Feb 9, 2011

Tahun Baru Imlek: Reformasi Diri

 

Pembaruan Musim Semi

William Chang

"Tahun Baru adalah baik.

Dengan datangnya Tahun Baru

Kita dapat berpakaian dan bertopi baru.

Kita dapat membunyikan mercon sesuka hati."

(Disappearing Customs of China, 2007)


Sajak khas anak-anak ini masih menjiwai miliaran orang Tionghoa di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Makau, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, dan Filipina yang merayakan Pesta Musim Semi 2562.

Makna terdalam pesta tani ini berpangkal pada kedatangan musim semi yang membawa roh pengharapan. Rumah, pakaian, relasi, dan suasana hati manusia dibarukan. Spiritualitas pembaruan individu menjadi motor seluruh transformasi keluarga. Tanpa pembaruan individu, pembaruan sosial hanyalah impian.

Jejaring pembaruan musim semi ini bermula dari lingkaran keluarga inti sambil melibatkan sanak famili dan handai tolan. Mengingat kekuatan moral individu jadi tumpuan kekuatan moral sosial, sistem pendidikan transformatif disosialisasikan dari lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat luas.

Mentalitas pembaruan disemaikan sejak dini. Mereka cenderung mengusahakan pembaruan dalam hidup mereka. Pakaian dan topi baru dalam Pesta Musim Semi Tahun Kelinci mencerminkan keadaan hidup sosial yang dibarukan terus-menerus.

Pembaruan sosial dalam konteks Pesta Musim Semi ditopang oleh kuasa Yang Transenden: Dewa Tanah, Dewa Dapur, dan Dewa Chai. Yang Ilahi menggerakkan seluruh proses pembaruan ini. Di hadapan-Nya tiada lagi kebohongan sebab Dia menembus segala kenyataan. Semua yang tersembunyi akan disingkapkan pada waktunya.

Manusia telanjang di hadapan Sang Pencipta langit dan bumi. Hanya Dia yang sanggup melihat semua. Kebohongan sebagai sandiwara tak sanggup bertahan di hadapan-Nya. Pembaruan akan mencapai otentisitas kalau manusia sungguh jujur dan tepercaya terhadap diri sendiri, sesama, dan Sang Pencipta. Pesta Musim Semi mengingatkan mereka akan kehadiran dan peran Sang Pencipta.

Pembersihan sebagai awal

Transformasi sosial mengandaikan keberanian moral membersihkan diri dari segala bentuk kebohongan dalam hidup sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan religi. Kaum tani di Tiongkok waktu itu dengan jujur dan berani mengakui bahwa pergantian musim yang seketika akan menyengsarakan hidup mereka. Akibatnya, mereka memanfaatkan waktu seefisien mungkin sehingga peluang transformasi hidup tidak dilewatkan.

Musim semi dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Dalam musim gugur, mereka menuai hasil tani. Kesulitan menghadapi musim paceklik melahirkan gaya hidup hemat. Pemborosan dianggap sebagai sikap yang bertolak belakang dengan pandangan dunia seorang petani.

Prinsip utama transformasi sosial adalah pembersihan diri, keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat. Menjelang Pesta Musim Semi, anggota keluarga membersihkan segala kekotoran yang bukan hanya di bagian luar rumah, melainkan yang tersembunyi di sudut rumah, lantai, dan langit-langit. Kebiasaan sebelum pesta ini muncul sejak zaman prasejarah dan populer sejak Dinasti Tang (618-907).

Pembersihan tempat tinggal mengandung makna pembaruan seluruh sistem dan kandungan dalam sebuah keluarga. Kemalasan, kotoran, dan ketakberesan diselesaikan sebelum merayakan Pesta Musim Semi. Pembersihan dinding rumah terjadi atas perintah Dewa Dapur yang ingin menyelamatkan mereka yang terancam hukuman Kaisar Permata Jade. Ini berarti proses pembersihan merupakan langkah awal meluputkan diri dari segala bentuk ancaman bagi keselamatan manusia.

Perayaan Pesta Musim Semi di Indonesia mengembuskan angin segar bagi proses reformasi bangsa. Sekaranglah saat untuk segera meninggalkan musim korupsi, pembohongan publik, mafia hukum, dan ketakadilan sosial karena musim semi pembaruan segera tiba. Peralihan musim ini menunjukkan perubahan disposisi batin merintis langkah baru memperbaiki hidup sosial, ekonomi, politik, dan religi.

Musim semi kehidupan bangsa kita ditandai dengan gerakan perbaikan hati nurani dan budi manusia yang masih dicengkam aneka bentuk kecenderungan destruktif (akuisme, sektarianisme, nepotisme, dan banditisme). Penyingkiran peran hati nurani mengakibatkan manusia sulit membedakan yang baik, jahat, bisa, dan boleh. Rasionalisasi dan pembenaran diri/golongan sebegitu dominan sehingga pengakuan akan kesalahan diri sangat sulit terjadi.

Tanpa pembaruan mentalitas, gerakan transformasi sosial sejak Soeharto lengser tinggal slogan. Tiga langkah dasar berikut mutlak ditempuh. Pertama, pemerintah harus tegas dan konsisten menonaktifkan polisi, jaksa, dan hakim yang terindikasi korupsi dari pusat ke daerah. Teknokrat baik, jujur, dan profesional dapat segera ambil alih posisi mereka. Pembersihan birokrat koruptif adalah kewajiban moral.

Kedua, tanggung jawab masyarakat dalam menyembuhkan kondisi koruptif melalui kerja sama yang sehat dan transparan dengan penegak hukum. Kecenderungan berkolusi dalam bidang kejahatan harus ditinggalkan agar bangsa kita luput dari penghancuran sistemik. Ketiga, wibawa pemerintah segera dipulihkan dengan membangun kembali ketepercayaan rakyat. Sebuah pasukan pemberantasan korupsi yang tak kenal kompromi sangat diperlukan.

Jika prinsip yang benar gagal diterapkan dalam sebuah negara, maka sistem pemerintahan tak berada dalam tangan aparatur semestinya. Dalam keadaan seperti ini kehadiran musim semi pembaruan sangat diperlukan. Xin Nien Kuai Le!

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

Sumber: Kompas, 02 Februari 2011

Feb 2, 2011

Pembauran di Pulau Dewata

island of gods here I come...
 
* Selamat menjelang detik-detik menuju musim semi dan tahun baru 2562 *
 

PERANAKAN TIONGHOA

Mereka Melebur Sempurna di Bali

Kompas/Iwan Santosa

Barong berkulit gelap adalah Raja Jaya Pangus (kiri). Ia dan istri Tionghoanya, Kang Tjin We, dirawat di dalam Gria Ida Pedanda Gde Manuaba di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Ida Ayu Putri (21), cucu Ida Pedanda Gde Manuaba, memasang sesaji dan dupa bagi pasangan Barong Landung yang melambangkan perkawinan raja Bali dan perempuan Tionghoa.

Iwan SantosA/Ayu Sulistyawati

Wayan Rangki (65) dan beberapa ibu sibuk menyiapkan beberapa ember untuk diisi air, beberapa ornamen, dan kembang, Sabtu (29/1), di tempat ibadah Tridharma Cao Eng Bio, Tanjung Benoa, Bali. Mereka bukan keturunan Tionghoa. Agama mereka pun Hindu Bali. Namun, mereka hanya satu niat, ngayah (mengabdi)!

Selain menyama braya (gotong royong), kebiasaan yang melekat adalah ngayah, seperti Ny Rangki. Ngayah tak membatasi ruang dan waktu, apalagi membedakan soal keyakinan. Ngayah itu pun mereka tujukan kepada Sang Hyang Widi, para dewa, dan leluhur.

Ny Rangki mengaku tak ragu membaktikan dirinya beserta suaminya di kelenteng tersebut. "Ini pengabdian kami terhadap Dewa Baruna," katanya lirih.

Ya, ada kemiripan nama dewa di kepercayaan China dan Hindu Bali, yakni Dewa Laut (Yatikong) dengan Dewa Baruna. Mungkin itu pula yang mempererat persaudaraan menyama braya di Tanjung Benoa, sekitar 30 kilometer dari Denpasar.

Kelenteng Cao Eng Bio ada sejak tahun 1546, konon didirikan para saudagar Tionghoa yang berdatangan di Pulau Dewata lewat Pelabuhan Benoa. Awalnya kelenteng berada di dalam area Pura Dalem Ning beberapa meter dari kelenteng yang ada saat ini. Tahun 1800- an, pihak Puri (kerajaan) Pemecutan, Denpasar, memberikan tanah untuk dibangun kelenteng yang sekarang ini berdiri.

Selanjutnya, mereka pun beranak-pinak. Pembauran itu di antaranya dengan menyerap kebudayaan Bali, seperti pemangku (biokong) kelenteng mengenakan baju adat Bali, termasuk ikat kepala (udeng).

Perkembangannya, persembahan yang biasanya berupa kembang dan buah pun dihiasi canangsari yang merupakan sarana upacara umat Hindu Bali, yaitu tempat bunga yang biasanya berbentuk kotak sama sisi berukuran sekitar 10 sentimeter dari janur kelapa serta ada rajangan daun pandan.

Ketua Pengurus Kelenteng Tanjung Benoa Suyanti, atau Yong Siu Yang (56), bangga bisa membaur dengan budaya lokal. Pembauran juga terjadi ketika masing-masing memiliki kegiatan upacara dan saling membantu. Bahkan, tak sedikit pula umat Hindu yang turut bersembahyang di kelenteng. "Saya lahir dan besar di Denpasar. Jadi, kelegaan bisa menyatu dengan warga setempat," katanya.

Pada hari-hari tertentu, umat kelenteng berkumpul dari sejumlah wilayah Bali, Nusantara, dan negara tetangga. Jumlahnya bisa lebih dari seribu orang. Tahun baru Imlek menjadi salah satu momen pemersatu dua kebudayaan berbeda di Tanjung Benoa. "Apalagi mata pencaharian sebagian adalah nelayan. Kami ini sama-sama ngayah Dewa Baruna," kata Suyanti.

Tradisi kebersamaan itu terus dipelihara berabad-abad. Mangku Chandra alias Lie Tian An yang mengurus Kelenteng Cong Po Kong atau Ida Ratu Gede Ngurah Subandar di Pura Ulundanu Batur mengatakan, seluruh ritual umat kelenteng harus permisi kepada dewa-dewi di Pura Ulundanu Batur.

Pura Batur perpaduan Tionghoa dan Bali yang berasal dari perkawinan Raja Jaya Pangus di abad ke-XII dengan Kang Tjin We, seorang dara Tionghoa.

Tidak hanya sembahyang, pelbagai aspek kehidupan masyarakat Tionghoa Peranakan di Bali sudah melebur menjadi bagian kebudayaan suku Bali. "Kita sering ngarak Barong Bangkung untuk menolak bala dan mendatangkan kebaikan dari pintu ke pintu," ujar penyanyi Ayu Laksmi yang asli Singaraja, di ujung utara Bali.

Barong versi Bali tersebut diarak berkeliling diiringi anakanak kecil. Rombongan barong pun mendapat uang pemberian dari pemilik rumah.

Tradisi ngelawang atau membawa barong melewati pintu rumah dan toko persis dengan kebiasaan masyarakat Tionghoa yang membawa barongsai untuk memberkati rumah dan toko saat perayaan tahun baru. Tradisi ngelawang Bali lazim dilakukan di antara perayaan Galungan dan Kuningan.

Barong dalam pelbagai bentuk menambah kekayaan khazanah budaya Bali. Guru Besar Institut Seni Indonesia Denpasar, Bali, I Wayan Dibia, menjelaskan, Barong Ket merupakan adaptasi barongsai. "Tetapi kalau Barong Ket dipaksakan melakukan akrobatik seperti barongsai itu sudah menyalahi pakem. Barong Ket di Bali sudah melebur dan ikut tampil dalam pentas, seperti Calon Arang," kata Wayan Dibia.

Demi mengenang perkawinan Raja Jaya Pangus dan Kang Tjin We, masyarakat Bali juga membuat sepasang Barong Landung.

Syarat nikah yang diminta Kang Tjin We, seperti uang kepeng Tiongkok, hingga kini digunakan masyarakat Bali dalam upacara keagamaan. Malahan, ujar petinggi Hindu Bali, Ida Bagus Putera Siwagatha, Pura Batukaru memiliki pertima (benda keramat utama) berupa uang kepeng. "Penggunaan dupa oleh masyarakat Bali juga diadopsi dari tradisi Tionghoa, juga sejumlah tarian dan pelbagai produk seni ukir Bali," ujar Siwagatha yang berasal dari Ubud, Kabupaten Gianyar, yang merupakan jantung budaya Bali.

Proses percampuran budaya terus berlangsung hingga awal abad ke-20 ketika pertunjukan Sampek-Engtay dipentaskan di Bali. "Pada tahun 1970-an, kami mementaskan Sampek-Engtay di Singapura dengan busana Bali dan pakem cerita Bali. Penonton Singapura menangis menyaksikan cerita itu," kata Dibia.

Meski melebur dan tidak berjarak, ada hal yang lebih penting lagi dari kebersamaan masyarakat Tionghoa Peranakan di Bali, yakni mendorong kemakmuran bagi seluruh warga Bali dengan semangat "Tat Twam Asi". Aku adalah kamu, kamu adalah aku.

Selamat tahun baru Imlek 2562....

Sumber: Kompas, 2 Feb 11