Mar 22, 2013

Parahyangan, palemahan, dan pawongan

Sopo sing tekun golek teken mesti tekan.

Nan satitik jadikan lauit, nan sakapa jadikan gunuang. Alam takambang jadi guru.

Budi Pekerti dalam Bahasa Ibu

AGUS DERMAWAN T

AKHIR-AKHIR ini, media massa kita diramaikan berita pertikaian rumah tangga muda Indonesia.

Pertikaian itu hampir semua berujung perceraian. Bahkan, ada yang diakhiri tragedi mengerikan, seperti pembunuhan. Para pengamat perilaku menengarai semua itu dampak dari terjebaknya sebagian generasi muda di pusaran profan, yang menjauhkan mereka dari kedalaman pemikiran dan perenungan. Lalu, kemunduran etika yang diujungi pelanggaran komitmen pun tak henti terjadi.

Dari sini, lalu banyak yang menduga jangan-jangan kemunduran itu ada kaitan dengan hilangnya mata pelajaran Budi Pekerti di bangku sekolah sejak beberapa dasawarsa lalu. Sementara sebagian pedagog menganggap runtuhnya etika dan komitmen itu bisa berkaitan pula dengan penyingkiran bahasa daerah, bahasa lokal, atau bahasa ibu, yang pada puluhan tahun silam rajin diajarkan di sekolah.

Memang, apabila kitab-kitab bahasa ibu dibuka, petatah-petitih dan berbagai ungkapan yang menjunjung etika dan moralitas banyak terucap. Tidak ada yang menyangkal bahwa semua itu adalah kristal dari ajaran, yang diwujudkan dalam ujaran.

Sebagai contoh, merujuk soal perkawinan, khazanah bahasa ibu di Jawa menawarkan piwulang (ajaran): "Siji pesthi, loro jodho, telu tibaning wahyu, papat kodrat, lima bandha". Artinya: Satu, kematian; dua, jodoh; tiga, anugerah wahyu; empat, kodrat; lima, harta atau rezeki.

Lima hal ini adalah hak mutlak Tuhan terhadap diri manusia. Dari sini siapa pun diajak memercayai: segala yang menjadi hak prerogatif Tuhan adalah misteri yang tak boleh dilawan. Jadi, jodoh tidak seharusnya diceraikan, apalagi dibunuh.

Muatan filosofis bahasa ibu tentu saja menjangkau sisi-sisi kehidupan amat luas. Lebih dari 45 tahun silam, guru bahasa daerah saya di SD selalu mengulang ungkapan "sopo sing tekun golek teken mesti tekan". Kalimat lucu berirama ini bermakna: siapa yang rajin mencari tongkat pegangan (hidup) pasti akan sampai ke tujuan yang dicita-citakan.

Di Bali, kata-kata bertuah juga bertebaran dalam kitab-kitab bahasa ibu. Seperti istilah rwa bhineda yang menggambarkan bahwa kebaikan dan keburukan terus berjalan beriring sehingga manusia harus selalu waspada.

Bahasa ibu Bali juga mengutarakan tri hitta karana, yang menegaskan semua gerak kehidupan diperuntukkan bagi tiga hal: pengagungan Tuhan (parahyangan), penjunjungan alam (palemahan), dan masyarakat sekitar (pawongan). Hal yang terakhir ini melekat dengan falsafah dasar Hindu, tal twam asi, yang artinya "aku adalah engkau". Penyatuan perasaan yang menyebabkan setiap orang tolong-menolong, tegur-menegur, saling melengkapi untuk kebaikan.

Wacana peristiwa

Sementara ihwal penjunjungan alam, bahasa ibu Minang di Sumatera Barat menuliskannya dalam kalimat manis, "Nan satitik jadikan lauit, nan sakapa jadikan gunuang. Alam takambang jadi guru". Artinya, (air) yang cuma setetes jadikan laut, (tanah) yang sekepal jadikan gunung, dan alam yang terus tumbuh dan berkembang merupakan guru dari kehidupan.

Hal yang sama juga dituliskan dalam pikukuh Badui, yang menyuratkan ketentuan mutlak tentang keseimbangan lingkungan. "Leuweng teu meunang diruksak, gunung teu meunang dilebur. Panjang teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung". Atau, hutan tak boleh dirusak, gunung tak boleh dihancurkan, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung. Bisa dibayangkan apabila kalimat bahasa ibu itu dipahami, banjir tak akan trengginas melanda.

Lembar-lembar kitab bahasa ibu Sunda juga tak henti menawarkan ungkapan yang bisa menjadi pedoman perilaku. Seperti "pondok nyogok, panjang nyugak", yang sangat relevan ketika dihubungkan dengan tabiat sebagian birokrat sekarang yang rusak di segala sisinya. Ungkapan itu berkata: ibarat kayu, apabila pendek dipakai untuk menyodok, apabila panjang digunakan untuk menusuk. Tidak pernah digunakan untuk yang baik-baik.

Tenas Effendy, ahli budaya Melayu, sudah lama mengingatkan pemakaian bahasa ibu sebagai alat menyampaikan landasan budi pekerti. Karena tuturan ungkapan bahasa ibu jauh lebih gampang menyerapkan ingatan ke dalam otak dan memancarkan pemahaman dalam benak, yang akhirnya mengajak seseorang merenung dan berpikir lebih panjang.

Dan, bahasa ibu harus dipandang sebagai wacana peristiwa, bukan sebagai bahasa nostalgia yang ingin dilestarikan belaka.

AGUS DERMAWAN T Penulis Buku-buku Seni

Sumber: Kompas, 22 Maret 2013

Akun dan Reken

BAHASA

Akun dan Reken

Lema rekening diserap dari bahasa Belanda, dari infinitif rekenen. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV mengartikan reken 'menghitung, memperhitungkan, memperkirakan' atau 'memasukkan dalam bilangan, membilang'. Jadi terasa aneh ketika kita akrab dengan rekening, tetapi asing dengan reken, malah terbiasa dengan akuntansi dan akuntan.

Oxford Advanced Learner's Dictionary (1995) mencatat accountant sebagai a person whose profession is to keep or check financial accounts, sedangkan accountancy sebagai the profession of an accountant. Adapun account, yang akhir-akhir ini diadopsi sebagai akun dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai a written statement of money paid or owed for goods or services, hal yang harus tertulis pada buku rekening milik seseorang. Karena itu, KBBI memadankannya dengan rekening koran 'rekening pribadi atau perseorangan di bank'. Namun, akun kadang-kadang merujuk kepada kepemilikan alamat surel di internet atau jejaring sosial.

Ada dua sumber bahasa untuk istilah yang menyangkut finansial dan perbankan meski dulu pernah dipakai tata buku untuk accountancy itu. Campur-baur sehingga terbiasa dengan akuntansi, tanpa mengganti rekening itu dengan akun meski gagah menyandang profesi akuntan. Sementara itu, di luar mainstream, di Surabaya telah lama beredar idiom slang: no reken. Itulah celetukan yang didedahkan sekumpulan orang pada tanggapan marah atau nasihat dari pihak yang dianggap bukan kelompok, in group, baik sebaya maupun lebih tua.

No reken semacam penolakan dan reaksi pengukuhan kelompok, diucapkan ketika orang itu pergi, atau dibisikkan bila berhenti bicara dan tak pergi. Konkretnya, sekelompok remaja bersorak mengelu-elukan balapan liar jalanan dan ketika polisi membubarkannya, mereka cuma saling berbisik: "No reken." Pada konteks lebih besar, semua pidato Bung Tomo pemicu perlawanan rakyat di Surabaya sekitar 10 November 1945 itu berspirit menolak ultimatum Inggris. Penuh dengan pekik: Tidak! No Reken! Terjadilah perang tak seimbang yang menunjukkan perlawanan dan dikenang sebagai perlawanan.

Saya sangsi lema no di sana diserap dari bahasa Inggris sebab sinonim tidak nan padan buat lema rekenen bahasa Belanda itu niet. Lalu apa rekenen itu selalu berarti menghitung? Gerard Termorshuizen (1981) mencacat varian rekenen yang jadi rekenen op 'mengharapkan' dengan contoh kalimat "Ik reken op jouw hulp", 'saya mengharapkan pertolonganmu', atau rekenen tot 'menganggap [sebagai]' dengan contoh kalimat "Men rekent hem tot de beste schrijvers", 'orang menganggapnya sebagai salah seorang pengarang terbaik'.

Dalam kasus Surabaya sekitar 10 November 1945, pidato masyhur Bung Tomo yang selalu membara itu ternyata penuh gelegak spirit niet reken 'jangan dihiraukan'. Jadi, jangan menghitung untung ruginya, jangan takut mengorbankan nyawa demi membela kemerdekaan. Dan, kondisi rindu merdeka yang dipicu spirit itu menghasilkan kesepakatan bersama: melawan Inggris. Sederhana, mengena, sehingga (dulu) semua korupsi bisa diatasi dengan sepuluh pidato serta satu revolusi sosial meski kini jadi pahit saat politikus dan pemimpin cuek bebek ber-niet reken atas kritik masyarakat.

BENI SETIA Pengarang

Sumber: Kompas, 22 Maret 2013

Mar 19, 2013

Miserando Atque Eligendo


Pilihan yang Tidak Diduga
Minggu, 17 Maret 2013

Simon Saragih

Kardinal Jorge Mario Bergoglio menjadi Paus Fransiskus? Tidak ada yang menduga. Namanya tidak masuk dalam "papabili", atau daftar kandidat unggulan untuk menjadi Paus baru pengganti Paus Emeritus Benediktus XVI. Calon terdepan yang semula disebut-sebut adalah Uskup Agung Milan, Kardinal Angelo Scola. Dia dianggap bisa mengembalikan Italia ke dalam Takhta Suci Vatikan yang diduduki Paus non-Italia dalam 35 tahun terakhir ini. Kalaupun ada keinginan agar kardinal non-Eropa yang terpilih, nama yang disebut antara lain Kardinal Odilo Scherer, Uskup Agung Sao Paulo (Brasil) atau Kardinal Sean O'Malley, Uskup Agung Boston, Amerika Serikat.

Dalam kultur gereja, sebenarnya tak ada yang perlu dikagetkan karena pemilihan Paus selalu dianggap buah dari lantunan "Veni Creator Spiritus". Sebelum diambil sumpah di Kapel Sistina, sebanyak 115 kardinal beriringan masuk kapel dengan menyanyikan lagu itu. Intinya memohon pendampingan Tuhan saat konklaf.

Namun, dari sisi manusiawinya, tetap ada rasa penasaran, bagaimana Bergoglio terpilih menjadi Paus?

Sebenarnya, mudah saja untuk menjelaskannya. Sejumlah pakar Vatikan mencatat, Bergoglio berada pada urutan kedua setelah Kardinal Joseph Ratzinger (Jerman) yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI pada konklaf 2005. Sejak itu, nama Bergoglio sudah ada dalam benak para kardinal.

Sikapnya yang antikorupsi, pendukung keadilan sosial, sikap kukuhnya soal doktrin konservatif, menarik perhatian warga. Ini menarik juga bagi para kardinal. Cara hidupnya yang sederhana, dan jauh dari sikap feodal juga menarik perhatian.

"Dia memberi sinyal kesederhanaan," kata Kardinal Donald Wuerl, Uskup Agung Washington, AS. "Dalam banyak hal, dia sangat bersahabat, tetapi kukuh. Dia amat menyenangkan dan hampir tanpa ada ketakutan, sekaligus sungguh bersikap seorang pastor dan peduli kepada orang lain. Itu cocok dengan tantangan sekarang ini," kata Wuerl.

Kardinal Thomas Collins, Uskup Agung Toronto, Kanada, berpendapat sama. "Dia peduli, menyenangkan. Kami mengapresiasi talenta yang dia miliki dan itu merupakan hadiah. Dia mencintai umatnya di Buenos Aires. Sejarah pelayanannya sudah terkenal," kata Collins.

Saat makam malam bersama seusai konklaf di Rumah Santa Marta, Kardinal Timothy Dolan, Uskup Agung New York, mengenang Bergoglio bercanda. "Semoga Tuhan memaafkan Anda semua," ujar Bergoglio, kepada para kardinal yang telah memilihnya sebagai Paus.

Lima kali voting

Konlaf kali ini berlangsung lewat lima kali pemungutan suara. Voting pertama adalah pada Selasa 12 Maret. Empat kali pemungutan suara berlangsung pada Rabu (13/3), dua kali di pagi hari dan dua kali di petang hari.

Konklaf 2005 hanya melewati empat kali voting. Diskusi persiapan jelang konklaf saat itu juga hanya tiga hari. Kali ini, para kardinal menggelar kongregasi umum hingga delapan hari sebelum konklaf dimulai.

Dari sisi usia, tidak disangka jika Bergoglio, yang kehilangan satu paru-paru karena infeksi di masa muda, akan terpilih. Berbeda dengan para kardinal lain yang dijagokan, Bergoglio tidak pernah memegang jabatan apa pun di pemerintahan Vatikan, yang dikenal sebagai Kuria. Dia hanya tercatat menjadi anggota sejumlah kongregasi dan komite, seperti Kongregasi untuk para Imam, Dewan Kepausan untuk Keluarga, dan Komite Amerika Latin.

Namun, inilah misteri konklaf. Bergoglio sendiri memegang motto "miserando atque eligendo", yang berarti "bersahaja tetapi terpilih" di Keuskupan Agung Buenos Aires. Sikapnya yang bersahaja berhasil membuatnya terpilih.

Sepak terjang Bergoglio memperbaiki reputasi gereja menjadi hal mengena. Uskup Agung Vienna, Austria, Kardinal Christoph Schoenborn, mengatakan, saat persiapan konklaf semua hal didiskusikan oleh para kardinal. Mulai dari keuangan bank Vatikan, manajemen yang kaku, komunikasi yang beku, dan oknum-oknum gereja yang terlibat skandal.

Ada keinginan tumbuh suasana baru dalam gereja dan Takhta Suci. Dalam konteks ini, Bergoglio menjadi perhitungan para kardinal.

Kardinal Timothy Dolan mengenang peristiwa konklaf. "Saat perhitungan suara mencapai 77 suara untuk Bergoglio, para kardinal sudah bertepuk tangan. Saat semua suara selesai dihitung, kami bertepuk tangan lagi dengan gemuruh. Kami bertepuk tangan lagi dengan meriah ketika Bergoglio menyatakan 'mau menerima'".

"Ada semacam kelegaan karena kami tahu memiliki gembala yang baik. Dia membumi, kukuh, sungguh tulus, dan bersahaja," kata Dolan.

Pastor Kornelius Sipayung OFM Cap, ahli teologi lulusan Universitas Gregoriana, Roma, mengatakan, Paus baru ini akan membawa banyak perbaikan.

Pada hari Kamis, Kardinal Jean-Pierre Ricard, Uskup Agung Bordeaux, Perancis, mengenang betapa Bergoglio meninggalkan tradisi lama. Protokol di Takhta Suci Vatikan memperlakukan Paus seperti pemimpin tertinggi.

"Kami menyingkir memberinya jalan usai tampil di balkon Basilika dan diperkenalkan kepada khalayak. Namun, dia ingin berjalan bersama kami," kata Ricard.

Para kolega merasa dekat dan senang. "Bergoglio tidak suka memaksakan kehendak. Dia mendengar," kata Sergio Rubin, penulis biografi Bergoglio.

Kelemahan yang dikaitkan dengannya adalah kediktatoran Argentina di era lalu. Teolog Italia, Massimo Faggioli, mengatakan, "Jangan naif. Politik di Argentina bukan persoalan yang mudah." Kediktatoran Argentina adalah warisan gelap negara. (AFP/AFP/REUTERS)

Sumber: Kompas, 17 Maret 2013

Menuntun Warga Toraja selama Seabad

BUDAYA TORAJA

Eksistensi Kristen di Tengah "Aluk Todolo"

Di tengah siang yang terik, Peter Tandi Pole (40) rela berdiri dalam bak truk bersama rombongan kerabatnya dari Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan. Setiba di Kabupaten Tana Toraja, yang berjarak 73 kilometer, ia berbaur dengan ribuan warga yang memadati pusat kota Makale. Mereka larut dalam sukacita memperingati 100 tahun Injil masuk Toraja, Sabtu (16/3) lalu.

"Kami bersyukur. Ajaran agama Kristen telah menuntun warga Toraja selama seabad," ujar Peter, yang datang bersama 20 saudaranya. Rasa syukur mereka tunjukkan dengan karnaval berkeliling kota Makale sambil mengenakan sejumlah atribut khas Toraja, seperti kain bermotif garis vertikal dan alat musik bambu. Replika dari ornamen gereja pun turut diarak.

Pawai dimulai pukul 14.00 dan berlangsung selama 3,5 jam. Memasuki malam hari, ribuan obor menerangi Makale yang gelap gulita selama lima menit. Suasana hening. Sejumlah pendeta mengajak warga merenung dan menghayati Injil sebagai pembawa terang, seperti obor.

Lewati kekacauan

Bagi AJ Anggui, pendeta dan tokoh masyarakat, warga Toraja patut mensyukuri masuknya agama Kristen satu abad silam. Kekacauan akibat perang antarwarga yang berebut lahan kopi pada periode 1850-1900 berakhir setelah Belanda hadir di dataran tinggi Sulsel itu. Pemerintah Hindia-Belanda mendirikan sekolah pada 1908 dan mendatangkan guru dari Ambon, Minahasa, serta Timor. Pendidikan perlahan-lahan mengubah pola pikir masyarakat Toraja.

"Waktu itu ada guru yang berinisiatif mengajarkan agama Kristen di luar jam sekolah. Ternyata respons dari masyarakat Toraja positif," ujar Anggui. Pada 16 Maret 1913, pendeta Belanda Johannes Kelling membaptis 20 tokoh masyarakat. Prosesi itu secara resmi menandai masuknya ajaran agama Kristen di Toraja.

Jauh sebelum mengenal agama Kristen, masyarakat Toraja menganut "Aluk Todolo". Kepercayaan warisan leluhur itu memandang siklus hidup manusia yang kelak kembali ke langit setelah melalui transformasi. Persembahan kerbau dan babi dalam ritual Rambu Solo' (dukacita) dan Rambu Tuka (sukacita) berfungsi sebagai media arwah bertransformasi ke dalam wujud dewa sekaligus bekal menuju Puya (surga).

Menurut Ketua Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja Musa Salusu, ajaran Kristen memandang daging hewan persembahan sebagai aspek sosial. Daging dibagikan kepada sesama dengan semangat cinta kasih.

"Meski pada dasarnya bertentangan, ajaran Kristen berupaya menyesuaikan diri dengan budaya yang mengakar di masyarakat. Itu sebabnya, ajaran Aluk Todolo dan Kristen bisa beriringan selama satu abad," ungkapnya lagi.

Meskipun kini 90 persen dari 251.000 warga Toraja memeluk agama Kristen Protestan dan Katolik, nilai-nilai Kristiani belum mengakar kuat. Tradisi luhur Aluk Todolo tetap digelar, menjadi ajang aktualisasi diri. Banyak keluarga dari kalangan berada menggelar ritual Rambu Solo' dan Rambu Tuka secara berlebih. Mereka mempersembahkan ratusan kerbau dan babi yang menelan biaya miliaran rupiah. Hal itu menyimpang dari ajaran agama Kristen dan petuah leluhur yang membatasi jumlah hewan persembahan, yaitu maksimal 24 ekor.

Bagi Musa, kondisi itu menjadi tantangan terbesar kalangan gereja di Toraja. Hingga kini pendeta terus-menerus mengingatkan masyarakat agar menjalani ritual itu dengan berpijak pada kemaslahatan sesama.

"Dalam ceramah gereja, kami juga sering kali mengimbau agar materi berlimpah hendaknya dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau membantu sesama yang kekurangan," ungkap Musa.

Pedoman gereja itu rupanya mampu mengetuk hati sejumlah bangsawan Toraja untuk menghindari pelaksanaan ritual secara besar-besaran. Jonathan L Parapak, misalnya, menggelar upacara adat Rambu Solo' secara sederhana saat ibundanya meninggal di Desa Labo, Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara, 10 tahun lalu.

Ia membeli 10 ekor kerbau belang (kerbau terbaik yang biasa disebut tedong bonga) yang disumbangkan pada gereja, kelompok masyarakat, dan sekolah. Kerbau senilai lebih dari Rp 3 miliar itu dijual untuk membantu warga miskin, membangun infrastruktur jalan di pedesaan, dan memperbaiki gedung sekolah.

Jumlah kerbau yang disembelih sekadar memenuhi kebutuhan makan tamu undangan. "Hal itu kami lakukan atas kesepakatan seluruh anggota keluarga," ujar Jonathan, yang menjabat Rektor Universitas Pelita Harapan. Sejak 2008, ia juga memberi beasiswa kepada 50 siswa SMA di Toraja setiap tahun untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Dalam lima tahun terakhir, jumlah bangsawan yang mengikuti jejak Jonathan terus bertambah. Ada keluarga Frederick Lande, Ismerda Lebang, Pius Tollong, dan Deka Paranoan.

Jonathan memandang, keteladanan tokoh masyarakat itulah yang membuat agama Kristen tetap eksis di tengah akar budaya Aluk Todolo. Meski cara pandang keduanya berbeda, inkulturasi membuat agama dan budaya dapat seiring sejalan. Itu menjadi warisan berharga bagi generasi muda Toraja di milenium kedua.(ASWIN RIZAL H)

Sumber: Kompas, 18 Maret 2013

Mar 11, 2013

Mengembalikan Tugas

Gereja yang pertama-tama adalah persekutuan iman...


VATIKAN

Bisikan dari Langit

Oleh Trias Kuncahyono

Siapa yang akan menduduki Takhta Vatikan? Pertanyaan itu kembali muncul ketika 115 kardinal, Selasa (12/3), beriringan masuk Kapel Sistina di Vatikan untuk memulai konklaf. Inilah konklaf yang "terpaksa" dilakukan karena Paus Benediktus XVI (sekarang Paus Emeritus Benediktus XVI) "mengembalikan tugas kepada Gereja", 28 Februari lalu.

"Mengembalikan tugas" adalah istilah religius, yang dalam bahasa politik disebut pengunduran diri, "lengser", atau "turun takhta". Disebut "mengembalikan tugas" karena saat Kardinal Joseph Ratzinger dipilih sebagai Paus pada konklaf, 19 April 2005, ia "menerima tugas" tahbisan menjadi pemimpin Gereja Katolik sedunia. Sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, ia memiliki dua tugas utama: tugas rohani dan tugas publik, yakni sebagai pemimpin negara Vatikan.

Status Paus sebagai pemimpin negara ditegaskan dalam Perjanjian Latheran. Perjanjian itu ditandatangani pada 11 Februari 1929 oleh Benito Mussolini (pemimpin Italia) dan Sekretaris Negara (Perdana Menteri) Vatikan Kardinal Pietro Gasparri. Isi perjanjian itu—antara lain mengakui Vatikan sebagai negara merdeka berdaulat seluas 44 hektar—ditegaskan dalam Konstitusi Italia (1948).

Itulah sebabnya konklaf pun sering dilihat sebagai peristiwa politik: memilih seorang pemimpin negara. Sangat wajar kalau menjelang konklaf kemudian muncul sejumlah kardinal yang diunggulkan, yang difavoritkan menjadi Paus. Tentu pengunggulan ini (tidak resmi karena Vatikan tidak pernah mengunggulkan atau mencalonkan seorang kardinal sebagai calon Paus) dikaitkan dengan kondisi dan perkembangan zaman, yang dilihat akan atau sedang dihadapi oleh Gereja Katolik.

Sebut saja persoalan besar yang dihadapi Gereja saat ini, misalnya, sekularisasi yang terjadi di banyak negara, perkawinan sejenis, memperbolehkan aborsi, dan bagaimana membangun atau lebih tepatnya meningkatkan hubungan antar-agama, mengikis kemiskinan, menegakkan perdamaian, dan lain sebagainya.

Dari sinilah muncul sejumlah nama kardinal yang dinilai oleh "dunia di luar Vatikan" atau di luar "prinsip dasar sebuah konklaf" sebagai yang paling pas dan cocok menduduki Takhta Vatikan. Ada kardinal dari Amerika Latin, 40 persen dari 1,2 miliar umat Katolik berada di benua itu; ada kardinal dari Afrika karena dipandang sebagai ladang yang subur; ada pula dari Asia dan Amerika Utara. Ada pula yang berpendapat, ini saatnya dipilih seorang Paus non-Eropa, sebagaimana yang terjadi selama ini.

Satu hal yang perlu dicatat, dalam Gereja tidak ada Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin. Gereja adalah satu dan universal. Jadi, siapa pun kardinal yang terpilih tak mewakili wilayah atau kawasan. Ia pemimpin Gereja. Yang jelas adalah ada banyak calon Paus masuk ke Kapel Sistina, tetapi hanya akan ada satu Paus yang keluar dari Kapel Sistina.

Hal lain yang perlu dicatat: Gereja yang pertama-tama adalah persekutuan iman dan setelah itu baru sesuatu yang berurusan dengan politik. Karena itu, "bisikan dari langit" tetap menjadi penentu utama dalam sebuah konklaf. Siapa pun yang terpilih akan menjadi bagian dari sejarah baru: dalam zaman modern Gereja memiliki dua Paus meskipun yang satu sudah emeritus.

Sumber: Kompas, 11 Maret 2013

Dikunci dalam suatu Ruangan

Anybody can be Pope; the proof of this is that I have become one. - Pope John XXIII (1881-1963)
 

VATIKAN

Suara dari Balkon

Trias Kuncahyono

Viterbo adalah sebuah kota kuno di Italia tengah. Kota yang terletak 80 kilometer sebelah utara Roma ini dibangun sekitar abad XI dan XII serta masuk wilayah Lazio.

Andai kata Paus Clemens IV tidak meninggal di Viterbo pada 29 November 1268, barangkali kota itu tidak seterkenal sekarang atau tidak selalu disebut menjelang pemilihan Paus baru. Dan, Viterbo hanya akan dikenal sebagai kota pertanian, penghasil tembikar, marmer, dan kayu.

Cerita jadi lain setelah Paus Clemens IV meninggal di kota itu. Dahulu, ada kebiasaan pemilihan seorang Paus dilakukan di tempat Paus meninggal. Karena Paus Clemens IV meninggal di Viterbo, pemilihan Paus pun dilakukan di kota itu.

Sejarah pun tercatat di Viterbo karena pemilihan Paus di kota ini tercatat sebagai pemilihan Paus terlama sepanjang sejarah Gereja, yakni dari November 1268 hingga 1 September 1271! Mengapa? Ini karena terjadi persaingan politik di antara para kardinal, yang saat itu jumlahnya hanya 15 orang.

Karena begitu lama Takhta Suci kosong, sede vacante, umat tidak sabar lagi. Mereka lalu mengurung kardinal di suatu ruangan terkunci agar tidak terpengaruh dunia luar. Dari saat itulah muncul istilah konklaf, yang berasal dari kata Latin: con (dengan) dan clave (kunci). Arti lurusnya, dengan kunci atau dikunci dalam suatu ruangan. Dan, terpilihlah Paus Gregorius X, yang mengesahkan pemilihan Paus di dalam suatu ruangan terkunci dan yang dari waktu ke waktu disempurnakan.

Apa yang terjadi di dalam ruangan terkunci itu? Hanya para kardinal yang tahu. Tidak seorang pun bisa meramalkan secara jitu bahwa "kardinal X" akan menjadi Paus menggantikan Paus Benediktus XVI yang mundur akhir bulan lalu. Karena itu, selalu muncul istilah: masuk sebagai kardinal, keluar sebagai Paus. Meskipun demikian, sekarang sudah bermunculan sejumlah nama kardinal yang diunggulkan.

Ada suara, inilah saatnya dipilih Paus non-Eropa—jantung kekatolikan era 1900-an yang sekarang mengalami kebangkrutan misioner. Sementara di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Amerika Utara melonjak tajam. Lebih dari 60 persen umat Katolik dunia berada di dunia berkembang. Karena itu, lebih pas kalau Paus baru nanti berasal bukan dari Eropa sehingga benar-benar memahami persoalan yang dihadapi Gereja pada zaman kini dan pada masa depan, yang begitu berat dan rumit.

Itu salah satu pendapat. Boleh dan sah-sah saja. Kalau ada keinginan Paus mendatang berasal dari Amerika Latin, misalnya, hal itu sangat masuk akal. Sebab, 42 persen dari sekitar 1,2 miliar umat Katolik ada di kawasan itu; sementara di Eropa hanya 24 persen. Akan tetapi, dari 117 kardinal elektor, yang berasal dari Amerika Latin hanya 19 orang, sedangkan dari Eropa 60 orang, Afrika (11), Amerika Utara (16), Asia (10), dan Oceania (1).

Akan tetapi, apakah "Obama moment", munculnya seorang presiden berkulit hitam di Amerika Serikat, tak akan berembus di dalam Kapel Sistina, tempat konklaf dilakukan? Satu hal yang pasti, pemilihan seorang Paus bukanlah momen politik layaknya pemilihan seorang presiden meskipun nantinya pemimpin baru umat Katolik sedunia, yang juga uskup Roma, akan menjadi pemimpin negara Vatikan.

Pada tahun 2005, uskup Roma yang baru menjelaskan mengapa ia memilih nama Benediktus XVI (St Benediktus ikut berperan menyebarkan Kristianitas di Eropa, dan Benediktus XV adalah Paus pada zaman Perang Dunia I). Ia ingin membangun kembali Kristianitas di Eropa yang turun, mengikuti jejak St Benediktus. Barangkali para kardinal yang ikut konklaf memiliki pertimbangan seperti itu dalam memilih Paus. Kita hanya bisa menunggu sampai nanti dari balkon Vatikan muncul pengumuman, "Habemus Papam (Kita sudah punya Bapa Suci)."

Sumber: Kompas, 7 Maret 2013