Dec 28, 2010

Katong Samua Basudara

...ini pake 'katong', bukan 'torang'...  :)
 
SOLIDARITAS
"Katong Samua (Masih) Basudara"
Kamis, 23 Desember 2010
KOMPAS/RENY SRI AYU
Patung Christina Tiahahu yang dipasang di ketinggian, di samping Gedung DPRD Provinsi Maluku danmenghadap Kota Ambon yang berada di tepi Teluk Ambon, adalah salah satu simbol kota ini, Rabu (22/12). Saat ini, Kota Ambon terus berbenah dan bangkit setelah dilanda konflik horizontal beberapa tahun lalu.

Reny Sri Ayu dan Ponco Anggoro

"Bagi kami, setiap hari adalah hari raya. Hubungan kami bukan hanya karena ada hari raya, tapi hubungan persaudaraan yang mendalam, tanpa keterpaksaan dan tidak dibatasi kepercayaan, agama, atau apa pun," kata John Sahalessy.

John berteman dengan semua orang di Desa Wayame, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon. Selasa (21/12) siang, silih berganti tetangga John datang membawa bingkisan. Sama persis seperti John yang selalu membawakan bingkisan kalau teman-temannya merayakan Idul Fitri. John juga selalu mengundang mereka untuk acara Natal bersama di Gereja Pniel, tempatnya bekerja sebagai pendeta.

Memang tak semua warga Wayame merayakan Natal. Namun, semua ikut menyambutnya.

Menjelang perayaan Natal bersama 24 Desember, warga bekerja bersama. "Biasa memang kita bantu-bantu kalau tetangga mau Natalan. Biasa kalau mau Natal unit, anak-anak muda ikut bantu pasang tenda, kursi, bersih-bersih, dan bikin kue," kata Rusnawaty (25).

Rumah ayah Rusnawaty, Ali Minangkabau, bersebelahan dengan rumah Margaretha Durenge (50), tepat di depan Masjid Daarun Na'im. Bertetangga sejak kecil, Rusnawaty sudah menganggap Margaretha sebagai ibunya sendiri. Sejak ibu Rusnawaty meninggal, Margarethalah yang menjaga Rusnawaty dan adik-adiknya. Akmil Durenge (20), putra bungsu Margaretha, dianggap Rusnawaty sebagai saudara kandungnya. Akmil juga akrab dengan pemuda-pemuda di desanya. Ia bahkan sering diajak berkeliling membangunkan warga untuk sahur.

Kebersamaan dan persaudaraan di Wayame tidak bisa dirasakan di seluruh wilayah di kota Ambon. Ambon memang telah damai dan aman. Namun, persaudaraan dan kebersamaan antara kerabat, saudara, teman, sahabat, tetangga, dan kenalan yang beragama Kristen dan Muslim hilang. Bahkan, kini terjadi segregasi permukiman warga Kristen dan Muslim. "Dulu sebelum konflik kami masih punya tetangga Muslim. Setelah konflik, mereka tak lagi tinggal di sini. Rumah mereka jual. Saudara kami yang bertetangga dengan Muslim juga pindah," kata Hisky Lolokari (60), warga Kelurahan Waihoka, Kecamatan Sirimau, yang juga Ketua Pengurus Keluarga Maray di Ambon.

Ivon van Roem (40) dan Dani (43), warga Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, menceritakan hal yang sama. Kendati dalam keseharian mereka tetap saling menyapa, hubungan belum kembali setulus dulu. Ada rasa waswas dan khawatir apa yang dilakukan atau dikatakan akan menimbulkan salah paham.

Hisky, Lukas, Ivon, dan ribuan warga Ambon lainnya merindukan kebersamaan. Modal untuk kembali ke impian itu masih ada, yaitu lewat Pela Gandong, yang merupakan ikatan kekerabatan yang dibangun oleh para leluhur atas sumpah persaudaraan dan garis darah yang berbeda agama.

Willem Pariama, Wakil Sekretaris Sinode Gereja Protestan Maluku yang juga tokoh masyarakat Maluku, mengatakan, Pela Gandonglah yang menjadi akar yang bisa mempersatukan warga Maluku secara keseluruhan yang pernah tercerai-berai oleh konflik.

"Perbedaan agama dan kepercayaan hanya sebatas pagar halaman masjid atau gereja. Keluar dari pagar rumah ibadah, kami semua sama dan satu, warga negara Indonesia yang hidup di tanah yang sama dan berasal dari leluhur yang sama," kata John Sahalessy.

Pela Gandong bukan sekadar warisan masa lalu. Saat ini, masyarakat Maluku perlu mengaktualisasikan Pela Gandong dan menempatkannya dalam konteks yang lebih modern, ditambah dengan semangat nasionalisme. Kita pasti masih bisa berharap karena sesungguhnya katong samua basudara!

Sumber: Kompas, 23 Des 10

Dec 17, 2010

The lostness of meaning

Modern greetings send mixed messages

 
Two women rush to give each other a big hug, simultaneously uttering the greeting, ""Minal aidin, ya!""

And their shared response comes almost in unison, ""Sama-sama"" (You, too!).

Minal aidin wal faidzin actually means "from the battle and with victory". This expresses the victory achieved by Muslims after fighting hunger, thirst and temptation during the fasting month of Ramadhan. Most people here mistakenly use it as though it means "mohon maaf lahir dan bathin" (forgive me wholeheartedly).

It's not the only greeting that is garbled in the way we use it.

Another one that is usually used in the wrong way is "dirgahayu", which literally means "long life!". It is usually uttered on anniversaries to wish that someone, or an institution, a long future; "Dirgahayu Indonesia" is an expression to wish this country survives.

But look at the banners posted to welcome Independence Day or Jakarta's anniversary. This expression is printed in various forms. "Dirgahayu Indonesia ke-55" (Long live 55-year old Indonesia) or "Dirgahayu ulang tahun RI ke-55" (Long live the 55th anniversary of the Republic of Indonesia) are the most common greetings on the banners in front of buildings or on pedestrian bridges. When you think about it, both are wrong.

I was recently annoyed by the number of e-mails in my inbox, some containing Idul Fitri greetings and others expressing Christmas wishes. Those greetings came not only from my friends and relatives, but also from those with whom I have never crossed paths.

Not that I dislike greetings -- I love it when people wish me happiness. But, come on, nobody celebrates both religious holidays, and receiving greetings from someone you don't know just leaves you feeling uncomfortable.

"That's what modernity has done," commented Dave, my American colleague who also received some Idul Fitri greetings in his inbox. Nowadays people are too busy to buy cards and write the addresses of friends and relatives personally.

They leave that job to the machines. All they do is forward each greeting they receive to all addresses listed in their folders without bothering to select which greeting should go to whom.

I recall the old times before the Internet and e-mail were invented. One month before the holidays, I used to start shopping for gifts and cards. I would write the addresses and sign the cards personally. And, when I received cards, I checked them carefully and excitedly. I even kept the cards for years. It brought such loving memories.

Marianne Parasiuk, a reader living in Australia, once expressed her feeling about Christmas cards.

"Sending cards might be an ancient thing to do, what with the invention of modern means of communications such as the telephone, the Internet, SMS and all that. But cards carry a lot of messages. It is an exciting process, selecting, buying, writing and sending."

Sending greetings by e-mail, however, is more convenient than sending cards today. And it saves on costs. You do not have to waste time going to the stores, selecting a big pile of cards, and spending a handsome amount of money.

"It is also environmentally friendly," says Anthony Sumampouw, an expert in information technology. "If everyone in the world sent e-cards instead of conventional cards we would save a tremendous amount of paper and, in turn, save tropical forests. From the Internet, you can download greeting cards free of charge. And, sending it is easier. Within seconds, the greeting will arrive at its destination in good shape."

"In good shape?" snorted Miana in response. "I do not open all the e-cards I receive as they cause me trouble. Most of them come in large documents that exceed your storage capacity. And it takes a long time to download them one by one, especially if you don't have a direct connection. Think about the phone bills you have to pay. So, I usually delete them without opening. I know the content anyway."

So, modernity is not all magic. A new means of sending greetings should be invented. Something that is convenient, but also has a personal touch and is environmentally friendly. Anyone who comes up with a solution to this idea is sure to have his or her future made.

 
-- Carl Chairul
 
 

Dec 5, 2010

Kiat Membaca Buku Tebal

Speed reading is indeed a skill to die for...


Membaca Cepat Itu Penting
Minggu, 5 Desember 2010 | 03:39 WIB

Murid yang pandai di sekolah pasti karena rajin membaca. Mereka rajin membaca buku-buku pelajarannya.

Selain itu, mereka juga suka membaca buku-buku di luar pelajaran. Tentu saja buku-buku yang bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan, dan yang pasti ada hubungannya secara tak langsung dengan pelajaran di sekolah.

Karena itu, membaca adalah sangat penting. Masalahnya, selain suka membaca adalah mencari cara agar kita dapat membaca dengan cepat. Masih banyak buku yang belum kita baca masih berderet menunggu giliran.

Di bawah ini ada beberapa kiat agar kita dapat membaca cepat dan menguasai bahan bacaan dalam waktu singkat:

Biasakan berdoa sebelum membaca. Berdoa ini penting agar niat kita membaca buku untuk menambah ilmu pengetahuan dapat tercapai.

Apabila kita sudah berniat perlu konsentrasi. Tanpa konsentrasi, sulit bagi kita untuk dapat menyerap isi bacaan. Untuk itu buatlah suasana tempat membaca dalam keadaan tenang, sehingga tanpa gangguan apa pun.

Kebiasaan membaca dengan bersuara justru mengurangi konsentrasi karena perhatian kita terganggu oleh suara kita sendiri.

Dengan tanpa suara, maka mata, hati, dan pikiran dapat tertuju sepenuhnya pada apa yang kita baca. Isi bacaan dapat langsung masuk ke dalam otak.

Salah satu penyebab lambatnya kita membaca karena kita membaca kata demi kata. Biasakan membaca kalimat per kalimat, karena setiap kalimat mengandung suatu pengertian yang utuh.

Bagi kita yang sedang belajar bahasa asing, hal ini justru menjadi kebiasaan yang baik. Karena apabila kita hanya terpaku pada satu kata yang tidak kita mengerti, akan menghambat proses bacaan selanjutnya.

Cara ini juga akan mempercepat kemahiran bahasa, baik yang kita pakai sehari-hari maupun bahasa asing yang baru dipelajari.

Membaca sudah pasti dengan mata, tetapi ada sebagian dari kita yang mempunyai kebiasaan membaca sembari jari tangan diletakkan di atas kata-kata yang kita baca.

Penggunaan jari tangan atau alat lain yang semula dimaksudkan untuk mempermudah kita membaca, justru akan mengganggu proses membaca itu sendiri.

Biarkanlah mata kita berjalan sendiri mengikuti arah huruf.

Membuat catatan ringkas tentang apa yang kita baca berguna untuk mempermudah mengingat kembali. Hal ini juga bisa dibantu dengan melihat ulang daftar isi.

Mungkin ada bagian yang kurang kita pahami atau cepat lupa. Bagian tersebut dapat dibaca ulang sehingga kita akan lebih memahami apa yang baru dibaca.

Membaca cepat perlu banyak latihan. Baik waktu belajar di sekolah, di rumah, maupun di luar waktu pelajaran.

Kita dapat mempergunakan cara ini dengan sebaik-baiknya untuk melatih diri membaca cepat.

Semakin terlatih akan semakin ringan tugas-tugas kita membaca buku, baik pelajaran sekolah maupun bacaan tambahan. 

Jangan Takut Buku Tebal

Semakin kita bertambah usia, dari anak-anak ke masa remaja, apalagi setelah menginjak dewasa, pasti beban bacaan akan semakin berat. Akan tetapi, kita tidak perlu takut apabila suatu ketika nanti akan dihadang oleh buku-buku tebal yang wajib di- baca. Di perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum lazim terdapat deretan buku-buku tebal.

Kita juga tidak perlu khawatir apabila kita sudah membiasakan diri membaca cepat. Jadi kita tidak perlu kagum lagi apabila melihat orang-orang pandai yang kaya ilmu menekuni buku-buku tebal karena mereka sudah tahu kiatnya membaca dengan cepat.

Selain itu, kita juga perlu memilih buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan usia. Semakin banyak buku yang kita miliki di rumah, kita akan semakin bangga di depan teman-teman sekolah.

Apabila sebagian buku tidak sempat kita beli, perpustakaan di sekolah atau perpustakaan umum dapat kita manfaatkan sebaik-baiknya.

Marilah mulai sekarang kita jadikan membaca cepat sebagai kebiasaan yang positif. 

Pramudito, Penulis Lepas Tinggal di Depok, Jawa Barat

Sumber: Kompas, 5 Dec 10

Kwik Ing Hoo - Ilustrator Wiro, Anak Rimba Indonesia

Wiro dan Sindrom Kolonial
Minggu, 5 Desember 2010 | 03:55 WIB
1956 BY KWIK ING HOO

Seno Gumira Ajidarma

Kwik Ing Hoo meninggalkan dunia ini pada Minggu 28 November setelah mencapai usia 89 tahun. Para pelayat di rumah duka Dharma Agung, Teluk Buyung, Bekasi, pada hari itu kemungkinan besar hanya mengenalnya sebagai seorang Rahmat Junus, ayahanda Toni Junus, dan bukan ilustrator komik Wiro, Anak Rimba Indonesia, yang digubahnya bersama Lie Djoen Liem sebagai penulis teks, yang telah pindah ke Amerika Serikat. Padahal, Wiro adalah komik Indonesia yang monumental. Ada selapis generasi di Indonesia, yang pada masa kecilnya di tahun '50-'60-an begitu bangga berkalung katapel sembari berayun dari dahan ke dahan, tiada lain karena membaca Wiro.

Komik seri Wiro yang terbit dalam sepuluh jilid sejak tahun 1956 adalah komik Indonesia yang paling unik, paling terkenal, dan paling penting di antara para "Tarzan lokal" karena keberhasilannya membumikan karakter Tarzan ke dalam sebuah konteks Indonesia. Dengan pengakuan terbuka di dalam naratif atas sumber inspirasinya, yakni komik dan film-film tentang Tarzan dari Amerika Serikat, Wiro bahkan seperti membalikkan sudut pandang "meniru" itu dengan pembukaan: berbagai surat kabar "di seluruh dunia", seperti Herald, World Gazette, Saturday Post, dan Morning Post, memberitakan ditemukannya Wiro, yang film tentang dirinya itu, Wiro, The Jungle Boy, diputar di bioskop Rex, Luxor, ataupun Capitol.

Bioskop itu tentulah maksudnya berada di Amerika Serikat, dan film itu tentulah sebuah film dokumenter produksi The American Motion Picture Coy, hasil pekerjaan Dr Watson, yang bersama Miss Lana, seorang ahli serangga, melakukan perjalanan keluar-masuk rimba raya Indonesia. Mereka nyaris terbunuh ketika ditawan "gerombolan orang-orang liar" di dalam hutan Sumatera Utara jika tidak diselamatkan Wiro, yang kemudian bergabung untuk menjelajahi rimba seperti cita-citanya. Ya, Wiro adalah seorang murid sekolah dasar yang kurang bagus prestasinya di kelas, tetapi akrab dengan binatang, hebat dalam olahraga, dan selalu membaca komik-komik Tarzan di bawah sinar lampu tempel sampai jauh malam.

"Mungkinkah aku berhadapan dengan Tarzan? Siapakah dikau adanya," tanya Dr Watson ketika ikatan tangannya dibuka Wiro.

"Aku bukan Tarzan, tetapi …. Wiro anak Indonesia," jawab Wiro dengan tenang.

Prasangka rasis dan eksotisisme 

Berbeda dengan pendahulunya, Tarzan of the Apes karya Edgar-Rice Burroughs pada 1912 yang tidak luput dari prasangka rasis, bahwa orang kulit putih lebih superior dibandingkan dengan orang kulit hitam, maka keberadaan Wiro sebagai anak Indonesia yang menggantikan posisi Tarzan jelas mengubah oposisi tersebut, karena dalam perubahan dari wacana kolonial menuju wacana pascakolonial memang tampak berlangsung politik identitasnya sendiri dalam proses pelepasan ikatan dari sindrom kolonial.

Dalam proses, prasangka tidak langsung menghilang. Jika Tarzan adalah bayi manusia yang dirawat kera, maka Wiro meninggalkan rumah dan masuk hutan setelah mengalami tindak kekerasan dari ayah tirinya. Melalui pengembaraannya di dalam hutan, para penggubah komik ini berpeluang menampilkan segenap fauna dengan semangat majalah National Geographic (meski terdapatnya badak di Papua tentu menimbulkan tanda tanya), yakni memperkenalkannya sebagai bagian dari keindahan alam ataupun hukum rimba, yang terpaksa dicampuri Wiro ketika mendapatkan sahabat-sahabatnya: Tesar, harimau yang terjebak akar; Kongga, induk orangutan yang anaknya diselamatkan Wiro dari sambaran ular; dan Sambo, gajah sumatera yang ditolongnya setelah tertimpa batu besar. Adapun monyet kecil Kala, didapatkan Wiro pertama kali sebelum masuk hutan, karena memang dijual di pasar. Demikianlah Wiro menjadi komik Tarzan yang Indonesia sentris.

Dalam jenis ilustrasi naratif alias komik tanpa balon, teks dan gambar tampak cocok, seperti ada kerja sama yang saling menanggapi, sehingga bagaikan tiada bagian gambar yang tidak dijelaskan. Segala kewajaran yang membuat pembacaan tidak terganggu, menunjukkan keterampilan tinggi yang tidak begitu mudah ditandingi, yang tentu juga menunjuk kepada tingkat keahlian Kwik Ing Hoo sebagai ilustrator yang tidak dapat pula diingkari. Namun, justru terhadap "kewajaran" sebagai wacana, pendekatan realisme yang meyakinkan sebagai "kenyataan" ini, harus dilakukan sikap kritis.

Posisi Dr Watson dan Miss Lana, misalnya, jelas tetap teracu kepada wacana kolonial, dalam oposisi biner klasik bahwa kulit putih superior dan dalam Wiro ini "pribumi" tetap inferior; seperti ditunjukkan dalam berbagai bentuk: teknologi kamera, buku-buku ilmu pengetahuan, arsenal senapan dan tank, para portir yang mirip "jongos" (selalu berpeci), dan apalagi penggambaran suku-suku di pedalaman ataupun di pantai, yang lebih teracu kepada eksotisisme dalam komik dan film Tarzan dari Hollywood daripada suku-suku di pedalaman Indonesia itu sendiri.

Apabila kemudian rombongan ini lantas "membasmi" sisa serdadu Jepang di Papua, semakin jelas dalam wacana pascakolonial ini pun posisi superior kulit putih tidak tergoyahkan. Masalahnya, bagaimana dengan posisi Wiro sebagai protagonis? Tidakkah Wiro bisa dianggap berada dalam posisi yang tidak lagi inferior berhadapan Dr Watson dan Miss Lana? Sejumlah kajian di lingkungan akademik tentang komik Wiro, berdasarkan penanda bahwa Wiro makan daging babi hutan, membagikan dan menjualnya kepada penduduk kampung yang tidak menolaknya, dan ketika melewati kota selalu terlihat pula arsitektur bangunan kelompok etnik Tionghoa, menyatakan bahwa Wiro berasal dari kelompok etnik tersebut.

Namun, pembuktian semacam itu belum cukup karena rumah dan kampung halaman Wiro sendiri tidak memperlihatkan penanda yang terarah ke sana. Betapa pun, karena Wiro pasti juga bukan bagian dari suku-suku pedalaman atau pantai, mungkinkah karena itu sahih sebagai representasi karakter Indonesia? Pada tahun 1956, baru 11 tahun dari proklamasi 1945, dari para penggubah berlatar etnik Tionghoa, sebuah proyek identitas setelah runtuhnya bentuk tradisional atas identitas akibat modernitas, setidaknya telah menyumbangkan salah satu sumber alternatif bagi konstruksi identitas kebangsaan Indonesia.

SENO GUMIRA AJIDARMA, Wartawan

Nov 29, 2010

Kolektor Pantun & Peribahasa

Muhammad Haji Salleh
Menjejaki Kekayaan Sastra Nusantara
Senin, 29 November 2010 | 03:27 WIB
KOMPAS/KHAERUDIN

KHAERUDIN

Jika ingin melihat betapa bijaknya orang-orang yang tinggal di Nusantara ini memandang alam dan kehidupan, bacalah ribuan pantun dan peribahasa yang tersebar mulai dari semenanjung di Malaysia hingga perairan Laut Sulawesi yang menjadi rumah suku Bajo. Bagi ahli perbandingan sastra Indonesia-Malaysia, Muhammad Haji Salleh, pantun dan peribahasa merupakan khazanah sastra yang tak ada bandingannya di dunia.

Haiku dari Jepang boleh dibilang canggih, tetapi tak seindah dan sekaya pantun. Dalam pantun, ada ajaran agama, filosofi, lagu, ada juga mainannya. Pantun ada dalam banyak suku di Nusantara Raya," ujar Muhammad. Dia mengabdikan hampir separuh hidupnya dalam pencarian berbagai jenis pantun dan peribahasa pada suku bangsa di Malaysia dan Indonesia.

Sesungguhnya, dasar pendidikan kesarjanaan Muhammad adalah Sastra Inggris. Ketika menempuh gelar master dan doktoralnya di University of Michigan, Amerika Serikat, selama kurun 1970-1973, Muhammad merasakan kerinduan kampung halaman setelah meresapi berbagai bentuk pantun dan peribahasa. "Saya ini awalnya sarjana Sastra Inggris, tetapi ketika berada jauh dari kampung halaman, saya merasakan betul betapa eksotisnya sastra negeri sendiri," ujarnya.

Dia sempat mengenyam pendidikan singkat kesusastraan Indonesia di Universitas Indonesia begitu tamat dari Universiti Malaya. Di AS pun Muhammad mengonsentrasikan studi doktoral dalam perbandingan puisi Indonesia-Malaysia. Kecintaan akan segala bentuk karya sastra Nusantara, khususnya puisi, pantun, dan peribahasa, membuat dia bersahabat dengan banyak sastrawan Indonesia. "Saya pernah bertandang ke rumah Rendra saat masih di Solo. Rumahnya ketika itu hanya beralas tanah," kenangnya.

Pemersatu serumpun

Sastra bagi Muhammad menjadi pemersatu Malaysia dan Indonesia sebagai bangsa serumpun di gugusan Nusantara. Meski Malaysia seolah berada terpisah karena terletak di semenanjung, bagian paling tenggara dari daratan Benua Asia, menurut Muhammad, tak ada sempadan atau batas dalam khazanah sastra kedua negara.

Dia mencontohkan, babad atau hikayat Melayu, Sulalat al-Salatin karangan Tun Seri Lanang. Tun sebenarnya adalah bendahara Kesultanan Pahang. Namun, saat Pahang diserang Kesultanan Samudra Pasai, hampir semua bangsawan Melayu Pahang—termasuk Tun—dibawa ke Aceh. Karena kecerdikan Tun, penguasa Aceh menjadikannya penasihat dan diberi wilayah kuasa di Samalanga. "Separuh masa Tun Seri Lanang mengarang Sulalat al Salatin dilakukannya ketika di Samalanga. Jadi, karya itu tak bisa diklaim milik Malaysia semata. Itu karya besar dua bangsa serumpun ini," katanya.

Itulah yang mendorong Muhammad selama 25 tahun lebih mengumpulkan sedikit demi sedikit pantun dan peribahasa yang terserak pada banyak suku bangsa di kepulauan Nusantara. Dia mau bersusah payah datang berkunjung ke Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Muhammad rela menyusuri perairan Sulawesi Tenggara untuk mengoleksi pantun suku Bajo hingga mengumpulkan pantun yang ada pada suku Minahasa di Sulawesi Utara.

Koleksi pantun yang dikumpulkan Muhammad meretas dari Pulau Adang di Thailand hingga Bunaken di Sulawesi Utara. Hasil koleksinya sebagian telah dibukukan.

"Ada tiga buah buku yang telah terbit. Satu buku kira-kira berisi 1.000 pantun. Akan ada empat buku pantun lagi yang menyusul terbit," ujarnya. Dia mengumpulkan semua jenis pantun, dari pantun peranakan hingga pantun orang asli (suku asli di Malaysia). Dia juga mengoleksi pantun dari Pulau Adang hingga Bunaken. Ada sekitar 30 ragam daerah Nusantara yang memiliki koleksi pantun.

Muhammad juga tekun mengumpulkan peribahasa, bentuk sastra Nusantara lain yang tak kalah elok dan kaya akan ilmu kehidupan. Muhammad memilah peribahasa dalam 21 kategori yang berhubungan dengan ilmu dan pekerjaan, sikap manusia terhadap ilmu, hingga fungsi ilmu dalam masyarakat. Satu kesimpulan Muhammad setelah mengoleksi tak kurang dari 8.000 peribahasa adalah orang Melayu, dan banyak suku bangsa lain di Nusantara, tidak hanya menjadikan ilmu dan pekerjaan sebagai pusat hidup, tetapi juga merenungkan bagaimana ilmu dan pekerjaan dibuat sebagai solusi menyelesaikan masalah.

Muhammad mencontohkan peribahasa dari Brunei yang mengajarkan betapa manusia harus cukup ilmu jika ingin berhasil, "mun (jikalau) rotan panjang sejengkal, jangan mendaluh (menduga) lautan dalam".

Peribahasa pula yang menurut Muhammad membuat orang di Nusantara sangat demokratis dalam belajar dan berani berargumentasi meski dengan gurunya sekalipun. Dia mencontohkan peribahasa dari Sumatera Barat, "melawan guru dengan kajinya, melawan mamak dengan adatnya".

Kepandaian suku bangsa di Nusantara ini dalam merangkai kata hingga menjadi karya sastra indah penuh ilmu, menurut Muhammad, karena alamlah yang dijadikan guru. Dia mencontohkan peribahasa Melayu, "kais pagi, makan pagi", yang menggunakan kata untuk binatang (ayam), tetapi dipakai untuk menggambarkan nasib manusia. "Kata kais kan semestinya untuk ayam yang mencari makanan, tetapi itu yang orang lihat setiap hari sehingga dipakai juga untuk manusia," ujarnya.

Pada intinya, lanjut Muhammad, kepandaian berbahasa adalah elemen penting bagi banyak suku bangsa di Nusantara. Pada kasus orang Melayu, kata dia, suasana kosmopolitan di hampir semua bandar Melayu sejak dulu menjadikan orang-orangnya pandai berbahasa.

Meski tak berhubungan secara langsung, ketekunan Muhammad mengoleksi pantun dan peribahasa di Nusantara, baik yang terserak di Malaysia maupun di kepulauan Indonesia, sedikit banyak dipengaruhi oleh keyakinannya bahwa adalah sastra yang mempersatukan dua jiran yang kadang suka "berkelahi" ini. Dan tentu saja, meski berkewarganegaraan Malaysia, Muhammad pun tak lupa kampung sebenarnya nenek moyangnya di Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

"Ayah saya merantau dari Bandar Khalipah ke Pulau Pinang tahun 1920-an. Pada banyak orang yang tinggal di Semenanjung (Malaysia) ataupun di Sumatera, ulang alik seperti yang dilakukan ayah saya lazim adanya," kata Muhammad.

Sumber: Kompas, 29/11/10

Nov 21, 2010

Momen Keajaiban


Dan Tuhan Pun Mendongeng
Minggu, 21 November 2010 

Clara Ng 

Tuhan menciptakan manusia sebab Dia senang mendongeng.

Mendongeng adalah bentuk paling awal dari tradisi oral. Kebanyakan dimulai dari kisah yang dipresentasikan dengan kombinasi gerakan tubuh dan ekspresi wajah. Mendongeng menjadi bagian penting di sebuah masyarakat, bentuk hiburan rakyat yang bisa digabungkan dengan puisi, musik, dan tari-tarian. Dalam perkembangannya, cerita-cerita zaman kuno tersebut diukir, dilukis, disimpan—diharapkan dapat abadi—di batu, tulang, gading, bambu, daun, dan lain-lain. Di zaman sekarang, mendongeng disimpan dalam bentuk kertas dan digital. 

Manusia terlahir untuk menyenangi dongeng, terlebih-lebih anak-anak. "Ceritakan padaku satu kisah" adalah permintaan yang sering diucap oleh siapa saja. Mendongeng adalah bagian yang tak terpisahkan dengan diri manusia sejak masih kecil sampai menjadi besar. Dongeng dapat dengan mudah menerjemahkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, seperti moral, budaya, dan tingkah laku. 

Di tengah kesibukan kaum urban yang semakin tinggi, kehadiran televisi dan benda-benda elektronik lainnya seperti game, handphone, dan iPod dapat menggeser kegiatan mendongeng orangtua kepada anak. Padahal, kemampuan benda-benda tersebut tidak akan berhasil menggantikan kehebatan mendongeng sebagai bagian dari komunikasi antarmanusia yang hangat dan mesra. Ini menjadi hal yang memprihatinkan. Bayangkan bagaimana televisi dapat membuat anak-anak terpaku pada televisi sehingga makan ditelan secepat-cepatnya. Atau meja makan menjadi senyap sebab setiap anak menikmati permainan di game-nya.

Kegiatan "nun jauh di sana..." sepantasnya dijadikan pengikat kuat relasi antar-anggota keluarga untuk melawan hantaman teknologi yang bersifat individual. Anak-anak yang sakit dan harus tinggal di ranjang dapat dihibur dengan didongengkan, bukan diberikan iPad dan dinyalakan televisi. Keluarga berkumpul di meja makan untuk saling bercerita, bukan di depan televisi. 

Mendongeng di Festival Bercerita

Festival Bercerita yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) tanggal 11-14 November menjadi oase kesegaran di antara ratusan keping iklan di mal, koran, dan billboard tentang penjualan barang-barang elektronik yang mempromosikan hiburan bagi manusia-manusia yang kesepian. Festival ini sudah yang kesembilan kalinya diadakan, digagas dan dirintis oleh Dr Murti Bunanta, sosok teguh di balik Kelompok Pencinta Bacaan Anak.

Festival Bercerita IX berlangsung selama lima hari. Program acara diisi penuh dengan agenda mendongeng. Menyaksikan cerita demi cerita yang dipersembahkan oleh anak-anak dan orang dewasa, penonton terpikat. Perhelatan langsung ditujukan pada pokok dan praktiknya, yakni mendongeng, sehingga para peserta bisa merasakan manfaat bagaimana mendongeng dapat menyatukan banyak hati. Lihatlah bagaimana dongeng dapat disampaikan dengan berbagai cara; ada anak usia dua belas tahun yang mendongeng sambil menari dan menyanyi, ada sekelompok anak yang mendongeng dengan berteater, ada Pak Raden yang mendongeng sambil menggambar. 

Kelompok Pencinta Bacaan Anak, sebagai salah satu sponsor dan pendukung utama Festival Bercerita, adalah organisasi nirlaba independen, didirikan pada tahun 1987. Sekarang kiprahnya bukan saja sudah menembus dunia internasional, tetapi juga tetap menjadi pemerhati buku cerita anak-anak serta bekerja untuk menyebarkan kerinduan akan dongeng di semua kota terpencil di Indonesia. 

Teknik mendongeng 

Pada usia berapa kanak-kanak dapat mulai didongengkan? Begitulah pertanyaan yang sering diajukan oleh para orangtua. Jawabannya adalah, "Sesegera mungkin! Semakin cepat semakin baik." Bahkan, orangtua sudah dapat mulai membacakan cerita kepada bayi berusia enam bulan. Tentu saja cerita yang dipilih tidak usah terlalu panjang dan penuh dengan kata yang sulit.

Memilih dongeng adalah faktor terpenting bagi orangtua dan pendidik. Memilih dongeng yang tepat bergantung pada usia anak secara umum. Penting bagi orangtua untuk mencari cerita yang dapat dimengerti anaknya serta sesuai dengan tingkat emosi dan spektrum pengalaman si anak yang bersangkutan.

 Mendongeng dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantuan atau tidak perlu sama sekali. Karena kegiatan bercerita adalah komunikasi dua arah, kontak mata menjadi jembatan penting bagi si pencerita dan yang mendengarkan cerita. Melatih vokalisasi adalah hal prinsipiil agar suara terdengar jernih dan berjiwa. Tetapi, yang terpenting dari semuanya, seorang pendongeng haruslah memiliki rasa percaya diri ketika membawakan kisah. Sebab menjadi pendongeng adalah momen keajaiban—bahkan ketika seorang pendongeng baru saja memulai kalimatnya dengan "Once upon a time...".

 Mungkin Tuhan juga seperti itu ketika Dia menciptakan manusia. 

Clara Ng, Novelis dan Penulis Cerita Anak

Sumber: Kompas, 21/11/2010

Nov 10, 2010

dari burger menuju bakso & nasi goreng

baru tahu ada istilah "leyeh-leyeh"... terdengar lumayan pas dengan artinya. 


continuallyabsorbingnewwords,
EJ


PESAWAT
Obama "Leyeh-leyeh" di Air Force One
Selasa, 9 November 2010 | 15:54 WIB
Wikimedia
Pesawat Boeing VC-25 yang menjadi pesawat resmi Presiden AS.

KOMPAS.com - Tinggal hitungan menit, Air Force One bakal mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, sore ini, Selasa (9/11/2011). Si Tambun yang boleh dibilang masuk dalam kategori gaek ini terbang tiada henti dari India, mengangkut Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan isterinya berikut para staf terkait. 

Sejatinya, Air Force One adalah call sign atawa tanda panggil pengaturan lalu-lintas udara bagi pesawat pengangkut Presiden AS. Jenis pesawatnya bisa bermacam-macam. Sebut saja DC3 buatan McDonald Douglas, Special Air Mission (SAM) 26000, sampai dengan Boeing 747-200B dan VC-25 dengan Special Air Mission 28000 dan 29000. Nah, seri Boeing ini mulai dipakai pada 1990. Makanya, Air Force One sudah layak dikatakan masuk dalam hitungan uzur. Pesawat ini memiliki kecepatan 630 mil atau 1013 km dan mampu menempuh jarak 7.800 mil atau 12.000 km nonstop. 

Catatan dari berbagai sumber yang dikumpulkan kompas.com menunjukkan Air Force One sendiri bisa dibilang sebagai moda transportasi paling megah, aman, komplit, dan canggih. Pesawat ini adalah ujung tombak simbol kedigdayaan AS di udara. Soalnya, di dalam pesawat ini, Presiden AS dan segenap stafnya masih bisa menjalankan tugas sehari-hari. Berbagai piranti di dalamnya bahkan memungkinkan mereka mengendalikan pemerintahan dalam keadaan dunia tengah diguncang perang nuklir. 

Tugas keseharian yang biasa dilakukan di Ruang Oval, Gedung Putih, dikerjakan di Ruang Utama Presidential Suite. Ruangan ini terletak di bagian depan pesawat. Di belakang ruangan ini, ada ruangan yang lebih besar tempat Presiden AS dan para stafnya bisa melakukan rapat. Juga, di pesawat ini, Gedung Putih memperkenankan setiap staf senior presiden memiliki ruang kerja sendiri-sendiri. 

Nah, layaknya kantor kepresidenan, fasilitas kerjanya pun telah disesuaikan dengan bobot dan skala kepentingan para pejabat yang berada di dalamnya.Makanya, Air Force One telah dilengkapi 85 saluran sambungan telepon, radio dua-arah, mesin faksimili, dan jaringan komputer. Sistem telepon yang antisadap dan antijamming, telah diset untuk berhubungan langsung dengan jaringan terestrial. Dengan sistem telekomunikasi yang terhubung satelit ini, presiden dan staf bisa mengontak semua orang di segala penjuru dunia meski pesawat sedang mengawang-awang di ketinggian puluhan ribu kaki. 

Untuk mengetahui perkembangan terkini, Air Force One juga telah dipasangi 19 televisi yang bisa menyiarkan hampir semua kanal televisi dunia. Boleh jadi karena begitu komplitnya peralatan elektronik yang terpasang, sebagian dari berat pesawat adalah berupa kabel. Jeroan pesawat ini terlilit kabel sepanjang 238 mil, dua kali lebih panjang dari kabel yang melilit B747-200 - anjungan standar Air Force One. Begitu pun kabel sepanjang itu bukanlah kabel biasa. Kabel ini telah diberi pelapis khusus sehingga aman dari serangan pulsa elektromagnet (EMP/Electro Magnet Pulse) dan gelombang kejut yang dipancarkan ledakan nuklir. 

Selain itu, di dalamnya juga masih ada ruangan lain yang disediakan khusus untuk para wartawan kepresidenan. Namun, mungkin demi menghindari penyusupan, kelompok yang terakhir ini belakangan sering diterbangkan terpisah. Singkat kata, Air Force One bisa menjadi tempat kerja yang layak bagi 70 pejabat negara berikut ke-26 awak pesawatnya. 

Air Force One, pada dasarnya adalah pesawat tiga tingkat B747-200B yang telah dimodifikasi dengan ruangan seluas total 4.000 kaki persegi. Ruang kerja presiden dan stafnya mendominasi dek tingkat dua. Dek tingkat pertama atau bagian bawah pesawat menjadi ruang kargo dan bagasi. Sementara dek tingkat ketiga atau bagian paling atas, hanya dikhususkan untuk kokpit, lounge, dan ruang komunikasi. 

Mewah 

Sembari "membunuh" waktu demi tiba di tanah air masa kanak-kanaknya, Presiden Obama bisa melakukan banyak hal di dalam Air Force One mulai dari membaca koran atau majalah hingga memberi arahan kepada anak buahnya. 

Di dalam pesawat Air Force One memang tersedia perpustakaan kecil yang menyediakan beberapa film baru. Sambil menanti waktu mendarat tiba, Obama bisa bermain kartu, permainan kesukaannya. 

Banyak kalanga mafhum, Air Force One adalah pesawat mewah seperti hotel bintang lima. Setiap sudut lantai penumpang didesain bak hotel mewah. Ruang khusus presiden, seperti tempat tidur, kamar mandi, dan ruang kerja, didesain dari kayu luks. Tersedia pula beberapa ruang untuk staf dan dua dapur yang melayani kebutuhan 100 penumpang. Pesawat ini juga dilengkapi ruang medis lengkap dengan meja operasi. 

Lalu, kalau pembaca berangkat dari tayangan Youtube tatkala kali pertama naik pesawat ini Februari setahun silam, nyatanya Obama memilih memesan burger. Racikannya adalah, burger yang tidak terlalu matang, berikut keju cheddar, dijon mustard, lettuce, dan tomat. Mungkin, sambil leyeh-leyeh alias bersantai, makan burger, Obama tengah menanti saat menjejakkan kakinya di negeri yang membuatnya "tergila-gila" pada nasi goreng, bakso, dan rambutan.

Sumber: Kompas, 9 Nov 10

Nov 5, 2010

from jahiliyah to madaniyah

Rabu, 03/11/2010 08:40 WIB
Refleksi Kepemimpinan  
Dedy Irawan - detikNews



Jakarta - Betapa sering kita menyaksikan bahwa apa yang disebut dengan kepemimpinan itu ternyata tidaklah bergantung kepada posisi atau jabatan seseorang. Kepala keluarga yang kurang mampu membina anak-anaknya, guru kelas yang tak dipatuhi para siswanya, ketua partai yang imbauannya tak dihiraukan konstituen, pemuka agama yang khutbahnya dianggap angin lalu oleh umat, direktur perusahaan yang setiap hari hanya memarahi dan mengancam anak buah, hingga jenderal yang tak piawai saat memberikan arahan, merupakan berbagai gambaran mengenai fenomena yang jamak ini. Bahkan ada pula kepala negara yang sebelum masa jabatannya berakhir, didesak untuk mengundurkan diri oleh rakyatnya sendiri walau terpilih secara sah konstitusional.
 
Padahal, bukankah semestinya dengan menyandang posisi pimpinan maka seseorang akan lebih mudah dalam memimpin orang lain? Bukankah dengan status yang disandangnya itu maka pengaruh yang diberikan kepada para pengikutnya akan menjadi lebih kuat? Hal ini ternyata tak selalu dapat berjalan demikian karena kepemimpinan itu sendiri tidaklah identik dengan sebuah posisi pimpinan,leadership is not a headship. Albert Einstein, Bunda Teresa, Konosuke Matsushita, Hasyim Asy'ari, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan banyak lagi tokoh pemimpin dunia lainnya di berbagai bidang, menjadi bukti yang nyata bahwa sesungguhnya pengaruh atas orang banyak dapat diperoleh walau tanpa jabatan penting kenegaraan sekalipun. Visi, integritas, keberanian, kepedulian, kebijaksanaan, semangat, komitmen, dan ketulusan, adalah kunci utama keberhasilan mereka di dalam memimpin, achievement of goals through voluntary followership.
 
Para tokoh pemimpin dunia tersebut tidaklah menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Mereka tidak menunggu kaya, populer, atau berkuasa dahulu baru kemudian mewujudkan perubahan. Mereka tidak bersembunyi di menara gading melainkan hadir di tengah masyarakat. Mereka rela berkorban. Mereka memiliki pendirian teguh dan standar etika yang tinggi. Mereka juga para komunikator yang ulung akan pemikirannya. Mereka tekun membangun kapasitas kepemimpinannya dengan menghadapi kesulitan demi kesulitan. Mereka mengambil tanggung jawab untuk berperan semaksimal mungkin semasa hidupnya. Dan dengan menjalani hal-hal antara lain demikianlah, maka secara alamiah para informal leaders akan dapat bertransformasi menjadi paraworld class leaders. Kepemimpinan yang telah mereka bangunpun menjadi lebih lengkap saat mereka pada akhirnya mengemban amanat sebagai pemimpin formal di masyarakat. Hal yang kemudian membuat kisah kepemimpinan mereka menjadi inspirasi sepanjang zaman. Meminjam istilah Paulo Coelho dalam karyanya The Alchemist, mereka telah menuliskan legenda pribadinya sebagai karya dan teladan yang amat bernilai bagi generasi sesudahnya.
 
Walaupun memang tak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan itu sendiri bersifat kontekstual, sehingga pemimpin yang dibutuhkan sebuah organisasi politik akan berbeda dengan organisasi pendidikan, keagamaan, bisnis, militer, kelompok tani, para artis, atau bahkan organisasi mafia, namun sifat dasar kepemimpinan tidaklah jauh berbeda satu dengan yang lainnya. Masyarakat manapun senantiasa membutuhkan sosok pemimpin dan panutan, terlebih lagi dalam menghadapi masa-masa sulit.

Kepemimpinan juga merupakan key success factor dari proses perubahan yang besar. Para pengikutpun akan dengan sukarela mendukung terjadinya suatu perubahan mengikuti kepemimpinan yang kuat. Hal mana yang keberhasilan pengembangannya dalam tinjauan para ahli di berbagai institusi terkemuka, antara lain Harvard University atau McKinsey Inc., tidaklah dibedakan oleh faktor jenis kelamin, IQ, status sosial ekonomi, agama, ataupun ras seseorang. Kepemimpinan yang kuat dapat dijalankan oleh semua orang baik mereka yang berkepribadian ekstrovert maupun introvert.

Kepemimpinan yang kuat pula akan dapat mengendalikan jalannya sistem. Walau tengah berada di dalam sistem yang sudah terbangun secara buruk sekalipun, seorang pemimpin yang kuat tidak akan dengan mudah untuk dapat terpengaruh. Begitupun sebaliknya, seberapapun bagusnya sebuah sistem dalam berbagai bentuk peraturan dan kebijakan yang berfungsi sebagai enabler di masyarakat, jika berada di tangan pemimpin yang tidak kuat, hanyalah merupakan kesia-siaan belaka. Betapa banyak produk UU yang dimiliki oleh suatu negara, namun tak kunjung terasa manfaatnya oleh rakyat bila tak dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang berwenang.

Sedang di tingkat perusahaan seringkali pula kita dengar, bahwa perencanaan strategis yang sangat baik haruslah diikuti dengan eksekusi terhadap pelaksanaannya, yang tak lain adalah kepemimpinan. Bahkan tak jarang pula kita amati bahwa seiring pergantian kepemimpinan, para pengikut kadang kala merindukan sosok pemimpinnya yang terdahulu, karena pemimpin yang saat ini sedang menjabat kurang terasa kepemimpinannya, walaupun dalam hal ini tak ada perubahan aturan main sama sekali. Hal ini tak lain dikarenakan setiap orang memiliki ciri khas kepemimpinannya masing-masing yang memberi dampak dan jejak berbeda kepada para pengikutnya.

Kepemimpinan adalah driver dari sebuah proses perubahan. Kepemimpinanlah yang mampu mengubah zaman jahiliyah menjadi peradaban madaniyah dalam sejarah penyebaran agama. Kepemimpinanlah yang menjadi kunci bagi terciptanya perdamaian atau peperangan dunia. Kepemimpinanlah pula yang dapat menentukan masa depan negara serta organisasi manapun. Dan kepemimpinan pulalah yang mampu menyukseskan penyelamatan fenomenal 33 penambang Chile pertengahan Oktober lalu, baik dari para penambang itu sendiri maupun para tim penyelamat.

Pada hakikatnya, kita semua merupakan pemimpin di muka bumi ini. Sembari terutama saya mengingatkan diri saya sendiri, apapun profesi, job title, serta kesibukan kita sehari-hari saat ini, marilah kita jalankan kepemimpinan kita di semua tingkat kehidupan secara maksimal dan dengan sebaik-baiknya. Apalagi, jika secara struktural formal saat ini diri kita merupakan pimpinan yang menjadi tumpuan harapan bagi begitu banyak orang. Sungguh, tiada seorang pun yang tahu kapan 'saat' yang telah ditentukan itu akan tiba. Namun semoga, jikalau esok pun adalah waktunya, kita tak menyimpan sesal dan berserah dengan kelapangan jiwa. Kepemimpinan kita, hidup kita, adalah sebuah legenda.

*) Dedy Irawan, pemerhati manajemen, tinggal di Jakarta. Memiliki pengalaman profesional di Accor, Arbe, AstraZeneca, Recapital.

(vit/vit) 

Nov 1, 2010

Kemampuan Bahasa Anak Bukanlah Segalanya

Kemampuan Bahasa Si Kecil

TEMPO InteraktifJakarta -Bahasa memiliki peran penting dalam mengembangkan kecerdasan anak secara keseluruhan. Semakin besar kemampuan bahasa yang dimiliki seorang anak, si kecil pun semakin cerdas. Namun demikian, bukan berarti si kecil yang dengan kemampuan bahasa kurang dianggap tidak cerdas. 


"Kecerdasan anak atau si kecil memang disebabkan oleh banyak faktor. Tapi bahasa merupakan salah satu faktor penting yang menunjang kecerdasannya," kata Elok Damayanti, psikolog anak dari Klinik Buah Hati, Jakarta.

Elok menuturkan kisah seorang pasiennya yang memiliki buah hati berusia tiga tahun dengan kemampuan bahasa yang luar biasa. "Ibunya bangga sekaligus bingung. Kemampuan Resna dalam mengucapkan kata atau bahasa yang demikian banyak membuatnya paling cerdas di antara anak balita seusianya."

Elok menjelaskan, kebiasaan Resna mengucapkan banyak kata atau bahasa seperti saat menyebutkan kata botol. "Resna langsung menunjukkan kotak susu yang berarti botol yang biasa dipakai untuk minum susu. Kemudian dia mengucapkan kata mobil, lalu bertingkah berputar-putar seolah memberitahukan bahwa mobil biasa dipakai untuk berjalan-jalan. Bukan main," tuturnya panjang-lebar.

Diakui wanita berjilbab ini, kemampuan bahasa yang begitu luar biasa yang dimiliki Resna memang serta-merta berkaitan dengan kecerdasan anak balita tersebut. Namun sekali lagi banyak faktor yang menentukan kecerdasan si kecil, seperti kemampuan bahasa, kemampuan motorik, kemampuan abstrak, dan kemampuan spasial atau ruang.

Sementara itu, psikolog anak Roslina Verauli menjelaskan, kecerdasan bahasa dapat berperan mengembangkan kecerdasan anak secara keseluruhan. Namun belum diketahui sejauh mana kemampuan tersebut mempengaruhi kecerdasan secara umum. "Kemampuan bahasa mampu mengoptimalkan kecerdasan anak karena, saat berbahasa, anak punya gambaran berbagai konsep," katanya ketika dihubungi kemarin.

Menurut Roslina, kecerdasan bahasa ini ditentukan lewat proses belajar anak dalam mengasosiasikan berbagai konsep. Misalnya, bila melihat warna putih di langit, akan diasosiasikan sebagai awan. "Dan, semakin banyak seorang anak mengenal konsep yang mengaitkannya satu sama lain, maka si kecil ini tampak semakin cerdas."

Yang perlu diingat, Roslina memaparkan, bahasa hanyalah salah satu faktor yang dapat mengembangkan kecerdasan anak. Sebab, ada pula anak yang kemampuan bahasanya kurang baik, tapi toh ia tetap cerdas dalam hal lain.

Riri, seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua putra yang berusia 13 dan 9 tahun, menuturkan pengalaman buah hatinya. Dia sempat merasa bingung lantaran si bungsu saat berusia 1,5 tahun terlambat bicara, sedangkan dulu, pada usia yang sama, si kakak sangat lancar berbicara. Bahkan si kakak saat itu sudah mampu menguasai beberapa bahasa, seperti Indonesia, Jawa, dan Inggris. 

"Kemampuan bahasa adiknya lebih lamban, hanya bisa bahasa Indonesia. Saya khawatir kecerdasan si bungsu kurang dibanding sang kakak," ujarnya, khawatir.

Toh, akhirnya Riri bernapas lega lantaran mengetahui, setelah besar, kedua buah hatinya itu mempunyai kecerdasan masing-masing. Si sulung lebih pandai dalam pelajaran di sekolah, sedangkan adiknya jago bermusik. "Sekarang saya bisa membimbing keduanya sesuai dengan kecerdasan masing-masing," tuturnya.

Roslina, yang mengamati kasus di atas, menerangkan, keterlambatan bicara pada anak bukan berarti kemampuan bahasanya buruk dan berdampak pada kecerdasan si kecil. Ada banyak faktor penyebab, misalnya, pertama, kurang model atau stimulus dari lingkungannya. Kedua, keterlambatan karena kemampuan otot-otot wicara belum optimal. Ketiga, terlambat bicara tanpa ada penyebab apa pun. Keempat, terlambat karena ada gangguan perkembangan, misalnya keterlambatan bicara pada anak yang mengidap autistik.

Roslina yakin setiap anak memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda. Ada yang sangat mampu, biasa-biasa saja, atau kurang. "Yang perlu diingat adalah upaya orang tua untuk terus tergerak mengoptimalkan kecerdasan anak secara keseluruhan. Bahasa memang dapat mengoptimalkan kecerdasan anak secara keseluruhan. Namun sekali lagi, ia (bahasa) bukan faktor utama, dan masih banyak faktor lain," ujarnya. 

AQIDA SWAMURTI | HADRIANI P