Aug 27, 2009

Pergulatan iman di tengah kebisuan Allah

Ketika Tuhan Membisu
Minggu, 12 April 2009

TRISNO S. SUTANTO

"Pertarunganku adalah dengan Kristianitas di dalam jiwaku sendiri." Rodrigues, dalam Silence

Saya masih ingat, walau samar-samar, ketika pertama kali saya menemukan novel Shusaku Endo, "Silence". Waktu itu musim dingin menjelang Natal 1991 di salah satu pojok "second hand bookstore" di East Lansing, kota cantik di tengah Michigan, Amerika Serikat.

Novel Silence melebihi seluruh harapan saya ketika membeli. Sepanjang musim dingin itu saya membacanya dan terperangah melihat bagaimana Endo mengolah bahan-bahan historis menjadi novel teologis yang luar biasa memikat, sekaligus mengajukan pertanyaan mendasar tentang keteguhan iman, harapan, dan masa depan kekristenan. Dan saya gembira, kini saya kembali menemukan Silence dalam versi Indonesia.

Tentu saja, sebagai novel, Silence selayaknya dibaca juga sebagai novel. Bukan traktat teologis atau kajian historis. Endo sengaja mengambil periode Kirishitan, yakni Jepang pada abad ke-16 dan 17 ketika kekristenan mengalami masa penindasan paling buruk, untuk melukiskan pergulatan teologis yang sudah lama menghantuinya. Dan justru karena itu, Silence memiliki nilai lebih ketimbang sekadar novel historis.

Dalam esainya Kirishitan and Today (1992), Endo memberi dua alasan mengapa periode itu sangat penting baginya sebagai novelis, walau ia mengaku bukan sejarawan. Pertama, Perang Dunia II menempatkan Endo pada posisi sulit karena perang itu seakan menghadapkan kekristenan yang diimani sebagai musuh atas dirinya sendiri sebagai orang Jepang. Kedua, konflik itu rupanya punya akar sangat dalam, bahkan eksistensial. "Sebagai seorang Jepang, saya selalu merasa tidak cocok dengan kekristenan yang sudah terbaratkan—bukan pada kekristenan itu sendiri, melainkan pada bentuk kekristenan tertentu yang ditempa peradaban Barat."

Karena itulah, Endo perlu menengok pada bagaimana orang Kristen Katolik menghadapi penindasan berat. Periode Kirishitan, yang sekaligus menandai titik pertemuan awal Jepang dengan kebudayaan Barat, memberi banyak bahan. Bagi Endo, menulis tentang periode gelap itu "bukan sekadar eksotisme, tetapi masalah mendesak bagi iman dan cara hidup saya". Novel Silence (asli: Chimmoku, 1969) adalah cermin pergulatan iman Endo.

Kepada majalah Kumo, Endo mengaku ia berulang kali ingin meninggalkan iman Katoliknya, tetapi tidak mampu. Ketidakmampuan itu, baginya, memperlihatkan bagaimanapun juga sebagian iman Kristen sudah mendarah daging dalam dirinya walau ia dibaptis (atau lebih tepat: dipaksa baptis) pada usia sangat muda.

"Tetapi, di hati saya masih saja ada perasaan kekatolikan itu sesuatu yang dipinjam, dan saya mulai bertanya-tanya, seperti apa saya sebenarnya," kata dia. "Saya rasa, inilah 'rawa-rawa' Jepang dalam diri saya. Sejak pertama kali mulai menulis novel, sampai hari ini, konfrontasi antara saya yang Katolik dan saya yang ada di bawahnya bisa diibaratkan pengulangan baris yang sama, yang terus-menerus berkumandang dalam karya saya. Saya merasa harus mencari jalan mendamaikan keduanya" (hal 19).

Dengan itu, Endo menyentuh persoalan mendasar yang selalu menghantui siapa pun yang ingin serius mempertanggungjawabkan imannya: sampai sejauh mana iman itu berakar, bertumbuh, dan berbuah dalam dialog dengan budaya lokal, dan bukan hasil imperialisme kultural ataupun teologis. Endo sangat serius dalam soal ini. Salah satu karya lainnya, A Life of Jesus (asli: Iesu no shogai, 1973), menceritakan kembali kisah Yesus yang diimaninya, ditujukan bagi orang Jepang yang asing dengan bahasa dogmatis kristiani. Hasilnya suatu potret jujur, sederhana, dan menyentuh figur Yesus yang serba rentan atau bahkan bisa disebut "gagal", tetapi setia menjalani rencana keselamatan Allah sampai titik akhir.

Kebisuan

Sisi kerentanan manusiawi Yesus inilah yang menjadi fokus refleksi iman Endo. Yesus yang diimaninya adalah figur yang kalah, dibuang, dihina, dan bahkan mati disalib sebagai pemberontak di mata Romawi dan terkutuk di mata pemuka agama Yahudi.

Itu juga potret Kakure Kirishitan, orang Kristen yang terpaksa harus menyembunyikan identitas iman mereka di tengah penindasan, lewat tokoh Sebastian Rodrigues—diambil dari tokoh historis Giuseppe Chiara, misionaris yang datang ke Jepang tahun 1643.

Plot cerita Silence sangat sederhana. Lewat kabar burung, Rodrigues mendengar Christovao Ferreira, misionaris Yesuit yang pernah menjadi gurunya, meninggalkan imannya setelah mengalami "lubang penyiksaan" di Nagasaki. Kabar ini membuat panik dan bisa berbahaya bagi kelangsungan hidup rohani umat. Karena itu, Rodrigues bersama teman-temannya meminta dikirim menjadi misionaris ke Jepang.

Setelah bertahan beberapa lama, akhirnya Rodrigues ditangkap Inoue, Gubernur Chikugo yang licin dan kejam, akibat pengkhianatan Kichijiro. Perlahan-lahan Rodrigues harus menyaksikan umat yang dilayaninya mati demi mempertahankan iman. Yang mengguncang iman Rodrigues adalah fakta Tuhan tetap membisu di hadapan kematian yang seakan sia-sia (hal 154).

Kebisuan Tuhan! Problem teodise itulah yang terus muncul pada hampir sebagian besar novel Silence. Kebisuan itulah, bukan pengalaman di "lubang penyiksaan" mengerikan, yang membuat Ferreira meninggalkan imannya. "Dengarkan!" kata Ferreira kepada Rodrigues. "Aku ditempatkan di sini dan aku mendengar suara orang-orang itu dan Tuhan tidak berbuat apa-apa. Tuhan tidak bertindak sedikit pun. Aku berdoa dengan sepenuh kekuatanku. Tetapi, Tuhan tidak berbuat apa-apa" (hal 263).

Ferreira sudah mengambil sikap dan sampai pada kesimpulan, "Negeri ini ibarat rawa. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya sendiri," kata dia kepada Rodrigues. "Dan rawa ini keadaannya lebih parah daripada yang bisa kau bayangkan. Setiap kali kau menanam tunas muda di rawa ini, akarnya mulai membusuk, daunnya menguning dan layu. Dan kita telah menanam tunas muda kristianitas di rawa-rawa ini" (hal 234). Karena itu ia meninggalkan imannya, termasuk sumpah selibatnya, serta berusaha menjadi orang Jepang.

Sementara pada Rodrigues, protagonis Endo, kita menemukan sikap lebih bernuansa. Rodrigues juga mengalami pengalaman kebisuan Allah yang mengerikan, dan bahkan menginjak-injak fumie, gambar wajah Yesus atau Bunda Maria di atas lempengan perunggu, bukti penyangkalan imannya. Apa yang mendorong dia menginjak fumie justru suara Kristus. "Injaklah! Injak!" kata wajah di fumie itu padanya. "Aku lebih tahu daripada siapa pun tentang kepedihan di kakimu. Injaklah! Aku lahir ke dunia memang untuk diinjak-injak manusia. Untuk menanggung penderitaan manusialah aku memanggul salibku" (hal 269).

Lewat kutipan itu, menurut Emi Mase-Hasegawa dalam esainya, Inter-Religio 43, (Summer 2003), Endo sesungguhnya sedang menggugat pandangan kekristenan Barat yang terlalu mengagungkan syuhada dan sekaligus memberi pemahaman kristologi alternatif. Bagi Mase-Hasegawa, Tuhan tidak membutuhkan syuhada yang mati bagi-Nya. Karena itu, Tuhan tetap membisu. Itu tidak berarti Ia tidak menyertai umat-Nya. Dialog batin Rodrigues dengan Allah di akhir Silence menegaskan hal itu:

"Tuhan, aku benci kebungkamanmu."

"Aku tidak bungkam. Aku ikut menderita di sampingmu." (hal 295)

Menurut saya, persis problem teodise, kebisuan Tuhan dan visi kristologi alternatif inilah yang membuat Silence selalu memikat dibaca lagi dan lagi. Bahkan, Martin Scorsese berniat mengadaptasinya menjadi film tahun ini. Karena Endo mengajukan pertanyaan sangat krusial bagi kita—bila(kah) kita memang sungguh-sungguh mau tetap beriman, bahkan di tengah kebisuan Allah menyaksikan tragedi kemanusiaan(?).

Trisno S. Sutanto, Mahasiswa STF Driyarkara dan aktivis Masyarakat Dialog Antar Agama, Jakarta

Sumber: Kompas, 12 April 09

Aug 19, 2009

Some memorable quotes from Kim Dae-jung

Some memorable quotes from Kim Dae-jung

Some memorable quotes from former South Korean President Kim Dae-jung:

___

"Democracy and the market economy are two sides of a coin or two wheels of a cart. Every nation that has embraced both democracy and a market economy has been successful." — Inauguration speech, February 1998.

___

"I came here because I wanted to see you." — Statement to the North Korean people upon arriving in Pyongyang in June 2000 for the first inter-Korean summit.

___

"I have lived, and continue to live, in the belief that God is always with me. I know this from experience." — Nobel Peace Prize acceptance speech, December 2000. Kim was recounting his rescue from what he believed would be his assassination after being abducted by South Korean intelligence agents in 1973.

___

"In 1980, I was sentenced to death by the military regime. For six months in prison, I awaited the execution day. Often, I shuddered with fear of death. But I would find calm in the fact of history that justice ultimately prevails." — Nobel Peace Prize acceptance speech.

___

"The reason why the 'sunshine policy' could not be fully completed and was not a full success was because of stalled U.S.-North Korean relations." — Interview with The Associated Press in 2006, referring to his policy of engagement with North Korea.

___

"If the United States is to succeed, then the United States has to learn from the past failures and successes of history. It must not repeat the mistakes of history." — Interview with AP in 2006. Kim was urging President George W. Bush to have direct dialogue with North Korea, noting past U.S. presidents had sought engagement with former rivals, including China, the Soviet Union and Vietnam.

___

Sources:

AP reports, South Korean media reports, Nobel Peace Prize speech
 

Aug 2, 2009

Wisata Kuliner Betawi

Hansim
Kalo pulang Indo, mendingan kita wisata kuliner yuk... nih, as I said, kalo wisata kulinernya ala warteg or Betawi kayak gini dijamin 99.99% aman deh... :)
Ton,
I bet you wouldn't mind either on this sort of tour...?? 

--
jabaterat,
EJ

Betawi "Punye Cerite"

Sabtu, 1 Agustus 2009 | 04:08 WIB

Neli Triana

Kekhasan Betawi tidak cuma ondel-ondel atau kisah Si Pitung. Bicara soal makanan, Betawi pun tidak hanya punya kerak telor. Akhir pekan ini, ayo cicipi makanan khas Ibu Kota. Banyak pilihan tersedia, mulai dari gado-gado, asinan betawi, laksa, soto betawi, sayur asem, hingga gabus pucung yang rasanya dahsyat itu.

Kali ini, wisata kuliner diawali di sebuah Warung Ketupat Laksa Betawi Ny Atikah di Jalan Kebon Kacang V, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Warung yang ada sejak tiga generasi lalu dan sudah tiga kali pindah tempat ini awalnya dibuka oleh Rakimin, kakek Atikah. "Dulu kakek saya masih berjualan di Pasar Tanah Abang, pasar tempo doeloe," kata Atikah (56).

3437413p.jpgApa bedanya dengan laksa bogor? Atikah langsung menjawab, laksa betawi tidak memakai ayam suwir, oncom, dan taoge. Isi ketupat laksa betawi adalah irisan ketupat, bihun, kemangi, kucai, telur, perkedel, dan bawang goreng, serta kuahnya yang kental dengan taburan udang kering.

Setiap hari Atikah menyediakan ketupat laksa, sate lembut, sate manis, dan sate kambing. Sate lembut dan sate manis bahannya daging sapi segar. Warungnya buka pukul 10.00-17.00. Hari Minggu dan hari besar, ia memilih tutup. Soal harga, harga masakan di warung ini termasuk wajar. Per porsi Rp 12.000-Rp 20.000.

Puas mencicipi laksa, lanjutkan wisata icip-icip di salah satu warung asinan betawi yang cukup terkenal, Asinan Betawi H Mansyur atau lebih dikenal dengan Asinan Kamboja yang berdiri sejak 1965 di Jalan Taman Kamboja, Rawamangun, Jakarta Timur.

Yang disajikan di warung ini hanya dua macam, yaitu asinan sayur dan buah. Akan tetapi, asinan sayur seharga Rp 8.000 per porsi mungkin menjadi kelebihan warung ini.

Taoge, irisan kol, mentimun, dan irisan daun selada yang benar-benar masih segar ditumpuk dalam satu piring saji dengan irisan tahu mentah. Sayuran ini kemudian nyaris tertutup oleh tebaran kerupuk mi dan kerupuk merah muda yang diremas hingga remuk. Kemudian disiram dengan kuah kacang dan butiran kacang tanah goreng. Gula merah cair dituangkan sebagai sentuhan terakhir yang memberi tambahan rasa manis. Segar, pedas, manis, garing, dan gurih langsung terasa di mulut.

Penyedap rasa alami

Di tengah hari, saat rasa lapar begitu melilit, sebagian orang tetap mencari nasi dengan lauk pauk dan sayur nan mengenyangkan. Coba saja arahkan kendaraan Anda menuju Warung Sayur Asem Matali di Jalan Raya Joglo, RT 02 RW 06 Joglo, Kembangan, Jakarta Barat.

Tepat di samping kiri warung ini ada jalan kecil yang diberi nama Jalan Sayur Asem. Nama gang ini diberikan tidak lain karena kemasyhuran warung sederhana milik Haji Matali yang berdiri sejak tahun 1970-an.

Di etalase lauk pauk terhidang bermacam gorengan, seperti bakwan udang, ikan bandeng, ikan bawal merah, ikan mas, ikan mujair, ikan asin, tahu, tempe, dan lalapan. Pete yang masih terbungkus kulitnya sengaja direbus dan digantung di atas etalase kaca. Penjual otak-otak tepat di depan warung segera menyuguhkan sepiring dagangannya kepada pelanggan yang datang.

Sayur asem dengan kuah bening kehijauan. Di dalamnya ada irisan kacang panjang, terung bulat hijau yang diiris jadi dua, melinjo dan daunnya, nangka muda, serta oncom. Tambahan bumbu lain adalah jengkol tua yang turut direbus.

Yang membuat penikmatnya langsung melek dan berkeringat adalah rasa asam dari buah asam mentah dan kuah pedas. Kuah pedas itu berasal cabai rawit hijau yang turut direbus hingga matang di dalam kuah. Belum lagi sambal cabai rawit merahnya, mantap. "Kami hanya pakai cabai, garam, dan bawang sebagai bumbu masaknya. Tidak pakai penyedap rasa buatan," kata salah satu pelayan.

Harga sepiring sayur asem Rp 4.000 sama dengan harga seporsi nasi. Lauk gorengan rata-rata Rp 6.500 per potong. Es teh manis cuma Rp 1.000 per gelas. Jam buka pukul 08.00-16.00, tetapi seringnya masakan ludes pada pukul 14.00.

Kalau menu sayur asem sudah terlalu jamak, coba saja menu khas Betawi yang kini tergolong langka, gabus pucung dan pecak gabus di Warung Haji di Jalan Kahfi II Nomor 21, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Warung ini buka sejak pukul 09.30.

Kuah pucung mirip rawon karena berbahan baku sama, yaitu keluwak (pucung). Sementara pecak seperti opor, bersantan kuning kental. Rasanya dijamin sedap. Apalagi, ketika kuah itu disiramkan ke ikan gabus atau gurami goreng berbumbu. Jadi, siap berwisata kuliner khas Betawi akhir pekan ini? (M CLARA WRESTI/ SOELASTRI SOEKIRNO)