Apr 25, 2011
Nov 21, 2010
Momen Keajaiban
Clara Ng
Tuhan menciptakan manusia sebab Dia senang mendongeng.
Mendongeng adalah bentuk paling awal dari tradisi oral. Kebanyakan dimulai dari kisah yang dipresentasikan dengan kombinasi gerakan tubuh dan ekspresi wajah. Mendongeng menjadi bagian penting di sebuah masyarakat, bentuk hiburan rakyat yang bisa digabungkan dengan puisi, musik, dan tari-tarian. Dalam perkembangannya, cerita-cerita zaman kuno tersebut diukir, dilukis, disimpan—diharapkan dapat abadi—di batu, tulang, gading, bambu, daun, dan lain-lain. Di zaman sekarang, mendongeng disimpan dalam bentuk kertas dan digital.
Manusia terlahir untuk menyenangi dongeng, terlebih-lebih anak-anak. "Ceritakan padaku satu kisah" adalah permintaan yang sering diucap oleh siapa saja. Mendongeng adalah bagian yang tak terpisahkan dengan diri manusia sejak masih kecil sampai menjadi besar. Dongeng dapat dengan mudah menerjemahkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, seperti moral, budaya, dan tingkah laku.
Di tengah kesibukan kaum urban yang semakin tinggi, kehadiran televisi dan benda-benda elektronik lainnya seperti game, handphone, dan iPod dapat menggeser kegiatan mendongeng orangtua kepada anak. Padahal, kemampuan benda-benda tersebut tidak akan berhasil menggantikan kehebatan mendongeng sebagai bagian dari komunikasi antarmanusia yang hangat dan mesra. Ini menjadi hal yang memprihatinkan. Bayangkan bagaimana televisi dapat membuat anak-anak terpaku pada televisi sehingga makan ditelan secepat-cepatnya. Atau meja makan menjadi senyap sebab setiap anak menikmati permainan di game-nya.
Kegiatan "nun jauh di sana..." sepantasnya dijadikan pengikat kuat relasi antar-anggota keluarga untuk melawan hantaman teknologi yang bersifat individual. Anak-anak yang sakit dan harus tinggal di ranjang dapat dihibur dengan didongengkan, bukan diberikan iPad dan dinyalakan televisi. Keluarga berkumpul di meja makan untuk saling bercerita, bukan di depan televisi.
Mendongeng di Festival Bercerita
Festival Bercerita yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) tanggal 11-14 November menjadi oase kesegaran di antara ratusan keping iklan di mal, koran, dan billboard tentang penjualan barang-barang elektronik yang mempromosikan hiburan bagi manusia-manusia yang kesepian. Festival ini sudah yang kesembilan kalinya diadakan, digagas dan dirintis oleh Dr Murti Bunanta, sosok teguh di balik Kelompok Pencinta Bacaan Anak.
Festival Bercerita IX berlangsung selama lima hari. Program acara diisi penuh dengan agenda mendongeng. Menyaksikan cerita demi cerita yang dipersembahkan oleh anak-anak dan orang dewasa, penonton terpikat. Perhelatan langsung ditujukan pada pokok dan praktiknya, yakni mendongeng, sehingga para peserta bisa merasakan manfaat bagaimana mendongeng dapat menyatukan banyak hati. Lihatlah bagaimana dongeng dapat disampaikan dengan berbagai cara; ada anak usia dua belas tahun yang mendongeng sambil menari dan menyanyi, ada sekelompok anak yang mendongeng dengan berteater, ada Pak Raden yang mendongeng sambil menggambar.
Kelompok Pencinta Bacaan Anak, sebagai salah satu sponsor dan pendukung utama Festival Bercerita, adalah organisasi nirlaba independen, didirikan pada tahun 1987. Sekarang kiprahnya bukan saja sudah menembus dunia internasional, tetapi juga tetap menjadi pemerhati buku cerita anak-anak serta bekerja untuk menyebarkan kerinduan akan dongeng di semua kota terpencil di Indonesia.
Teknik mendongeng
Pada usia berapa kanak-kanak dapat mulai didongengkan? Begitulah pertanyaan yang sering diajukan oleh para orangtua. Jawabannya adalah, "Sesegera mungkin! Semakin cepat semakin baik." Bahkan, orangtua sudah dapat mulai membacakan cerita kepada bayi berusia enam bulan. Tentu saja cerita yang dipilih tidak usah terlalu panjang dan penuh dengan kata yang sulit.
Memilih dongeng adalah faktor terpenting bagi orangtua dan pendidik. Memilih dongeng yang tepat bergantung pada usia anak secara umum. Penting bagi orangtua untuk mencari cerita yang dapat dimengerti anaknya serta sesuai dengan tingkat emosi dan spektrum pengalaman si anak yang bersangkutan.
Mendongeng dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantuan atau tidak perlu sama sekali. Karena kegiatan bercerita adalah komunikasi dua arah, kontak mata menjadi jembatan penting bagi si pencerita dan yang mendengarkan cerita. Melatih vokalisasi adalah hal prinsipiil agar suara terdengar jernih dan berjiwa. Tetapi, yang terpenting dari semuanya, seorang pendongeng haruslah memiliki rasa percaya diri ketika membawakan kisah. Sebab menjadi pendongeng adalah momen keajaiban—bahkan ketika seorang pendongeng baru saja memulai kalimatnya dengan "Once upon a time...".
Mungkin Tuhan juga seperti itu ketika Dia menciptakan manusia.
Clara Ng, Novelis dan Penulis Cerita Anak
Sumber: Kompas, 21/11/2010
Posted by
Emil Jayaputra
at
Sunday, November 21, 2010
0
comments
Labels: Opini, Pendidikan
Nov 5, 2010
from jahiliyah to madaniyah
Refleksi Kepemimpinan
Dedy Irawan - detikNews

Padahal, bukankah semestinya dengan menyandang posisi pimpinan maka seseorang akan lebih mudah dalam memimpin orang lain? Bukankah dengan status yang disandangnya itu maka pengaruh yang diberikan kepada para pengikutnya akan menjadi lebih kuat? Hal ini ternyata tak selalu dapat berjalan demikian karena kepemimpinan itu sendiri tidaklah identik dengan sebuah posisi pimpinan,leadership is not a headship. Albert Einstein, Bunda Teresa, Konosuke Matsushita, Hasyim Asy'ari, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan banyak lagi tokoh pemimpin dunia lainnya di berbagai bidang, menjadi bukti yang nyata bahwa sesungguhnya pengaruh atas orang banyak dapat diperoleh walau tanpa jabatan penting kenegaraan sekalipun. Visi, integritas, keberanian, kepedulian, kebijaksanaan, semangat, komitmen, dan ketulusan, adalah kunci utama keberhasilan mereka di dalam memimpin, achievement of goals through voluntary followership.
Para tokoh pemimpin dunia tersebut tidaklah menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Mereka tidak menunggu kaya, populer, atau berkuasa dahulu baru kemudian mewujudkan perubahan. Mereka tidak bersembunyi di menara gading melainkan hadir di tengah masyarakat. Mereka rela berkorban. Mereka memiliki pendirian teguh dan standar etika yang tinggi. Mereka juga para komunikator yang ulung akan pemikirannya. Mereka tekun membangun kapasitas kepemimpinannya dengan menghadapi kesulitan demi kesulitan. Mereka mengambil tanggung jawab untuk berperan semaksimal mungkin semasa hidupnya. Dan dengan menjalani hal-hal antara lain demikianlah, maka secara alamiah para informal leaders akan dapat bertransformasi menjadi paraworld class leaders. Kepemimpinan yang telah mereka bangunpun menjadi lebih lengkap saat mereka pada akhirnya mengemban amanat sebagai pemimpin formal di masyarakat. Hal yang kemudian membuat kisah kepemimpinan mereka menjadi inspirasi sepanjang zaman. Meminjam istilah Paulo Coelho dalam karyanya The Alchemist, mereka telah menuliskan legenda pribadinya sebagai karya dan teladan yang amat bernilai bagi generasi sesudahnya.
Walaupun memang tak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan itu sendiri bersifat kontekstual, sehingga pemimpin yang dibutuhkan sebuah organisasi politik akan berbeda dengan organisasi pendidikan, keagamaan, bisnis, militer, kelompok tani, para artis, atau bahkan organisasi mafia, namun sifat dasar kepemimpinan tidaklah jauh berbeda satu dengan yang lainnya. Masyarakat manapun senantiasa membutuhkan sosok pemimpin dan panutan, terlebih lagi dalam menghadapi masa-masa sulit.
Kepemimpinan juga merupakan key success factor dari proses perubahan yang besar. Para pengikutpun akan dengan sukarela mendukung terjadinya suatu perubahan mengikuti kepemimpinan yang kuat. Hal mana yang keberhasilan pengembangannya dalam tinjauan para ahli di berbagai institusi terkemuka, antara lain Harvard University atau McKinsey Inc., tidaklah dibedakan oleh faktor jenis kelamin, IQ, status sosial ekonomi, agama, ataupun ras seseorang. Kepemimpinan yang kuat dapat dijalankan oleh semua orang baik mereka yang berkepribadian ekstrovert maupun introvert.
Kepemimpinan yang kuat pula akan dapat mengendalikan jalannya sistem. Walau tengah berada di dalam sistem yang sudah terbangun secara buruk sekalipun, seorang pemimpin yang kuat tidak akan dengan mudah untuk dapat terpengaruh. Begitupun sebaliknya, seberapapun bagusnya sebuah sistem dalam berbagai bentuk peraturan dan kebijakan yang berfungsi sebagai enabler di masyarakat, jika berada di tangan pemimpin yang tidak kuat, hanyalah merupakan kesia-siaan belaka. Betapa banyak produk UU yang dimiliki oleh suatu negara, namun tak kunjung terasa manfaatnya oleh rakyat bila tak dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang berwenang.
Sedang di tingkat perusahaan seringkali pula kita dengar, bahwa perencanaan strategis yang sangat baik haruslah diikuti dengan eksekusi terhadap pelaksanaannya, yang tak lain adalah kepemimpinan. Bahkan tak jarang pula kita amati bahwa seiring pergantian kepemimpinan, para pengikut kadang kala merindukan sosok pemimpinnya yang terdahulu, karena pemimpin yang saat ini sedang menjabat kurang terasa kepemimpinannya, walaupun dalam hal ini tak ada perubahan aturan main sama sekali. Hal ini tak lain dikarenakan setiap orang memiliki ciri khas kepemimpinannya masing-masing yang memberi dampak dan jejak berbeda kepada para pengikutnya.
Kepemimpinan adalah driver dari sebuah proses perubahan. Kepemimpinanlah yang mampu mengubah zaman jahiliyah menjadi peradaban madaniyah dalam sejarah penyebaran agama. Kepemimpinanlah yang menjadi kunci bagi terciptanya perdamaian atau peperangan dunia. Kepemimpinanlah pula yang dapat menentukan masa depan negara serta organisasi manapun. Dan kepemimpinan pulalah yang mampu menyukseskan penyelamatan fenomenal 33 penambang Chile pertengahan Oktober lalu, baik dari para penambang itu sendiri maupun para tim penyelamat.
Pada hakikatnya, kita semua merupakan pemimpin di muka bumi ini. Sembari terutama saya mengingatkan diri saya sendiri, apapun profesi, job title, serta kesibukan kita sehari-hari saat ini, marilah kita jalankan kepemimpinan kita di semua tingkat kehidupan secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya. Apalagi, jika secara struktural formal saat ini diri kita merupakan pimpinan yang menjadi tumpuan harapan bagi begitu banyak orang. Sungguh, tiada seorang pun yang tahu kapan 'saat' yang telah ditentukan itu akan tiba. Namun semoga, jikalau esok pun adalah waktunya, kita tak menyimpan sesal dan berserah dengan kelapangan jiwa. Kepemimpinan kita, hidup kita, adalah sebuah legenda.
*) Dedy Irawan, pemerhati manajemen, tinggal di Jakarta. Memiliki pengalaman profesional di Accor, Arbe, AstraZeneca, Recapital.
(vit/vit)
Posted by
Emil Jayaputra
at
Friday, November 05, 2010
0
comments
Labels: Opini
Oct 15, 2010
Kiai Sapujagat dan Batuknya Merapi
menawi mbaurekso sampun mengi...
Merapi dan SBY Lengser
Djoko Suud Sukahar - detikNews
Dalam Babad Tanah Jawi, juga Serat Kanda disebut, jika gunung Merapi mulai batuk-batuk dan disusul dengan meletusnya gunung-gunung yang lain, maka itu pertanda terjadi suksesi di tanah Jawa. Pakem berdasar mitos itu diyakini sampai kini.
Boleh percaya boleh tidak, tapi saban terjadi pergantian presiden di negeri ini ternyata selalu diawali dengan meletusnya gunung Merapi. Itu terjadi sejak lengsernya Bung Karno dengan tampilnya Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Mbak Mega, sampai SBY. Pembaca yang mengikuti ulasan saya di kolom ini mungkin tahu soal itu. Malah sering karena prediksi itu, maka saya dianggap sebagai 'pendukung fanatik' SBY. Padahal kenal aja nggak.
Gunung Merapi juga amat disakralkan banyak orang. Popularitas Mbah Maridjan 'mengalahkan' pamor Sultan Hamengkubuwono X (HB X) juga gara-gara gunung ini. Ketika kawah Merapi menggelegak dan pengungsi mulai berhamburan, Raja Jawa itu meminta Mbah Maridjan, juru kunci gunung ini meninggalkan wewengkonnya (daerahnya).
Mbah Maridjan kukuh tidak mau mengungsi. Dia tetap dalam rumahnya yang berada persis di gigir gunung. Lelehan lava tak membuat lelaki khusyuk ini kabur. Malah beberapa pendaki yang bersembunyi di bunker buatan pemerintah setempat yang ditentang Mbah Maridjan bernasib sial. Saat lava mengalir, mereka mati gosong di dalamnya.
Itu pangkal larisnya 'roso'. Itu muasal berdirinya masjid di depan rumahnya. Kendati maksud HB X menyuruh Mbah Maridjan turun gunung sangat manusiawi, tapi rakyat menangkapnya beda. Mereka berasumsi Mbah Maridjan lebih sidik paningale. Dia menyatu dengan Kiai Sapujagat, tokoh mistik yang dipercaya sebagai mbaurekso (penguasa) gunung ini. Dan dia tahu yang bakal terjadi.
Di Jangka Sabdo Palon Noyo Genggong Gunung Merapi kembali dijadikan sebagai pengingat. Kehancuran Pulau Jawa akan ditandai dengan letusan gunung ini, disusul gempa bumi dan laut yang menggelegak. "Pratanda tembayan mami, hardi merapi yen wus njebluk milir lahar."
Malah dalam serat ini terurai cukup rinci. Aliran lahar akan mengarah ke barat daya. Membakar tanaman dan membunuh manusia, hingga aroma anyir mayat bertebaran di mana-mana. Itu sebelum daerah lain di tanah Jawa lantak, ikut hancur lebur berkeping-keping. Terus bagaimana kabar gunung Merapi hari-hari ini?
Sudah sebulan ini Gunung Merapi batuk-batuk. Seperti yang diberitakan detik.com, statusnya dari hari ke hari terus meningkat hingga waspada. Bagi orang Jawa, ini tengarai, bahwa tatanan negeri ini mulai tidak bajek (kokoh) lagi. Situasi chaostis mungkin terjadi. Kamtibmas terganggu. Dan bisa lebih dari itu. Adakah juga sinyal akan terjadinya suksesi?
Rasanya kok belum sampai ke sana. Berdasar ilmu titen, kegoncangan itu meminta tumbal pergantian pucuk pimpinan kalau sudah meletus dan diikuti letusan gunung- gunung lain yang dalam 'peta mistik' tidak disakralkan. Kali ini Merapi baru 'berdehem'. Gunung ini baru riuh di dalam perutnya, belum sampai muntah.
Kalaulah ada gunung lain yang bergejolak, justru itu adalah Gunung Semeru. Gunung ini dalam keyakinan Jawa dianggap sebagai 'gunung tua', identifikasi dari Mahameru. Gunung manjingnya (tinggal) Semar, sosok lelaki tua, sakti, sederhana, dan arif dalam pewayangan Jawa. Adakah dengan begitu SBY masih menjadi presiden sampai tahun 2014 nanti?
Dari tanda-tanda itu, naga-naganya memang begitu.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta
(vit/vit)
Posted by
Emil Jayaputra
at
Friday, October 15, 2010
0
comments
Aug 31, 2010
Menjaga Hati
Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan karena dari situlah terpancar kehidupan. (Amsal Salomo 4:23)
Menjaga Hati
MetroTV - Senin, 30 Agustus 2010 14:24 WIB
GAGASAN 12 ANALIS METROTV
Tentang Indonesia Sejahtera

Sedemikian pentingnya hati, maka meskipun dalam berkomunikasi kita melibatkan telinga, mulut, pikiran, mata dan tangan, tapi untuk meminta agar komunikasi berjalan dua arah, maka ungkapan yang dikeluarkan adalah "mohon per-hati-an" dan bukan "mohon per-telinga-an". Atau kita perhatikan ungkapan-ungkapan lain yang sifatnya meminta, menyarankan seperti "Harap diper-hati-kan!" atau "Hati-hati di jalan."
Kita tidak tahu siapa orang pertama yang membawa istilah "hati" ini menjadi khazanah bahasa Indonesia dan dalam komunikasi harian. Dalam bahasa Inggris dan Arab, terdapat beragam kata yang serumpun dengan kata "hati", yang semuanya berkaitan dengan sikap batin, yang selalu ingin mendapatkan rasa damai, kasih, sadar, tulus, dan peduli serta cinta. Ketika kita bingung memutuskan suatu perkara, dianjurkan agar mendengarkan "hati nurani" atau "suara hati". Ketika hendak memilih pasangan hidup, orang tua selalu pesan, "Sing ati-ati milih konco urip kanggo sak lawase". Yang hati-hati memilih teman hidup untuk selamanya. Demikian vitalnya peran hati sehingga Nabi Muhammad bersabda, siapapun yang hatinya baik, maka baiklah semua perilakunya. Dan siapa yang hatinya sakit, maka sakitlah semua amalnya. Jadi, betapa sentralnya peran "hati" dalam kehidupan sehari-hari, karena dari situlah terpancar energi kebaikan dan keburukan, dorongan ke arah kemuliaan atau kenistaan.
Karena suara hati selalu mengajak pada kebaikan, maka orang yang bijak mesti mendengarkan kata hatinya sebelum berbicara dan bertindak. Hati nurani adalah guru, pembimbing dan konsultan yang tidak mau berbohong. Terlebih jika hati ini selalu diterangi dan ditambah energi ilahi, maka akan semakin kuat dan jelas petuahnya agar kita berada di jalan yang benar, yang baik, dan ingin menggembirakan sesama.
Salah satu fungsi ibadah dan puasa adalah untuk membersihkan kotoran-kotoran agar tidak mengeras dan berkarat sehingga menutupi masuknya cahaya ilahi untuk menerangi relung hati. Kalau sudah tertutup maka suara hati nurani bisa kalah, suaranya lemah, perintahnya tidak wibawa. Yang cenderung terjadi, seseorang lalu begitu rentan dipengaruhi dan dikendalikan oleh nafsu rendahan yang hanya mengejar kenikmatan fisik, dengan mengurbankan kebahagiaan moral-spiritual. Kenikmatan fisik durasinya pendek, dan semakin tua usia seseorang, maka semakin mengecil kenikmatan fisik yang bisa diraih. Ketika kesehatan kian menurun, berbagai macam penyakit berdatangan, satu-satu kenikmatan fisik menyatakan "selamat jalan". Dulu ketika masih berstatus mahasiswa ingin makan enak tidak punya uang, setelah tua punya jabatan tinggi dan uang berlebih tidak boleh makan enak. Sungguh, kalau saja direnungkan betapa singkatnya kenikmatan dunia melayani dan memanjakan kita.
Tetapi mereka yang hatinya selalu berjaga, selalu aktif dan senantiasa disirami dengan energi cahaya ilahi, maka semakin tua usia seseorang hatinya justru semakin sehat, semakin lapang dan semakin bijak sehingga kebahagiaan yang akan diraih justru lebih tinggi kualitasnya, yaitu kebahagiaan moral-spiritual. Jika kebahagiaan fisik didapat dengan mengumpulkan dan menumpuk materi, maka kebahagiaan moral-spiritual didapat justru dengan banyak memberi dan berbagi pada sesama. The more you give, the more you recieve. Tak ada dermawan jatuh miskin, justru rejekinya semakin berkah dan bertambah. Ketika memberi dengan penuh ikhlas, sesungguhnya seseorang tengah menabung dengan bunga berlipat ganda sebagaimana dijanjikan Tuhan.
Jadi, menjalani hidup mesti "hati-hati". Mesti didengarkan suara hati yang selalu membisikkan kebenaran, kebaikan dan kedamaian. Tentu saja pikiran harus juga digunakan, namun mesti didampingi dengan hati. Tanpa didampingi hati nurani, kecerdasan yang berdampingan dengan nafsu serekah bisa berbuat sangat kejam, tidak mengenal belas kasih. Pikiran bertugas memecahkan problem teknis, sedangkan hati yang memberikan makna dan arah kehidupan. Misalnya, bagaimana menciptakan mobil, itu tugas pikiran yang kemudian dibantu ketrampilan tangan. Bagaimana menciptakan telepon, itu prestasi kecerdasan nalar. Tetapi jika ditanyakan, untuk apa mobil dan telepon diciptakan, hati nurani yang mestinya menjawab. Mobil dicipta bukan untuk berperang, bukan untuk pamer, bukan untuk menaikkan gengsi, tetapi mempermudah silaturahmi, mempermudah cari nafkah, mempermudah anak-anak berangkat sekolah yang semua itu bermuara agar hidup ini semakin berkualitas dan bermakna baik di hadapan manusia maupun Tuhan.
Sadar bahwa yang dimohon adalah per-hati-annya, maka mestinya yang diberikan adalah hati. Menyadari agar semua tugas harus dilaksanakan dengan hati-hati – ingat kata "hati" sampai diulang dua kali - maka ketika melaksanakan tugas juga harus sepenuh hati. Lagi-lagi, betapa dalam dan bijaknya orangtua yang menyelipkan kata "hati" dalam bahasa Indonesia. Saya belum tahu, apakah bahasa lain memiliki wisdom seindah itu?
Bagaimana bekerja dengan menghadirkan hati? Contoh paling mudah dan nyata adalah sewaktu berdoa. Ketika berdoa, yang mesti hadir dan berbicara adalah hatinya. Peran mulut hanyalah membantu agar hati fokus dalam berdoa. Jadi, ketika yang berdoa hanya mulut, meski hafal dan keras, tetapi hatinya absen, maka itu bukanlah berdoa, melainkan hanya melafalkan kalimat doa. Ketika sembahyang hatinya tidak hadir dan fokus pada Tuhan, secara ekstrim itu bukanlah sembahyang, melainkan olahraga menyerupai gerak sembahyang.
Saya sendiri sering merenung, mengapa ada buku yang usianya sudah puluhan dan ratusan tahun masih terasa segar dan menyegarkan ketika dibaca? Tapi ada buku yang terasa hambar ketika dibaca? Konon katanya, ada orang yang ketika menulis buku disertai kehadiran, ketulusan dan kecerdasan hati. Dari lubuk hati terdalam mereka ingin berbagi cinta dan ilmu dengan pembacanya. Bahkan ada yang menyucikan diri ketika dalam proses penulisan. Mungkin karya-karya tulis semacam itu yang memang ditulis dari hati dan akan memperoleh respons dari hati pembacanya. Mari kita ber hati-hati menjaga hati.
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Posted by
Emil Jayaputra
at
Tuesday, August 31, 2010
0
comments
Labels: Opini
Aug 25, 2010
Suara & langkah tegas pemimpin
dan food for thought tadi belum lengkap tanpa yg terakhir ini :-)
Semua pemimpin dunia yang terpilih secara langsung pasti melalui pencitraan. Waktu memerintah, mereka pasti pula memainkan pencitraan. Ketika "mencurahkan hati" pun (seperti saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, banyak pihak menyerang, mendiskreditkan, dan menyalahkannya, Kompas, 23/8), bisa- bisa dianggap bagian dari pencitraan.
Dalam posisi seperti itu, tidak semua pemimpin memiliki daya pegas sama. Itu tentu juga hak asasi masing-masingnya. Bisa juga merupakan bawaan genotipe atau fenotipe (pengalaman, kebiasaan, pengaruh lingkungan). Mereka yang banyak menekuni bidang seni, seperti mencipta puisi atau lagu, barangkali lebih perasa dibandingkan pemilik kegemaran lain.
Gita citra istana di satu sisi memang akan abadi berhadapan dengan kritik di sisi lainnya. Saat praktiknya bertumbuh pesat, ilmu pencitraan juga berkembang cepat. Umumnya ia jatuh ke wilayah political marketing. Secara paralel, ilmu mengkritik juga melaju. Biasanya jatuh pada kekhususan komunikasi politik. Ambil contoh studi-studi soal hibrid jurnalistik dan parodi (Feldman & Young, 2008). Di sini bukan citra, melainkan elemen cita (dibaca: structure of action, Ryfe, 2009) yang menjadi obyek utama.
Cita untuk rakyat
Mengenai Pak Beye, tentu pengamat harus pula memuji hal yang positif darinya. Kami, misalnya, sangat memuji reaksi cepat Presiden, tanpa gembar-gembor, saat mengubah pola pengawalan kendaraannya menanggapi sebuah surat pembaca. Tetapi, di sisi lain, apa yang disampaikan pengamat harus pula disimak secara lengkap. Jangan langsung digeneralisasi bahwa pengamat tahunya cuma kritik melulu. Sama seperti Presiden yang tetap bekerja sambil merajut citra, sebagian besar pengamat tetap mengajar dan bekerja bersama rakyat akar rumput.
Dalam hal tertentu, kritik memang perlu disertai usulan. Sama juga, pidato citra perlu dilengkapi dengan cita dalam bahasa rakyat. Kira-kira untuk bagian citra, bolehlah 70 persen. Sisanya mesti untuk cita bangsa.
Misalnya, rakyat barangkali merindukan Pak Beye menambah uraian kedaulatan RI yang merdeka dengan menyapa tiga petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan kita sambil menegaskan aksi. Kita bayangkan Presiden berkata, "Saya menyampaikan salam kepada Erwan, Asriadi, Sevo (saat masih ditahan di Malaysia). Kita akan terus bersama mereka dan selanjutnya akan memastikan bahwa insiden seperti ini tidak terulang lagi. Kita akan bertindak tegas sambil memperkuat armada perbatasan kita. Kita juga akan memberikan beasiswa untuk 200 anak bangsa terpilih agar kita segera memiliki ahli-ahli hukum laut dan perbatasan. Mereka kita tugaskan belajar di negeri-negeri yang memiliki akses untuk penyelesaian persoalan ini di tingkat internasional!"
Tentang ledakan gas, mungkin rakyat rindu pernyataan Pak Beye seperti ini, "Dari rancangan belanja yang saya uraikan tadi, kita akan mengeluarkan jumlah yang signifikan untuk memperbaiki kekurangan kita dalam evaluasi program konversi minyak tanah ke gas, yang mestinya harus kita lakukan satu tahun setelah kesepakatan nasional tersebut kita jalankan. Kami minta maaf atas kekurangan ini. Seluruh peralatan gas akan kita cek bersama. Kita akan mengadakan tempat pelayanan untuk konsultasi dan penukaran secara cuma-cuma semua peralatan yang diragukan atau tidak memenuhi standar nasional. Pemerintah juga akan mengganti seluruh biaya perawatan korban dari sejumlah musibah yang terjadi."
Inspirasi
Cita biasanya juga berarti menginspirasi. Rasanya akan banyak rakyat dan jajaran kepolisian terinspirasi untuk bersikap jelas serta bertindak tegas seandainya Pak Beye juga pernah menyatakan, "Apa yang menimpa umat beragama di Kuningan, Bekasi, dan lainnya harus menjadi yang terakhir. Bangsa kita jelas memegang prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Tidak ada seorang pun yang boleh menyerang inisiatif dan kegiatan anak bangsa lain sebagai umat beragama. Saya menuntut pertanggungjawaban aparat hukum secara serius di mana pun kasus ini terjadi."
Analisis Presiden tentang biaya politik amat tinggi juga menarik untuk dikembangkan jadi bahan inspirasi. Mungkin rakyat bisa membayangkan Pak Beye berkata, "Saya usulkan agar dari dana KPU sekitar lima belas triliun per tahun, dua triliun dialokasikan untuk TVRI dan RRI. Ini merupakan alokasi untuk sosialisasi pemilu dan iklan politik cuma-cuma bagi semua peserta, dalam jumlah serta jam tayang yang sama. Hal ini akan memangkas sebagian biaya politik tinggi. Persaingan harusnya pada kualitas iklan politik. Bersamaan dengan itu, kita akan memiliki penyiaran publik yang kuat mengimbangi gaya stasiun komersial. Iklan dan debat pilkada pun lebih tepat di TVRI-RRI daerah masing-masing."
Pastilah Presiden dan para penasihat ahlinya punya lebih banyak cita dan inspirasi yang menyentuh rakyat. Untuk hal seperti ini, tentu Presiden tak perlu menahan diri berbicara. Pengkritik pun harus terus meneriakkan gita citanya. Apalagi sebagian pengamat sudah setia melakukan kritik sejak zaman Pak Harto. Seperti kata pepatah, terkadang "anjing menggonggong, kafilah berlalu". Pernah pula terjadi "anjing menggonggong, kafilah terjatuh". Yang penting, mereka tidak mengkritik untuk negosiasi agar diangkat jadi menteri atau staf ahli!
Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI
Posted by
Emil Jayaputra
at
Wednesday, August 25, 2010
0
comments
Crème de la crème bukan berarti ultra vires!
...dan inilah tangkisan atas tulisan tadi yang "harum-scarum".
Mendalami tulisan profesor riset Mochtar Pabottingi atas pernyataan Presiden pada peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR di Kompas, 23 Agustus 2010, perlu dibuat tanggapan klarifikatif.
Setelah pernyataan Ruhut Sitompul dilontarkan, banyak pertanyaan datang kepada saya. Intinya, bagaimana sikap Presiden? Terus terang, perasaan saya sama dengan perasaan Prof Pabottingi: seperti mendengar pernyataan yang jatuh dari langit di siang bolong tanpa ujung pangkal. Atas nama akal sehat, pernyataan itu harus diluruskan. Mengapa ditanggapi serius?
Jawabannya: karena concern media massa. Menjadi penting karena hampir semua media, baik elektronik, dunia maya, microbloggers (Facebook dan Twitter), maupun media cetak, tampak begitu bersemangat menaikkan dan mengedepankan "nyanyian" sumbang itu. Substansinya spekulatif. Seputar bahwa apakah suara itu sesungguhnya berasal dari Istana? Atau, mungkinkah ia hanya orang suruhan? Atau, sebaliknya, sebagai menu pembuka hidangan politik, hitung-hitung testing the water? Atau, mungkin ini justru perintah "certiorari" dari dalam parlemen sendiri?
Rangkaian probabilitas di atas kemudian mendorong saya menyampaikan kepada Presiden bahwa perlu dibuat pernyataan pada saat sambutan peringatan Hari Konstitusi. Pertimbangannya, momentumnya tepat karena wacana itu bersinggungan dengan konstitusi. Seandainya tanpa ada pernyataan Presiden, hampir pasti isu tersebut kemudian menggelinding memenuhi ruang publik, menggeser isu atau substansi penting lainnya, seraya memberi ruang yang lebih dari cukup bagi para komentator, pengamat, atau pakar komunikasi politik untuk mengemukakan hipotesis dan analisisnya yang belum tentu sepenuhnya benar, kalau tidak pantas dikatakan ngawur.
Diskursus semu
Wacana seputar citra Presiden tidak perlu didramatisasi. Wacana dan diskursus terhadap hal itu sungguh tidak relevan dalam konteks Presiden SBY. Bahwa ada garis batas dan perbedaan jelas antara politik pencitraan serta keseriusan bersikap dan konsistensi tindakan. Politik pencitraan adalah bentuk lain dari "pepesan kosong". Tidak ada permanenitas dan konsistensi di dalamnya. Ibarat salon mobil atau salon kecantikan, cukup dipoles sehingga baret atau luka dapat tertutupi. Beberapa konsultan politik telah demikian mahir sehingga mampu dalam sekejap "memoles" sesuai dengan citra yang ingin diciptakan. Namun pasti, make up semacam itu tidak tahan lama, cepat luntur, karena tidak bersumber dari hati dan dilakukan secara konsisten. Keseharian seorang SBY adalah bersikap dan bertindak secara konsisten, disiplin, berdasarkan kebiasaan serta keyakinannya.
Berangkat dari realitas, tudingan bahwa Presiden menghabiskan waktu untuk membangun citra ilusif dan bersikap evasif menunda konfrontasi dengan masalah serta sama sekali tidak fully in charge, sebagaimana disebut sang Suhu, mahaguru, membuat saya bertanya, apakah postulat ini berdasarkan kajian riset dan terhindar dari harum-scarum serta bebas-nilai? Atau, hanya keyakinan berdasar informasi dunia maya dengan sejuta ilusi di dalamnya? Undreamed-of, memang sulit memahami secara utuh cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang presiden bila dibayangkan atau dilihat hanya dari kejauhan.
Sedikit orang yang tahu bahwa hampir seluruh waktunya didedikasikan bagi kepentingan, kemajuan, dan keselamatan bangsa dan negara. Bagaimana seorang SBY harus menghadapi kompleksitas luar biasa dalam memimpin negara Indonesia. Dibutuhkan wawasan pemahaman komprehensif yang cerdas, bijak, dan terukur. Permasalahan senantiasa muncul. Sejauh ini, sebagian telah dikelola dengan baik, sisanya masih merupakan tantangan untuk diselesaikan sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab pemerintahan SBY hingga Oktober 2014.
Sejarah mencatat bahwa bangsa yang maju ditopang oleh kerja keras dari orang- orang terbaik. Ibarat logam mulia atau crème de la crème, mereka memiliki semangat segar-sehat-harmoni, dengan pikiran maju untuk membangun negaranya. Mereka maju karena pemerintahan berjalan optimal tanpa diganggu oleh intrik dungu, narrow-minded, kesinisan, atau hujatan yang "dimainkan" oleh sekelompok orang yang punya vested-interests.
Negara ini memiliki segalanya, termasuk resources yang diperlukan menjadi negara maju. Menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara dalam menjaga dan membangun negara, sebagaimana diamanatkan founding fathers bangsa lebih dari enam puluh lima tahun lalu.
Presiden sebagai lembaga
Sering kali disalah mengerti bahwa presiden sesungguhnya lembaga, bukan pribadi. Bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan tidak serta-merta dikultuskan sebagai individu sebagaimana seorang pemimpin ultra-Vires. Pandangan semacam ini mungkin bisa dipahami di masa lalu. Ketika ekspektasi terlalu besar dialamatkan kepada lembaga kepresidenan, jangan dilupakan bahwa ada pranata politik atau institusi lain yang juga—harus—bekerja. Lebih dekat, spesifik, dan teknis. Lembaga kepresidenan bukan segalanya. Di pusat juga ada kementerian dan lembaga, sementara daerah pun memiliki lembaga sesuai tugas dan fungsi dalam menjalankan pemerintahan.
Akhirnya, secercah harapan kepada para peneliti sosial untuk melakukan kajian demi menjawab keraguan dan kecemasan dalam menyongsong tantangan lima tahun ke depan, pasca-2014. Perlu dibuat proyeksi bangsa kita ke depan. Harus diakui, setidaknya dalam lima tahun terakhir bangsa ini telah melangkah maju. Tidak perlu terlalu pelit memberi apresiasi karena masyarakat dunia mengakuinya. Tentu banyak hal yang masih harus dikejar, diperbaiki, dan disempurnakan. Sebaliknya, sebagai antisipasi hal-hal yang dapat menjerumuskan kita menjadi failed state, sebagaimana dikhawatirkan, akan sangat diapresiasi bila muncul kajian empiris yang mengungkapkan filling the gap, what went wrong with our lovely country? Dan para komentator politik tidak cukup punya waktu melakukannya.
Julian Aldrin Pasha Juru Bicara Presiden RI
Posted by
Emil Jayaputra
at
Wednesday, August 25, 2010
0
comments
SBY vs. Obama
Politik pencitraan vs. politik pasang badan
PADA peringatan Hari Konstitusi di Gedung MPR/DPR, Presiden SBY melontarkan suatu wacana yang mengundang tanda tanya.
Dia menegaskan "akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada akhir periode kedua dan tidak akan memperpanjang masa kepemimpinannya dengan mengubah konstitusi" (Kompas, 19/8). Weleh! Weleh! Pernyataan ini seperti mendadak turun dari langit. Nalarnya lemah, terasa dicari-cari, dan karena itu langsung mengguratkan kernyit di kening.
Dalam wacana publik sepanjang pemerintahannya tak pernah terbetik adanya kekhawatiran mendasar bahwa Presiden SBY akan mengubah konstitusi untuk kembali berkuasa hingga 2019. Kita dapat memahami jika imbauan untuk mempertahankannya satu periode lagi datang dari Ruhut Sitompul—dan tampaknya memang hanya dia yang bisa melontarkan imbauan demikian.
Kita juga mengerti jika benar Lee Kuan Yew melontarkan imbauan serupa. Kita cukup tahu siapa Lee bagi Indonesia. Bagi saya, Ruhut maupun Lee mengimbau ke negeri antah berantah. Disayangkan, lagi-lagi, mengapa Presiden menanggapinya secara serius di tempat yang serius.
Jika Presiden SBY beserta segenap pendamping, pengiring, dan juru bicara setianya mau benar-benar menyimak lubuk hati masyarakat bangsa kita terutama dalam setahun terakhir ini, maka mereka rata-rata akan berjumpa dengan sesuatu yang sama sekali lain dari "wacana lima tahun lagi". Mereka umumnya akan berhadap-hadapan dengan keresahan dan keprihatinan yang begitu luas bukan hanya tentang ke mana negara kita mau dibawa oleh para pelaksananya, melainkan lebih-lebih sampai seberapa jauh lagi bangsa kita bisa tahan dengan pembiaran negara yang skalanya kian meluas.
Dalamnya keresahan dan keprihatinan ini juga tergambar pada harian Kompas yang bahasanya selama ini selalu santun. Harian ini tak urung menulis bahwa "potensi kemungkinan Indonesia menjadi 'negara gagal' semakin besar" ("Kesalehan Sosial Bangkrut") dan bahwa negara kita memerlukan "terobosan radikal dengan prioritas jelas" (Tajuk "Persoalan Berlapis-Lapis", Kompas, 10/8). Dengan tingkat keresahan dan keprihatinan ini, "lima tahun lagi" adalah sungguh jauh panggang dari api.
Tantangan terbesar
Tantangan terbesar Presiden SBY datang dari atau berada dalam dirinya sendiri. Dia terlalu kerap berwacana sebagai pengamat, terlalu sering mengimbau dan mengadu, dan terlalu banyak menghabiskan waktu membangun citra ilusif. Kesibukan demikian membuatnya hampir selalu bersikap evasif, menunda konfrontasi dengan masalah, dan keranjingan mendelegasikan persoalan—sama sekali tidak fully in charge.
Presiden seolah-olah tidak menyadari bahwa dialah pemimpin eksekutif—pengambil keputusan, bukan pemimpin pengelak, juru tunda, atau solisitor keputusan dari para bawahannya. Inisiatif utama dan eksekusi tegas untuk mengatasi simpul- simpul persoalan kenegaraan yang selama ini mendera masyarakat semestinya berasal, bertumpu, dan bertolak dari diri dan kantor presiden, sebab memang itulah tugas inheren kepresidenan.
Jika Presiden SBY benar pengagum Amerika Serikat, dia bisa menarik rangkaian pelajaran segar-prima dari Presiden Obama. Setelah setahun lebih memimpin Amerika, kita tahu bahwa Obama telah tampil sebagai "logam mulia". Ia tak gentar berhadap-hadapan langsung dengan lawan-lawan utama politiknya atau dengan tantangan-tantangan besar yang kini dihadapi bangsanya.
Dia tidak memasuki gelanggang hanya untuk membangun citra dari soal-soal sepele yang kebetulan menyita perhatian publik. Dia memprakarsai dan melancarkan solusi-solusi centennial atas tantangan-tantangan besar tadi. Sudah dua tiga kali dia memasang badan tepat di ujung tombak tantangan.
Pemahaman konsisten-progresif
Kontras dengan SBY, Obama sama sekali tidak sibuk membangun citra, apalagi dari mengurusi soal-soal yang bisa ditangani jenjang otoritas bertingkat-tingkat di bawahnya. Dia tak takut kehilangan popularitas. Ketegasan pendiriannya menyangkut rencana pembangunan The Cordoba Islamic Center dengan masjid di dalamnya yang diprakarsai oleh Imam Feisal Abdul Rauf dua blok dari "Ground Zero" 9/11 kembali membuktikan hal itu.
Landasan utama Obama adalah pemahaman konsisten-progresifnya akan konstitusi Amerika serta ketegaran-tulusnya berdiri di situ. Bebas dari rekayasa pepesan kosong, darinya terpancar hati yang teguh dan bersih, kerja yang penuh dan gigih. Maka, tanpa dipoles-poles, adicitra yang menyata dari sosok Obama sejauh ini adalah benar-benar sebagai "logam mulia".
Tanpa pemenuhan harapan rakyat dari Presiden SBY, sulit membayangkan kemurnian dan signifikansi pengikut Lee-Ruhut, jika pun ada, dengan lantunan koor "Encore!" Sejujurnya, dari suara-suara di sekitar kita, yang terbetik dominan justru adalah kecemasan merata tentang apakah bangsa kita sanggup menanggungkan begitu banyak pembiaran dari mayoritas pelaksana pemerintahan, terutama di jajaran eksekutif, selama empat tahun lagi! Alih-alih mendengarkan lagu-lagu melankolis dari istana, yang justru sudah terus mengentak adalah lagu Barbara Streissand, "Enough is enough!"
Jika kita ikhlas mau menyelamatkan republik kita dari nasib "negara gagal", mari bersama mengimbau Presiden untuk berhenti bercitra-hampa, berhenti terus menghindar ("Itu bukan wilayah saya, itu bukan wewenang saya"), dan mulai sungguh-sungguh memasuki gelanggang sebagai pemimpin eksekutif sejati.
Percayalah bahwa jika pun ada, amat sangat sedikit rakyat yang menginginkan Pak SBY terus repot memimpin Indonesia hingga 2019. Tetapi darinya seluruh rakyat sudah lama merindukan rangkaian langkah yang konkret meringankan beban mereka dan tidak melulu memedulikan mereka dalam citra, yang riil memberantas korupsi dan tidak melulu memberantasnya dalam citra—apalagi sembari terus membiarkan KPK diobok-obok dalam babak-babak dagelan pengadilan yang sama sekali tidak lucu!
Mochtar Pabottingi Peneliti Senior
Posted by
Emil Jayaputra
at
Wednesday, August 25, 2010
0
comments
May 14, 2010
Peran Sepak Bola & Kandidat Juara WC 2010
Jumat, 14 Mei 2010 | 03:23 WIB Oleh ANTON SANJOYO Benarkah sepak bola sekadar permainan? Sejarah mencatat, strata olahraga ini, apalagi dalam konteks Piala Dunia, berada di atas segala-galanya. Perang, terorisme, dan kebencian berhenti sementara waktu. Selama sebulan, tiga miliar manusia terpenjara dalam kapsul waktu bernama Piala Dunia. Mereka melupakan segalanya, terutama problem duniawi untuk menyambut pesta surgawi sepak bola. Ironisnya, sejarah pula merekam, sepak bola membuahkan duka, air mata, bahkan kematian dan peperangan. "Perang sepak bola" itu sungguh terjadi pada tahun 1969 antara El Salvador dan Honduras, dua negara yang sejak lama memang tidak mesra akibat sengketa perbatasan. Beberapa jam setelah El Salvador kalah 0-1 oleh Honduras dalam laga kualifikasi piala dunia, seorang gadis belia 18 tahun, Amelia Bolanos, menembak jantungnya sendiri. Bolanos kemudian dianggap sebagai martir dan pemakamannya dihadiri ribuan orang, termasuk presiden dan anggota timnas sepak bola El Salvador. Namun, situasi tak membaik selepas pemakaman Bolanos. Patriotisme liar justru tumbuh dan menebarkan kebencian terhadap Honduras yang tim sepak bolanya harus dikawal ratusan tentara bersenjata lengkap saat laga tandang ke San Salvador. Saat laga berlangsung, bendera Honduras dibakar dan cemooh menggema bergemuruh. El Salvador kemudian menang telak 3-0 dan kedua negara segera memulai perang sebenarnya di perbatasan. Sekitar 6.000 orang, sipil dan dan militer, tewas dalam salah satu babak paling kelam dalam sejarah sepak bola tersebut. Beruntung, masa suram itu telah berlalu meskipun patriotisme brutal masih menjadi warna dalam pergaulan sepak bola. Tahun lalu, Mesir dan Aljazair terlibat konflik politik menyusul laga kualifikasi piala dunia. Politikus Irlandia juga menebar kebencian pada Perancis setelah kapten "Les Bleus" Thierry Henry melakukan double handball sebelum mengirim umpan kepada William Gallas untuk membuyarkan impian Irlandia ke Afrika Selatan. Dinamika sepak bola memang menggetarkan karena mampu mengembuskan kebencian etnis, radikalisme dan rasisme, sekaligus mengibarkan bendera nasionalisme pemersatu bangsa. Tahun 1998, saat timnas Perancis dibentuk oleh Aime Jacquet, badai kritik langsung menerpa pasukan "Les Bleus". Problemnya, Jacquet membentuk tim dengan pilar sebagian besar pemain keturunan imigran negeri-negeri bekas jajahan Perancis. Mereka mengecam pemain seperti Zinedine Zidane, Marcel Desailly, Liliam Thuram, Christian Karembeu, atau Youry Djorkaeff yang dicemooh: "menyayikan lagu kebangsaan 'La Marseillaise' pun tak bisa". Namun terpaan badai kritik yang terutama diembuskan tokoh Partai Front Nasional, Jean-Marie Le Pen, sirna begitu saja sejalan dengan terus melajunya "Les Bleus" ke Piala Dunia 1998. Di Marseille, kota yang dihuni oleh banyak keturunan imigran Aljazair, poster raksasa Zidane terpampang di hampir semua sudut strategis. Saat Perancis menjadi juara dunia dengan menumbangkan Brasil di Stade de France, St Denis, Zidane dan para keturunan imigran lainnya menjadi pahlawan nasional yang diarak dan disambut ratusan ribu orang di Avenue des Champ-Elysees: Zizou! allez Francais, allez Francais! Gelora nasionalisme pula yang mengantarkan Spanyol menjadi juara Eropa 2008, sekaligus kandidat terkuat di Afsel 2010. Spanyol, salah satu negeri kiblat dan penghasil sepak bola paling memesona di dunia, tak pernah sanggup masuk jajaran elite "klub juara dunia" seperti Brasil, Argentina, Italia, Jerman, Perancis, Inggris, bahkan Uruguay. Meski mereka punya dua klub hebat, Real Madrid dan Barcelona, juara Eropa sebelum 2008, terakhir mereka raih pada 1964. Problem sektarian dan kesukuan yang melingkupi timnas Spanyol menjadi penyebab buruknya kinerja "La Furia Roja" di pergaulan dunia. Baru setelah Luis Aragones menjadi manajer, rasa nasionalisme Spanyol diusung setinggi langit. Sentimen kesukuan: Madrid, Catalunya dan Basque, dilebur di bawah bendera nasional Spanyol. Hasilnya menggelegar. Spanyol menjuarai Euro 2008 dengan penuh gaya, dan meski gagal di Piala Konfederasi tahun lalu, Iker Casillas dan kawan-kawan tetap favorit terkuat di Afsel. Manajer Vicente del Bosque yang meneruskan kerja Aragones punya kans besar mencatatkan tinta emas pada sejarah sepak bola Spanyol. Sampai hari ini, Real Madrid dan Barcelona masih meneruskan rivalitasnya yang abadi di ajang La Liga, namun begitu mereka memakai kostum La Furia Roja, tak ada lagi rivalitas itu. Carles Puyol dan Gerard Pique harus bekerja sama dengan Sergio Ramos menggalang lini belakang. Demikian pula Andres Iniesta dan Xavi Hernandez harus bahu-membahu dengan Xabi Alonso di lini tengah untuk menyokong Fernando Torres dan David Villa di lini depan. Bagi Spanyol, momentum bangkitnya nasionalisme dalam satu bendera sejak Euro 2008 memang menjadi masa emas untuk masuk negara "juara dunia" di Afsel mendatang. Diberkahi pemain yang matang di berbagai kompetisi elite dunia, Spanyol tampaknya memang layak diunggulkan menjadi juara. Casillas dan kawan-kawan sekaligus punya kans hebat mencatat sejarah baru setelah Brasil yang mampu menjadi juara dunia di luar kontinen. Brasil sendiri akan selalu menjadi team to beat dan tetap menjadi unggulan utama di setiap kejuaraan. Mereka nyaris tak punya problem dengan nasionalisme atau sejenisnya. Justru problem nonteknis juara dunia lima kali ini lebih banyak pada passion para pemainnya sendiri untuk jadi juara atau tidak. Begitu gairah mereka di puncak grafiknya, bahkan Spanyol sekalipun tak akan bisa menghentikan. Dalam gradasi yang lebih kurang sama dengan Brasil, Italia adalah tim yang selalu punya cara untuk bertahan dan dalam keadaan terpojok, mereka sering membuktikan justru tampil sebagai yang terbaik. Bersama Spanyol dan Brasil, juara dunia tiga kali Italia adalah tim yang rasanya paling layak diunggulkan di Afsel 2010. Di atas semua itu, Piala Dunia yang kurang dari sebulan lagi, pastilah akan menjadi "katup pengaman" dari keletihan dan kejenuhan sosial yang belakangan kita alami di Indonesia akibat konflik konyol para politisi dalam perebutan kekuasaan.
Posted by
Emil Jayaputra
at
Friday, May 14, 2010
0
comments
Labels: Opini
Apr 5, 2010
Newsweek: What would Mary do?
Interesting cover story of Newsweek's latest issue...
Catholics: Time to Break Up the All-Male Club |
Apr 12, 2010 |
![]() |
Here they are, the members of history's oldest and most elite all-male club, trying to manage what began as a domestic crisis. For decades, certain priests in America, Europe, Ireland, Brazil (and God knows where else) abused-raped or otherwise molested-children and teenagers not in the frescoed halls of the Vatican but in their own backyards: on camping trips and in cars, in dormitories and confessionals. Those few boys and girls confident enough to tell their secret whispered it to the women they trusted: mothers, aunts, grandmothers. Those few women brave enough to question authority or seek justice from the bishops were hushed up and shut down. In this case Jesus was wrong: the meek did not inherit the earth. They received pious and self-serving sermonizing. "To be sure," wrote Boston's Cardinal Humberto Medeiros to one mother incensed over the sexual abuse of seven boys in her own family, "we cannot accept sin, but we know well that we must love the sinner." Even with a mother, Mary, at the center of the Christian story, the women of today's church have found themselves marginalized and preached to amid the interminable revelations of the sexual-abuse scandals. Their prayers to the Virgin, protector of humanity, seem to have gone unanswered. No wonder the men now charged with damage control face such a credibility gap, a sense that they-who read apologies from teleprompters-appear insufficiently aghast at the damage done. On Palm Sunday in New York, Cardinal Timothy Dolan condemned sex abuse from his throne in St. Patrick's looking for all the world like a well-fed Fortune 500 CEO. A YouTube clip shows Cardinal Sean Brady of Ireland-where 15,000 children were abused over four decades-peremptorily dismissing calls for his resignation. After a New York Times story reported that Pope Benedict XVI (then Cardinal Joseph Ratzinger) failed to defrock a priest who abused 200 deaf children in Wisconsin, the pope lashed out against the news media. Faith, he said, allows one not "to be intimidated by the petty gossip of dominant opinion." Time and again, the pope and his surrogates fail to convince us of their grief. The problem is not, as so many progressives claim, the fact of their celibacy. Nor is it their costumes-the miters and capes-though these vanities do serve as reminders of the great distance between the men with power and the people without. The problem-bluntly put-is that the bishops and cardinals who manage the institutional church live behind guarded walls in a pre-Enlightenment world. Within their enclave, they remain largely untouched by the democratic revolutions in France and America. On questions of morality, they hold the group-in this case, the church-above the individual and regard modernity as a threat. We in the democratic West who criticize the hierarchy for its shocking inaction take the supremacy of the individual for granted. They in the Vatican who blast the media for bias against the pope value ecclesiastical cohesion over all. The gap is real. We don't get them. And they don't get us. By keeping modernity at bay, though, the men who run the Catholic Church have willfully ignored one of the great achievements of the modern age: the integration of women in the workforce and public life. In America, 50 million women work full time; in the European Union that number is 68 million. Within most mainline Protestant denominations, these battles over the professionalization of women were fought-and lost-half a century ago. In Denmark, Lutheran women were granted ordination rights in 1948; in the U.S., the first female Episcopalian priest was ordained in 1976. But in the Roman Catholic corporation, the senior executives live and work, as they have for a thousand years, eschewing not just marriage, but intimacy with women and professional relationships with women-not to mention any chance to familiarize themselves with the earthy, primal messiness of families and children. Indeed, it seems the further a priest moves beyond the parish, the more likely he is to value conformity and order above the chaos of real life. "I see [the hierarchy] as outrageously indifferent to the welfare of children," says a fuming Elaine Pagels, professor of religion at Princeton. "For you and me this is hard to understand. It seems to us out of step with the world. But they don't want to be in step with the world." Over and over I have heard mothers (and fathers) mourn. One parent in one room where a bishop was deciding the fate of an abusing priest would have saved countless families from a lifetime of misery. "It's a pretty good guess that we would not be in this same predicament were women involved," says Frank Butler, president of FADICA, a group of Catholic family foundations. "For sure." It is a reforming moment, then, a time for the men of the Vatican to take the wisdom of their own words to heart. The Second Vatican Council in the early 1960s was an effort to better integrate the antique church with the modern world, and its documents overtly address the changing place of women. "The hour is coming," read the council's closing documents, "in which women acquire in the world an influence, an effect and a power never hitherto achieved. That is why, at this moment...women imbued with a spirit of the Gospel can do so much to aid humanity in not falling." Pope John Paul II expounded on the centrality of women to the church in his 1988 letter Mulieris Dignitatem ("On the Dignity of Women")-even as he firmly reiterated six years later the church's refusal to consider their ordination. The chasm between the church's stated principles and its functional reality yawns wide. In the U.S., 60 percent of Sunday massgoers are women; thus most of the contributions to the collection plate-$6 billion a year-are made by women. And yet the presence of women anywhere within the institutional power structure is virtually nil. The number of women who hold top-tier positions in any of the dicasteries, or committees, that make up the Vatican structure can be counted on one hand. Few women retain high-profile management jobs, such as chancellor, within dioceses. And though nuns dramatically outnumber priests worldwide, they are mostly so invisible that when a group of them speaks up, as they did recently on health-care reform, everyone takes notice. Eight years after the Boston scandals, "it's just men listening to themselves" on sex abuse, says Kathleen McChesney, the former FBI official enlisted to study and remedy the problem of sex abuse in American dioceses after 2002. "To my knowledge, there's no woman in the Vatican who's involved in sex-abuse issues." Kerry Robinson traveled to Rome last month to talk to cardinals about promoting more women. Executive director of the National Leadership Roundtable, a group of American businesspeople who hope to bring corporate best practices to the church, Robinson, together with a group of female colleagues, hoped to make a point. "A young woman looks at the corporate world and sees that she can reach the highest levels of leadership," says Robinson. "She is frustrated at the lack of opportunities to live out her leadership in the church. The grave consequence of that is that the church becomes less and less relevant to women. And the consequence of that is that it becomes less and less relevant to her children." "It matters," adds Robinson, "how the church is seen. Right now, it's seen as sins and crimes committed by men, covered up by men, and sustained by men. To overcome that, the church has to absolutely include more women." Women aren't a panacea, of course. History shows that women in power can be as ruthless and self-serving as men. And the mere presence of women does not, obviously, inoculate an organization against criminality or corruption-just ask Lynndie England, who smiled for the camera as she humiliated prisoners at Abu Ghraib. Moreover, it's difficult to prove that the male-dominated atmosphere of the Roman Catholic Church creates a unique hothouse for sexual predators; and indeed, the majority of good priests throughout the world continue to care for the faithful. (The perpetrators in a few of the recent European cases have been women.) Researchers believe, in fact, that rates of abuse within the church probably compare with those of other denominations-and of youth organizations, schools, and families. It's frighteningly high. "Surveys indicate that one out of three girls experienced an unwanted sexual approach from an adult before age 18," says Margaret Leland Smith, a researcher at John Jay College of Criminal Justice, who analyzed the data from the U.S. sex-abuse cases. Among boys, she says, the rate is one in five. Indisputable, though, is that the all-male Catholic hierarchy has responded to the crisis too slowly and-even after the revelations in the U.S.-in a way that has instinctively protected its own interests above those of the children. "The Catholic Church could have pulled these people any time they wanted and defrocked them," says the Rev. Marie M. Fortune, a minister in the United Church of Christ and founder of FaithTrust Institute, a multifaith organization aimed at ending sexual violence. "You can make a good argument that part of the problem is the hierarchy, in terms of it being a boys' club, an institution that is so ingrown and conservative and out of touch with people." Studies show what we intuitively know: without checks and balances, insular groups of men do bad things. History professor Nicholas Syrett, author of The Company He Keeps: A History of White College Fraternities, says studies suggest that 70 to 90 percent of gang rapes on college campuses are committed by men in fraternities. Obviously, he adds, important differences exist between the Roman Catholic hierarchy and college frats-"fraternity men are encouraged to have sex with lots of women. Clearly priests are not." But in both cases, "men are encouraged to believe that they are in positions of power for a reason...I do think if the hierarchy of the Catholic Church doesn't discipline these people because they are concerned about reputation, they create a space where those [abusing children] are led to believe that whatever they do is OK." Richard Sipe agrees. He is a former priest who has spent the past three decades researching the sexual teachings of the church and their effects on clerical behavior. "Clergy," he says, "are a group that are very privileged in their own mind. They have a sense of entitlement. Think about it. What other culture do you know of that's all male, theoretically and practically?" Jesus, of course, said nothing about the role women should play in his future church. As the leader of a small and radical movement he invited all to join his band, including married women, single women, and prostitutes; and the Gospel accounts give women a special role. They are the ones who first encounter the resurrected Lord and report back to the men on this supernatural event. Women probably worked in the early church. In his letter to the Romans, written in the late 50s (A.D.), the Apostle Paul writes of a deacon named Phoebe; a "fellow worker" named Prisca; and "workers in the Lord" Tryphena and Tryphosa. He even mentions an "apostle" named Junia-a fact so shocking to generations of scribes who imagined that apostles could only be men that they intentionally misunderstood Paul's meaning. "Very, very frequently [Junia is] changed into a man's name," says Diarmaid MacCulloch, author most recently of Christianity: The First Three Thousand Years. "You get a sense that the early church is rowing away from women having positions of power." It would be a mistake, therefore, to view the first centuries of Christianity as any feminist heyday. Women were regarded almost universally as lower beings, over whom a good Christian man had to exercise control. "Our ideal," said Clement of Alexandria in the second century, "is not to experience desire at all." And-despite the fact that clerics and even popes were often married-women's ability to arouse sexual desire in Christian men relegated them to the role of the temptress Eve, in cahoots with Satan. For women, celibacy was one way to gain any power in a man's world; by emulating Mary, a woman might find independence and strength. By the 12th century, the separation of men and women in the church was complete. Clerical celibacy became mandatory in 1139, and in the great universities of Europe, where Christian intellectuals were establishing the foundations of modern philosophy, math, astronomy, science, literature, and theology, women were excluded completely. The only way thereafter for a Christian woman to gain prominence was as a prophet or a mystic, observes MacCulloch-and then her brethren might regard her as cracked. One more brick, and the Vatican clerics would shut themselves off from their faithful for good. Kevin Schultz, a historian at the University of Illinois at Chicago, explains that Rome objected-strenuously-to the individualism that led to the French and American revolutions. In reaction, Catholic intellectuals revived some of the ideas of Thomas Aquinas, especially his insistence on holding the community above the individual. The preeminence of these ideas essentially formed an "opposition to what the church sees as modernity," explains Schultz. "It creates us-versus-them. There becomes this level of secrecy. The popes become much more powerful." No explanation better illuminates today's great disconnect between all the pope's men and the progressive faithful. In a world where the whole really matters more than individual parts, a rigid-sometimes brilliant, sometimes mean-spirited-morality reins. This elevation of the church above all things explains how an institution dedicated to serving the sick and the poor might also refuse condoms to those at risk for AIDS. It explains how an organization committed to families could deny birth-control pills to mothers. And it explains, sadly, how a bishop faced with a pedophile in a parish might decide not to call the cops. To break the old habits of insularity and groupthink, the embrace of modernity that started with Vatican II must begin anew. "I want to throw open the windows of the church so that we can see out and the people can see in," said Pope John XXIII of that effort. The first, and perhaps easiest, place to start is with women. More than 60 percent of American Catholics support the ordination of women, and though traditionalists insist that's a pipe dream, realists think otherwise. With priestly vocations in steep decline in the U.S., and women running 80 percent of parish ministries, female priests seem an inevitability. A small group of about 100 renegade women have already been ordained "by a bishop in good standing," says Eileen McCafferty DiFranco, who is one of them. Though excommunicated, DiFranco remains unbowed. "Jesus never said only men can be priests." In the U.S., reported incidents of sex abuse in Catholic dioceses are dropping, thanks largely to the work of McChesney and her team. Now every American diocese must establish an advisory board on sex abuse, a group professionally and personally concerned with the welfare of children. McChesney believes these advisory boards should be replicated in dioceses worldwide-and at the Vatican. "Benedict needs to establish a group that is not just clergy. He needs an advisory board of people who are expert in child abuse, in investigative issues, in problem solving. You need the involvement of lay professionals." If these people are women, so much the better. On her diplomatic mission to the Vatican, Kerry Robinson had another, more spiritual goal. Over the years, stories from the Gospels and the Old Testament about women have slowly disappeared from the Sunday lectionary, the scheduled Bible readings that massgoers hear. Robinson gently brought this to the cardinals' attention and found that some hadn't noticed the stories were gone. "It's all men, all the time," says Robinson. "They go to mass all the time, they don't distinguish, they don't think of it from the perspective of a woman who goes to mass on Sunday." Mary, the mother of Jesus, was human. A traditional girl, she made the best of an extraordinary situation and then watched, stoically, as her child suffered. This is a universal story. If the stories of the women and girls of the Bible aren't told, then mothers and daughters will stop seeing themselves as part of the Body of Christ. They'll walk away. And they'll take their children with them. Lisa Miller is NEWSWEEK's religion editor and the author of "Heaven: Our Enduring Fascination with the Afterlife". http://mobile.newsweek.com/s/2499/NewsweekCoverStoryDetails? |
Posted by
Emil Jayaputra
at
Monday, April 05, 2010
0
comments
Labels: Opini