Showing posts with label Bahasa. Show all posts
Showing posts with label Bahasa. Show all posts

Aug 3, 2012

Efek Ortografi dalam Aplikasi Pancasila

Imajinasi Einstein dalam bingkai praksis kenegaraan NKRI yang Mahamerdeka!
 

BAHASA

Ketuhanan yang Satu Besar

Oleh MULYO SUNYOTO

Sebelum mengupas sisi kebahasaan sila pertama dasar negara kita, perlulah saya mengutip kalimat agung dari Albert Einstein: logika membawa Anda dari A sampai Z, tetapi imajinasi membawamu ke mana-mana.

Ketuhanan Yang Maha Esa. Perhatikan format penulisannya, ortografinya. Bentuk terikat yang memperoleh kehormatan ditulis dengan takzim: diawali dengan huruf kapital. Penyunting masa kini yang rewel-bawel pasti bernafsu mengamendemennya, menuliskannya kembali berdasarkan landasan hukum positif linguistik hari ini. Yang berlaku adalah yang, bukan Yang.

Masih perkara ortografi: maha yang jelas-jelas bentuk terikat tak eloklah ditulis terpisah dari kata, tepatnya numeralia, yang mengikutinya. Sang editor yang bertangan gatal pasti berhasrat merapatkan keduanya. Secara keseluruhan rumusan sila perdana itu jadi Ketuhanan yang Mahaesa.

Tapi, ya, sudahlah. Ortografi pada hakikatnya bukan esensi bahasa yang paling awal. Di masa purba tak ada itu huruf. Yang ada cuma bunyi. Di situ tenaga tak habis percuma untuk berkelahi soal huruf besar atau kecil, huruf tegak atau miring.

Nah, sekarang saatnya merangsek ke ranah semantik. Lagi-lagi editor yang merasa belum bekerja kalau belum mengubah teks itu geram. Dia sudah paham betul makna maha. Untuk kian meyakinkan diri, dia buka kamus terbitan terbaru Pusat Bahasa. Di sana maha diartikan sebagai adverbia 'sangat, amat, teramat' dan sebagai adjektiva 'besar'. Karena esa yang bermakna 'satu' adalah numeralia, yang bisa berkelas nomina atau adjektiva, mahaesa sepadan dengan 'sangat satu' atau 'satu besar'.

Sangat satu? Satu besar? Akal linguistik sang editor macet total. Selintas kemudian dia teringat si bungsu yang kini belajar di taman kanak-kanak, di kelas nol besar. Ingatan selintas ini mengembang jadi garis awal imajinasinya: ya, ya, ya, katanya tanpa suara sambil manggut-manggut. Ya, di jagat ini, ada satu matahari, ada satu Albert Einstein. Namun, keesaan matahari bukan lagi satu dipandang dari sistem Bimasakti. Keesaan Einstein sirna ditinjau dari konstelasi manusia genius sepanjang kehidupan berdenyut. Artinya: ada sesuatu yang lain yang mirip- mirip, bahkan sangat mungkin melampaui, sifat kemataharian dan keeinsteinan.

Tuhan beda. Dia tak sekadar esa. Maha Esa! Dia pun melampaui tetek bengek ortografi.

Imajinasi sang editor belum berhenti. Fantasinya mengembara ke mana-mana. Dia terpukau oleh pemfrasaan versi perumus dasar negara itu. Dengan rumusan itu, rakyat Indonesia dibebaskan menjadi penganut iman apa pun, termasuk deisme—bertuhan tanpa beragama. Meskipun sila pertama dasar negara itu digunakan sebagai bingkai praksis kenegaraan, tak ada segi pemformalan agama-agama yang mesti dianut (calon) penyelenggara (lembaga) negara. Tak seperti penguasa Orde Baru yang menebarkan restriksi beriman: hanya sehitungan jumlah jari satu tangan agama yang diakui secara resmi.

Lalu, bagaimana dengan peluang memilih agnostikisme, ateisme? Tak sulit menjawab pertanyaan ini. Bila hidup Anda merasa bermakna dengan menjadi pegawai negeri sipil atau militer, jangan banyak tingkah secara intelektual. Anda mesti bertuhan, tepatnya beragama. Namun, bila Anda merasa lebih bermakna menjadi manusia bebas dalam berpikir, yang memperoleh nafkah dari mana pun kecuali gaji bulanan PNS, sila menjadi pendekap dua paham yang tak dirangkul sang garuda.

Apalagi Cak Mahfud MD bersuara: tak ada pasal yang bisa menghukum pengikut ateisme.

Hmm, luar biasa hidup di NKRI ini. Mahamerdeka, gitu loh!

Mulyo Sunyoto Magister Pendidikan Bahasa

Sumber: Kompas, 03 Agustus 2012

Mar 22, 2012

The Huge Benefits of Being Bilingual

That's why it's critical children in an English-speaking country speak a non-English language, preferably their parents' mother tongue. Being able to listen/understand is NOT enough; speaking must also come equally important. (EJ)


GRAY MATTER

Why Bilinguals Are Smarter

Harriet Russell
By 
Published: March 17, 2012




SPEAKING two languages rather than just one has obvious practical benefits in an increasingly globalized world. But in recent years, scientists have begun to show that the advantages of bilingualism are even more fundamental than being able to converse with a wider range of people. Being bilingual, it turns out, makes you smarter. It can have a profound effect on your brain, improving cognitive skills not related to language and even shielding against dementia in old age.

This view of bilingualism is remarkably different from the understanding of bilingualism through much of the 20th century. Researchers, educators and policy makers long considered a second language to be an interference, cognitively speaking, that hindered a child's academic and intellectual development.

They were not wrong about the interference: there is ample evidence that in a bilingual's brain both language systems are active even when he is using only one language, thus creating situations in which one system obstructs the other. But this interference, researchers are finding out, isn't so much a handicap as a blessing in disguise. It forces the brain to resolve internal conflict, giving the mind a workout that strengthens its cognitive muscles.

Bilinguals, for instance, seem to be more adept than monolinguals at solving certain kinds of mental puzzles. In a 2004 study by the psychologists Ellen Bialystok and Michelle Martin-Rhee, bilingual and monolingual preschoolers were asked to sort blue circles and red squares presented on a computer screen into two digital bins — one marked with a blue square and the other marked with a red circle.

In the first task, the children had to sort the shapes by color, placing blue circles in the bin marked with the blue square and red squares in the bin marked with the red circle. Both groups did this with comparable ease. Next, the children were asked to sort by shape, which was more challenging because it required placing the images in a bin marked with a conflicting color. The bilinguals were quicker at performing this task.

The collective evidence from a number of such studies suggests that the bilingual experience improves the brain's so-called executive function — a command system that directs the attention processes that we use for planning, solving problems and performing various other mentally demanding tasks. These processes include ignoring distractions to stay focused, switching attention willfully from one thing to another and holding information in mind — like remembering a sequence of directions while driving.

Why does the tussle between two simultaneously active language systems improve these aspects of cognition? Until recently, researchers thought the bilingual advantage stemmed primarily from an ability for inhibition that was honed by the exercise of suppressing one language system: this suppression, it was thought, would help train the bilingual mind to ignore distractions in other contexts. But that explanation increasingly appears to be inadequate, since studies have shown that bilinguals perform better than monolinguals even at tasks that do not require inhibition, like threading a line through an ascending series of numbers scattered randomly on a page.

The key difference between bilinguals and monolinguals may be more basic: a heightened ability to monitor the environment. "Bilinguals have to switch languages quite often — you may talk to your father in one language and to your mother in another language," says Albert Costa, a researcher at the University of Pompea Fabra in Spain. "It requires keeping track of changes around you in the same way that we monitor our surroundings when driving." In a study comparing German-Italian bilinguals with Italian monolinguals on monitoring tasks, Mr. Costa and his colleagues found that the bilingual subjects not only performed better, but they also did so with less activity in parts of the brain involved in monitoring, indicating that they were more efficient at it.

The bilingual experience appears to influence the brain from infancy to old age (and there is reason to believe that it may also apply to those who learn a second language later in life).

In a 2009 study led by Agnes Kovacs of the International School for Advanced Studies in Trieste, Italy, 7-month-old babies exposed to two languages from birth were compared with peers raised with one language. In an initial set of trials, the infants were presented with an audio cue and then shown a puppet on one side of a screen. Both infant groups learned to look at that side of the screen in anticipation of the puppet. But in a later set of trials, when the puppet began appearing on the opposite side of the screen, the babies exposed to a bilingual environment quickly learned to switch their anticipatory gaze in the new direction while the other babies did not.

Bilingualism's effects also extend into the twilight years. In a recent study of 44 elderly Spanish-English bilinguals, scientists led by the neuropsychologist Tamar Gollan of the University of California, San Diego, found that individuals with a higher degree of bilingualism — measured through a comparative evaluation of proficiency in each language — were more resistant than others to the onset of dementia and other symptoms of Alzheimer's disease: the higher the degree of bilingualism, the later the age of onset.

Nobody ever doubted the power of language. But who would have imagined that the words we hear and the sentences we speak might be leaving such a deep imprint?

Yudhijit Bhattacharjee is a staff writer at Science.


Sumber: New York Times, 18 March 2012 


Apr 29, 2011

Proses Penyerapan Bahasa

Lema baru hari ini: merisak (to bully) dan berlepak (to hang out).
 

BAHASA

Kumpul Kerbau

ANTON M MOELIONO

Ada perbedaan yang jelas antara proses penyerapan kosakata asing zaman dulu dari yang sekarang. Dahulu penyerapan didasarkan pada pendengaran dan hasilnya ditulis dengan huruf yang dianggap paling dekat dengan bunyi vokal atau konsonan Indonesia. Misalnya, chaffeur (Belanda) menjadi sopir, winkel menjadi bengkel, dan luitenant menjadi letnan.

Menurut penelitian mahasiswa saya, bentuk serapan dari bahasa Belanda hingga awal Perang Dunia Kedua berjumlah kira-kira 4.000 butir. Di samping itu selama berabad-abad berlangsung penyerapan antara lain dari bahasa Sanskerta, Arab, Cina, Portugis, Tamil, dan Persia. Bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dewasa ini paling banyak menyerap kosakata dari bahasa Inggris ragam Amerika, Britania, dan Australia.

Karena bangsa Indonesia sedang memasuki peradaban beraksara dan teknologi informasi, warga masyarakat bangsa Indonesia—di mana pun tinggalnya—diharapkan memakai unsur kosakata serapan dengan bentuk tulisnya sama dan seragam, sedangkan lafalnya dapat berbeda menurut suku etnis dan bahasa daerah yang masih dipakainya.

Ambillah kata Belanda dan Inggris bus, yang di Medan lafalnya mungkin mirip dengan atau , tetapi di Bandung lafalnya menjurus ke seperti kata beureum 'merah', dan di Yogya condong ke sebab orang ngebis. Akhir-akhir ini diperkenalkan bentuk busway, dan yang suku awalnya dilafalkan secara Inggris: . Demi keseragaman, yang menjadi ciri pembakuan, kita menetapkan ejaannya jadi bus.

Sejak 1972 dipakai pedoman berikut. Proses penyerapan bertolak dari bentuk tulisan tak lagi dari lafal ungkapan asing. Ejaan kata Inggris management diubah menjadi manajemen yang lafalnya oleh orang Yogya berbeda dari orang Padang. Namun, ejaan atau bentuk tulisannya sama. Namun, karena kita tidak merasa wajib mematuhi kaidah dan aturan, kecuali jika ada sanksi, atau denda, kata basement belum diserap menjadi basemen (ba-se-men) walaupun sudah ada aransemen, klasemen, dan konsumen. Kata basement dapat diterjemahkan jadi ruang bawah tanah dengan akronimnya rubanah.

Sikap taat asas juga perlu diterapkan pada unsur serapan yang berasal dari bahasa daerah Nusantara. Ungkapan kumpul kebo kita nasionalkan menjadi kumpul kerbau karena yang berkumpul serumah itu bukan kerbau-kerbau Jawa saja. Selanjutnya orang yang membangkang atau menentang perintah tidak mbalelo, tetapi membalela. Orang yang tidak berprasangka bahwa daya ungkap bahasa Indonesia masih rendah akan menemukan kata membalela di dalam kamus Poerwadarminta yang terbit pada tahun 1952.

Begitu pula ada kata merisak 'menakuti atau menyakiti orang yang lebih lemah' untuk memadankan to bully dan bullying, serta kata berlépak 'menghabiskan waktu dengan duduk-duduk tanpa melaksanakan sesuatu yang bermanfaat' untuk mengungkapkan budaya remaja to hang out.

Kita tidak mengenal kosakata Indonesia karena, menurut laporan terakhir, 50 persen dari sekolah dasar dan 35 persen dari sekolah lanjutan pertama pemerintah tidak memiliki koleksi pustaka, dan kamus tidak disertakan berperan dalam proses belajar-mengajar bahasa.

Anton M Moeliono Pereksa Bahasa, Guru Besar Emeritus UI

Sumber: Kompas, 29 April 2011

Mar 11, 2011

Pembatasan kata 'cukup'

Satu lagi pencerahan yg akan sulit diubah karena sudah kebiasaan.

Cukup dan Sangat

OLEH LIE CHARLIE

Kata cukup sebetulnya tidak boleh dipakai untuk menerangkan kualitas kata yang berkonotasi kurang baik atau kurang positif. Kita tidak dapat menggunakan cukup bau, cukup jelek, atau cukup jahat, kecuali untuk melawak. Kombinasi cukup menjengkelkan, cukup menyedihkan, atau cukup menyusahkan pun kurang afdal, tetapi telanjur tenar terumbar oleh penutur bahasa Indonesia. Seyogianya korban tersinggung jika kondisinya dilaporkan "cukup menyedihkan" sebab itu berarti ia pas-pasan saja untuk dikasihani.

Kata cukup biasanya digunakan untuk menerangkan kata sifat yang berkonotasi baik dan positif. Contoh pemakaiannya: cukup sehat, cukup kuat, cukup kaya, atau cukup menyenangkan. Cukup berarti sedikit lebih di atas rata-rata meski sering kali ukuran yang dimaksudkan sebuah kata sifat sulit ditafsirkan. Kaya, umpamanya, apa ukurannya? Maka, untuk mengetahui makna cukup kaya, orang perlu mengira-ngira terlebih dahulu ukuran kata kaya. Kalau miskin didefinisikan sebagai 'berpenghasilan kurang dari atau sama dengan dua dollar AS sehari', berapa penghasilan seseorang agar dapat disebut kaya?

Cukup selalu baik. Tidak berlebihan tidak kekurangan. Biarpun ukurannya kadang-kadang tidak jelas, sebutan cukup senantiasa mengindikasikan keterpenuhan. Kita biasa mengatakan, "Cukup kenyang", tetapi semestinya tidak boleh berkata, "Cukup lapar", kecuali berniat berolok-olok. Kita boleh berucap, "Cukup bahagia", namun sebaiknya jangan sekali-kali berujar, "Cukup sengsara."

Tidak mudah mengubah kebiasaan yang sudah telanjur kita jalani dalam waktu lama sekalipun kebiasaan itu tidak benar. Demikian juga dalam berbahasa. Kata cukup dapat pula dipakai dalam menjelaskan kata sifat netral yang tidak menunjukkan kecenderungan baik atau buruk, positif atau negatif, seperti tinggi, jauh, atau panas.

Kata sangat dipakai untuk menunjukkan derajat kualitas. Sangat berarti lebih intens daripada kualitas normal. Di sini pun kita memerlukan ukuran yang ada kalanya memang sulit ditakar. Pelajar yang ikut ujian sering mengeluh bahwa materi ujian yang harus mereka selesaikan "sangat sulit". Itu berarti lebih sulit daripada sulit. Semua orang bertanya-tanya, "Seberapa sulit?" Inilah ukuran yang tidak terpahami itu. Maka, kata sangat dianggap bermakna luar biasa saja.

Berbeda dengan kata cukup, kata sangat boleh dipadankan dengan semua kata sifat, yang berkonotasi positif, netral, maupun negatif. Ungkapan sangat miskin berarti 'hidup jauh di bawah garis kemiskinan'. Kalau miskin itu sama dengan berpenghasilan dua dollar AS sehari atau kurang, orang yang digolongkan sangat miskin dapat dibayangkan memperoleh beberapa sen dollar saja.

Daripada menulis bahwa korban bencana alam cukup menderita, lebih berempati jika melaporkan bahwa mereka sangat menderita. Di sini ungkapan sangat menderita dapat bermakna kekurangan makan dan minum, kehilangan harta benda, terserang penyakit, kekurangan air untuk mandi, dan lainnya.

Ukuran berhubungan pula dengan selera. Luna Maya atau Maya Hasan, misalnya, apakah cukup cantik atau sangat cantik?

Lie Charlie Sarjana Tata Bahasa Indonesia, Tinggal di Bandung

Sumber: Kompas, 11 Maret 2011

Dec 17, 2010

The lostness of meaning

Modern greetings send mixed messages

 
Two women rush to give each other a big hug, simultaneously uttering the greeting, ""Minal aidin, ya!""

And their shared response comes almost in unison, ""Sama-sama"" (You, too!).

Minal aidin wal faidzin actually means "from the battle and with victory". This expresses the victory achieved by Muslims after fighting hunger, thirst and temptation during the fasting month of Ramadhan. Most people here mistakenly use it as though it means "mohon maaf lahir dan bathin" (forgive me wholeheartedly).

It's not the only greeting that is garbled in the way we use it.

Another one that is usually used in the wrong way is "dirgahayu", which literally means "long life!". It is usually uttered on anniversaries to wish that someone, or an institution, a long future; "Dirgahayu Indonesia" is an expression to wish this country survives.

But look at the banners posted to welcome Independence Day or Jakarta's anniversary. This expression is printed in various forms. "Dirgahayu Indonesia ke-55" (Long live 55-year old Indonesia) or "Dirgahayu ulang tahun RI ke-55" (Long live the 55th anniversary of the Republic of Indonesia) are the most common greetings on the banners in front of buildings or on pedestrian bridges. When you think about it, both are wrong.

I was recently annoyed by the number of e-mails in my inbox, some containing Idul Fitri greetings and others expressing Christmas wishes. Those greetings came not only from my friends and relatives, but also from those with whom I have never crossed paths.

Not that I dislike greetings -- I love it when people wish me happiness. But, come on, nobody celebrates both religious holidays, and receiving greetings from someone you don't know just leaves you feeling uncomfortable.

"That's what modernity has done," commented Dave, my American colleague who also received some Idul Fitri greetings in his inbox. Nowadays people are too busy to buy cards and write the addresses of friends and relatives personally.

They leave that job to the machines. All they do is forward each greeting they receive to all addresses listed in their folders without bothering to select which greeting should go to whom.

I recall the old times before the Internet and e-mail were invented. One month before the holidays, I used to start shopping for gifts and cards. I would write the addresses and sign the cards personally. And, when I received cards, I checked them carefully and excitedly. I even kept the cards for years. It brought such loving memories.

Marianne Parasiuk, a reader living in Australia, once expressed her feeling about Christmas cards.

"Sending cards might be an ancient thing to do, what with the invention of modern means of communications such as the telephone, the Internet, SMS and all that. But cards carry a lot of messages. It is an exciting process, selecting, buying, writing and sending."

Sending greetings by e-mail, however, is more convenient than sending cards today. And it saves on costs. You do not have to waste time going to the stores, selecting a big pile of cards, and spending a handsome amount of money.

"It is also environmentally friendly," says Anthony Sumampouw, an expert in information technology. "If everyone in the world sent e-cards instead of conventional cards we would save a tremendous amount of paper and, in turn, save tropical forests. From the Internet, you can download greeting cards free of charge. And, sending it is easier. Within seconds, the greeting will arrive at its destination in good shape."

"In good shape?" snorted Miana in response. "I do not open all the e-cards I receive as they cause me trouble. Most of them come in large documents that exceed your storage capacity. And it takes a long time to download them one by one, especially if you don't have a direct connection. Think about the phone bills you have to pay. So, I usually delete them without opening. I know the content anyway."

So, modernity is not all magic. A new means of sending greetings should be invented. Something that is convenient, but also has a personal touch and is environmentally friendly. Anyone who comes up with a solution to this idea is sure to have his or her future made.

 
-- Carl Chairul
 
 

Nov 29, 2010

Kolektor Pantun & Peribahasa

Muhammad Haji Salleh
Menjejaki Kekayaan Sastra Nusantara
Senin, 29 November 2010 | 03:27 WIB
KOMPAS/KHAERUDIN

KHAERUDIN

Jika ingin melihat betapa bijaknya orang-orang yang tinggal di Nusantara ini memandang alam dan kehidupan, bacalah ribuan pantun dan peribahasa yang tersebar mulai dari semenanjung di Malaysia hingga perairan Laut Sulawesi yang menjadi rumah suku Bajo. Bagi ahli perbandingan sastra Indonesia-Malaysia, Muhammad Haji Salleh, pantun dan peribahasa merupakan khazanah sastra yang tak ada bandingannya di dunia.

Haiku dari Jepang boleh dibilang canggih, tetapi tak seindah dan sekaya pantun. Dalam pantun, ada ajaran agama, filosofi, lagu, ada juga mainannya. Pantun ada dalam banyak suku di Nusantara Raya," ujar Muhammad. Dia mengabdikan hampir separuh hidupnya dalam pencarian berbagai jenis pantun dan peribahasa pada suku bangsa di Malaysia dan Indonesia.

Sesungguhnya, dasar pendidikan kesarjanaan Muhammad adalah Sastra Inggris. Ketika menempuh gelar master dan doktoralnya di University of Michigan, Amerika Serikat, selama kurun 1970-1973, Muhammad merasakan kerinduan kampung halaman setelah meresapi berbagai bentuk pantun dan peribahasa. "Saya ini awalnya sarjana Sastra Inggris, tetapi ketika berada jauh dari kampung halaman, saya merasakan betul betapa eksotisnya sastra negeri sendiri," ujarnya.

Dia sempat mengenyam pendidikan singkat kesusastraan Indonesia di Universitas Indonesia begitu tamat dari Universiti Malaya. Di AS pun Muhammad mengonsentrasikan studi doktoral dalam perbandingan puisi Indonesia-Malaysia. Kecintaan akan segala bentuk karya sastra Nusantara, khususnya puisi, pantun, dan peribahasa, membuat dia bersahabat dengan banyak sastrawan Indonesia. "Saya pernah bertandang ke rumah Rendra saat masih di Solo. Rumahnya ketika itu hanya beralas tanah," kenangnya.

Pemersatu serumpun

Sastra bagi Muhammad menjadi pemersatu Malaysia dan Indonesia sebagai bangsa serumpun di gugusan Nusantara. Meski Malaysia seolah berada terpisah karena terletak di semenanjung, bagian paling tenggara dari daratan Benua Asia, menurut Muhammad, tak ada sempadan atau batas dalam khazanah sastra kedua negara.

Dia mencontohkan, babad atau hikayat Melayu, Sulalat al-Salatin karangan Tun Seri Lanang. Tun sebenarnya adalah bendahara Kesultanan Pahang. Namun, saat Pahang diserang Kesultanan Samudra Pasai, hampir semua bangsawan Melayu Pahang—termasuk Tun—dibawa ke Aceh. Karena kecerdikan Tun, penguasa Aceh menjadikannya penasihat dan diberi wilayah kuasa di Samalanga. "Separuh masa Tun Seri Lanang mengarang Sulalat al Salatin dilakukannya ketika di Samalanga. Jadi, karya itu tak bisa diklaim milik Malaysia semata. Itu karya besar dua bangsa serumpun ini," katanya.

Itulah yang mendorong Muhammad selama 25 tahun lebih mengumpulkan sedikit demi sedikit pantun dan peribahasa yang terserak pada banyak suku bangsa di kepulauan Nusantara. Dia mau bersusah payah datang berkunjung ke Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Muhammad rela menyusuri perairan Sulawesi Tenggara untuk mengoleksi pantun suku Bajo hingga mengumpulkan pantun yang ada pada suku Minahasa di Sulawesi Utara.

Koleksi pantun yang dikumpulkan Muhammad meretas dari Pulau Adang di Thailand hingga Bunaken di Sulawesi Utara. Hasil koleksinya sebagian telah dibukukan.

"Ada tiga buah buku yang telah terbit. Satu buku kira-kira berisi 1.000 pantun. Akan ada empat buku pantun lagi yang menyusul terbit," ujarnya. Dia mengumpulkan semua jenis pantun, dari pantun peranakan hingga pantun orang asli (suku asli di Malaysia). Dia juga mengoleksi pantun dari Pulau Adang hingga Bunaken. Ada sekitar 30 ragam daerah Nusantara yang memiliki koleksi pantun.

Muhammad juga tekun mengumpulkan peribahasa, bentuk sastra Nusantara lain yang tak kalah elok dan kaya akan ilmu kehidupan. Muhammad memilah peribahasa dalam 21 kategori yang berhubungan dengan ilmu dan pekerjaan, sikap manusia terhadap ilmu, hingga fungsi ilmu dalam masyarakat. Satu kesimpulan Muhammad setelah mengoleksi tak kurang dari 8.000 peribahasa adalah orang Melayu, dan banyak suku bangsa lain di Nusantara, tidak hanya menjadikan ilmu dan pekerjaan sebagai pusat hidup, tetapi juga merenungkan bagaimana ilmu dan pekerjaan dibuat sebagai solusi menyelesaikan masalah.

Muhammad mencontohkan peribahasa dari Brunei yang mengajarkan betapa manusia harus cukup ilmu jika ingin berhasil, "mun (jikalau) rotan panjang sejengkal, jangan mendaluh (menduga) lautan dalam".

Peribahasa pula yang menurut Muhammad membuat orang di Nusantara sangat demokratis dalam belajar dan berani berargumentasi meski dengan gurunya sekalipun. Dia mencontohkan peribahasa dari Sumatera Barat, "melawan guru dengan kajinya, melawan mamak dengan adatnya".

Kepandaian suku bangsa di Nusantara ini dalam merangkai kata hingga menjadi karya sastra indah penuh ilmu, menurut Muhammad, karena alamlah yang dijadikan guru. Dia mencontohkan peribahasa Melayu, "kais pagi, makan pagi", yang menggunakan kata untuk binatang (ayam), tetapi dipakai untuk menggambarkan nasib manusia. "Kata kais kan semestinya untuk ayam yang mencari makanan, tetapi itu yang orang lihat setiap hari sehingga dipakai juga untuk manusia," ujarnya.

Pada intinya, lanjut Muhammad, kepandaian berbahasa adalah elemen penting bagi banyak suku bangsa di Nusantara. Pada kasus orang Melayu, kata dia, suasana kosmopolitan di hampir semua bandar Melayu sejak dulu menjadikan orang-orangnya pandai berbahasa.

Meski tak berhubungan secara langsung, ketekunan Muhammad mengoleksi pantun dan peribahasa di Nusantara, baik yang terserak di Malaysia maupun di kepulauan Indonesia, sedikit banyak dipengaruhi oleh keyakinannya bahwa adalah sastra yang mempersatukan dua jiran yang kadang suka "berkelahi" ini. Dan tentu saja, meski berkewarganegaraan Malaysia, Muhammad pun tak lupa kampung sebenarnya nenek moyangnya di Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

"Ayah saya merantau dari Bandar Khalipah ke Pulau Pinang tahun 1920-an. Pada banyak orang yang tinggal di Semenanjung (Malaysia) ataupun di Sumatera, ulang alik seperti yang dilakukan ayah saya lazim adanya," kata Muhammad.

Sumber: Kompas, 29/11/10

Nov 1, 2010

Kemampuan Bahasa Anak Bukanlah Segalanya

Kemampuan Bahasa Si Kecil

TEMPO InteraktifJakarta -Bahasa memiliki peran penting dalam mengembangkan kecerdasan anak secara keseluruhan. Semakin besar kemampuan bahasa yang dimiliki seorang anak, si kecil pun semakin cerdas. Namun demikian, bukan berarti si kecil yang dengan kemampuan bahasa kurang dianggap tidak cerdas. 


"Kecerdasan anak atau si kecil memang disebabkan oleh banyak faktor. Tapi bahasa merupakan salah satu faktor penting yang menunjang kecerdasannya," kata Elok Damayanti, psikolog anak dari Klinik Buah Hati, Jakarta.

Elok menuturkan kisah seorang pasiennya yang memiliki buah hati berusia tiga tahun dengan kemampuan bahasa yang luar biasa. "Ibunya bangga sekaligus bingung. Kemampuan Resna dalam mengucapkan kata atau bahasa yang demikian banyak membuatnya paling cerdas di antara anak balita seusianya."

Elok menjelaskan, kebiasaan Resna mengucapkan banyak kata atau bahasa seperti saat menyebutkan kata botol. "Resna langsung menunjukkan kotak susu yang berarti botol yang biasa dipakai untuk minum susu. Kemudian dia mengucapkan kata mobil, lalu bertingkah berputar-putar seolah memberitahukan bahwa mobil biasa dipakai untuk berjalan-jalan. Bukan main," tuturnya panjang-lebar.

Diakui wanita berjilbab ini, kemampuan bahasa yang begitu luar biasa yang dimiliki Resna memang serta-merta berkaitan dengan kecerdasan anak balita tersebut. Namun sekali lagi banyak faktor yang menentukan kecerdasan si kecil, seperti kemampuan bahasa, kemampuan motorik, kemampuan abstrak, dan kemampuan spasial atau ruang.

Sementara itu, psikolog anak Roslina Verauli menjelaskan, kecerdasan bahasa dapat berperan mengembangkan kecerdasan anak secara keseluruhan. Namun belum diketahui sejauh mana kemampuan tersebut mempengaruhi kecerdasan secara umum. "Kemampuan bahasa mampu mengoptimalkan kecerdasan anak karena, saat berbahasa, anak punya gambaran berbagai konsep," katanya ketika dihubungi kemarin.

Menurut Roslina, kecerdasan bahasa ini ditentukan lewat proses belajar anak dalam mengasosiasikan berbagai konsep. Misalnya, bila melihat warna putih di langit, akan diasosiasikan sebagai awan. "Dan, semakin banyak seorang anak mengenal konsep yang mengaitkannya satu sama lain, maka si kecil ini tampak semakin cerdas."

Yang perlu diingat, Roslina memaparkan, bahasa hanyalah salah satu faktor yang dapat mengembangkan kecerdasan anak. Sebab, ada pula anak yang kemampuan bahasanya kurang baik, tapi toh ia tetap cerdas dalam hal lain.

Riri, seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua putra yang berusia 13 dan 9 tahun, menuturkan pengalaman buah hatinya. Dia sempat merasa bingung lantaran si bungsu saat berusia 1,5 tahun terlambat bicara, sedangkan dulu, pada usia yang sama, si kakak sangat lancar berbicara. Bahkan si kakak saat itu sudah mampu menguasai beberapa bahasa, seperti Indonesia, Jawa, dan Inggris. 

"Kemampuan bahasa adiknya lebih lamban, hanya bisa bahasa Indonesia. Saya khawatir kecerdasan si bungsu kurang dibanding sang kakak," ujarnya, khawatir.

Toh, akhirnya Riri bernapas lega lantaran mengetahui, setelah besar, kedua buah hatinya itu mempunyai kecerdasan masing-masing. Si sulung lebih pandai dalam pelajaran di sekolah, sedangkan adiknya jago bermusik. "Sekarang saya bisa membimbing keduanya sesuai dengan kecerdasan masing-masing," tuturnya.

Roslina, yang mengamati kasus di atas, menerangkan, keterlambatan bicara pada anak bukan berarti kemampuan bahasanya buruk dan berdampak pada kecerdasan si kecil. Ada banyak faktor penyebab, misalnya, pertama, kurang model atau stimulus dari lingkungannya. Kedua, keterlambatan karena kemampuan otot-otot wicara belum optimal. Ketiga, terlambat bicara tanpa ada penyebab apa pun. Keempat, terlambat karena ada gangguan perkembangan, misalnya keterlambatan bicara pada anak yang mengidap autistik.

Roslina yakin setiap anak memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda. Ada yang sangat mampu, biasa-biasa saja, atau kurang. "Yang perlu diingat adalah upaya orang tua untuk terus tergerak mengoptimalkan kecerdasan anak secara keseluruhan. Bahasa memang dapat mengoptimalkan kecerdasan anak secara keseluruhan. Namun sekali lagi, ia (bahasa) bukan faktor utama, dan masih banyak faktor lain," ujarnya. 

AQIDA SWAMURTI | HADRIANI P

Jul 3, 2009

KBBI edisi IV

Hmm, jadi kena beli KBBI lagi nih, tapi rasanya cukup worth  :)

Artikel di bawah ini karangan superpakar bahasa Indonesia.... orang Swedia asli(!) yg sering menulis di Kompas.

--
Salam bahasa,
EJ


BAHASA
Ihwal KBBI Edisi Keempat

Jumat, 3 Juli 2009 | 02:58 WIB

ANDRE MOLLER

Setiba di rumah mertua di Blora beberapa saat lalu, ada hadiah berat yang menunggu saya: Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru. Kamus yang terdiri atas lebih dari 1.700 halaman ini sudah barang tentu menarik perhatian pakar bahasa di Indonesia. Telah diadakan pula sejumlah seminar dan sudah ditulis sejumlah makalah yang membahasnya dari pelbagai sudut. Tak jarang, sebagian dari pembahasan ini merupakan keluhan, entah itu keluhan atas kualitas kertas (yang lebih bagus daripada edisi-edisi terdahulu), harga (yang sering kali dinilai terlalu tinggi), entah penjelasan yang diberikan pada kata-kata tertentu. Sebagian orang merasa ada kata-kata dalam khazanah kebahasaan Nusantara yang belum masuk ke dalam kamus yang terdiri atas lebih dari 90.000 lema dan sublema ini.

Sebelum saya sampaikan keluhan ringan saya, yang sebetulnya lebih bersifat renungan pribadi, harus saya sampaikan pujian tak terhingga kepada semua orang yang terlibat dalam pembuatan kamus ini. Sungguh hebat bahwasanya sebuah bahasa yang baru "lahir" kurang dari 100 tahun yang lalu (Soempah Pemoeda, 1928) dan baru diakui pada tahun 1945 telah terekam dalam sebuah kamus adikarya seperti yang terletak di depan saya sekarang ini. Saya membungkuk dan bersalut (walau kata terakhir belum termasuk dalam arti ini di KBBI).

Keluhan atau renungan pertama saya berhubungan dengan tanah air saya, Swedia, yang sedikit dianaktirikan dalam kamus akbar ini. Waktu jadi mahasiswa di Yogya, saya bangga ketika Presiden (kala itu) Abdurrahman Wahid menyajikan sebuah kata "baru" ke dalam bahasa Indonesia: ombudsman. Dikatakannya pada kesempatan itu, kata ini ia serap dari bahasa Swedia. Betul, kata ini merupakan kata asli Swedia, dan tak aneh kalau seorang mahasiswa Swedia di Jurusan Bahasa Indonesia terlihat dengan dada melembung pada hari itu.

Kata ombudsman terekam di KBBI edisi baru di bawah "Kata dan Ungkapan Asing" (hlm 1605) dengan dua penjelasan yang sesuai dengan arti aslinya. Sejauh itu, semuanya baik-baik dan sah-sah saja. Namun, jika diamati dengan cermat, akan kelihatan tiga huruf miring di depan penjelasan ini: Ing. Maksudnya adalah bahwa kata ombudsman berasal dari bahasa Inggris. Ini jelas penyimpangan dari jalan bahasa yang lurus. Yang ragu-ragu hubungi Gus Dur.

Swedia juga diperlakukan dengan sedikit aneh di daftar "Nama Negara, Ibu Kota, Bahasa, dan Mata Uang" (hlm 1661). Selain ibu kota dieja dengan salah (seharusnya Stockholm), bahasa Swedia dinamakan "Swensk". Kata itu terdengar aneh di telinga seorang Swedia. Sejauh yang saya tahu, bahasa saya ini disebut bahasa Swedia dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Swedia sendiri, bahasanya disebut svenska. Dalam daftar ini memang ada sejumlah kejanggalan (seperti apakah bahasanya mau disebut dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokalnya), tetapi ini merupakan yang paling aneh yang saya jumpai.

Renungan terakhir saya (pada kesempatan ini) berkaitan dengan judul kamus ini. Saya belum memahami dengan betul judulnya. Terkadang disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa Edisi Keempat (misalnya hlm xxix, xxxi), dan terkadang disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (hlm vii), dan terkadang seolah-olah mau disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat (misalnya hlm i dan sampul). Menurut saya, alternatif terakhir paling afdal, tetapi saya kira alternatif pertama yang paling sering dipakai. Saya bertanya-tanya: ke mana perginya Pusat Bahasa edisi-edisi terdahulu? Dan mengapa mesti dimutakhirkan?

ANDRÉ MÖLLER Penyusun Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Swedia

Sumber: Kompas, 3 Juli 09

Jun 14, 2009

Pilpres, bahasa & etika

Dari soal Pilpres ke topik bahasa sampai menyentuh "...tuntutan etik Protestan adalah disiplin, kerja keras, dan hemat...". Jadi, siapa bilang bahasa dan berbahasa itu tidak penting?  (EJ)


BAHASA
Elektabilitas
Kompas, 12 Juni 2009

KASIJANTO SASTRODINOMO

MENILIK semangat risalahnya, "Usul untuk SBY" dalam rubrik ini (1 Mei) yang mengkritik penggunaan bentukan kata berbahan baku bahasa asing, Ulil Abshar-Abdalla tampaknya akan menolak elektabilitas yang kini banyak disebut-sebut berkaitan dengan pemilihan presiden. Mungkin ia lebih nyaman dengan keterpilihan sebagai penggantinya. Namun, apa boleh buat, elektabilitas telah ditawarkan terutama oleh para pengamat politik, penyelenggara jajak pendapat, dan media. Mencegahnya rasanya kurang demokratis. Kita tunggu saja hasil uji pasar: akankah elektabilitas mengkhalayak atau menguap seiring dengan perjalanan waktu.

Terlepas dari setuju atau tak-setuju, elektabilitas cukup padat makna sebagai istilah untuk mengukur tingkat keterpilihan calon presiden. Mungkin kita juga patut lega menyambut kata itu karena ia menandai watak partisipatif: mewadahi gagasan bahwa masyarakat ramai boleh ikut serta menimbang-nimbang calon presiden yang dianggap paling layak memimpin negeri.

Digali dari elect, mekanisme pembentukan elektabilitas niscaya serupa dengan accountability yang menjadi akuntabilitas sebagai bandingan. Bedanya, elect dalam bahasa Inggris tak pernah diturunkan menjadi electibility. Turunan elect yang dikenal selama ini adalah election (nomina), electioneer (verba intransitif/nomina), elective (adjektiva/nomina), elector (nomina), electoral (adjektiva), dan electorate (nomina). Dilihat dari aneka turunan itu, elektabilitas tampaknya dekat dengan elective dalam arti 'having power to elect'.

Dalam khazanah pemikiran sosial modern, elective yang bersanding affinity menjadi kata kunci untuk memahami tesis Max Weber tentang Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Menurut sosiolog tenar itu, banyak yang salah tangkap terhadap tesisnya dengan menganggap agama Kristen menjadi sebab suburnya kapitalisme di Eropa pada abad ke-16/17. Padahal, yang dia maksudkan ialah adanya elective affinity, yakni pengaruh motivasional yang bersifat mendukung secara timbal-balik antara tuntutan etik tertentu kaum Protestan (seperti disiplin, kerja keras, dan hemat) dengan pola motivasi ekonomi dalam sistem kapitalisme. Jadi, bukan agama per se yang menyebabkan tumbuhnya kapitalisme. Di kemudian hari Weber bahkan menyadari bahwa kapitalisme tidak berjalan bersama agama, seperti yang diperlihatkan dalam In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber's Protestant Ethic Thesis oleh G Marshall (1982).

Jika demikian, elective affinity sebagai idiom yang netral. Seperti ditunjukkan Clifford Geertz, misalnya lapisan kaum santri merupakan elemen penting dalam membangkitkan kewirausahaan di Jawa, bahkan di Indonesia.

Terakhir, mungkinkah unsur afinitas elektif itu juga kita temukan dalam (proses pemilihan) presiden mendatang. Artinya, lebih dari sekadar kuat-lemahnya elektabilitas, adakah para calon presiden kita memiliki pandangan etis, tingkah laku dan tindakan bermakna yang nyambung dengan tuntutan akan kesejahteraan rakyat banyak.

KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada FIB Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, 12 Juni 09



Oct 28, 2008

Bahasa: Identitas Bangsa

80 Tahun Sumpah Pemuda

Menghidupkan "Roh" Bahasa Persatuan

istimewaDendy Sugono

"Sorry, hari ini gue minta izin mau off dulu. Tunggu sebentar, gue nggak bisa nelpon loe. Gue lagi meeting."

Tiga kalimat pendek tersebut, kedengarannya enak dan terkesan gaul. Bahkan bisa disebut si penuturnya intelek bergaya metropolitan. Tetapi, adakah yang aneh atau janggal dari kalimat yang sering ter- dengar dalam percakapan sehari-hari di masyarakat, terutama di Jakarta dewasa ini?

Sepintas memang kelihatan tidak ada masalah dengan ucapan seperti itu. Apalagi, zaman sekarang memang dituntut kreativitas. Bagi masyarakat awam, bahasa lisan di atas, sepintas tak bermasalah. Tetapi, bagi kalangan ahli bahasa Indonesia, kalimat tersebut sangat merisaukan. Mengapa?

Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Dendy Sugono yang ditemui SP belum lama ini di Jakarta mengaku risau dengan penggunaan bahasa yang campur aduk itu. Dendy pun mengingatkan ada banyak kesalahan berbahasa tersebut.

Kalimat yang benar dari,"Sorry, hari ini gue minta izin, gue mau off dulu" adalah,"Maaf, hari ini saya mau minta izin, saya mau libur/tidak kerja dulu." Demikian pula, dua kalimat,"Tunggu sebentar, gue nggak bisa nelpon loe. Gue lagi meeting", yang benar adalah,"Tunggu sebentar, saya tidak bisa menelepon Anda. Saya sedang rapat." Kesalahannya adalah mencampuradukkan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Betawi.

Bahasa, menurut Dendy Sugondo, digolongkan menjadi bahasa lisan dan tulisan. Bahasa lisan, dibagi lagi menjadi bahasa lisan formal dan nonformal (cakap, Red). Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Keduanya berfungsi sebagai alat komunikasi dan identifikasi diri, serta tetap harus mengindahkan kaidah bahasa yang baik dan benar. Sebab, para ahli sepakat bahwa bahasa yang dibentuk oleh kaidah aturan serta pola tertentu, tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan kesalahan interpretasi dalam komunikasi.

Kecenderungan di Indonesia, lanjut Dendy, penutur memadukan bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah. Kebiasaan itu bisa disebut "kreatif", tetapi merusak kaidah bahasa.

Penggunaan bahasa Indonesia yang salah di ruang publik berdampak buruk pada perkembangan kebahasaan nasional. Ketidakteraturan berbahasa adalah cerminan ketidakpahaman atau ketidakdisiplinan terhadap tata bahasa.

Sementara itu, dosen program studi Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Asep Sambodja mengatakan bahasa percakapan anak-anak muda di televisi terdengar masih kacau dan cuek dengan kaidah. Ada campur-aduk bahasa yang tidak pada tempatnya. Tetapi, redaktur majalah Susastra itu juga melihat ada anak muda yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata memperlihatkan penguasaan bahasa Indonesia yang canggih.

Kaidah Bahasa

Penggunaan bahasa Indonesia yang tidak mengikuti kaidah, menurut Dendy, akan merusak penggunaan dan pemahaman bahasa Indonesia pada anak-anak dan masyarakat. Celakanya, bahasa pada iklan banyak yang menyalahi kaidah bahasa Indonesia, padahal media itu sangat cepat dicerna dan ditiru anak-anak dan masyarakat.

Contohnya, iklan rokok yang berbunyi "Nggak Ada Loe, Nggak Rame". Jika mengikuti kaidah, seharusnya "Kalau Anda Tidak Ada, Suasananya Tidak Ramai".

Selain bahasa iklan, penggunaan bahasa asing untuk nama jalan atau petunjuk, seperti di kawasan perumahan elite dan toko swalayan, juga merusak dan menghambat perkembangan bahasa Indonesia. Padahal, orang asing yang tinggal di Indonesia justru lebih fasih berbahasa Indonesia.

Dendy berharap setiap insan Indonesia menjunjung tinggi bahasanya, meskipun menguasai bahasa asing. Harapan itu terutama ditujukan kepada pejabat dan tokoh publik. Ketika berpidato atau dalam acara resmi, pejabat hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 2008 yang bersamaan dengan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta hendaknya menjadi momentum untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Para pendiri bangsa, kata Dendy, sadar akan fungsi, peran, dan kedudukan bahasa Indonesia. Kerap kali orang salah kaprah dengan Sumpah Pemuda, khususnya menyangkut bahasa Indonesia, dengan menyatakan berbahasa satu. Padahal, bunyinya,"Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Jadi, bukan bahasa satu, yang seolah-olah tidak boleh berbahasa asing ataupun bahasa daerah.

Makna yang dalam dari Sumpah Pemuda adalah setiap warga negara boleh, bahkan dituntut menguasai bahasa asing untuk meningkatkan pergaulan, tetapi tetap harus menjunjung bahasa Indonesia. Ikrar itu juga bermakna, selain bahasa Indonesia, bahasa daerah yang merupakan kekayaan bangsa, tetap harus dipelihara.

Dendy berharap peringatan Sumpah Pemuda kali ini menjadi momentum menghidupkan kembali "roh" bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa persatuan hendaknya menjadi jiwa bagi setiap warga Indonesia. Kalau setiap warga negara mencintai dan bangga berbahasa Indonesia secara baik dan benar, dengan sendirinya "roh" bahasa persatuan akan terus hidup dan berakar.

Ungkapan bahasa menunjukkan bangsa, sangat diharapkan terwujud. Sebab, ungkapan itu memiliki makna filosofi yang dalam. Kebiasaan para penutur bahasa, oleh ahli bahasa disebut sebagai refleksi perilaku masyarakat dalam bernegara. Ketika warga tidak disiplin berbahasa, bisa ditafsirkan sebagai ketidaktaatan warga terhadap aturan negara.

Identitas Diri

Dalam Kongres III Bahasa Indonesia di Jakarta 28 Oktober- 3 November 1978, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letjen TNI Sayidiman Suryohadiprojo yang tampil dengan makalah berjudul Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pembinaan Ketahanan Nasional (Depdiknas, 1983), mengingatkan pentingnya bahasa dalam pertahanan nasional. Menurutnya, ketahanan nasional tak mungkin ada apabila bangsa itu tidak memiliki identitas dan harga diri.

Bahasa Indonesia yang merupakan produk perjuangan nasional, kata Sayidiman, mempunyai saham penting untuk memberikan identitas tersendiri pada bangsa kita. "Meskipun terdiri dari sekian banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa sendiri-sendiri, ditambah dengan besarnya dialek, tetapi kita telah berhasil mengkreasikan bahasa nasional yang digunakan di seluruh wilayah nasional yang luas itu. Inilah jasa Sumpah Pemuda 1928 dan perjuangan setelah itu untuk mewujudkan kepada sumpah tersebut," ujarnya.

Tidak hanya Sayidiman, jauh sebelumnya pujangga besar Sutan Takdir Alisjahbana dalam berbagai karya sastranya telah menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bahasa persatuan tersebut. Dalam buku berjudul Dari Perdjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957) terungkap bagaimana Sutan Takdir Alisjahbana berjuang menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bahasa persatuan itu.

Dalam buku itu disebutkan bagaimana penjajah Belanda hendak mengganti bahasa Indonesia di sekolah-sekolah bumiptera di Aceh dengan bahasa Aceh. Upaya itu akhirnya gagal setelah diprotes pemuda Indonesia melalui surat kabar yang terbit di Pulau Jawa ketika itu.

Di sisi lain, buku ini juga mengingatkan bagaimana tokoh Belanda, Prof Kern sejak 1890 meminta pemerintahnya mengajarkan bahasa Belanda di sekolah-sekolah bumiptera jajahannya. Anjuran itu didukung Dr Nieuwenhuis (meninggal 1931) tentang perlunya mengajarkan bahasa Belanda di kalangan bangsa Indonesia.

Dia bahkan mengkritik bangsanya, bahwa selama 300 tahun menjajah Indonesia, Belanda mengabaikan kewajiban menyebarkan bahasanya.

Kritik Nieuwenhui itu memang telah dibuktikan Spanyol yang pernah menjajah Filipina. Meskipun Amerika Serikat bersusah payah memasukkan bahasa Inggris di Filipina pascapenjajahan Spanyol, bahasa Spanyol tetap digunakan di negara itu.

Demikian pula Inggris yang telah kehilangan jajahannya, seperti Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara yang kini masuk negara persemakmurannya di Asia dan Afrika, tetapi budaya dan bahasa Inggris tetap melekat dan menjadi bahasa resmi di negara bekas jajahannya itu. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara bekas jajahan Prancis. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan, bahasa sangat penting dalam kehidupan berbangsa.

Dalam seminar Majelis Bahasa Malaysia, Brunei, dan Indonesia (Mabbim)-Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) yang berlangsung April 2008 di Jakarta, ketiga negara penutur bahasa Indonesia/Melayu, sepakat menjadikan bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa dunia. Ketiga negara itu berobsesi meningkatkan martabat bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa pergaulan internasional dengan lebih banyak menyerap kosa kata ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru.

Kalau Malaysia dan Brunei saja peduli pada bahasa Indonesia/Melayu, maka bangsa Indonesia sebagai penutur terbesar bahasa itu, seharusnya lebih menjunjung tinggi bahasa persatuan tersebut. Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda dan Kongres IX Bahasa Indonesia hendaknya menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang harus dijunjung tinggi dengan cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. [SP/Marselius Rombe Baan]


SP, 28/10/08

Dec 20, 2007

Ateisme dan kesulitan bahasa

Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada

GOENAWAN MOHAMAD

Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ

Atheisme dimulai dengan kesulitan bahasa. Dan, jika kita membaca buku Christopher Hitchens, God is Not Great, kita akan tahu: ada juga salah sangka.

Atheisme tak datang dari kecerdasan semata-mata, tapi juga dari kaki yang gemetar dan tubuh yang terdesak. Kegamangan kepada agama yang sedang tampak kini mengingatkan suasana sehabis perang agama di Eropa di beberapa dasawarsa abad ke- 16. Agama nyaris identik dengan kekerasan, kesewenang- wenangan, dan penyempitan pikiran. Dari sinilah lahir semangat Pencerahan: terbit karya Montaigne dan Descartes, buah skeptisisme yang radikal. Doktrin agama diletakkan di satu jarak.

Kini berkibarnya "revivalisme", terkadang dalam bentuk "fundamentalisme", dan tentu saja bercabulnya kekerasan menyebabkan reaksi yang mirip: buku Hitchens terbit di dekat The End of Faith oleh Sam Harris (tahun 2004). Juga The God Delusion karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi. Satu kutipan oleh Dawkins: "Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama."

Namun, agaknya bukan karena waham bila dalam masa tiga dasawarsa terakhir ada "gerak" lain yang cukup berarti: mendekatnya filsafat ke iman. Dalam gerak "pascamodern" ke arah Tuhan ini diangkat kembali pendekatan fenomenologis Heidegger yang mendeskripsikan "berpikir meditatif", atau lebih khusus lagi, "berpikir puitis", yang lain dari cara berpikir yang melahirkan metafisika dan ilmu-ilmu.

Bersama itu, ada kritik Heidegger terhadap "tuhan menurut filsafat", atau tuhan dalam metafisika—yang baginya harus ditinggalkan. Dengan meninggalkannya, kata Heidegger, manusia justru akan lebih dekat ke "Tuhan yang ilahi" (göttlichen Gott).

Mungkin dengan itu kita bisa memahami Derrida: ia menyebut diri atheis, tapi juga mengatakan "tetapnya Tuhan dalam hidup saya" yang "diseru dengan nama-nama lain".

Jelas gerak "menengok kembali agama" itu bukan gerak kembali kepada asas theisme yang lama. Dalam Philosophy and the Turn to Religion, Hent de Vries mengikhtisarkan kecenderungan itu dalam sepatah kata Perancis yang mengandung dua makna: kata á Dieu 'ke Tuhan' atau adieu 'selamat tinggal', "satu gerakan ke arah Tuhan, ke arah kata atau nama Tuhan", yang juga merupakan ucapan "selamat tinggal yang dramatis kepada tafsir yang kanonik dan dogmatik… atas pengertian 'Tuhan' yang itu juga".

Syahadat Nurcholish Madjid

Tampak, tak hanya ada satu makna dalam nama "Tuhan". Bahkan, sejak berkembang pendekatan pascastrukturalis terhadap bahasa, kita kian sadar betapa tak stabilnya makna kata.

Kata Tuhan hanyalah "penanda" (signans) yang maknanya baru kita "dapat" tapi dalam arti sesuatu yang berbeda dari, misalnya, "makhluk". Beda ini akan terjadi terus-menerus. Sebab itu, pemaknaan "Tuhan" tak kunjung berhenti.

Penanda itu tak pernah menemukan signatum atau apa yang ditandainya. Signatum ("petanda"?) itu baru akan muncul nanti, nanti, dan nanti sebab kata Tuhan akan selamanya berkecimpung dalam hubungan dengan penanda-penanda lain.

Maka, tiap kali "Tuhan" kita sebut, sebenarnya kita tak menyebut-Nya. Saya ingat satu kalimat dari sebuah sutra: "Buddha bukanlah Buddha dan sebab itu ia Buddha". Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa "Buddha" atau "Tuhan" yang kita acu dalam kata itu sebenarnya tak terwakili oleh kata itu, kita pun akan sadar pula tentang Sang "Buddha" dan Sang "Tuhan" yang tak terwakili oleh kata itu.

Agaknya itulah maksud Nurcholish Madjid ketika menerjemahkan kalimat syahadat Islam dengan semangat taukhid yang mendasar: "Aku bersaksi tiada tuhan selain Tuhan sendiri". Dengan kata lain, nama "Allah" hanyalah signans, dan tak bisa dicampuradukkan dengan signatum yang tak terjangkau. Jika dicampuradukkan, seperti yang sering terjadi, "Allah" seakan-akan sebutan satu tuhan di antara tuhan-tuhan lain—satu pengertian yang bertentangan dengan monotheisme sendiri.

Di abad ke-13, di Jerman, Meister Eckhart, seorang pengkhotbah Ordo Dominikan, berdoa dengan menyebut Gottes (tuhan) dan Gottheit (Maha Tuhan). Yang pertama kurang-lebih sama dengan "pengertian" tentang Tuhan, sebuah konsep. Yang kedua: Ia yang tak terjangkau oleh konsep. Maka, Eckhart berbisik, "aku berdoa… agar dijauhkan aku dari tuhan". Di tahun 1329 Paus Yohannes XXII menuduhnya "sesat". Ia diadili dan ditemukan mati sebelum vonis dijatuhkan.

Masalah bahasa itulah yang membuat akidah dan teologi jadi problematis. Teologi selamanya terbatas—bahkan mencong. Jean-Luc Marion mengatakan teologi membuat penulisnya "munafik". Sang penulis berlagak bicara tentang hal-hal yang suci, tetapi ia niscaya tak suci. Sang penulis bicara mau tak mau melampaui sarana dan kemampuannya. Maka, kata Marion, "kita harus mendapatkan pemaafan untuk tiap risalah dalam teologi".

"Satu", Zizek, dan ontologi Badiou

Theisme cenderung tak mengacuhkan itu. Theisme umumnya berangkat dari asumsi bahwa dalam bahasa ada makna yang menetap karena sang signatum hadir dan terjangkau—asumsi "metafisika kehadiran".

Ini tampak ketika kita mengatakan "Tuhan yang Maha Esa". Bukan saja di sana ada anggapan bahwa makna "Tuhan" sudah pasti. Juga kata esa menunjuk ke sesuatu yang dapat dihitung. Jika "tuhan" dapat dihitung, Ia praktis setaraf dengan benda. Ketika kita mengatakan "Tuhan itu Satu", kita sebenarnya telah menyekutukan-Nya.

Justru di situlah atheisme bermula. Slavoj Zizek mencoba membahas ini dengan menggunakan tesis ontologis Alain Badiou. Dalam tulisannya yang menawarkan sebuah "teologi materialis" dalam jurnal Angelaki edisi April 2007, Zizek mengatakan, "Satu" adalah pengertian yang muncul belakangan.

Zizek mengacu ke Badiou: "banyak" (yang juga berarti "berbagai-bagai") atau multiplisitas adalah kategori ontologis yang terdasar. Multiplisitas ini bukan berasal dari "Satu" dan tak dapat diringkas jadi "Satu". Lawan multiplisitas ini bukan "Satu", tapi "Nol"—atau kehampaan ontologis. "Satu" muncul hanya pada tingkat "mewakili" —hanya sebuah representasi.

Monotheisme tak melihat status dan peran "Satu" itu. Tak urung, monotheisme yang menghadirkan Tuhan sebagai "Satu" memungkinkan orang mempertentangkan "Satu" dengan "Nol". Maka, orang mudah untuk menghapus "Satu" dan memperoleh "Nol". Lahirlah seorang atheis. Tepat kata Zizek ketika ia menyimpulkan, "atheisme dapat bisa terpikirkan hanya dalam monotheisme".

Namun, memang tak mudah bagi kita yang dibesarkan dalam tradisi Ibrahimi untuk menerima "teologi materialis" Zizek. Umumnya tak mudah bagi para pemeluk Islam, Kristen, dan Yahudi menerima argumen ontologis Badiou yang menganggap "Satu" hanya sebuah representasi meskipun dengan demikian mereka telah memperlakukan Tuhan sama dan sebangun dengan representan-Nya—satu hal yang sebenarnya bertentangan dengan dasar taukhid Surah al-Ikhlas dalam Al Quran, yang menegaskan "tak suatu apa pun yang menyamai-Nya".

Kaum monotheis memang berada dalam posisi yang kontradiktif. Apalagi, bagi mereka, Tuhan yang Satu itu juga Tuhan yang personal.

Syahdan, Emmanuel Levinas mengkritik keras Heidegger. Kita tahu, acap kali Heidegger berbicara dengan khidmat tentang Sein (Ada). Sein (Ada) adalah yang menyebabkan hal-hal-yang-ada muncul ber-ada. Bagi Levinas, dengan gambaran itu Sein (Ada) seakan-akan mendahului dan di atas segala hal yang ada (existents). Artinya, dalam ontologi Heidegger, Ada menguasai semuanya. Bagaikan "dominasi imperialis".

Tampaknya Levinas menganggap Heidegger—pemikir Jerman yang pernah jadi pendukung Nazi itu—berbicara tentang Ada sebagai semacam tuhan yang impersonal. Juga ketika Heidegger menyebut Yang Suci (das Heilige).

Menurut Levinas, ini menunjukkan kecenderungan "paganisme". Tanpa mendasarkan Ada dan Yang Suci dalam hubungan interpersonal, Heidegger telah mendekatkan diri bukan ke "bentuk agama yang lebih tinggi, melainkan ke bentuk yang selamanya primitif".

Levinas—yang filsafatnya diwarnai iman Yahudi—tampaknya hanya memahami agama dengan paradigma monotheisme Ibrahimi. Tentu saja itu tak memadai. Bukan saja Levinas salah memahami pengertian Ada dalam pemikiran Heidegger. Ia juga tak konsisten dengan filsafatnya sendiri, yang menerima Yang Lain sebagaimana Yang Lain, tanpa memasukkannya ke dalam kategori yang siap.

Padahal, dengan memakai iman Ibrahimi sebagai model, Levinas meletakkan keyakinan lain—Buddhisme dan Taoisme misalnya—dalam kotak. Apabila baginya agama lain itu "primitif", itu karena tak sesuai dengan standar Kristen dan Yahudi. Ia menyimpulkan: di ujung "agama primitif" ini tak ada yang "menyiapkan munculnya sesosok tuhan".

Levinas tak melihat, justru dengan tak adanya "sesosok tuhan" dalam "agama primitif", atheisme jadi tak relevan. Dengan kata lain, persoalannya terletak pada theisme sendiri. Saya teringat Paul Tillich.

Teolog Kristen itu menganggap theisme mereduksi hubungan manusia dan Tuhannya ke tingkat hubungan antara dua person, yang satu bersifat "ilahi". Dari reduksi inilah lahir atheisme sebagai antitesis. Maka, ikhtiar Tillich ialah menggapai "Tuhan-di-atas-Tuhan-dalam- theisme".

Tuhan "Tak Harus Ada"

Kini suara Tillich (meninggal di tahun 1965) sudah jarang didengar. Setidaknya bagi saya. Tapi, niatnya menggapai "Tuhan-di-atas-Tuhan-dalam-theisme" dan ucapannya bahwa Tuhan "tidak eksist"—sebab Ia melampaui "esensi serta eksistensi"—saya temukan reinkarnasinya dalam pemikiran Marion.

Marion, seperti Heidegger, menafikan tuhan kaum atheis yang sejak Thomas Aquinas (dan secara tak langsung juga sejak Ibnu Rushd, dengan dalil al-inaya dan dalil al-ikhtira'-nya) dibenarkan "ada"-nya dengan argumen metafisika. Baginya, Tuhan yang dianggap sebagai causa sui, sebab yang tak bersebab, adalah Tuhan yang direduksi jadi berhala: Ia hanya jadi titik terakhir penalaran tentang "ada". Ia hanya pemberi alasan (dan jaminan) bagi adanya hal ihwal, jadi ultima ratio untuk melengkapi argumen. Tapi, di situlah metafisika tak memadai.

Sebab Tuhan bukanlah hasil keinginan dan konklusi diskursus kita. Tuhan benar-benar tak harus ada (n'a justement pas á être). Ia mengatasi Ada, tak termasuk Ada. Ia mampu tanpa Ada. Bagi Marion, Tuhanlah yang datang dengan kemerdekaannya ke kita karena Kasih-Nya yang berlimpah, sebagai karunia dalam wahyu.

Di momen yang dikaruniakan itu kita bersua dengan manifestasi les phénomènes saturés, 'fenomena yang dilimpah-turahi'. Di hadapan fenomena dalam surplus yang melebihi intensiku itu, aku mustahil menangkap dan memahami obyek—kalaupun itu masih bisa disebut "obyek". Bahkan, aku dibentuk olehnya.

"Fenomena yang dilimpah-turahi" itu juga kita alami dalam pengalaman estetik ketika melihat lukisan Matisse, misalnya: sebuah pengalaman yang tak dapat diringkas jadi konsep. Apalagi pengalaman dengan yang ilahi, dalam wahyu: hanya dengan aikon kita bisa menjangkau-Nya.

Aikon, kata Marion, berbeda dengan berhala. Berhala adalah pantulan pandangan kita sendiri, terbentuk oleh arahan intensi kita. Sebaliknya pada aikon: intensi kita tak berdaya. Yang kasatmata dilimpah-turahi oleh yang tak-kasatmata, dan aikon mengarahkan pandanganku ke sesuatu di atas sana, yang lebih tinggi dari aikon itu sendiri. "Aikon" yang paling dahsyat adalah Kristus. Marion mengutip Paulus: Kristuslah "aikon dari Tuhan yang tak terlihat".

Di sini Marion bisa sangat memesona, tetapi ia tak bebas dari kritik. Dengan memakai wahyu sebagai paradigma "fenomena yang dilimpah-turahi", Marion—seperti Levinas—berbicara tentang "agama" dengan kacamata Ibrahimi. Bagaimana ia akan menerima Buddhisme, yang tak tergetar oleh wahyu dari "atas", melainkan pencerahan dari dalam?

Bagi Marion, berhala terjadi hanya ketika konsep mereduksikan Tuhan sebagai "kehadiran". Tapi, mungkinkah teologi yang ditawarkannya sepenuhnya bebas dari tendensi pemberhalaan?

Dengan pandangan khas Katolik, ia bicara tentang aikon. Tapi, bisa saja aikon itu—juga Tuhan—di-atas-Ada yang diperkenalkannya kepada kita, sebagaimana Gottheid yang hendak digayuh Eckhart—merosot jadi berhala, selama nama itu, kata itu, dibebani residu sejarah theisme yang, jika dipandang dari perspektif Buddhisme Zen, tetap berangkat dari Tuhan yang personal, bukan dari getar Ketiadaan.

Di sinilah kita butuh Derrida. Marion mengira "Tuhan-Tanpa-Ada" yang diimbaunya bisa bebas dari sejarah dan bahasa, tapi dengan Derrida kita akan ingat: kita selamanya hidup dengan bahasa yang kita warisi, dari tafsir ke tafsir. "Tuhan" tak punya makna yang hadir.

Maka Yudaisme, misalnya, cenderung tak menyebut Nama-Nya; dalam nama itu Tuhan selalu luput. "Dieu déja se contredit", kata Derrida: belum-belum Tuhan sudah mengontradiksi diri sendiri.

Maka, lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa. Dengan kata lain, hidup dengan janji: kelak ada Makna Terang yang akan datang—betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran.

Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Jakarta, 27 September 2007

GOENAWAN MOHAMAD Penyair, Pendiri Majalah Tempo

Sumber: Kompas, 06 Oktober 2007

Oct 28, 2007

Bahasa Indonesia: Pemersatu atau pembauran?

ASAL USUL
Engdonesian

Ariel Heryanto

Bahasa Indonesia, seperti bangsa Indonesia, sejak dari sono-nya merupakan gado-gado alias campuran atawa indo bin blasteran, binti hibrid. Dalam bahasa kita, mengalir lancar istilah Melayu, Jawa, India, China, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, dan seterusnya. Sama sekali ini bukan cela, noda, atau bencana. Tapi juga bukan barang unik, atau berkah istimewa. Itu ciri milik semua bahasa dan bangsa mutakhir.

Di mata para peneliti, masuk-keluar dan nongkrong-nya istilah yang semula asing ke tubuh bahasa Indonesia itu tidak kebetulan, atau acak-acakan. Ada polanya. Dan pola itu tidak sama dari zaman ke zaman.

Yang namanya Soempah Pemoeda 1928 lahir dari sebuah kongres yang membahas makalah-makalah berbahasa Belanda yang ditulis pemuda-pemudi Indonesia. Di kalangan orang sekolahan pada generasi itu, bahasa-bahasa Eropa perlu dikuasai sebaik-baiknya. Bukan hanya untuk kepentingan karier pribadi, tapi juga kepentingan bangsa dan "kemajuan" alias modernitas masyarakat ini.

Lazim sekali cendekia pribumi lulusan sekolah kolonial pada masa itu menguasai dua atau tiga bahasa Eropa sekaligus. Tapi, bagaimana pun fasihnya, bagi mereka bahasa-bahasa Eropa itu merupakan bahasa asing. Semacam alat yang bisa dipakai bila diperlukan, atau dilepas bila tidak diperlukan. Mereka tetap menggunakan bahasa-bahasa daerah di Nusantara, sebagai bahasa-ibu.

Di sinilah ironisnya. Berbagai bahasa asing dan Nusantara berhamburan setiap kali Presiden Soekarno berpidato. Tapi, dia juga presiden yang paling galak menentang politik imperialisme Barat, pimpinan Amerika Serikat. Ia menentang masuknya musik pop Barat dan memenjarakan musikus Indonesia yang ikut-ikutan musikus pop Barat.

Pada masa Orde Baru, ironi berlanjut, tetapi secara terbalik.

Sejak revolusi kemerdekaan, dan terlebih-lebih lagi sejak berjayanya pemerintahan Orde Baru, terjadi banjir modal dan budaya pop dari Barat, khususnya Amerika Serikat. Bukan cuma Coca-Cola, tetapi juga slogan dan iklannya. Bukan cuma banjir film Holywood, tapi juga jazz, rock, pop top 40, soul, raegge, punk, dan hiphop. Bertolak belakang dengan semangat revolusioner pemerintahan sebelumnya, sejak Orde Baru pemandangan kota-kota Indonesia dipadati istilah Inggris. Kursus bahasa Inggris versi Amerika hiruk-pikuk menggantikan serunya pawai partai di zaman sebelumnya.

Ironisnya, bersamaan dengan semua itu terjadi kemerosotan yang mencolok pada rata-rata kemampuan cendekiawan di negeri itu dalam berbahasa Inggris secara formal. Yang lebih parah, para pemimpin nasional Orde Baru bahkan tampak kerepotan berbicara, apalagi menulis, bahasa Indonesia.

Maka tidak aneh, sepuluh tahun setelah merasakan enaknya kekuasaan negara, di tahun 1975 pemerintah Orde Baru menyediakan modal besar-besaran untuk program Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hasilnya? Sampai di akhir masa kekuasaannya, Soeharto si "Bapak Pembangunan Indonesia" kesusahan berbicara bahasa Indonesia secara "baik dan benar". Apalagi berbahasa asing!

Bagaimana dengan bahasa anak-anak gaul Indonesia di kedua zaman? Para sarjana asing (Ben Anderson, Krishna Sen, dan David Hill, misalnya) mencatat pergeseran yang serupa. Sebelum bangkitnya Orde Baru, istilah-istilah Inggris berhamburan dalam komik, karikatur, atau juga grafiti. Semuanya tampil sebagai bahasa milik bangsa asing yang ditolak atau digairahi. Hal serupa masih berlanjut dalam film nasional Indonesia di zaman Orde Baru. Dalam film di masa itu, bahasa Inggris, seperti wajah Indo berperan sama dengan gambar adegan film yang diambil di negeri-negeri bermusim empat. Semuanya hiasan tempel pemikat konsumen. Semuanya serba asing dan tidak menjadi bagian terpadu dari kisah yang dituturkan.

Tapi itu pada film. Ceritanya lain pada bacaan pop. Sejak berjayanya Orde Baru, bahasa Inggris menjadi bagian yang tidak bisa dihindarkan oleh generasi novelis Lupus, majalah Hai, atau Gadis. Apalagi sejak RCTI mengudara, dan disusul MTVAsia.

Sekarang generasi gaul Orde Baru dan pasca-Orde Baru kesusahan menyelesaikan satu kalimat berbahasa Indonesia tanpa menggunakan istilah Inggris. Maka, suka atau tidak suka Engdonesian menjadi lingua franca generasi gaul Indonesia di kota-kota: "Hei bebi, long time no see. Lho apa ini? Oh, ngasih oleh-oleh? For mi? Repot-repot aja. Waduh, so lovely! Ai laf yu. Tengku ya. Nanti malam bisa ikutan diner ama kita-kita? Aku sudah buking-in buat kamu. Plis join as. Gitu dulu, ya. Bai-bai."

Tadinya selama berpuluh tahun di sekitar kita hanya ada Taglish (Tagalog English) dan kemudian Singlish (Singaporean English). Di negeri kita lain. Belanda enggan mengajarkan bahasa Eropa pada kaum terjajah di Hindia Belanda. Maka, sesudah puluhan tahun Belanda pergi, Indonesia tidak pernah mengalami gejala post-kolonial. Yang ada hanya gejala kolonial dan antikolonial berkelanjutan.

Sebagai orang yang bertahun-tahun mengkritik propaganda Bahasa Indonesia Baik dan Benar dua puluh tahun lalu, saya sempat terperangah oleh maraknya gejala Engdonesia. Seakan-akan wilayah publik urban di Indonesia saat ini telah menjadi lembaran-lembaran majalah Hai, Gadis, novel Lupus, atau studio MTV Asia. Patut disesalkan? Tidak, untuk saya. Itulah budaya pop urban.

Tapi sejujurnya, Engdonesia membunuh selera baca saya ketika ramai-ramai dipakai wartawan untuk menyampaikan laporan jurnalistik resmi atau oleh penulis kolom di media cetak.

Saya kagum kreativitas anak-anak muda sekarang menciptakan istilah-istilah baru untuk berkirim SMS. Seperempat abad lalu, generasi saya punya padanannya, berkat adanya telegram. Waktu itu belum ada internet atau faksimile. Kening saya berkerut ketika ada mahasiswa menggunakan istilah-istilah SMS dalam menuliskan tugas kuliahnya.

Sumber: Kompas, 30 Oktober 2005



Make the switch to the world's best email. Get the new Yahoo!7 Mail now.

Jul 6, 2007

Kata Serapan Yunani dalam Kamus Indonesia

Judul Buku : Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia
Penyusun : JS Badudu
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Cetakan I, Maret 2003
Tebal : xiv + 378 hlm

SEBAGAI profesor bahasa Dr JS Badudu berpengalaman menyusun kamus: Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia, 1975; Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2001; Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (KKSADBI), 2003.

Maka, selain patut memuji dengan takzim akan pekerjaan beliau yang tak enteng itu, izinkan pula saya memberi sekelumit catatan untuk menunjukkan apresiasi bagi karya beliau yang terakhir, KKSADBI. Catatan ini khusus menyangkut kata-kata yang berhubungan dengan Yunani, bahasa yang melembaga dalam sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Menurut KKSADBI 'alokasi' berasal dari bahasa Yunani. Membaca keterangannya "penentuan banyaknya barang yang disediakan", maka sebetulnya makna itu dalam bahasa Yunani yang terpakai adalah 'anathese' atau katanome'.

Menurut KKSADBI 'asbes' dari bahasa Yunani. Keterangannya, "serat mineral dipakai dalam industri...". Jika asbes di sini sama dengan bahasa Inggris 'asbestos', maka bahasa Yunani yang terpakai adalah 'amiantos'. Sementara kata bahasa Yunani 'asbestes' artinya 'kapur'.

Menurut KKSADBI 'autopsi' dari bahasa Yunani. Padahal, bahasa Yunani untuk makna 'pemeriksaan mayat' yang sama dengan bahasa Inggris 'autopsy' sebetulnya 'nekrotome'.

Menurut KKSADBI 'dialog' berasal dari bahasa Latin. Akan tetapi, sebenarnya kata ini berasal dari bahasa Yunani 'dialogos', kalimat percakapan dalam sastra drama, juga judul karya Plato.

Menurut KKSADBI 'teater' dari bahasa Latin. Yang benar dari bahasa Yunani, 'theatron' artinya 'tempat di mana drama dipentaskan', turun dari kata 'theaomai' artinya 'berkunjung untuk menyaksikan'.

Menurut KKSADBI 'teater' dari bahasa Latin. Yang benar Yunani, dari 'thetron' artinya 'tempat di mana drama dipentaskan', turun dari kata 'theaomai' artinya 'berkunjung untuk menyaksikan'.

Menurut KKSADBI 'ekumene' dari bahasa Latin. Yang betul Yunani, dari kata 'oikoumene' artinya 'segenap wilayah bumi yang ada manusianya'. Mulanya terbatas 'dunia hellenenisme' seperti diacu Aristoteles dalam Meteorlogica (362 b 26).

Menurut KKSDBI 'evengeli' dari bahasa Latin. Yang benar Yunani, dari 'euaggelion' artinya tak lebih 'kabar baik'. Aristophanes mengacunya dalam drama komedinya Plutus (765). Selain itu, banyak pula lema yang seharusnya Yunani tetapi dalam KKSADBI disebut Belanda. Misalnya 'hierarki', 'magi', 'misteri', 'paradigma'. Yunaninya 'ierarkhia', 'magoi', 'mysterio', 'paradeigma'.

Malahan ada lema dari bahasa Yunani dalam KKSADBI disebut Perancis, khususnya 'paradiso'. Dalam bahasa Yunani 'paradeisos' artinya 'surga', diambil dari bahasa Persia 'pairi daeza' artinya 'kebun taman'. Sejarah masuknya kata bahasa Persia ini ke Yunani melalui penerjemahan filologi Ibrani LXX atau Septuaginta atas titah Raja Mesir Ptolemy II (309-247 SM).

KKSADBI mengatakan 'idola' adalah "orang atau tokoh yang dijadikan pujaan". Dalam bahasa Yunani, aslinya 'eidolon' berarti 'dewa kafir' (pagan dei). Muasalnya di abad pertama Masehi orang Yahudi yang berbahasa Yunani menyejajarkan kata ini dengan kata-kata Ibrani 'gilullim', 'terafim', 'asabh', kemudian dibuat muradif dengan 'mifletseth', 'semel', 'otseb'.

Adapun 'pornografi' dari 'porno' aslinya bahasa Yunani 'porne' berarti pelacur, 'porneia' berarti 'pelacuran', 'porneuo' berarti 'praktik sundal'. Sumber tulis Yunani sebelum Masehi tentang kata ini tersua pertama dalam karya Lucian, Alexander (5). Setelah tarikh Masehi, di abad pertama, kata ini mengacu pada persundalan di Roma dan Yerusalem, tersua dalam karya Ioanes, Apocalypsis ( 17.1).

PATUT diketahui, dalam studi teologi, bahasa Yunani dibagi dua, yaitu Yunani Sekular (untuk semua karya filologi sebelum Masehi) dan Yunani Eklesia (untuk bahasa Yunani setelah Masehi sekitar pustaka gerejawi). Banyak lema dari Yunani Sekular yang berubah makna saat ini melalui Yunani Eklesia.

Salah satu kata paling menarik dari pergantian Yunani Sekular ke Yunani Eklesia adalah 'hipokrit'. Dalam KKSADBI 'hipokrit' diartikan 'munafik'. Yang diacu KKSADBI ini adalah Yunani Eklesia. Sebelumnya, dalam Yunani Sekular, 'hipokrit', atau aslinya 'hypokrites' berarti 'aktor', pelakon drama atau penafsir peran di atas teater. Plato mengartikannya demikian dalam Republik (373 B), Sokrates menyebutnya dalam Symposium (194 B), Xenofon menyebutnya dalam Memorabilia(II 2.9).

Berubahnya 'hypokrites' menjadi 'munafik' sebab penulis evangeli dari latar Yahudi yang tak punya tradisi teater, memandang aktor dalam kesimpulan: laki-laki yang jadi perempuan, bertopeng, menangis pura-pura. Ini dihubungkan dengan kata bahasa Ibrani 'hanef' artinya 'pelaku jahat'. Sumber pertama yang mengalihkan 'hypokrites' dari aktor menjadi 'munafik' adalah sastra Yunani yang ditulis Yahudi, Maththaion( 7.5). Kini, setelah 'hypokrites' berarti 'munafik', maka sebutan untuk aktor dalam bahasa Yunani sekarang adalah 'ethopoios'.

Terakhir 'psalm'. KKSADBI benar, lema ini berasal dari bahasa Yunani. Akan tetapi, keterangannya tak tepat: "nyanyian pemujaan terhadap Tuhan dalam Injil". Yang benar, 'psalm' tidak ada hubungannya dengan Injil. Psalm, dari 'psalmos' adalah terjemahan Yunani atas kitab Ibrani, Sepher Tehillim-Klinkert menerjemahkannya sebagai 'zabur tahlil'-dan umumnya dianggap sebagai puisi-puisi tembang Daud. Sedang Injil aslinya berbahasa Yunani dan tersua dalam kitab E Kaine Diatheke. Psalm sudah ditulis seribu tahun sebelum Injil ditulis. Seharusnya yang sudah lazim, 'psalm' cukup disebut 'mazmur'.

Saya memang hanya membatas diri untuk menyimak lema-lema yang berhubungan dengan bahasa Yunani. Ini tidak berarti saya alpa memberikan apresiasi terhadap keterangan-keterangan yang diacu pada sejumlah lema yang lain. Dan, meskipun catatan-catatan saya ini menunjukkan adanya kekurangan, percayalah ini tidak mengurangi takzim saya tersebut. Seperti kata penerbitnya, "Kamus ini bukan kamus istilah, bukan juga buku yang berisi pedoman untuk mengistilahkan kosakata asing dalam Bahasa Indonesia." Jadi, ya, syabaslah. Dari situ pula kiranya apresiasi ini bertolak.

Remy Sylado - Pemerhati bahasa