skip to main |
skip to sidebar
Dia yang Dilucuti
Oleh Armada Riyanto
Drama penyaliban Tuhan adalah drama kekejaman dan kekasaran dosa manusia yang "menelanjangi" Tuhan.
"Mereka membagi-bagikan pakaian-Ku di antara mereka dan membuang undi atas jubah-Ku," demikian Yohanes 19:23-24.
Secara kasar para prajurit melepaskan pakaian dan menyalibkan Kristus, Allah yang menjelma menjadi manusia. Ia pun tergantung dan terkulai di atas salib dalam disposisi tubuh-Nya telanjang. Sesudah penyaliban, pakaian-Nya diundi para prajurit algojonya.
Tak ada yang tersisa dari Kristus, segalanya telah diambil untuk membayar lunas utang dosa manusia. Kemanusiaan dan ketuhanan-Nya pun berpadu sedemikian rupa dalam misteri penebusan salib.
Ia menjadi persembahan dan korban bagi keselamatan seluruh ciptaan. Ia adalah Sang Penebus dalam ketelanjangan-Nya, ketidakberdayaan-Nya. Salah satu aspek dramatis teologi salib adalah refleksi tentang Tuhan yang "ditelanjangi".
Ketelanjangan Tuhan menjadi semacam katarsis yang tuntas dari harga mahal sebuah cinta yang menyelamatkan. Ketelanjangan-Nya adalah pengosongan diri-Nya, kenosis. Dalam ketelanjangan-Nya, Kristus menanggalkan "keallahan-Nya" untuk mengenakan "kemanusiaan-Nya".
Ia meninggalkan keabadian untuk memeluk kefanaan sekaligus menghancurkan kekuasaan kematian. Nanti sang kepala prajurit yang tidak mengenal Tuhan akan segera mendeklarasikan Kristus "sungguh-sungguh Allah" justru ketika Dia mati telanjang di atas kayu salib.
Melucuti martabat
Ketelanjangan Tuhan juga mengatakan betapa kasar dan dahsyat konsekuensi sebuah dosa. Dosa itu melucuti, merendahkan, dan menghinakan martabat. Ketelanjangan hanyalah perkara tubuh, tetapi ketika tubuh ditelanjangi, martabat dan keluhurannya ditindas sehabis-habisnya. Demikianlah narasi historis drama penyaliban Yesus Kristus dalam Jumat Agung.
Sudah terlalu lama manusia menafikan martabat tubuh. Perkara nilai tubuh kerap disempitkan dalam perspektif platonian bahwa tubuh adalah sumber dosa. Tubuh dimaknai secara sempit sebagai kehadiran absurd, ambigu, dan aneh. Makna tubuh dilepaskan dari kodrat intensi indah penciptaan bahwa Tuhan menciptakan manusia seutuhnya dengan tubuhnya. Manusia adalah dia yang hadir dalam tubuhnya. Ia pun mengekspresikan kebebasannya dengan tubuhnya.
Karena itu, realitas Yesus Kristus yang ditelanjangi mengungkapkan realitas penghinaan terhadap keutuhan manusia secara amat dramatis.
Eksistensi manusia tak mungkin dilucuti dari tubuhnya. Dalam perkara "ketertutupan" dan "ketelanjangan" tubuh, perspektif yang kerap diusung sering kali jatuh pada sekadar adagium bahwa ketelanjangan memicu sinyal nafsu seks dan kekerasan. Dalam perspektif teologis salib, nafsu dan kekerasan sudah terpatri secara nyata pada ketelanjangan Yesus.
Tuhan ditelanjangi oleh nafsu dosa dan segala kekerasan yang mengalir darinya. "Tindakan mengabsurdkan" tubuh lewat berbagai ratifikasi penutupan secara paksa juga mengungkapkan kedangkalan cara pandang. Disebut "pengabsurdan" karena tubuh adalah anugerah dari Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya.
Tubuh bukanlah tambahan. Tubuh adalah bagian kodrati dari keberadaan manusia dalam keutuhannya. Artinya, keluhuran manusia terpancar dalam penghormatan kehadirannya secara utuh. Manusia tak bisa direndahkan sehubungan dengan kesempurnaan atau kekurangsempurnaan kehadiran nyata dari tubuhnya.
Ketelanjangan Tuhan tidak mengatakan pertama-tama kenyataan bahwa Tuhan tanpa pakaian. Ketelanjangan tubuh Tuhan adalah pemberian diri dan cinta-Nya secara tuntas kepada karya penebusan umat manusia. Kemurnian cinta Kristus kepada manusia telah ditampilkan dalam "tiada tersisanya" apa pun yang melekat pada tubuh-Nya.
Ketika Tuhan ditelanjangi, ketika itu betapa hebat cinta Kristus yang menyelamatkan manusia di satu pihak dan betapa memilukan dosa manusia yang telah merendahkan martabatnya sendiri di lain pihak.
Saat manusia bersekongkol menabrak prinsip keadilan fondasi kesejahteraan bangsa, saat itu ia kembali merenggut pakaian Tuhan dan membuang undi atasnya. Kasus saling tuding manipulasi dan korupsi jadi bukti dosa sosial yang melucuti martabat keluhuran tata hidup manusia.
Manusia seolah dilucuti dari otentisitasnya. Narasi siapa bersalah dan siapa merekayasa perkara penggelapan uang nasabah bank (tetapi pada saat yang sama sudah lebih dari tiga pekan tak satu pun nasabah korban melaporkan diri kendati dirugikan) menjadi salah satu wujud penelanjangan pakaian keadilan.
Tata hidup bersama bangsa ini kembali ditelanjangi, dibawa ke titik nadir keadilan. Drama penelanjangan Yesus Kristus terjadi 2.011 tahun silam. Namun, peristiwa serupa sampai kini terulang lagi dan lagi. Kita pun mesti "telanjang dan benar-benar bersih"—meminjam syair Ebiet G Ade—dari segala intensi buruk dan dosa.
Armada Riyanto Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang
No comments:
Post a Comment