Oct 28, 2007

Bahasa Indonesia: Pemersatu atau pembauran?

ASAL USUL
Engdonesian

Ariel Heryanto

Bahasa Indonesia, seperti bangsa Indonesia, sejak dari sono-nya merupakan gado-gado alias campuran atawa indo bin blasteran, binti hibrid. Dalam bahasa kita, mengalir lancar istilah Melayu, Jawa, India, China, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, dan seterusnya. Sama sekali ini bukan cela, noda, atau bencana. Tapi juga bukan barang unik, atau berkah istimewa. Itu ciri milik semua bahasa dan bangsa mutakhir.

Di mata para peneliti, masuk-keluar dan nongkrong-nya istilah yang semula asing ke tubuh bahasa Indonesia itu tidak kebetulan, atau acak-acakan. Ada polanya. Dan pola itu tidak sama dari zaman ke zaman.

Yang namanya Soempah Pemoeda 1928 lahir dari sebuah kongres yang membahas makalah-makalah berbahasa Belanda yang ditulis pemuda-pemudi Indonesia. Di kalangan orang sekolahan pada generasi itu, bahasa-bahasa Eropa perlu dikuasai sebaik-baiknya. Bukan hanya untuk kepentingan karier pribadi, tapi juga kepentingan bangsa dan "kemajuan" alias modernitas masyarakat ini.

Lazim sekali cendekia pribumi lulusan sekolah kolonial pada masa itu menguasai dua atau tiga bahasa Eropa sekaligus. Tapi, bagaimana pun fasihnya, bagi mereka bahasa-bahasa Eropa itu merupakan bahasa asing. Semacam alat yang bisa dipakai bila diperlukan, atau dilepas bila tidak diperlukan. Mereka tetap menggunakan bahasa-bahasa daerah di Nusantara, sebagai bahasa-ibu.

Di sinilah ironisnya. Berbagai bahasa asing dan Nusantara berhamburan setiap kali Presiden Soekarno berpidato. Tapi, dia juga presiden yang paling galak menentang politik imperialisme Barat, pimpinan Amerika Serikat. Ia menentang masuknya musik pop Barat dan memenjarakan musikus Indonesia yang ikut-ikutan musikus pop Barat.

Pada masa Orde Baru, ironi berlanjut, tetapi secara terbalik.

Sejak revolusi kemerdekaan, dan terlebih-lebih lagi sejak berjayanya pemerintahan Orde Baru, terjadi banjir modal dan budaya pop dari Barat, khususnya Amerika Serikat. Bukan cuma Coca-Cola, tetapi juga slogan dan iklannya. Bukan cuma banjir film Holywood, tapi juga jazz, rock, pop top 40, soul, raegge, punk, dan hiphop. Bertolak belakang dengan semangat revolusioner pemerintahan sebelumnya, sejak Orde Baru pemandangan kota-kota Indonesia dipadati istilah Inggris. Kursus bahasa Inggris versi Amerika hiruk-pikuk menggantikan serunya pawai partai di zaman sebelumnya.

Ironisnya, bersamaan dengan semua itu terjadi kemerosotan yang mencolok pada rata-rata kemampuan cendekiawan di negeri itu dalam berbahasa Inggris secara formal. Yang lebih parah, para pemimpin nasional Orde Baru bahkan tampak kerepotan berbicara, apalagi menulis, bahasa Indonesia.

Maka tidak aneh, sepuluh tahun setelah merasakan enaknya kekuasaan negara, di tahun 1975 pemerintah Orde Baru menyediakan modal besar-besaran untuk program Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hasilnya? Sampai di akhir masa kekuasaannya, Soeharto si "Bapak Pembangunan Indonesia" kesusahan berbicara bahasa Indonesia secara "baik dan benar". Apalagi berbahasa asing!

Bagaimana dengan bahasa anak-anak gaul Indonesia di kedua zaman? Para sarjana asing (Ben Anderson, Krishna Sen, dan David Hill, misalnya) mencatat pergeseran yang serupa. Sebelum bangkitnya Orde Baru, istilah-istilah Inggris berhamburan dalam komik, karikatur, atau juga grafiti. Semuanya tampil sebagai bahasa milik bangsa asing yang ditolak atau digairahi. Hal serupa masih berlanjut dalam film nasional Indonesia di zaman Orde Baru. Dalam film di masa itu, bahasa Inggris, seperti wajah Indo berperan sama dengan gambar adegan film yang diambil di negeri-negeri bermusim empat. Semuanya hiasan tempel pemikat konsumen. Semuanya serba asing dan tidak menjadi bagian terpadu dari kisah yang dituturkan.

Tapi itu pada film. Ceritanya lain pada bacaan pop. Sejak berjayanya Orde Baru, bahasa Inggris menjadi bagian yang tidak bisa dihindarkan oleh generasi novelis Lupus, majalah Hai, atau Gadis. Apalagi sejak RCTI mengudara, dan disusul MTVAsia.

Sekarang generasi gaul Orde Baru dan pasca-Orde Baru kesusahan menyelesaikan satu kalimat berbahasa Indonesia tanpa menggunakan istilah Inggris. Maka, suka atau tidak suka Engdonesian menjadi lingua franca generasi gaul Indonesia di kota-kota: "Hei bebi, long time no see. Lho apa ini? Oh, ngasih oleh-oleh? For mi? Repot-repot aja. Waduh, so lovely! Ai laf yu. Tengku ya. Nanti malam bisa ikutan diner ama kita-kita? Aku sudah buking-in buat kamu. Plis join as. Gitu dulu, ya. Bai-bai."

Tadinya selama berpuluh tahun di sekitar kita hanya ada Taglish (Tagalog English) dan kemudian Singlish (Singaporean English). Di negeri kita lain. Belanda enggan mengajarkan bahasa Eropa pada kaum terjajah di Hindia Belanda. Maka, sesudah puluhan tahun Belanda pergi, Indonesia tidak pernah mengalami gejala post-kolonial. Yang ada hanya gejala kolonial dan antikolonial berkelanjutan.

Sebagai orang yang bertahun-tahun mengkritik propaganda Bahasa Indonesia Baik dan Benar dua puluh tahun lalu, saya sempat terperangah oleh maraknya gejala Engdonesia. Seakan-akan wilayah publik urban di Indonesia saat ini telah menjadi lembaran-lembaran majalah Hai, Gadis, novel Lupus, atau studio MTV Asia. Patut disesalkan? Tidak, untuk saya. Itulah budaya pop urban.

Tapi sejujurnya, Engdonesia membunuh selera baca saya ketika ramai-ramai dipakai wartawan untuk menyampaikan laporan jurnalistik resmi atau oleh penulis kolom di media cetak.

Saya kagum kreativitas anak-anak muda sekarang menciptakan istilah-istilah baru untuk berkirim SMS. Seperempat abad lalu, generasi saya punya padanannya, berkat adanya telegram. Waktu itu belum ada internet atau faksimile. Kening saya berkerut ketika ada mahasiswa menggunakan istilah-istilah SMS dalam menuliskan tugas kuliahnya.

Sumber: Kompas, 30 Oktober 2005



Make the switch to the world's best email. Get the new Yahoo!7 Mail now.

Oct 10, 2007

Ong Hok Ham

Seorang komentator menulis: "Hanya orang sekelas Ong yang bisa melihat dan menertawakan Lee Kuan Yew. Kita bangga punya sosok tokoh sekelas Ong Hok Ham."

ONG

Catatan Pinggir -- Goenawan Mohamad

ong.gif SEJAK saya melihatnya pada tahun 1962 di sekitar Universitas Indonesia, Onghokham selalu tampak dengan baju dan celana khaki yang kusut. Ia selalu membawa satu tas kulit yang mencong; isinya—buku dan lain-lain—selalu berlebihan. Ia terkadang naik sebuah bromfiets yang mencemaskan karena bergoyang-goyang dengan bunyi sember yang seperti menderita.

Rambutnya sudah menipis, kacamatanya sudah sedikit merosot—satu hal yang mengesankan saya yang baru saja jadi mahasiswa. Cara bicaranya tak berubah sampai dengan masa Reformasi: tak koheren, dengan aksen Jawa Timur yang tak lekang, terkadang agak menyembur, tapi umumnya tak agresif, dan selamanya menunjukkan Ong yang perseptif dalam melihat dan memikirkan sekitar.

Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia mening­gal pekan lalu, ia disebut sebagai "sejarawan". Terutama sejak ia kembali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun 1975. Ia sendiri punya versi lain tentang diri­nya. Ada dua hal yang dia bawa pulang dari Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepandaian memasak. Ia lebih bangga dengan yang nomor dua itu, katanya, tanpa senyum.

Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi jangan-jangan perlu juga dilihat bahwa beda itu tak teramat besar. Keduanya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sentuhan personal.

Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhormat tentu akan berkeberatan dengan kesimpulan itu. Tapi bukan hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak pernah ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu titik dalam waktu. Tiap karya seorang sejarawan bertolak dari masa-kininya sendiri.

Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara tentang "genealogi", yang bisa dikatakan sebagai penulisan alternatif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja pernyataan bahwa yang dituju bukanlah "pengetahuan" dan "kebenaran" tentang masa lalu itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini.

Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Hampir tiap bab tergerak untuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu mungkin sebabnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali yang berdasarkan skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek, hidangan sekali santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya waktu itu—dan hampir selamanya terasa tak selesai.

Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke majalah Tempo, saya punya problem dengan cara Ong menulis: saya selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik. Tapi kemudian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan yang lezat tak pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut.

Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemukakan sebuah kesimpulan dan teori besar. Seperti Sartono Kartodirdjo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa, yang menyebabkan sejarah bagi­nya bukan kisah orang "atas". Ia suka menemukan dan mengemukakan hal ihwal kecil—misalnya "perhitungan hari baik" dalam masyarakat Jawa, atau jumlah gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolonial. Tapi tampaknya ia bukan berambisi untuk jadi seorang Braudel, yang dari detail yang memikat melahirkan sebuah teori (tentang kapitalisme, misalnya) yang memukau. Ong bukan pula seorang sejarawan Marxis, yang dengan teori mengkonstruksikan temuan empiris. Ong menulis dengan cara hampir seenaknya—tak sampai berkeringat seperti ketika ia bekerja di dapur.

Ia seakan-akan dengan sengaja menunjukkan dirinya tanpa kategori. Apakah dia sebenarnya—"sejarawan", "kolumnis", "intelektual publik", "juru masak"—ia tak peduli. Ia keturunan Tionghoa yang akan menampik stereotip warga "kebudayaan Cina"—yang disebut oleh Lee Kuan Yew sebagai "sinic culture", sebuah sistem nilai yang katanya berbeda, bahkan sebuah kontras, dari "indic culture", "kebudayaan ala India". Dengan bangga, pemimpin Singapura itu mau menunjukkan bahwa hanya mere­ka yang berakar pada "kebudayaan Cina" yang cocok buat pembangunan ekonomi: pekerja keras, tak suka berleha-leha, dan pada dasarnya puritan untuk mencapai hasil optimal dalam kerja.

Onghokham menertawakan "teori" Lee Kuan Yew yang sangat dekat dengan pandang­an rasialis itu. "Lee bukan menggambarkan watak orang Cina," katanya. "Gambaran idealnya gambaran seorang Kristen Metodis."

Ong tak menyukai mereka yang puritan, Kristen Metodis, para santri, para saudagar, atau ideolog ala Singapura. Baginya Puritanisme adalah represi demi mencapai surga atau kesempurnaan. Ong jauh dari mere­ka yang peduli akan prestasi tinggi, karya yang sempurna, atau posisi yang terhormat. Ia tak mendapatkan gelar "profesor" karena ia anggap sepele tetek-bengek administratif buat memperoleh gelar akademis itu. Baginya yang memikat justru hal-hal yang dianggap "dosa" oleh Puritanisme: makanan, minuman, waktu bergaul dan bersenang-senang.

Mungkin karena Ong lebih dekat dengan hidup ketimbang intelektual lain yang hanya berkutat pada ide besar tentang "manusia" dan "masyarakat".

Saya ingat malam-malam di pertengahan 1960-an: saya termasuk sekelompok teman yang kemudian dikenal se­bagai penulis (Nono Makarim, Fikri Jufri, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi di warung di Gang Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, dengan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang penuh. Ia gemar mencemooh kami se­bagai "intelektual kota". Mungkin ia hendak meng­ingatkan, kami yang suka omong tentang "Indonesia" acap kali lupa ada yang tak dapat dirumuskan dari sudut kota Jakarta itu. "Indonesia" bukanlah hanya ide. "Indonesia" adalah kehidupan. Dan Ong memang dekat ke dalamnya.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXIIIIII/03 - 9 September 2007~