Jun 14, 2009

Pilpres, bahasa & etika

Dari soal Pilpres ke topik bahasa sampai menyentuh "...tuntutan etik Protestan adalah disiplin, kerja keras, dan hemat...". Jadi, siapa bilang bahasa dan berbahasa itu tidak penting?  (EJ)


BAHASA
Elektabilitas
Kompas, 12 Juni 2009

KASIJANTO SASTRODINOMO

MENILIK semangat risalahnya, "Usul untuk SBY" dalam rubrik ini (1 Mei) yang mengkritik penggunaan bentukan kata berbahan baku bahasa asing, Ulil Abshar-Abdalla tampaknya akan menolak elektabilitas yang kini banyak disebut-sebut berkaitan dengan pemilihan presiden. Mungkin ia lebih nyaman dengan keterpilihan sebagai penggantinya. Namun, apa boleh buat, elektabilitas telah ditawarkan terutama oleh para pengamat politik, penyelenggara jajak pendapat, dan media. Mencegahnya rasanya kurang demokratis. Kita tunggu saja hasil uji pasar: akankah elektabilitas mengkhalayak atau menguap seiring dengan perjalanan waktu.

Terlepas dari setuju atau tak-setuju, elektabilitas cukup padat makna sebagai istilah untuk mengukur tingkat keterpilihan calon presiden. Mungkin kita juga patut lega menyambut kata itu karena ia menandai watak partisipatif: mewadahi gagasan bahwa masyarakat ramai boleh ikut serta menimbang-nimbang calon presiden yang dianggap paling layak memimpin negeri.

Digali dari elect, mekanisme pembentukan elektabilitas niscaya serupa dengan accountability yang menjadi akuntabilitas sebagai bandingan. Bedanya, elect dalam bahasa Inggris tak pernah diturunkan menjadi electibility. Turunan elect yang dikenal selama ini adalah election (nomina), electioneer (verba intransitif/nomina), elective (adjektiva/nomina), elector (nomina), electoral (adjektiva), dan electorate (nomina). Dilihat dari aneka turunan itu, elektabilitas tampaknya dekat dengan elective dalam arti 'having power to elect'.

Dalam khazanah pemikiran sosial modern, elective yang bersanding affinity menjadi kata kunci untuk memahami tesis Max Weber tentang Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Menurut sosiolog tenar itu, banyak yang salah tangkap terhadap tesisnya dengan menganggap agama Kristen menjadi sebab suburnya kapitalisme di Eropa pada abad ke-16/17. Padahal, yang dia maksudkan ialah adanya elective affinity, yakni pengaruh motivasional yang bersifat mendukung secara timbal-balik antara tuntutan etik tertentu kaum Protestan (seperti disiplin, kerja keras, dan hemat) dengan pola motivasi ekonomi dalam sistem kapitalisme. Jadi, bukan agama per se yang menyebabkan tumbuhnya kapitalisme. Di kemudian hari Weber bahkan menyadari bahwa kapitalisme tidak berjalan bersama agama, seperti yang diperlihatkan dalam In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber's Protestant Ethic Thesis oleh G Marshall (1982).

Jika demikian, elective affinity sebagai idiom yang netral. Seperti ditunjukkan Clifford Geertz, misalnya lapisan kaum santri merupakan elemen penting dalam membangkitkan kewirausahaan di Jawa, bahkan di Indonesia.

Terakhir, mungkinkah unsur afinitas elektif itu juga kita temukan dalam (proses pemilihan) presiden mendatang. Artinya, lebih dari sekadar kuat-lemahnya elektabilitas, adakah para calon presiden kita memiliki pandangan etis, tingkah laku dan tindakan bermakna yang nyambung dengan tuntutan akan kesejahteraan rakyat banyak.

KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada FIB Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, 12 Juni 09



Jun 12, 2009

Menteri Pendidikan Untuk Indonesia

Memperebutkan Mendiknas
Jumat, 12 Juni 2009

DARMANINGTYAS

Hiruk-pikuk kampanye calon presiden dan calon wakil presiden juga diwarnai tarik-menarik kepentingan partai politik peserta koalisi. Peserta koalisi pendukung capres-cawapres mulai pasang "tarif" terkait dengan jabatan sebagai imbalan. Salah satunya, memperebutkan jabatan menteri pendidikan nasional.

Perebutan kursi mendiknas ini merupakan berita menarik karena sebelumnya jabatan yang paling diperebutkan adalah di kementerian bidang perekonomian, terutama keuangan, BUMN, dan pertambangan. Baru kali ini jabatan mendiknas diperebutkan secara terbuka. Atau, mungkin karena setelah reformasi menteri pendidikan dijabat golongan tertentu terus, maka dianggap given sehingga tidak diperebutkan secara terbuka. Baru setelah peta politik berubah, perebutan terjadi.

Mengapa diperebutkan?

Mengapa jabatan mendiknas diperebutkan?

Pertama, tiap tahun Departemen Pendidikan Nasional mengelola sekitar 35 juta siswa (TK sampai SMTA). Bila ditambah jumlah mahasiswa, guru, dan dosen, sekitar 40 juta jiwa. Ini potensi massa amat besar bagi parpol yang ingin memenangi pertarungan di masa mendatang. Sejarah membuktikan, Orde Baru dapat bertahan lama salah satunya karena mampu "mencuci otak" pelajar dan mahasiswa sehingga tiap lulusan tidak terbiasa menghadapi perbedaan pendapat. Para pengurus parpol tahu potensi itu, maka perlu direbut.

Kedua, Depdiknas memiliki anggaran paling besar dibandingkan dengan departemen lain. Dana pendidikan bukan hanya dari APBN, tetapi juga dari APBD dan iuran masyarakat. Secara akumulatif, dana yang terhimpun di dunia pendidikan, TK-perguruan tinggi, bisa mencapai Rp 200 triliun lebih per tahun dan dapat digunakan untuk apa saja.

Ketiga, menguasai Depdiknas berarti menguasai murid, mahasiswa, guru, dosen, dana, kurikulum, prasarana dan sarana, serta kebijakan. Semua itu dapat dipakai untuk apa saja, termasuk indoktrinasi nilai-nilai yang sesuai dengan garis politik penguasa. Kata Althusser, institusi pendidikan itu bagian dari aparatus ideologi, yang mengajarkan know-how, tetapi dalam bentuk memastikan kepatuhan terhadap ideologi yang sedang berkuasa. Dengan demikian, tidak terelakkan kepentingan penguasa akan tersampaikan melalui sekolah/kampus dengan segala kebijakannya. Jabatan mendiknas itu amat strategis.

Namun, sungguh tragis sekaligus hancur bangsa ini bila jabatan mendiknas dipegang oleh parpol/golongan tertentu sebagai imbalan mendukung capres-cawapres. Sebab, kebijakan pendidikan yang dibuat tidak akan terbebas dari kepentingan partai/golongan. Padahal, pendidikan seharusnya berpihak pada semua golongan, termasuk mereka yang tidak beragama dan tidak ikut parpol.

Untuk itu, perlu ditegaskan, siapa pun presiden terpilih, mendiknas jangan dijadikan bagian dari dagang sapi. Presiden perlu memiliki visi bahwa pendidikan adalah bagian dari proses integrasi sosial dan bangsa sehingga harus dijaga netralitasnya dengan tidak menyerahkan kepada parpol atau golongan tertentu. Terlalu besar risikonya bagi bangsa ini bila mendiknas diserahkan kepada parpol.

Mendiknas seperti apa yang diperlukan

Pertama, mendiknas yang mampu berpikir luas, tidak hanya melihat pendidikan dari aspek pendanaan, tetapi juga dari perspektif filsafat manusia, peradaban, budaya, seni, sosial, dan keutuhan bangsa. Seorang mendiknas yang mampu membuat kebijakan yang memanusiakan manusia, menjunjung tinggi peradaban dan budaya bangsa. Mendiknas hendaknya tidak memenjarakan jiwa manusia dan mengarahkan kita hidup dalam satu dimensi (teknologi informatika) belaka dengan corak budaya tunggal.

Kedua, mendiknas yang mampu memahami bahwa pendidikan bukan sekadar masalah manajerial saja—sampai harus disertifikasi dengan ISO—tetapi bagian dari proses kebudayaan guna menumbuhkan kepercayaan dan integritas diri sebagai individu, warga, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pendidikan akan melahirkan manusia yang memiliki kepercayaan diri tinggi untuk hidup merdeka.

Ketiga, mendiknas harus mampu mengembalikan sekolah dan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi milik publik, bukan membiarkan kian elitis karena hanya dapat diakses kelompok berduit. Masyarakat miskin yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara terpaksa ke sekolah swasta yang biasanya harus ditanggung sendiri. Di negara-negara normal, sekolah negeri/PTN dibuka bagi semua, sedangkan yang mahal ada di sekolah-sekolah swasta. Konsekuensi dari pengembalian sekolah negeri/PTN menjadi milik publik adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang liberalistik itu harus direvisi atau dicabut.

Keempat, mendiknas harus mampu menjadikan pendidikan sebagai bagian dari proses integrasi sosial dan bangsa. Karena itu, berbagai kebijakan pendidikan yang mengarah pada eksklusivisme, termasuk melalui formalisasi agama di sekolah negeri hingga murid diketahui agamanya melalui seragam yang dipakai, pemisahan siswa laki-perempuan dalam kelas/kegiatan, dan menutup akses golongan minoritas ke sekolah negeri tertentu, tak boleh dibuat. Kebijakan yang aneh-aneh itu hanya boleh dilakukan sekolah swasta, bukan sekolah negeri. Sekolah negeri harus terbuka bagi semua golongan tanpa membedakan agama, suku, etnis, dan ekonominya.

Kelima, mendiknas harus bisa diajak berdialog, misalnya soal ujian nasional. Apakah ujian nasional akan dipertahankan sebagai standar kelulusan—meski penuh manipulasi dan kebohongan—atau sebagai pemetaan dan standardisasi mutu yang tidak berdampak pada kelulusan dan tidak harus dilakukan tiap tahun? Konsekuensinya, perlu revisi PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Bila Anda profesor doktor yang merasa mampu memenuhi minimal kelima persyaratan itu, silakan mengajukan diri sebagai calon mendiknas. Tetapi, bila Anda seorang profesor doktor yang sepaham dengan aneka kebijakan pendidikan yang liberalistik, diskriminatif, dan eksklusif, jangan bermimpi menjadi mendiknas karena hanya akan memerosokkan bangsa Indonesia ke jurang kehancuran, secara ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun peradaban.

Penolakan terhadap mendiknas dari parpol juga didasarkan pada sikap pesimisme terhadap mereka yang tidak mungkin mampu menciptakan kebijakan pendidikan yang netral, terbebas dari kepentingan agenda politik internalnya. Untuk itu, dibutuhkan presiden yang sensitif terhadap aneka persoalan kebangsaan agar tidak salah dalam memilih mendiknas.

Darmaningtyas Aktivis Pendidikan; Tinggal di Jakarta

Sumber: Kompas, 12 Juni 09