Feb 28, 2008

Orang-orang besar 2007

Orang besar selalu berperilaku seperti halilintar yang membelah langit dan manusia lain hanya menunggunya seperti kayu bakar.
-- Thomas Carlyle (1795-1881)

People of The Year 2007
Jum'at, 28/12/2007

ImageINDONESIA adalah negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa. Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya karena terletak di wilayah khatulistiwa. Namun kebesaran dan kekayaan alam Indonesia seperti sekadar mitos yang masih sulit dibuktikan ke dalam realitas kehidupan nyata berbangsa.

Kebesaran nilainya menjadi semu karena kurang adanya kewibawaan dan ketegasan. Kekayaan menjadi absurd karena kurang memberi dampak positif bagi kesejahteraan rakyat akibat salah urus dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan konspirasi politik dan ekonomi kelompok.

Rakyat Indonesia sesungguhnya merindukan kebesaran dan kekayaan itu hadir dalam wujud dunia yang nyata. Bukan sekadar ilusi dan fatamorgana. Yang mengundang kegelisahan, apakah bisa menghadirkan mimpi itu menjadi kenyataan?

Adalah tidak berlebihan kalau kita meyakini bahwa mimpi-mimpi itu bisa menjadi kenyataan, dengan catatan ada komitmen besar dari orang-orang besar yang benar-benar berpikir untuk kemakmuran dan kebaikan negeri ini. Optimisme kita akan selalu mengatakan,"Masa, dari 200 juta jiwa lebih penduduk Indonesia, tidak ada di antara mereka yang memiliki komitmen besar untuk memakmurkan dan memajukan bangsa ini, aneh bukan?"

Terlepas dari plus minusnya, jika kita bandingkan Indonesia dengan Malaysia yang populasinya 27 juta jiwa, mereka memiliki Mahathir Mohammad yang bisa membawa negeri itu berjaya. Singapura dengan populasi 4,7 juta jiwa memiliki Lee Kuan Yew yang membawa negara kecil itu menjadi kaya raya, Afrika Selatan (44 juta) memiliki Nelson Mandela yang dikenal sebagai pejuang demokrasi dan kemakmuran, Venezuela (26 juta) memiliki Hugo Chavez yang tampil dengan kewibawaannya, Bolivia (11 juta) punya Evo Morales yang memiliki keberanian dan kepercayaan diri dalam melakukan langkah nasionalisasi di tengah kepungan asing.

Kebutuhan atas sosok yang berkomitmen besar demikian telah memberi inspirasi koran SINDO untuk meneruskan tradisi pemilihan People of The Year seperti yang dilakukan tahun sebelumnya. Dan tahun ini,ada yang lebih istimewa karena SINDO juga memilih Issue of The Year. Tradisi penokohan bagi bangsa Indonesia menjadi sesuatu yang penting karena bisa menjadi semacam altruism (semangat kemanusiaan), trust (rasa saling memercayai), dan predeterminism (penentuan nasib).

Majalah TIME juga memulai tradisi ini sejak 1927. Konteksnya saat itu, para editor majalah berpengaruh tersebut sedang kesulitan mencari tokoh yang bisa dimuat untuk halaman sampul karena sedang tidak ada tokoh politik maupun ekonomi yang menonjol pada tahun itu. Akhirnya pilihan jatuh kepada Charles Augustus Lindbergh Jr, yang pada tahun itu sukses mengarungi lautan Atlantik dengan penerbangan solo tanpa henti.

Kehebatan Lindbergh yang dijuluki "Lucky Lindy" ini akhirnya menjadi satu-satunya pilihan sebagai tokoh yang masuk kategori newsmaker. Tradisi TIME itu akhirnya berkembang, yaitu bahwa istilah Man of The Year/Person of The Year tidak hanya sebagai reward terhadap tokoh tertentu saja, tetapi juga diberikan kepada tokoh pembuat berita, baik dilihat dari sisi positif maupun negatif.

Tak aneh kalau diktator Adolf Hitler dan Joseph Stalin pernah menjadi Man of The Year di masanya. Termasuk tokoh kontroversial yang sangat dibenci Amerika Serikat, Ayatollah Khomeini, oleh TIME dinobatkan sebagai Man of The Year 1979. Hanya dalam perkembangannya,TIME seperti membuat kontroversi saat menetapkan Person of The Year pada 2006.

Hasil polling menetapkan Presiden Venezuela Hugo Chavez mendapatkan perolehan suara tertinggi (35%), disusul Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad (21%). Juru Bicara Parlemen Amerika Nancy Pelosi (12%) dan Presiden AS George W Bush (8%) kurang beruntung karena urutannya termasuk di nomor belakang. Namun, majalah berpengaruh itu tidak memilih Hugo Chavez atau Ahmadinejad menjadi Person of The Year. Dengan sangat mengejutkan, pilihan Person of The Year versi TIME adalah "You" (Anda sendiri).

Anda sendirilah yang menentukan kehidupan menjadi baik atau buruk. Sikap kontroversial TIME yang menimbulkan banyak kritik sebagai pilihan yang stupid itu kemungkinan karena adanya "intervensi" atau ketidaksukaan Pemerintah Amerika Serikat (AS) atas terpilihnya tokoh-tokoh dunia yang menentang atau anti-AS sehingga para editornya harus berpikir untuk mencari alternatif penokohan yang bisa dikatakan lebih "aman".

Namun, SINDO memiliki cara lain yang pendekatan metodologisnya memungkinkan untuk bisa lebih objektif dan jauh dari unsur kepentingan-kepentingan. Ada empat nama yang terpilih sebagai People of The Year versi SINDO. Mereka adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X (bidang politik), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (bidang ekonomi), mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki (bidang hukum), dan Rektor IKJ Prof Sardono Waluyo Kusumo (bidang budaya). Sementara Issue of The Year terpilih versi SINDO adalah korupsi.

Terpilihnya keempat nama itu bukan tanpa alasan yang jelas. Mereka memang orang-orang cerdas, berani, tidak mudah puas dengan kemapanan. Mereka termasuk minoritas, tetapi memiliki prakarsa, pikiran-pikiran orisinal dan berada di depan yang lain. Minoritas inilah yang membawa sejarah ke tahap yang baru. Thomas Carlyle, filosof Skotlandia yang meninggal di Inggris, misalnya, percaya bahwa sejarah dibentuk oleh individu-individu yang cemerlang.

Dalam bukunya On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History, Carlyle mempertegas bahwa setiap sejarah merupakan perwujudan satu atau lebih dari satu pribadi cemerlang. Lebih tepatnya, sejarah setiap bangsa merupakan perwujudan personalitas dan kejeniusan satu atau lebih dari satu pahlawan. Misalnya, sejarah Islam merupakan perwujudan personalitas Nabi Muhammad; sejarah Prancis modern merupakan perwujudan personalitas Napoleon; dan sejarah Uni Soviet 60 tahun silam merupakan perwujudan personalitas Lenin.

Dalam pandangannya yang lain, Carlyle yang juga dikenal sebagai penganut the great man theory sering menempatkan orang besar sebagai sumber perubahan sosial. Orang besar menurutnya selalu berperilaku seperti halilintar yang membelah langit dan manusia lain hanya menunggunya seperti kayu bakar. Akhirnya, harapan besar kita tujukan kepada mereka yang terpilih sebagai People of The Year versi SINDO. (Sururi Alfaruq)

Feb 17, 2008

Asal Usul: Valentine's Day

Sejarah Kisah Kasih 14 Februari

Bunga mawar yang sering dijadikan simbol kasih sayang

Kompas, 14 Februari 2008

USAI mempersembahkan kambing dan minum anggur, para pendeta berlari berhamburan di jalan-jalan kota. Tak lupa, mereka pun menggenggam potongan-potongan kulit kambing kurban tadi. Mereka juga menyentuh siapa saja yang mereka jumpai.

Nah, biasanya, perempuan-perempuan mudalah yang sangat ingin disentuh dengan potongan-potongan kulit kambing seraya berharap beroleh karunia kesuburan berikut bisa melahirkan dengan mudah. "Demi Lupercus!" begitulah kira-kira teriakan mendamba para perempuan untuk anugerah tersebut.

Ya, Lupercus, dewa yang sosoknya digambarkan setengah telanjang berpakaian kulit kambing itu adalah nama yang acap diteriakkan penduduk Roma kuno pada perayaan Lupercalia, tiap 15 Februari, kala itu.

Lalu, di jiran Roma, Grekia yang beribu kota di Athena, kesuburan - diawali dengan cinta, tentu saja - hitung-hitungan kalender tengah Januari hingga tengah Februari adalah Bulan Gamelion. Pada bulan itulah segala persembahan diunjukkan terkait dengan pernikahan suci Dewa Zeus dengan Hera.  

Lalu apa hubungan perayaan bagi dewa-dewi itu dengan hari kasih sayang yang kini diperingati tanggal 14 Februari?

Masih di Roma, cerita tentang cinta dan kasih sayang memang beragam. Namun nama yang paling sering disebut dan dihubungkan dengan perayaan Valentine adalah "Valentinus" yang sejatinya sukar dicari keterhubungannya. Soalnya, nama itu menunjuk pada nama seorang pastor di Roma, nama seorang uskup, dan nama seorang martir di provinsi Romawi Afrika.

Tapi bahwa 14 Februari kemudian ditetapkan sebagai Hari Raya Santo Valentinus, kabarnya, merupakan langkah yang diambil Paus Gelasius I pada 496 sesudah Masehi untuk sedikit banyak mengungguli perayaan Lupercalia, sehari sesudahnya.

Selanjutnya, pada abad pertengahan, khususnya, di Inggris dan Prancis, 14 Februari adalah hari yang dipercaya sebagai hari tatkala burung mencari pasangannya untuk kawin.

Sementara, saat ini, Hari Valentine atawa Hari Kasih Sayang yang jatuh pada 14 Februari juga, lebih menonjol tampil dalam perwujudan cinta kasih sepasang lelaki perempuan yang tengah kasmaran bersimbol mulai dari kartu ucapan hingga bunga mawar serta penganan cokelat. Walau, sesungguhnya, cinta kasih tak cuma berhenti pada terminal mabuk asmara.

Maka dari itulah, memaknai Hari Valentine menjadi pilihan amat pribadi bagi khalayak masa kini. Boleh bertukar sapa maupun benda hingga saling menabur salam doa. Bukan untuk dijadikan silang-selisih karena sejatinya, cinta kasih adalah anugerah dari Yang Mahatinggi. (Josephus Primus)

Sumber: http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.02.14.17295549&channel=1&mn=35&idx=68

Feb 15, 2008

Sovereign Wealth Fund (SWF) dalam Ekonomi Global 2007-2008

THE GLOBAL NEXUS

Krismon Global di Tahun Tikus Bumi

Christianto Wibisono

INDONESIA memasuki Tahun Tikus Bumi 7 Februari 2008 dengan krisis moneter (krismon) global dan krisis sembako nasional plus krisis banjir rutin, Jumat 1 Februari. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpaksa pindah mobil yang mogok terjebak banjir di depan Sarinah, jalan raya yang menjadi simbol kekuatan ekonomi bisnis Indonesia, Thamrin - Sudirman.

Dalam 10 hari the Fed (bank sentral AS) dua kali menurunkan suku bunga untuk menenangkan situasi. Presiden Yudhoyono mengumpulkan konglomerat, Rabu 30 Januari 2008, BUMN, Kamis 31 Januari 2008, dan sidang kabinet Jumat (1/2) siang. Kabinet memutuskan stimulans Rp 13,7 triliun berupa penurunan PPn Rp 10,1 triliun dan subsidi pangan Rp 3,6 triliun.

Di AS, Presiden Bush mengucurkan stimulan US$ 150 miliar. Tapi, pada Senin 28 Januari 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka kasus aliran dana BI ke DPR yang beritanya terkubur di tengah Soehartomania, wafatnya mantan presiden itu pada Minggu. Padahal Gubernur BI harus menghadiri sidang Bank for International Settlements di Manila. Tapi, menurut alibi seorang pejabat, dulu juga Gubernur Syahril Sabirin sewaktu jadi tersangka tidak mundur dan tidak ada pengaruhnya bagi kredibilitas BI di mata dunia. Cuek dengan opini publik dunia, itulah arogansi elite RI.

Krisis sektor perumahan AS yang merugikan lembaga keuangan puncak AS, seperti, Citibank, JP Morgan Chase dan Merrill Lynch juga merembet ke bank global di luar AS. Barclays Capital, Northern Rock dan HSBC dari Inggris, Deutsche Bank, BNP Paribas, Credit Llyonais dan Societe Generale Prancis, serta UBS Swiss dan Unicredit Italia. HSBC terkena kredit macet US$ 9 miliar dan DBS (Singapura) harus menghapuskan kerugian dan memberhentikan CEO-nya. Tapi, Temasek dan GSIC masih tetap punya kemampuan untuk menjadi penyelamat dan penyedia dana untuk ikut mengamankan Citibank, Merrill Lynch, dan UBS. Bersama Abu Dhabi Investment Authority dan Kuwait Fund, kekuatan yang dijuluki SWF (Sovereign Wealth Fund atau BUMN pengelola surplus keuangan negara) ini menjadi topik kampanye para capres yang menjadi sok nasionalistis. Hillary mengingatkan bahwa SWF yang mengambil alih sebagian saham bank-bank raksasa AS bisa membahayakan kepentingan nasional AS. Bahasa capres Hillary ini mirip bahasa politisi dunia ketiga yang antikapitalis.

Ironi dari krismon 2008 ialah seolah karma dari krismon 1998. Ketika krismon melanda Asia Timur, Jepang bisa turun tangan menyelamatkannya dengan membentuk dana dari Asia Timur tanpa AS dan Eropa. Tapi, dihalangi oleh IMF yang tetap ingin menguasai sistem moneter global secara manunggal. Sekarang justru kapitalisme Wall Street yang babak belur akibat kerugian spekulasi sub-prime, memerlukan injeksi dana segar dari SWF dunia ketiga. Kalau tidak ada SWF yang menalangi dana maka bank-bank papan atas AS bisa gulung tikar.

Diselamatkan Dunia Ketiga

Sejak Agustus 2007, hampir US$ 100 miliar dana milik SWF dunia ketiga mengalir menyelamatkan perbankan AS dari kebangkrutan. Total aset dari seluruh SWF antara US$ 2-3 triliun atau lebih besar dari hedge funds dan dua kali lipat dana swasta G8. Proyeksi sebelum krisis minggu lalu aset SWF akan berkisar US$ 7-10 triliun pada 2012 atau mendekati GDP AS yang sekarang US$ 13 triliun. Sedang PDB seluruh dunia pada 2006 diperkirakan US$ 46,66 triliun.

IMF telah mendekati Abu Dhabi, Singapura, dan Norwegia untuk merumuskan kebijakan global tentang SWF. Abu Dhabi memimpin ranking SWF dengan aset hampir US$ 1 triliun di bawah bendera Abu Dhabi Investment Auhority. Singapura dengan dua sayap GSIC dan Temasek, di tempat kedua dengan US$ 490 miliar. Norwegia di nomor 3 dengan aset US$ 330 miliar. Arab Saudi menyusul akan membentuk SWF resmi sedang Kuwait sudah sejak krisis energi 1973 menginvestasikan dananya ke perusahaan global, seperti, Mercedes Benz. Di samping negara penghasil minyak Arab seperti Kuwait, Libya, Aljazair, dan Qatar, maka Tiongkok (RRT) dan Rusia juga memiliki SWF yang berkembang pesat. RRT karena surplus neraca perdagangan dan Rusia karena rezeki migas. SWF RRT memegang 30 persen obligasi AS. Keterkaitan dana global diproklamirkan sebagai NyLonKong, New York, London dan Hong Kong secara interaktif mempengaruhi ekonomi dunia.

Di tengah gejolak makro ada juga mega kriminal, petualangan seorang pialang valas dari Societe General berumur 31 tahun, Jerome Kerviel, yang mengulangi kecerobohan Nick Leeson yang pada 1995 membangkrutkan Baring karena rugi US$ 1,4 miliar. Waktu itu, Leeson baru berumur 27 tahun. Setelah dipenjara 3,5 tahun Leeson menjadi CEO klub sepakbola dan hanya ingin memberikan komentar atau wawancara bila dibayar mahal oleh media dalam skandal US $ 7,2 miliar Societe General.

Skandal seperti ini tentu saja semakin memerosotkan kredibilitas Barat yang sering mengecam Timur sebagai korup, tidak transparan, dan tidak accountable. Krismon di AS juga mencerminkan kecerobohan sistem pengawasan dan pencegahan dini, yang ternyata tidak berfungsi, sehingga hampir seluruh bank papan atas dunia terimbas dan terjebak spekulasi kredit perumahan. Sebenarnya, masyarakat AS sudah telanjur menerapkan gaya hidup besar pasak daripada tiang dengan ekspansi kartu kredit yang mengakibatkan tabungan minus. Sebagian besar rumah tangga AS berutang dari kartu kredit. Porsi terbesar memang dari kredit perumahan, tapi kredit konsumsi lain, tertinggi sedunia.

Dalam kondisi seperti itu sebetulnya pemilik dana surplus yang sekarang didominasi oleh SWF dunia ketiga bisa dirangsang untuk berinvestasi di ASEAN termasuk Indonesia. Banyak yang bingung, pesimis, dan panik, bahwa dalam perlombaan ekonomi ASEAN akan ditinggalkan oleh Tiongkok dan India. Dua negara itu memang unik, terutama Tiongkok yang diminati dan dibanjiri investor dan kemudian bisa menghasilkan surplus devisa raksasa yang digulirkan dan diputar kembali di AS untuk membeli obligasi. Kenapa tidak diinvestasikan di ASEAN dengan return yang lebih tinggi. Masalah pokok terutama untuk Indonesia adalah ketidakpastian hukum yang tercermin dari kegamangan pemerintah dan yudikatif yang terjebak pada internal politicking dan bukan menjamin supremasi hukum.

Krismon jilid 2 pada 2008 ini jauh lebih serius dari krismon Asia Timur 1998. Sebab sumber krisis justru raksasa AS yang dulu melalui IMF menjadi penyelamat, tapi sekarang malah harus diselamatkan oleh SWF dunia ketiga dari RRT, Abu Dhabi, Kuwait, Arab Saudi, dan Singapura. Jika Indonesia masih terus melakukan internal politicking dalam kebijakan yang tidak tepat sasaran, krismon 2008 ini bisa mengulangi krismon 1998 dengan segala dampaknya.

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional.


Sumber: SP, 4/2/08

Feb 5, 2008

Jakarta: A Sinking GIANT?

-----------

While almost all major capitals in the region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately "pro-market": profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.

-----------

What do you say, guys?


Jakarta, Indonesia -- A  Sinking Giant?
The Jakarta Post -- by Andre Vltchek

In Graham Greene's Our Man in Havana, the British secret service demotes an agent by reassigning her to the dreaded posting of Jakarta. It is no surprise: For much of the last century, Jakarta was saddled with a reputation as a poverty-ridden hellhole. Andre Vltchek believes nothing has changed.

TODAY, high-rises dot the skyline, hundreds of thousands of vehicles belch fumes on congested arteries and super-malls have become cultural centers of gravity in this fourth largest city in the world. In between these colossal super-structures, humble kampongs house the majority of the city dwellers who often have no access to basic sanitation, running water or waste management.

While almost all major capitals in the region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately "pro-market": profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.

Most Jakartans have never left Indonesia, so they cannot compare their capital with Kuala Lumpur or Singapore, with Hanoi or Bangkok. Comparative statistics and reports hardly make it into the local media. Despite the fact that the Indonesian capital is for many foreign visitors still a hell on earth, the media describes Jakarta as "modern", "cosmopolitan", a "sprawling metropolis".

Newcomers are often puzzled by Jakarta's lack of "public" amenities. Bangkok, not exactly known as a "user-friendly city", still has several beautiful parks.

Even cash-strapped Port Moresby boasts wide promenades, playgrounds, long stretches of beach and sea walks.

Singapore and Kuala Lumpur compete with each other in building wide sidewalks, green areas as well as cultural establishments. Manila, another city without a glowing reputation for its public amenities, succeeded in constructing an impressive sea promenade dotted with countless cafes and entertainment venues while preserving its World Heritage Site of Intramuros.

Hanoi repaved its wide sidewalks and turned a park around Huan-Kiem Lake into an open-air sculpture museum.

But in Jakarta, there is a fee for everything. Many green spaces have been converted to golf courses for the exclusive use of the rich. The approximately one square kilometer of Monas seems to be the only real public area in a city of more than 10 million. Despite being a maritime city, Jakarta has been separated from the sea, with the only focal point being Ancol, with a tiny, mostly decrepit walkway along the dirty beach dotted with private businesses.

Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spend Rp 40,000 in entrance fees, something unthinkable anywhere else in the world. The few tiny public parks which survived privatization are in desperate condition and mostly unsafe to use.

There are no sidewalks in the entire city, if one applies international standards to the word "sidewalk". Almost anywhere in the world (with the striking exception of some cities in the U.S. like Houston and Los Angeles) the cities themselves belong to pedestrians. Cars are increasingly discouraged from the centers. Wide sidewalks are understood to be the most ecological, healthy and efficient forms of short-distance "public transportation" in areas with high concentrations of people.

In Jakarta, there are hardly any benches for people to sit and relax, no free drinking water fountains or public toilets. It is these small but important "details" that are symbols of urban life anywhere else in the world.

Most world cities, including those in the region, want to be visited and remembered for their culture. Singapore is managing to change its "shop-till-you-drop" image to that of the center of Southeast Asian arts. Monumental Esplanade Theatre reshaped the skyline, offering first-rate international concerts of classical music, opera, ballet, but also performances of the leading artists from Southeast Asia. Many performances are subsidized and are either free or cheap relative to the high incomes in the city-state.

Kuala Lumpur spent US$100 million on its philharmonic concert hall located right under the Petronas Towers, the tallest buildings in the world. This impressive and prestigious concert hall hosts local orchestra companies as well top international performers.

The city is presently spending further millions to refurbish its museums and galleries, from the National Museum to National Art Gallery.

Hanoi is proud of its culture and arts, which are promoted as its major attraction: Millions of visitors flock into the city to visit countless galleries, stocked with canvases which can be easily described as some of the best in Southeast Asia. Its beautifully restored Opera House regularly offers Western and Asian music treats. Bangkok's monumental temples and palaces coexist with extremely cosmopolitan fare: International theater and film festivals, countless performances, jazz clubs with local and foreign artists on the bill, as well as authentic culinary delights from all corners of the world. When it comes to music, live performances and nightlife, there is no city in Southeast Asia as vibrant as Manila.

Now back to Jakarta. Those who have ever visited the city's "public libraries" or National Archives building will know the difference. No wonder: in Indonesia education, culture and arts are not considered to be "profitable" (with the exception of pop music), and are therefore made absolutely irrelevant. The country has the third lowest spending in the world on education (according to The Economist, only1.2 percent of its GDP) after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situation is now rapidly improving with the new progressive government).

Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely no important international exhibitions. They look like they fell on the city from a different era and no wonder -- the Dutch built almost all of them. Not only are their collections poorly kept, but they lack elements of modernity: There are no elegant cafes, museum shops, bookstores and even public archives. It appears those running them are without vision and creativity; even if they did have inspired ideas, there would be no funding to carry them out.    

It seems that Jakarta has no city planners, only private developers, with no respect for the majority of its inhabitants who are poor (the great majority, no matter what the understated and manipulated government statistics say). The city abandoned itself to the private sector, which now controls almost everything, from residential housing to what were once public areas.

While Singapore decades ago and Kuala Lumpur recently managed to fully eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from their urban areas, Jakarta is unable or unwilling to offer its citizens subsidized, affordable housing equipped with running water, electricity, a sewage system, wastewater treatment facilities, playgrounds, parks, sidewalks and a mass public transportation system.

Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitants counts on one metro line (Putra Line), one monorail, several efficient Star LRT lines, suburban train links and high-speed rail system connecting the city with its new capital Putrajaya. The "Rapid" system counts on hundreds of modern, clean and air-conditioned buses. Transit is subsidized; a bus ticket on "Rapid" costs only 2 RM (about Rp 5,000) for unlimited day use on the same line. Heavily discounted daily and monthly passes are also available.

Bangkok contracted German firm Siemens to build two long "Sky Train" lines and one metro line. It is also utilizing its river and channels as both public transportation and as a tourist attraction. Despite this enormous progress, the Bangkok city administration claims that it is building additional 80 kilometers of tracks for these systems in order to convince citizens to leave their cars at home and use public transportation.

Polluting pre-historic buses are being banned from Hanoi, Singapore, Kuala Lumpur and gradually from Bangkok. Jakarta, thanks to corruption and phlegmatic officials, is in its own league even in this field.

Mercer Human Resource Consulting, in its reports covering quality of life, places Jakarta repeatedly on the level of African and poor South Asian cities; below Nairobi and Medellin.

Considering that it is in the league of some of the poorest capitals of the world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer Human Resource Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th most expensive city in the world for expatriate employees, well above Berlin (72nd), Melbourne (74th) and Washington D.C. (83rd). And if it is expensive for expatriates, how is it for local people with GDP per capita below US$1,000?

Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appalling air quality just as they have gotten used to the sight of children begging, even selling themselves at the major intersections, to entire communities living under elevated highways and in slums on the shores of canals turned into toxic waste dumps, the hours-long commutes, floods and rats.

But if there is to be any hope, the truth has to be eventually told, the sooner the better. Only correct and brutal diagnosis can lead to treatment and cure. Painful as the truth can be, it is always better than self-deceptions and lies.

Jakarta has fallen decades behind capitals in the neighboring countries: in esthetics, housing, urban planning, standard of living, quality of life, health, education, culture, transportation, food quality and hygiene.  It has to swallow its pride and learn: from Kuala Lumpur and Singapore, from Brisbane and even in some instances from its poor neighbors like Port Moresby, Manila and Hanoi.

Comparative statistics have to be transparent and widely available. Citizens have to learn how to ask questions again, and how to demand answers and accountability. Only if they understand to what depths their city has sunk can there be any hope of change.

"We have to watch out," said a concerned Malaysian filmmaker during New Year's Eve celebrations in Kuala Lumpur. "Malaysia suddenly has too many problems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30 years like Jakarta!"

Could this statement be reversed? Can Jakarta find the strength and solidarity to mobilize and in time catch up with Kuala Lumpur? Can decency overcome greed? Can corruption be eradicated and replaced by creativity? Can private villas shrink in size and green spaces, public housing, playgrounds, libraries, schools and hospitals expand?

An outsider like me can observe, tell the story and ask questions. Only the people of Jakarta can offer the answers and solutions.


Andre Vltchek is an American novelist, filmmaker and journalist, co-founder of Mainstay Press (www.mainstaypress.org) and editorial director of Asiana Press Agency (www.asiana-press-agency.com). He can be reached at: andre-wcn@usa.net.