bersahutan atau berbalas pantun dengan pertanyaan, mengapa Indonesia tidak bangkit-bangkit meski begitu banyak sarjana, kaum cerdik pandai, kaum intelektual, dan ilmuwan?

Indonesia masih terus saja berada dalam pusaran krisis bawaan sejak tahun 1998, yang diperburuk oleh kondisi global yang sedang dikepung oleh krisis pangan, energi, dan pergolakan keuangan. Paling tidak 34,9 juta rakyat Indonesia hidup miskin.

Celah perubahan dan perbaikan akan semakin sulit ditemukan jika kaum intelektual Indonesia kehilangan sensitivitas menangkap panggilan sejarah untuk melancarkan secara serempak transformasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berjangkauan jauh ke depan.

Namun, siapakah yang pantas disebut kaum intelektual itu? Tidak ada rumusan baku, tetapi setiap orang yang melek huruf berpotensi menjadi intelektual, apalagi yang sudah sarjana.

Sudah menjadi kredo, kontribusi kaum intelektual bagi peradaban dan kemanusiaan dalam perjalanan panjang sejarah sangat menentukan sebagai keniscayaan, syarat mutlak, conditio sine qua non.

Namun, mengapa sulit sekali menemukan jejak kaum intelektual Indonesia, lebih-lebih setelah kemerdekaan.

Permainan waktu

Kelesuan itu terasa jelas pula dalam memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional sebagai momentum yang dikhawatirkan akan terancam hilang.

Gejala kedodoran itu terlihat dalam kerepotan menghadapi arus perubahan, yang sangat menuntut kecepatan, the survival of the fastest, yang bertahan yang paling cepat, ketimbang the survival of the fittest, yang bertahan yang paling kuat.

Kemampuan menangkap peluang dalam permainan waktu memang semakin menentukan: "Waktu berubah dan kita berubah di dalamnya", tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Jika tidak cekatan, kesempatan akan hilang di tengah dunia yang berlari tunggang langgang.

Ibarat burung malam minerva, yang dijadikan simbol kebajikan dalam mitologi Yunani karena ketajaman indra penglihatannya menembus pekatnya kegelapan malam, kaum intelektual dengan ketajaman visinya dituntut menjadi sumber pencerahan di kegelapan zaman.

Hanya persoalannya, jangankan mampu melihat yang tidak tembus pandang dan jauh dalam kegelapan masa depan, masalah di depan mata dan di bawah terang benderang matahari saja sering kali tidak mampu diidentifikasi untuk dipecahkan.

Kekuatan pencerahan

Tidak semua kaum intelektual mampu melihat kompleksitas persoalan kemasyarakatan.

Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.

Munculnya kaum intelektual organik atau intelektual tradisional sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Pendidikan yang baik akan melahirkan kelompok intelektual organik, atau orang yang memiliki kesadaran kritis, bukan kesadaran naif, dalam pengertian Paulo Freire.

Kaum intelektual tradisional lebih nyaman berada tinggi di menara gading ketimbang turun berkeringat dan berpikir keras tentang perubahan masyarakat.

Watak kaum intelektual sejati atau intelektual organik antara lain mampu menjaga kemandirian, tidak mudah dikooptasi oleh kekuasaan, dan kreatif sebagai manusia super bermental tuan, Übermensch, dalam pengertian Friedrich Nietschze.

Ilmuwan biasa atau intelektual tradisional hanya mendaur ulang yang sudah ada, tetapi ilmuwan sejati justru menemukan yang "belum ada".

Namun, tantangan kaum intelektual sejati atau intelektual organik semakin berat. Tak sedikit sarjana atau ilmuwan yang terjerumus oleh godaan kekuasaan. Pemikir Perancis Julien Benda menyebut kaum intelektual yang tergoda masuk dalam politik praktis dan bermain dengan kepentingan kekuasaan sebagai pengkhianat.

Daya kritis kaum intelektual dilumpuhkan dan ditumpulkan dalam pasungan kepentingan kekuasaan dan penguasa. Padahal, kaum intelektual harus menjadi kekuatan antitesis kekuasaan. Selalu cemas agar bangunan kekuasaan tak sampai tumbuh mencakar langit atau menjadi makhluk dasar laut yang mengerikan seperti leviathan.

Namun, kiprah ilmuwan tidak mungkin berkembang dan optimal jika secara kultural tidak kondusif pula, yang membuat berbagai temuan penting kaum ilmuwan ditelantarkan.

Ruang bagi kaum intelektual berkiprah semakin terpasung jika penguasa maupun rakyat sama-sama melakoni budaya, lebih suka ngelmu ketimbang ilmu, lebih suka berpikir mistis ketimbang kritis. ***

Source: Kompas, 14 Juli 08

Jul 8, 2008

Karl May & Buku Penanda Zaman

Karl May & Pembelajaran Inklusivisme
Pikiran Rakyat, 3 Januari 2008

Buku-bukunya telah memberi sesuatu yang berharga di masa remaja kita, yaitu keindahan dan kekuatan persahabatan antara ras-ras yang berbeda. (Goenawan Mohamad)

BAGI pembaca Indonesia yang suka dengan kisah-kisah perjalanan, nama Karl May (1842-1912) tak asing. Hidup sezaman dengan Jules Verne dan Mark Twain, karya-karya Karl May menjadi salah satu khazanah bacaan berharga bagi sekian banyak pembacanya. Penulis dari Jerman ini bercerita tentang negeri-negeri yang eksotis atau dianggap eksotis di zamannya, dengan latar belakang gurun pasir Arabia, dunia wild west di Amerika Utara, dan petualangan di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur, termasuk Indonesia.

Di kalangan orang Indonesia, karya-karya Karl May menjadi bacaan banyak pelajar dan pemuda, termasuk pelajar dan pemuda yang bergerak di lapangan pergerakan awal Indonesia seperti Bung Hatta. Masa emas kejayaan buku-buku Karl May di Indonesia, berakhir ketika Jepang masuk pada awal tahun 1940-an. Baru satu dasawarsa kemudian, melalui M. Soendoro (1910-1962), direktur penerbit Noordhoff-Kolff di Jakarta, karya-karya pengarang yang pernah berkunjung ke Padang dan Aceh ini, kembali diperkenalkan dengan terjemahan bahasa Indonesia. Tokoh-tokoh semacam Old Shatterhand dan Winnetou, sang kepala suku Indian Apache, serta kisah-kisah kepahlawanan, kejujuran, dan persahabatan dari padang "praire" menjadi bagian dunia banyak orang di Indonesia.

Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar buku Menjelajah Negeri Karl May yang ditulis Pandu Ganesa (Pustaka Primatama, 2004), banyak orang Indonesia mulai dari Bung Hatta sampai Yenni Rosa Damayanti mempunyai utangnya masing-masing kepada Karl May; apakah itu menjadi sadar bahaya kepicikan rasisme, semangat antikolonialisme, atau kesadaran pada keindahan persahabatan antarmanusia.

Pengarang bernama asli Carl Friedrich May ini lahir pada 25 Februari 1842, di sebuah kota kecil Ernstthal di daerah Saxony, Jerman Timur. Karl May menyebut tempat kelahirannya sebagai tempat biang kesengsaraan, kecemasan, dan penderitaan. Sebagian besar penghuninya adalah penenun miskin, termasuk keluarga May.

Ia tumbuh dewasa dengan tinggi badan 166 cm (terlalu kecil untuk ukuran pria Eropa) dan kaki yang bengkok karena terkena rachitis. Namun, imajinasi May tumbuh dengan baik mengatasi keterbatasan fisiknya. Sebagian besar imajinasinya dipengaruhi sang nenek dari garis ayah, Johanne Christiane May.

Karl pernah mengidap gangguan kejiwaan parah, Dissosiative Identity Disorder (DID), yang menyebabkan ia kerap menjadi pribadi-pribadi yang berbeda. Gangguan kepribadian ini sempat mengantarkan May beberapa kali keluar masuk penjara. Tetapi, penjara memberi kesempatan besar untuk pengembangan imajinasinya. Ia mendapat hak khusus meminjam buku-buku perpustakaan dan imajinasinya melambung menembus jeruji sel.

Karya May baru diterbitkan dalam bentuk buku untuk pertama kali pada 1879, saat ia berusia 37 tahun. Buku itu berjudul In Fernen Western (Di Barat Jauh). Tahun 1890, tujuh cerita yang diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja terbit dalam bentuk buku. Karya-karya itu antara lain dikenal di Indonesia sebagai Anak Pemburu Beruang, Raja Minyak, dan Harta dari Danau Perak. Dua tahun kemudian May baru memperoleh sukses besar ketika penerbit Friedrich Ernst Fehsenfeld menerbitkan seri Kara Ben Nemsi dengan sampul tebal (hardcover), disusul dengan trilogi Winnetou (1893).

Hingga tahun 2003, karya-karya Karl May telah diterjemahkan ke dalam tidak kurang dari 39 bahasa, termasuk bahasa Sunda. Menurut catatan Pandu Ganesa, dalam sebuah simposium tahun 2001 di Lucerne, Swiss, salah satu buku yang dipamerkan adalah Rajapati (cetakan kedua, 1997), diterbitkan Girimukti Pasaka milik Oejeng Soewargana, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda oleh Sjarif Amin dari Winnetou Het Opperhoft der Apachen.

Saat ini, buku-buku Karl May kembali diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Pustaka Primatama bekerja sama dengan Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) dari versi Jerman lengkap dengan catatan kaki dan lampiran-lampiran yang melatarbelakanginya. Di toko-toko buku, judul-judul seperti Winnetou (kini telah beredar sampai empat jilid), AnakPemburu Beruang atau kisah petualangan Kara Ben Nemsi di sudut-sudut Balkan, bersaing dengan Harry Potter, buku-buku "chiklit" dan komik manga yang lebih meraih perhatian anak-anak dan remaja.

Tetapi tak apa, sebuah buku toh dihadirkan tidak melulu sebagai keputusan ideologis. Sebuah buku berarti juga sebagai penanda suatu zaman. Tentu, Karl May kini tak "berkuda" sendirian. (Denny Y.F. Nasution, alumni Stikom Bandung dan peminat buku) ***

Jul 1, 2008

Cendekiawan & Sumbangsihnya bagi Bangsa

Adalah tugas para cendekiawan membangunkan bangsa nan terlelap ini.

Penghargaan "Kompas"
Cendekiawan Berkomitmen
Jumat, 27 Juni 2008

Oleh ST SULARTO

Menurut Antonio Gramsci (1891-1937), sejarah dan politik tidak bisa lepas dari keterikatan intelektual dan masyarakat (Selections from Political Writings 1921-1926). Cendekiawan harus memihak kelas atau kelompok tertentu. Justru kalau kaum intelektual terbenam dalam menara gading dengan moralitasnya dan abai memberikan sumbangan untuk masyarakatnya, mereka adalah intelektual yang tak bermoral.

Bagaimana cendekiawan, secara simpel diartikan sebagai intelektual yang pandangan dan perhatiannya keluar dari kerangkeng disiplin tertentu, berkontribusi pada pengembangan masyarakat?

Sebagai ilmuwan, cendekiawan memberikan sumbangan berupa analisis, melihat masalah secara holistis, dan menawarkan solusi, termasuk mendudukkan persoalan. Mereka menjadi pendamping masyarakat yang sering bingung oleh perubahan serba cepat, dunia sekeliling yang lari tunggang langgang.

Media massa cetak, dalam hal ini harian Kompas, sejak awal terbitnya pada 28 Juni 1965, menyediakan halaman khusus untuk penulis luar. Halaman itu ibarat hyde park bagi siapa saja untuk beradu pendapat, beradu argumen tentang berbagai masalah kemasyarakatan, termasuk tata cara santun menyampaikan kritik.

Ruangan "demokratis" itu dimaksudkan untuk mendorong berkembang suburnya bunga di kebun perdebatan secara intelektual. Oleh karena itu, visioner sifatnya, bersemangat serba terbuka sebagai salah satu nuansa demokratisasi.

Sengaja ditempatkan berdekatan dengan Tajuk Rencana untuk menegaskan fungsinya sebagai halaman adu argumentasi yang demokratis. Mereka mengajak berpikir, beradu pendapat dengan arah sebagai bagian dari darma bakti intelektual. Tulisan mereka pun memperkuat peranan yang ingin dimainkan media, yakni ikut serta mencerdaskan masyarakat.

Para penulis itu berkesempatan mengeksploitasi tidak sekadar sebagai intelektual pada bidang keahlian atau disiplin ilmunya, tetapi sebagai cendekiawan yang meramaikan perjalanan demokratisasi.

Para kolumnis Kompas selama ini tidak hanya berasal dari kaum intelektual yang berasal atau memperoleh brevet kesarjanaan. Pendeknya, tidak semua ilmuwan atau kaum intelektual adalah cendekiawan.

Tanpa mengecilkan makna gelar kesarjanaan, pemuatan karya mereka terutama dipertimbangkan berdasar isi artikel dan cara menyampaikan, tanpa meninggalkan faktor aktualitas sebagai jati diri sebuah harian.

Dengan memuat pemikiran mereka, Kompas memberikan tempat bagi terealisasinya tugas kecendekiawanan. Di samping mereka yang aktif, produktif, dan setia sebagai kontributor, Kompas menghargai pula ilmuwan-cendekiawan yang setia, asketis, dan produktif menekuni dan mengembangkan pemikirannya untuk perkembangan masyarakat.

Cendekiawan kelompok kedua itu relatif kurang dikenal. Mereka melakukan mesu budi, ulah asketisme intelektual seperti yang ditunjukkan tokoh-tokoh seperti Sartono Kartodirdjo, JB Mangunwijaya, Parsudi Suparlan, Koentjaraningrat, dan Selo Soemardjan.

Antara Kompas dan para kontributor ada hubungan simbiose mutualistis. Kesempatan merayakan ulang tahun dipakai untuk bersyukur dan berterima kasih. Kompas memberikan apresiasi dengan nama Penghargaan Kompas untuk Cendekiawan Berdedikasi. Mereka telah mendedikasikan intelektualitas dan komitmennya untuk mencerahkan masyarakat, kehidupan yang lebih adil dan demokratis.

Untuk pertama kali tahun ini penghargaan disampaikan kepada 5 cendekiawan, yakni Prof Dr MT Zen, Prof Dr Sayogyo, Prof Dr Soetandyo Wignyosoebroto, Prof Dr Satjipto Rahardjo, dan Dr Thee Kian Wie. (Baca juga profil mereka di Cendekiawan Berdedikasi --EJ)

Sumber: Kompas, 27 Juni 2008