Showing posts with label Budaya. Show all posts
Showing posts with label Budaya. Show all posts

Jul 12, 2012

Menari untuk Tuhan

Penari sesungguhnya tak menghadap penonton karena dia menghadap ke kotak topeng dan nayaga. "Tak peduli penonton sedikit atau banyak, mereka suka atau tidak, saya harus menari dengan energi dan penjiwaan sepenuhnya," kata Nani merumuskan prinsip tarian yang tulus itu.
 
 

Noor Anani Maska Irman

Penjaga Warisan Topeng Losari

RINI KUSTIASIH

"Aku menari untuk tubuhku dan Tuhan. Tak usah merisaukan penonton dan hal lain." Demikian Noor Anani Maska Irman menggambarkan makna tari bagi dirinya saat ditemui di rumahnya di pusat Kota Cirebon, Jawa Barat, pada suatu sore.

Ibu dua anak dengan panggilan Nani ini adalah pewaris seni tari topeng Cirebon gaya Losari. Ia mewarisinya melalui darah dan didikan keras sang nenek, Mimi Dewi dan Mimi Sawitri. Ia adalah cucu pertama Mimi Dewi yang pada era 1970-an membawa tari topeng Losari ke puncak ketenaran bersama adiknya, Mimi Sawitri.

Pada masanya, Dewi-Sawitri sudah menghadapi beratnya seni tradisi bertahan di pusaran zaman. Topeng Losari seperti tidur panjang menghadapi arus modernitas yang serba instan. Keduanya berusaha membangkitkan kembali gairah topeng Losari. Mereka ngamen ke beberapa tempat dan hidup prihatin. Mereka menjual tikar untuk makan anggota kelompok tarinya.

Tantangan bagi topeng Losari tak berhenti di sini. Pada era Nani, segalanya lebih berat. "Tanggapan makin sepi. Dalam sebulan belum tentu ada satu permintaan manggung. Saya sering tampil dengan kelompok lain atau memanfaatkan jaringan seniman lain. Tetapi, saya tetap membawakan topeng gaya Losari," kata Nani.

Ia sudah menjelajah 16 negara, antara lain Amerika Serikat, Australia, Jepang, Banglades, Malaysia, Italia, Belanda, Taiwan, Spanyol, dan Brunei. Dari beberapa perjalanannya itu, Nani dibawa tampil oleh dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Endo Suanda. Endo pula yang membiayai kuliah Nani di kampus itu. Nani lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,90.

Semangat Nani menemui cobaan berat saat topeng Losari kian terpencil. Kehadiran penonton dan tempat manggung menjadi kebutuhan kelompok tari Purwa Kencana yang dipimpinnya.

Ia patah hati karena minimnya perhatian pemerintah daerah. Ia pernah diberi bantuan gamelan oleh Pemerintah Provinsi Jabar, tetapi gamelan itu berlaras slendro, bukan pelog seperti yang biasa dipakai kelompok tarinya. Sejak meninggalnya Mimi Sawitri tahun 1999, Purwa Kencana seperti mati suri.

Peluh perjuangan topeng Losari itu tergambar dari kondisi sanggarnya di Desa Astanalanggar, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Terletak di belakang rumah Dewi-Sawitri, sanggar itu tersembunyi dari pandangan mata, diapit kebun dan rumah warga.

Berukuran sekitar 98 meter persegi, atap sanggar yang didirikan tahun 1984 itu sudah banyak yang bocor. Pagar bambunya reyot. Di dalam peti di pojok sanggar terletak seperangkat gamelan.

"Ini gamelan yang kami pesan sendiri, terbuat dari besi. Dulu, Kompas pernah memberi kelompok kami gamelan yang bagus dari perunggu. Sayang, gamelan itu dicuri saat kami manggung di Jakarta," ungkap Nani.

Sehari-hari, sanggar dirawat dan dijaga Taningsih (38), sepupunya. Di sanggar ini, sekitar 50 siswa belajar tari topeng Losari.

Banyak kekhasan

Jika dibandingkan dengan tari topeng dari wilayah barat Cirebon, tari topeng Losari yang mewakili Cirebon bagian timur memiliki kekhasan. Lokasinya yang berbatasan dengan Brebes, Jawa Tengah, membuat topeng Losari banyak dipengaruhi gaya Jateng.

Banyak gerakan tarinya yang tak dijumpai dalam tari topeng wilayah barat, semisal topeng Palimanan, topeng Slangit, topeng Gegesik, topeng Susukan, atau topeng Tambi di Indramayu.

Gerakan khas Losari yang tak dijumpai dalam gaya wilayah lain adalah nggaleyong atau kayang, yakni gerakan meliukkan badan ke belakang. Losari juga punya gantung sikil, gerakan menahan atau menggantung kaki selama lebih dari 10 menit. Ada pula gerakan pasang naga seser, gerakan kuda-kuda.

Dari sisi kostum, musik, urutan cerita, dan urutan penyajian, topeng Losari juga berbeda dengan tari topeng lain. Jika penari topeng dari wilayah barat mengenakan kain bermotif mega mendung, penari topeng Losari mengenakan kain motif liris atau parang yang dipengaruhi Jateng.

Pada tari topeng wilayah barat ada lima tingkatan yang ditarikan, yaitu Panji, Samba (Pamindo), Rumyang, Tumenggung, dan Klana. Urutan tari pun tak terikat pada pembabakan ceritanya.

Setiap babak menceritakan perjalanan hidup dan watak manusia. Panji menceritakan karakter manusia yang baru lahir, yakni suci dan bersih. Samba mewakili karakter anak-anak atau remaja. Rumyang menggambarkan manusia menjelang dewasa yang bergolak. Tumenggung mencitrakan manusia dewasa. Adapun Klana adalah gambaran manusia yang dursila.

Nani mengatakan, pembabakan tersebut berbeda dengan topeng Losari. Pada gaya Losari, yang diutamakan bukan watak, melainkan lebih pada cerita, teknik, dan penjiwaan karakternya. Karena itu, topeng Losari biasa disebut topeng Lakonan.

Ada sembilan pembabakan dalam topeng Losari, yakni Panji Sutrawinangun, Patih Jayabadra, Kili Paduganata, Tumenggung Magangdiraja, Jinggan Anom, Klana Bandopati, Rumyang, dan Lakonan.

Dalam Lakonan ada beberapa tokoh Panji lain yang tak ditemui dalam gaya topeng wilayah barat. "Pada gaya Losari, setiap tarian dibawakan penari yang berbeda. Sementara dalam gaya Cirebon wilayah barat, lima tarian bisa dibawakan seorang penari," ujarnya.

Makna tari

Makna tari untuk "tubuhku dan Tuhan" agaknya kembali pada ciri penari topeng Losari yang menjadikan kotak topeng dan nayaga (para penabuh gamelan) sebagai sentral.

Penari sesungguhnya tak menghadap penonton karena dia menghadap ke kotak topeng dan nayaga. "Tak peduli penonton sedikit atau banyak, mereka suka atau tidak, saya harus menari dengan energi dan penjiwaan sepenuhnya," kata Nani merumuskan prinsip tarian yang tulus itu.

Oleh karena itulah, harga diri dan kesucian ritual harus dijaga. Nani tak mau mengorbankan topeng Losari yang diwarisinya hanya demi uang. Ketika beberapa penari topeng "berdamai" dengan menyelingi pertunjukannya dengan dangdut sesuai dengan permintaan penonton, ia menolaknya.

"Lebih baik saya tak ditanggap (diminta tampil) daripada harus manggung tetapi sambil diminta menyanyi dangdut," katanya.

Setiap akan tampil, Nani menjalani ritual tertentu. Sejak kecil, ia dibiasakan bertirakat, tak makan sebelum pukul 10.00. Ia juga berpuasa Senin-Kamis. "Tirakat untuk ketenangan batin."

Lahir dari keluarga berkekurangan, Nani pernah menjadi buruh gendong di pasar. Ia paham arti berjuang dan bertanggung jawab atas sesuatu. "Saya akan terus menari. Topeng Losari tak boleh punah," ujarnya. ***

Sumber: Kompas, 10 Juli 2012

Apr 19, 2011

Sun Go Kong vs. Siluman Singa

gentlemen,
guess this will be our topic of discussion this Sunday ? :-)
 

POLITIK KEBUDAYAAN

Wayang Potehi sebagai Perekat Kebangsaan

BUNYI KERENCENGAN bertalu-talu terdengar di balik sudut ruangan merah menyala. Sederetan boneka kain dengan sosok cerita klasik Sun Go Kong bergerak di panggung pertunjukan wayang potehi Sabtu (16/4) malam di Dapur Babah, sebuah restoran peranakan di Jakarta. Pengunjung dari Eropa, negara ASEAN, dan warga Jakarta dengan saksama menonton adegan demi adegan Sun Go Kong melawan Siluman Singa yang mengudeta penguasa Negeri Hao Ke Kok.

Dari balik panggung terdengar rangkaian narasi cerita dalam bahasa Jawa, Indonesia, Melayu Pasar awal abad ke-20, dan dialek Hokkian dibawakan secara fasih seorang pria Jawa arek Suroboyo bernama Subur alias Sugiyo Waluyo (49). Di samping panggung terdapat sebuah layar berisi tulisan alur cerita dalam bahasa Inggris.

Alur cerita mengalir mulus, pengunjung sesekali tertawa lepas mendengar narasi jenaka dalang Subur, yang belajar mendalang potehi sejak tahun 1974 itu. Gerakan tangan Subur lincah memainkan karakter Siluman Singa, Sun Go Kong, dan para sute (adik seperguruan), Pendeta Tong Sam Cong, serta tokoh lain dalam cerita klasik yang dulu dibawakan di kelenteng-kelenteng sebagai tontonan bersama warga lintas komunitas peranakan Tionghoa dan Jawa.

Singkat cerita, Sun Go Kong berhasil mengalahkan Siluman Singa yang akhirnya terbongkar kedoknya sebagai Raja Hao Ke Kok palsu. Raja yang asli dapat dihidupkan kembali oleh Dewata dengan pil kehidupan.

Yang menarik, Pendeta Tong Sam Cong, Sung Go Kong, dan para sute tak mau menerima hadiah harta melimpah dan jabatan yang ditawarkan raja yang mereka tolong. Mereka tetap memilih hidup sederhana dan menyelesaikan tugas mengambil kitab di barat (India). Itulah pesan kesederhanaan dan keluhuran budi yang diusung dengan baik oleh dalang Subur yang bermukim di dekat Kelenteng Hong Tek Hian di Surabaya.

"Saya berharap ada yang mau menjadi penerus seni potehi," ujar dalang Subur prihatin.

Perekat kebangsaan

Seni potehi yang diusung dalang Subur merupakan warisan budaya berusia 3.000 tahun lebih yang dibawa imigran Tionghoa dari daratan Tiongkok. Seni itu kini justru dilestarikan para dalang suku Jawa yang berasal dari Surabaya. Sebagian mereka berguru kepada maestro dalang potehi di Kelenteng Tay Kak Sie Semarang, Thio Tiong Gie.

Pengamat wayang peranakan dari Universitas Indonesia, Woro Retno Mastuti, mengatakan, keberadaan wayang potehi dan wayang thithi (wayang kulit Tionghoa) merupakan kekayaan budaya di Indonesia. Bahasa pengantar pertunjukan wayang sudah menggunakan bahasa Indonesia. "Dekorasi wayang thithi malah menggunakan corak busana batik jawa. Ini tidak ada duanya," ujar Woro.

Woro menambahkan, proses integrasi ini terus berlangsung alamiah. Dia mengenal adanya komunitas dalang peranakan Tionghoa yang setia memainkan wayang purwa.

Istri Duta Besar Singapura untuk Indonesia Gouri Mirpuri mengaku kagum melihat keunikan budaya peranakan di Indonesia yang sudah melebur dalam bagian kebudayaan nasional. "Tentunya menarik kalau bisa dipertunjukkan di Museum Peranakan Singapura. Kita juga prihatin mendengar tidak banyak generasi muda yang mau menjadi dalang wayang potehi," ujar Mirpuri.

Meleburnya potehi merupakan salah satu sarana perekat kebangsaan di dalam negeri dan ke luar sebagai sarana diplomasi budaya yang efektif.

(Iwan Santosa)

Sumber: Kompas, 19 Apr 2011

Feb 9, 2011

Tahun Baru Imlek: Reformasi Diri

 

Pembaruan Musim Semi

William Chang

"Tahun Baru adalah baik.

Dengan datangnya Tahun Baru

Kita dapat berpakaian dan bertopi baru.

Kita dapat membunyikan mercon sesuka hati."

(Disappearing Customs of China, 2007)


Sajak khas anak-anak ini masih menjiwai miliaran orang Tionghoa di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Makau, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, dan Filipina yang merayakan Pesta Musim Semi 2562.

Makna terdalam pesta tani ini berpangkal pada kedatangan musim semi yang membawa roh pengharapan. Rumah, pakaian, relasi, dan suasana hati manusia dibarukan. Spiritualitas pembaruan individu menjadi motor seluruh transformasi keluarga. Tanpa pembaruan individu, pembaruan sosial hanyalah impian.

Jejaring pembaruan musim semi ini bermula dari lingkaran keluarga inti sambil melibatkan sanak famili dan handai tolan. Mengingat kekuatan moral individu jadi tumpuan kekuatan moral sosial, sistem pendidikan transformatif disosialisasikan dari lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat luas.

Mentalitas pembaruan disemaikan sejak dini. Mereka cenderung mengusahakan pembaruan dalam hidup mereka. Pakaian dan topi baru dalam Pesta Musim Semi Tahun Kelinci mencerminkan keadaan hidup sosial yang dibarukan terus-menerus.

Pembaruan sosial dalam konteks Pesta Musim Semi ditopang oleh kuasa Yang Transenden: Dewa Tanah, Dewa Dapur, dan Dewa Chai. Yang Ilahi menggerakkan seluruh proses pembaruan ini. Di hadapan-Nya tiada lagi kebohongan sebab Dia menembus segala kenyataan. Semua yang tersembunyi akan disingkapkan pada waktunya.

Manusia telanjang di hadapan Sang Pencipta langit dan bumi. Hanya Dia yang sanggup melihat semua. Kebohongan sebagai sandiwara tak sanggup bertahan di hadapan-Nya. Pembaruan akan mencapai otentisitas kalau manusia sungguh jujur dan tepercaya terhadap diri sendiri, sesama, dan Sang Pencipta. Pesta Musim Semi mengingatkan mereka akan kehadiran dan peran Sang Pencipta.

Pembersihan sebagai awal

Transformasi sosial mengandaikan keberanian moral membersihkan diri dari segala bentuk kebohongan dalam hidup sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan religi. Kaum tani di Tiongkok waktu itu dengan jujur dan berani mengakui bahwa pergantian musim yang seketika akan menyengsarakan hidup mereka. Akibatnya, mereka memanfaatkan waktu seefisien mungkin sehingga peluang transformasi hidup tidak dilewatkan.

Musim semi dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Dalam musim gugur, mereka menuai hasil tani. Kesulitan menghadapi musim paceklik melahirkan gaya hidup hemat. Pemborosan dianggap sebagai sikap yang bertolak belakang dengan pandangan dunia seorang petani.

Prinsip utama transformasi sosial adalah pembersihan diri, keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat. Menjelang Pesta Musim Semi, anggota keluarga membersihkan segala kekotoran yang bukan hanya di bagian luar rumah, melainkan yang tersembunyi di sudut rumah, lantai, dan langit-langit. Kebiasaan sebelum pesta ini muncul sejak zaman prasejarah dan populer sejak Dinasti Tang (618-907).

Pembersihan tempat tinggal mengandung makna pembaruan seluruh sistem dan kandungan dalam sebuah keluarga. Kemalasan, kotoran, dan ketakberesan diselesaikan sebelum merayakan Pesta Musim Semi. Pembersihan dinding rumah terjadi atas perintah Dewa Dapur yang ingin menyelamatkan mereka yang terancam hukuman Kaisar Permata Jade. Ini berarti proses pembersihan merupakan langkah awal meluputkan diri dari segala bentuk ancaman bagi keselamatan manusia.

Perayaan Pesta Musim Semi di Indonesia mengembuskan angin segar bagi proses reformasi bangsa. Sekaranglah saat untuk segera meninggalkan musim korupsi, pembohongan publik, mafia hukum, dan ketakadilan sosial karena musim semi pembaruan segera tiba. Peralihan musim ini menunjukkan perubahan disposisi batin merintis langkah baru memperbaiki hidup sosial, ekonomi, politik, dan religi.

Musim semi kehidupan bangsa kita ditandai dengan gerakan perbaikan hati nurani dan budi manusia yang masih dicengkam aneka bentuk kecenderungan destruktif (akuisme, sektarianisme, nepotisme, dan banditisme). Penyingkiran peran hati nurani mengakibatkan manusia sulit membedakan yang baik, jahat, bisa, dan boleh. Rasionalisasi dan pembenaran diri/golongan sebegitu dominan sehingga pengakuan akan kesalahan diri sangat sulit terjadi.

Tanpa pembaruan mentalitas, gerakan transformasi sosial sejak Soeharto lengser tinggal slogan. Tiga langkah dasar berikut mutlak ditempuh. Pertama, pemerintah harus tegas dan konsisten menonaktifkan polisi, jaksa, dan hakim yang terindikasi korupsi dari pusat ke daerah. Teknokrat baik, jujur, dan profesional dapat segera ambil alih posisi mereka. Pembersihan birokrat koruptif adalah kewajiban moral.

Kedua, tanggung jawab masyarakat dalam menyembuhkan kondisi koruptif melalui kerja sama yang sehat dan transparan dengan penegak hukum. Kecenderungan berkolusi dalam bidang kejahatan harus ditinggalkan agar bangsa kita luput dari penghancuran sistemik. Ketiga, wibawa pemerintah segera dipulihkan dengan membangun kembali ketepercayaan rakyat. Sebuah pasukan pemberantasan korupsi yang tak kenal kompromi sangat diperlukan.

Jika prinsip yang benar gagal diterapkan dalam sebuah negara, maka sistem pemerintahan tak berada dalam tangan aparatur semestinya. Dalam keadaan seperti ini kehadiran musim semi pembaruan sangat diperlukan. Xin Nien Kuai Le!

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

Sumber: Kompas, 02 Februari 2011

Jan 9, 2011

Kebangkitan Film Komedi Indonesia?

ternyata 'saba ' itu artinya berkunjung atau bepergian ke luar rumah...  (EJ)


Kala Kabayan Saba Kota (Lagi)
Minggu, 9 Januari 2011 | 03:11 WIB

Budi Suwarna

TERTAWALAH SEBELUM TERTAWA ITU DILARANG. Itu sindiran Warkop pada era Orde Baru. Kini tertawa juga belum dilarang. Namun, produser harus jeli mencari celah tawa. Termasuk memanggil Kabayan untuk turun ke kota atau memasang tokoh mahasiswa seperti model Warkop dulu.

Sepanjang liburan Natal dan Tahun Baru kali ini, setidaknya ada dua film komedi yang beredar di bioskop, yakni Kabayan Jadi Miliyuner (KJM) dan 3 Jejaka Tanggung. Mari kita tengok ceritanya.

KJM tidak lain adalah versi lain dari lima film Kabayan yang terhitung sukses di pasaran pada era 1990-an. Benang merah kisahnya tetap sama, yakni percintaan antara Kabayan dan Nyi Iteung. Hanya saja, di KJM, Iteung tidak digambarkan sebagai gadis desa yang lugu, tetapi gadis metropolis yang modis, berpendidikan, bekerja sebagai sekretaris, dan tinggal di apartemen mewah bersama orangtuanya yang materialistis.

Cerita bermula dari kedatangan Rocky yang ingin menguasai tanah Pesantren As-Salam tempat Kabayan dan para santri tinggal. Pemimpin pesantren, Ustaz Soleh, menyerahkan semua keputusan kepada Kabayan. Kabayan menolak usaha pengambilalihan tanah pesantren untuk dijadikan perumahan mewah. Namun, Rocky tidak kehabisan akal. Dia mengirim sekretaris sekaligus tunangannya yang cantik, Iteung, untuk memperdaya Kabayan. Tidak disangka, Kabayan dan Iteung malah saling jatuh cinta.

Chand Parwez Servia, produser Starvision yang memproduksi KJM dan lima serial Kabayan sebelumnya, mengatakan, dia berusaha mendekatkan kisah Kabayan dengan generasi sekarang yang akrab dengan kultur MTV. "Kalau dikasih cerita Kabayan versi klasik, mereka belum tentu mengerti," ujar Parwez.

Mungkin itu sebabnya Parwez memasang Jamie Aditya yang pernah menjadi host dan ikon MTV Indonesia sebagai Kabayan serta menempatkan Rianti Cartwright yang wajahnya indo sebagai Iteung. Di film ini juga ada adegan Superman yang komplain—dalam bahasa Sunda—pada jin "teman baik" Kabayan yang ngebut di angkasa.

Film 3 Jejaka Tanggung juga menyasar penonton anak muda. Film ini bercerita tentang tiga mahasiswa yang suka pesta dan hura-hura. Suatu ketika, sehabis mabuk, mereka diculik dan tiba-tiba berada di pedalaman Kalimantan. Mereka kemudian ditahan oleh suku Dayak karena dianggap membuat onar. Pada akhirnya, mereka tampil sebagai pahlawan yang berhasil menyelamatkan perkampungan Dayak itu dari seorang pengusaha rakus.

Kedua film ini tampaknya dibuat untuk memberi hiburan semata tanpa pusing-pusing memikirkan logika cerita. Di film 3 Jejaka Tanggung, misalnya, penonton tidak pernah mendapat penjelasan bagaimana tiga mahasiswa yang suka hura-hura itu diculik dan terdampar di Kalimantan.

Penjelasan bagaimana Iteung bisa jatuh cinta kepada Kabayan yang miskin dan kampungan di film KJM juga kurang meyakinkan. Cinta seolah muncul begitu saja.

Parwez mengatakan, film komedi untuk masa liburan yang penting bisa menghibur. Selain itu, karena film komedi pada masa liburan ditonton keluarga, film itu tidak boleh memuat adegan seks dan tidak mengeksploitasi tokoh jahat.

Gope Samtani, Direktur Utama Rapi Films yang memproduksi 3 Jejaka Tanggung, mengatakan, film komedi yang penting lucu. "Selama liburan orang itu ingin tertawa dan terhibur. Jadi, tidak perlu diberi cerita yang ribet-ribet," ujar Gope.

Tradisi

Film komedi sudah mentradisi sebagai tontonan pada musim liburan. Era 1960-an dan 1970-an, film-film Bing Slamet dengan Kwartet Jaya-nya (Bing Slamet, Ateng, Iskak, Eddy Soed) populer dengan Bing Slamet Setan Jalanan sampai Bing Slamet Koboi Cengeng. Era 1980-an dan 1990-an giliran film-film Warkop Dono Kasino Indro yang mendominasi tontonan bioskop setiap musim libur, terutama Lebaran. Mereka menghasilkan 34 film yang di Jakarta saja ditonton sekitar 400.000-600.000 penonton.

Pertengahan tahun 2000-an, film komedi pada masa liburan sempat redup karena kepungan film horor, drama yang dibalut religi, dan film anak-anak macam Laskar Pelangi. Sampai musim liburan kali ini pun, film komedi belum sanggup mendominasi bioskop lagi, seperti zaman Warkop DKI. KJM dan 3 Jejaka Tanggung, misalnya, harus bersaing ketat dengan film horor Pocong Rumah Angker dan dua film drama berbalut kemasan religi, yakni Khalifa dan Dalam Mihrab Cinta.

Meski begitu, film komedi tetap meraup rezeki tambahan pada musim liburan. Gope mengklaim, film 3 Jejaka Tanggung dalam sepekan ditonton 130.000 orang. "Sampai sekarang (minggu kedua), film itu masih diputar. Kami harap film itu bisa ditonton 300.000 penonton. Angka itu sudah bagus buat film lokal untuk saat ini," ujar Gope.

Parwez mengklaim, KJM ditonton 400.000 orang dalam dua pekan. Film ini masih diputar di sejumlah bioskop. Pada saat musim liburan, kata Parwez, jumlah penonton secara keseluruhan memang naik 25-40 persen. Karena itu, semua produser berlomba-lomba mendapatkan waktu tayang pada saat itu. "Apa pun genre film yang kami buat, kami sudah harus memastikan dapat waktu tayang pada saat liburan ketika film akan diproduksi. Kalau tidak, film kami disalip film lain," ujar Parwez.

Sebenarnya, lanjut Gope, semua genre film punya kesempatan yang sama untuk meraih penonton pada saat liburan. Meski begitu, memproduksi film komedi untuk musim liburan tetap lebih menguntungkan. "Setelah masa liburan habis, kami bisa menjual hak siar film komedi ke (stasiun) televisi. Kalau film horor, televisi tidak mau menayangkan," ujar Gope. Apa boleh buat, film memang harus berputar.

Sumber: Kompas, 9 Januari 2011

Grandis Food Louver

Salah satu prioritas tertinggi bulan depan... :-)

Kumpul Tidak Kumpul asal Makan (di Mal )
Minggu, 9 Januari 2011 | 03:47 WIB
KO M PA S / P R I YO M B O D O
Suasana di @ America di Pacific Place, Jakarta Selatan, Selasa (4/1). Pusat Kebudayaan Amerika ini buka di mal sebagai upaya mendekatkan diri kepada masyarakat

Yulia Sapthiani dan Ilham Khoiri

Mal adalah gelanggang makanan. Hampir semua selera dilayani mal. Dari sushi sampai gudeg, dari sate hingga steak, dari pecel hingga burger. Orang-orang menyerbu mal untuk menikmati hiburan lidah berupa makan dan makan.

Saat jam makan siang sekitar akhir Desember lalu, orang-orang hiruk pikuk di Food Louver, Mal Grand Indonesia, Jakarta. Banyak pengunjung bahkan harus berdiri menunggu giliran mendapat kursi.

"Iya nih, kalau jam segini susah mencari tempat duduk. Saya dan teman-teman sudah dari tadi mencari kursi, tetapi baru dapat sekarang," tutur Nita (38), karyawati bank yang datang bersama tiga temannya.

Sebagai foodcourt yang berada di kawasan perkantoran antara Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin, Food Louver yang berada di lantai 3 memang selalu dipenuhi karyawan dari sekitar wilayah tersebut setiap istirahat siang. Mereka rata-rata datang bersama teman supaya bisa membagi tugas, antara mencari tempat duduk dan memesan makanan.

Meski harus berjuang dan bersabar mendapat kursi dan antre memesan makanan, Nita tak pernah kapok datang ke arena jajan tersebut. "Selain dekat dengan kantor, variasi makanannya banyak. Kami juga tidak kepanasan atau takut kehujanan waktu makan karena lokasinya di dalam mal," ujar Nita.

Kalau pada hari kerja tempat makan ini dipenuhi karyawan kantor, maka pada akhir pekan pengunjungnya didominasi keluarga. Selain ke Food Louver, mereka biasanya memenuhi area makan lain di lantai LG, 3A, dan 5 mal barat. Di lantai 3A dan 5, pengunjung bisa makan sambil menikmati suasana di Jepang, China, Amerika, atau Eropa melalui desain di setiap areanya. Jenis makanannya tentu saja disesuaikan dengan tema tempat-tempat tersebut.

"Sebagai mal yang berkonsep memberi hiburan untuk keluarga, kami menjadikan tempat makan sebagai tujuan pengunjung datang ke sini karena hampir bisa dipastikan mereka akan makan atau minum meskipun tidak belanja," kata Senior Marketing Communication Manager GI Teges Prita Soraya.

Karena area makan sudah menjadi daya tarik pengunjung datang ke mal yang berada di pusat kota Jakarta ini, GI berencana menambah area tersebut di mal timur.

Mal Kelapa Gading (MKG) dan Cilandak Town Square (Citos), yang berada di sisi utara dan selatan Jakarta, juga menjadikan kuliner sebagai daya tarik bagi pengunjung. Memanfaatkan ketenaran Kelapa Gading sebagai daerah wisata kuliner di Ibu Kota, MKG menjadikan makanan sebagai salah satu konsep mereka selain hiburan dan mode.

"Kuliner menjadi perhatian utama kami karena wilayah Kelapa Gading telah berkembang dan dikenal sebagai kota sejuta makanan. Faktor ini menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat, bahkan yang tinggal di luar wilayah Kelapa Gading," kata Cut Meutia, General Manager Corporate Communications PT Summarecon Agung Tbk.

Untuk memperkuat konsep kuliner ini, area-area makanan berbentuk foodcourt disediakan di beberapa tempat, salah satunya Food Temptation yang berada di lantai 3 MKG 3 seluas 7.000 meter persegi dengan kapasitas lebih dari 2.200 kursi.

Food Temptation ini berdampingan dengan area makan lainnya, yaitu Eat and Eat yang memiliki daya tarik dengan desainnya yang unik. Berada di Eat and Eat MKG, kita serasa berada di pasar pada zaman dulu. Selain itu, ada Food Sensation yang berada di MKG 1.

Konseptor Eat and Eat, Iwan Tjandra, mengatakan, semakin banyak tempat makan di sebuah mal membuat dia harus membuat konsep unik untuk area kuliner ciptaannya. Dia juga harus menyesuaikan jenis makanan yang dijual dengan karakter konsumen di wilayah Eat and Eat berada.

Di Eat and Eat MKG, misalnya, Iwan menggabungkan kuliner tradisional, barat, dan beberapa menu nonhalal. Adapun Eat and Eat yang ada di Gandaria City, Jakarta Selatan, didominasi oleh kedai yang menyediakan makanan tradisional, seperti pecel Solo, pempek Palembang, nasi Padang, dan gudeg Jogja.

Sementara dominasi tempat makan di Citos terlihat dari jumlah 60-an gerai—dari total 85 gerai—yang menjual makanan dan minuman. Keberadaan deretan tempat makan dan minum ini, seperti Starbucks, Dome, The Coffee Bean & Tea Leaf, De'Excelso, atau Bakerzin, membuat pengunjung bisa bersantai sambil makan dan minum.

Kumpul itu makan

Ternyata konsep ini diminati. Buktinya, pengunjung Citos hampir selalu ramai setiap hari, apalagi pada akhir pekan atau liburan. Berdasarkan catatan pengelola, ada sekitar 6.000 kendaraan yang masuk ke situ setiap hari. Jumlah pengunjungnya diperkirakan 20.000 orang per hari.

Kenapa mal-mal itu menyediakan banyak gerai makanan? "Karena orang-orang suka berkumpul dan bersantai. Apa yang dilakukan orang saat bersantai? Salah satunya, ya makan," kata Yen Yen, General Manager Marketing dan Promosi Citos.

Tempat-tempat makan ini tak hanya berada di tempat yang dikhususkan sebagai area kuliner. Beberapa di antaranya bahkan digabungkan dengan tempat lain, seperti kafe yang berada di dalam toko buku Gramedia GI.

Selain untuk mereka yang memang punya tujuan makan, keberadaan area makan di mal membantu pengunjung yang punya tujuan lain, salah satunya kumpul-kumpul, seperti yang dikatakan Yen Yen. Tak sedikit orang-orang datang ke tempat makan di mal sambil melakukan aktivitas yang serius.

Sari Fisdi (33), misalnya. Pada pertengahan pekan lalu datang bersama teman-temannya ke Sky Dinning di Plaza Semanggi untuk membuat makalah sebagai tugas dari tempat kuliah mereka di Universitas Mercu Buana, Jakarta. Mereka biasa berkumpul di area yang berada di lantai 10 Plaza Semanggi ini hingga beberapa jam sampai makalah selesai dan sambil menunggu menghilangnya kemacetan jalan pada sore hari.

Ya, daripada lelah berada di lalu lintas Jakarta, berkumpul dengan teman sambil menyeruput teh atau kopi di mal memang menjadi pilihan menarik warga Jakarta saat pulang kerja.

Sumber: Kompas, 9 Januari 2011

Aug 24, 2010

Indonesianist Peneliti Keraton Yogyakarta

"Saya sebenarnya sudah separuh pensiun, tetapi tidak bisa diam dan ingin terus belajar..."


Menggelar Indonesia di Mancanegara
Selasa, 24 Agustus 2010 | 02:43 WIB
KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN
JENNIFER LINDSAY

MAWAR KUSUMA

Abdi dalem Keraton Yogyakarta, KRT Rintaiswara, menyodorkan buku katalog karya Jennifer Lindsay saat menjelaskan kekayaan koleksi manuskrip di Kewedanaan Hageng Punakawan Perpustakaan Widya Budaya. Buku itu menjadi panduan bagi mereka yang ingin mempelajari manuskrip tentang Keraton Yogyakarta.

Lindsay, peneliti Australia itu, membuat buku proyek mikrofilm naskah di Keraton Yogyakarta dibantu dua rekannya, RM Soetanto dan Alan Feinstein, tahun 1985. Proyek itu atas permintaan Sultan Hamengku Buwono IX. Setelah 20 tahun kemudian buku karyanya itu masih menjadi satu-satunya katalog manuskrip Keraton Yogyakarta.

Tak berhenti pada manuskrip keraton, dia terus menunjukkan ketertarikannya pada budaya dan sejarah Indonesia. Kini perempuan kelahiran Selandia Baru itu memimpin proyek penelitian "Indonesia's Cultural History 1950-1965: in Search of a Lost Legacy". Pada proyek ini dia meneliti dan menulis misi kesenian Indonesia ke luar negeri.

Ia mewawancarai langsung para pelaku seni budaya era 1950-1965-an yang merupakan duta Indonesia ke berbagai negara. Dia menangkap, betapa pentingnya budaya sebagai alat diplomasi saat Indonesia masih berusia muda.

"Dari awal, saya sangat menghargai mereka yang memilih hidup tidak gampang," ujarnya.

Selain menghasilkan buku penelitian 20 penulis, dibantu Australia-Netherlands Research Collaboration Scheme, Lindsay juga menyutradarai film dokumenter, Menggelar Indonesia. Film ini berisi wawancara dengan 30 duta seni budaya Indonesia pada awal kemerdekaan, yang menjadi produk sampingan penelitiannya.

Film itu diputar gratis di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, dan Bali. Rencananya, Menggelar Indonesia juga akan diputar di perguruan tinggi dan komunitas lain di luar negeri. Ia mengaku senang karena para pelaku sejarah itu kembali diperhatikan, sekaligus menginspirasi kaum muda untuk menghargai sejarah.

Bersama Bulantrisna Djelantik, Irawati Durban Ardjo, dan Menul Robi Sularto, Lindsay memproduksi film dokumenter berdurasi 90 menit itu. Sebelumnya, ia meneliti periode awal kemerdekaan Indonesia selama setahun. Buku hasil penelitian kolaborasi baru itu akan dirilis awal September nanti. "Film ini arsip sejarah. Tak hanya sejarah Indonesia, tapi sejarah dunia," katanya.

Lindsay prihatin sebab perhatian masyarakat pada era 1950-1965 amat kurang. "Saya terkesan, pada awal berdirinya Republik ini, budaya begitu penting. Budaya yang membawa Indonesia ke luar negeri sekaligus membentuk rasa Indonesia di dalam negeri," tambahnya.

Kecintaan bertahap

Kecintaannya kepada Indonesia dibangun bertahap. Pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia pada usia 19 tahun, Lindsay jatuh cinta pada budaya Indonesia. Itulah kali pertama dia ke luar negeri. Ia tinggal di Yogyakarta selama enam tahun, sejak 1971. Di sini Lindsay belajar gamelan, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa.

Ingin semakin mengenal Indonesia, ia melanjutkan kuliah S-2 di Cornell University, Amerika Serikat, pada 1978-1980. Ia mengambil jurusan Sejarah Asia Tenggara. Pemilihan jurusan Sejarah itu, diakuinya, sebenarnya aneh. Sebab, ia pernah tak lulus mata kuliah Sejarah saat kuliah S-1 Sastra Inggris di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Lindsay lalu melanjutkan S-3 jurusan Kajian Indonesia di University of Sydney, Australia. Katalog mikrofilm naskah Keraton Yogyakarta adalah buku pertama yang ditulisnya, ketika menggelar penelitian PhD pada 1981-1983. Disertasinya diterbitkan tahun 1991, berjudul Klasik, Kitsch, Kontemporer: Sebuah Studi Mengenai Pertunjukan Jawa.

Setelah menyelesaikan S-3, ia bekerja pada Australia Council, membidangi kebijakan kesenian dengan pendanaan dari pemerintah. Dia lalu diangkat sebagai Atase Kebudayaan Australia di Kedutaan Australia di Jakarta pada 1989-1992. Dia juga sempat bekerja di Ford Foundation, Jakarta. Selanjutnya, Lindsay mengajar pada program Asia Tenggara di National University of Singapore, menjadi peneliti tamu pada Asia Research Institute, serta dosen Kajian Pagelaran Asia di University of Sydney. Karier mengajarnya berhenti tahun 2006 ketika ia memutuskan pensiun dan fokus sebagai penulis, penerjemah, dan peneliti.

Kini dia menjadi peneliti tamu pada School of Culture, History and Language, College of Asia and the Pacific, di Australia National University (ANU). Sejak tahun 2008 ia juga menjadi peneliti tamu pada International Institute of Asian Studies and KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) Leiden, Belanda.

Menguasai segudang pengetahuan tentang sejarah dan budaya Indonesia, Lindsay merasa semakin tidak tahu apa-apa. Semua pelajaran tentang budaya ataupun sejarah yang telah dipelajarinya, semuanya terasa baru dan menarik.

"Semakin tua, semakin belajar sesuatu yang baru, saya semakin merasa tidak tahu," katanya.

Ia yakin, setiap orang tak akan bisa memahami masa sekarang tanpa melirik masa lalu. Sejatinya, sejarah adalah sesuatu yang mengasyikkan dan menarik. Sejarah sama sekali tidak kering. Sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan menjadi bagian dari kekinian.

Jennifer Lindsay bercerita, kecintaannya terhadap seni budaya sudah tertanam sejak masih kanak-kanak. Orangtuanya berprofesi sebagai pemusik. Ayahnya dirigen orkes dan pemain violin, sedangkan ibunya antara lain bermain piano. Lindsay kecil pun belajar bermain piano dan selo. Maka dia juga menyukai hampir semua jenis musik, bukan hanya gamelan Jawa.

Perempuan yang lebih senang disebut sebagai pemerhati budaya itu mengatakan, ia akan terus memberikan pemikirannya bagi Indonesia. Ikatan batin Lindsay dengan Indonesia dan teman-temannya di Indonesia membuat dia lebih sering menghabiskan waktu di Indonesia dibandingkan di Selandia Baru atau Australia.

"Saya sebenarnya sudah separuh pensiun, tetapi tidak bisa diam dan ingin terus belajar (tentang Indonesia)," katanya menegaskan.

Sumber: Kompas, 24/8/10

Jul 2, 2010

Pojok Tanah Air

...


Warna-warni Kehidupan Tionghoa di Bangka
Kamis, 3 Juni 2010 | 17:57 WIB

Oleh Jannes Eudes Wawa


Tionghoa selalu diidentikkan dengan hartawan. Akan tetapi, adagium itu terpatahkan di Bangka. Di sana, komunitas ini tidak semata-mata terdiri atas pemilik modal. Banyak warga Tionghoa yang hidupnya berada di bawah garis kemiskinan.

Mereka menjadi buruh tani, nelayan, sopir angkutan umum, buruh angkut barang di pasar, dan sejenisnya. Salah satu contoh di Kampung Gedong, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka Tengah. Di daerah itu hidup sekitar 80 keluarga Tionghoa yang 80 persen di antaranya bekerja sebagai petani lada dan karet. Sisanya menjadi nelayan dan buruh penambangan timah.

"Sudah lebih dari tujuh generasi warga Tionghoa yang hidup di Kampung Gedong bekerja sebagai petani dan nelayan. Kami memiliki tanah yang ditanami lada dan karet, tetapi sulit diandalkan untuk menopang hidup karena harga karet dan lada selalu rendah," kata Chong Kong Phen (32), warga Gedong yang sehari-hari menjadi petani dan penambang timah, Senin (8/2).

Rumah yang dimiliki warga setempat umumnya berdinding papan dan beratap genteng. Bangunan itu nyaris tidak pernah direnovasi selama puluhan tahun sehingga di beberapa bagian dinding mulai rusak dan atap pun bocor. Perabot rumah juga seadanya saja. "Keinginan merenovasi rumah selalu terkendala biaya. Uang yang didapat selalu habis untuk kebutuhan pokok, terutama makanan, dan membiayai kebutuhan anak sekolah," ujar Chong.

Tjhory (57), warga di Desa Rebo, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka Induk, juga mengakui bahwa dirinya melanjutkan pekerjaan sebagai nelayan dari bapak dan kakeknya. Kini, profesi itu diteruskan dua putranya, Een (30) dan Wewan (21).

"Semua pekerjaan sama-sama terhormat. Sekarang tergantung pada diri masing-masing. Kalau kita jalankan dengan tekun dan serius, pasti ada manfaat bagi keluarga dan diri sendiri. Makanya, saya tetap bangga menjadi nelayan," tutur Tjhory.

Begitu banyak warga Tionghoa di Bangka yang berprofesi sebagai petani dan nelayan membuat hubungan dengan masyarakat dari komunitas lain, seperti Melayu, pun berlangsung terbuka, harmonis, dan cair. Kecemburuan sosial akibat faktor ketimpangan ekonomi nyaris sulit bertumbuh dan berkembang.

PRIYOMBODO
Persiapan Menyambut Imlek - Warga Tionghoa bergotong-royong menghiasi Klenteng Jaya Bhakti, di Desa Rebo, Sungai Liat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Selasa (9/2). Klenteng tersebut baru direnovasi dari himpunan dana mayarakat desa setempat dan warga desa yang telah berhasil diperantauan.
Saat Lebaran, warga Tionghoa pun datang ke rumah umat Muslim memberikan salam selamat merayakan Idul Fitri. Sebaliknya, saat Imlek, warga lain juga mengunjungi rumah warga Tionghoa menyampaikan gong xi fa cai. "Tradisi itu telah berlangsung ratusan tahun. Lihat saja di warung kopi, orang Tionghoa, Melayu, serta masyarakat lainnya membaur duduk satu meja, saling bergurau dan bercerita apa saja. Ini menggambarkan kekentalan hubungan," ungkap Bele Silvester (48), warga Pangkal Pinang.

Jumlah warga Tionghoa di Provinsi Bangka Belitung sekitar 32 persen dari total penduduk sebanyak 1,1 juta jiwa. Mayoritas mereka penganut Konghucu, disusul Buddha, Katolik, Kristen, dan Islam.

Desa Rebo memiliki 600 kepala keluarga (KK) dan 560 KK di antaranya warga Tionghoa. Sekitar 450 warga Tionghoa setempat berprofesi sebagai nelayan.

Kompas
Bangka
Sejauh ini belum ada data yang pasti kapan warga Tionghoa mulai masuk ke Pulau Bangka dan Belitung. Ada yang menyebut warga Tionghoa datang pada abad VI Masehi. Alasannya, saat itu ada masyarakat Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha.

Ada juga pendapat yang menyebut warga Tionghoa hadir di Bangka sejak awal 1960-an. Mereka dibawa oleh penjajah Belanda untuk bekerja di tambang timah. Kelompok ini bukan kaum pedagang, melainkan pekerja kasar. Setelah lama bekerja di Bangka, mereka memilih menetap dan melahirkan keturunan yang terus hidup di pulau tersebut hingga saat ini.

Begitu mengakarnya kehadiran warga Tionghoa di Bangka membuat komunitas ini pun dianggap sebagai bagian terpenting dari masyarakat wilayah itu. Salah satu fakta adalah penulisan nama jalan di Bangka yang menggunakan tiga bahasa, yakni Indonesia, Tionghoa, dan Arab.

PRIYOMBODO
Kemeriahan Menyambut Imlek - Atraksi barongsai memeriahkan perayaan menyambut Imlek di Klenten Kwan Tie Miau di Kawasan Pasar Pembangunan, Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu (13/2) malam. Atraksi Lion dan Barongsai tersebut menjadi tontonan warga dari berbagai etnis. Imlek dirayakan sangat meriah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Orang Tionghoa Bangka juga tetap mempertahankan bahasa leluhurnya. Bahasa tersebut diajarkan sejak kecil serta dipakai dalam komunikasi dalam rumah dan dengan sesama komunitas. "Bahasa Tionghoa merupakan bahasa ibu sehingga sulit dilupakan, sedangkan bahasa Indonesia baru kami pelajari saat masuk sekolah," papar Cen Sin Fui (40), warga Desa Gedong.

Setelah sukses di perantauan, warga Tionghoa Bangka tidak lupa daratan. Banyak di antara mereka menyisihkan sebagian penghasilan untuk membantu warga di Bangka.

Pembangunan kelenteng di Desa Rebo, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka Induk, yang menghabiskan dana sekitar Rp 2 miliar, misalnya, sekitar Rp 1,85 miliar di antaranya sumbangan dari warga Tionghoa asal Desa Rebo di perantauan. "Tanpa bantuan mereka, kelenteng ini pasti tak bisa dibangun," ujar Tet Fu (57), tokoh masyarakat Tionghoa di Desa Rebo.

Beginilah warna-warni kehidupan warga Tionghoa di Bangka.

Sumber: Kompas, 3 Juni 2010

Mar 2, 2010

Budaya Cap Go Meh dan Pariwisata

BUDAYA
Cap Go Meh Singkawang Menjadi Daya Tarik Wisata

Senin, 1 Maret 2010 | 04:19 WIB

Singkawang, Kompas - Perayaan Cap Go Meh 2561 tahun 2010 ini di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, menjadi daya tarik yang luar biasa bagi wisatawan dari luar daerah. Selama beberapa hari, Kota Singkawang dipenuhi wisatawan.

Perayaan Cap Go Meh di Singkawang, Minggu (28/2), dipusatkan di Jalan Diponegoro, dengan acara arak-arakan tatung dari komunitas-komunitas budaya. Tatung adalah orang yang dirasuki roh halus sehingga memiliki kekebalan tubuh dan tidak merasakan sakit saat duduk atau berdiri di atas pedang atau pipi ditusuk bilah-bilah besi panjang.

Ketua Panitia Cap Go Meh Kota Singkawang Lio Kurniawan mengatakan, arak-arakan tatung tahun ini didaftarkan ke Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) untuk memecahkan rekor jumlah tatung terbanyak. "Jumlah tatung yang mendaftar ke panitia sebanyak 777, tetapi Muri menghitung sendiri saat perarakan dan akan diumumkan pada Minggu malam," ujar Lio.

Arak-arakan tatung yang didampingi oleh belasan atau puluhan pengiring dari tiap komunitas mendapatkan perhatian luar biasa dari wisatawan. Para tatung mempertontonkan atraksi kekebalan tubuh. Selama arak- arakan tatung yang diperkirakan disaksikan 200.000 orang itu, lalu lintas dari dan ke Jalan Diponegoro ditutup.

Sebelum perayaan Cap Go Meh, Singkawang ramai dipadati wisatawan karena panitia juga menggelar berbagai acara.

Sekitar 20.000 warga memadati Stadion Kridasana untuk menyaksikan berbagai atraksi, antara lain peragaan busana batik singkawang, pesta kembang api, dan perlombaan karaoke tingkat ASEAN. Selain itu, penyerahan penghargaan Muri untuk lampion raksasa berukuran tinggi 22 meter dan diameter 32 meter serta kue keranjang raksasa dengan berat 8.735 ton.

Di Yogyakarta, aksi naga lampion berwarna kuning keemasan sepanjang 131,05 meter yang meliuk-liuk di ruas Jalan Malioboro menutup acara Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta, 23-27 Februari. Naga yang dilengkapi sekitar 3.000 lampu ini memecahkan rekor naga lampion terpanjang di Indonesia.

Naga lampion diarak bergantian oleh ratusan orang mulai dari Taman Parkir Abu Bakar Ali melalui Jalan Malioboro hingga ke kawasan Titik Nol Kota Yogyakarta, Sabtu (27/2) malam. Acara itu juga dihadiri Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X serta Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto.

Awalnya, naga lampion itu dibuat sepanjang 126 meter. Namun, setelah diukur oleh tim dari Muri, panjangnya 131,05 meter dan tercatat sebagai naga lampion terpanjang. (aha/ara)

Sumber: Kompas, 1 Maret 2010

Feb 14, 2010

Tabrakan maut Imlek & Valentine

Xin Chun Kuai Le, Nian Nian You Yu...
* Happy Valentine's Day 14-Feb-10 *

Imlek: Merayakan Cinta Kasih

Sabtu, 13 Februari 2010 | 05:10 WIB

P Agung Wijayanto

Pada tahun ini, perayaan Imlek atau Xin Nian bertepatan dengan perayaan Valentine, hari cinta kasih. Bagi orang beriman, segala peristiwa tidaklah terjadi kebetulan, tetapi merupakan anugerah dan pengarahan dari Sang Penyelenggara Kehidupan.

Kendati mungkin Anda tidak merayakan salah satu atau kedua perayaan tersebut, sebagai warga negara Indonesia yang mengakui keberadaan Allah, Sang Sumber Kasih, tidaklah ada ruginya untuk merenungkan perayaan cinta kasih di dalam kehidupan sebagaimana dirayakan pada hari itu. Amatlah menarik untuk merenungkan beberapa pokok pengalaman kasih yang dirayakan dalam Imlek. Semoga hal ini dapat memperkaya khazanah kehidupan kerohanian bangsa Indonesia.

Pengalaman kasih

Imlek sejak semula memang merupakan perayaan masyarakat China. Dalam perjalanan waktu, Imlek juga dirayakan oleh masyarakat Jepang, Korea, Vietnam, Indonesia, dan sebagainya. Sebelum menjadi masyarakat industri, mayoritas penduduk di negara-negara tersebut adalah petani. Dapatlah dimengerti bila Imlek banyak diwarnai oleh berbagai simbol dan pemahaman akan pengalaman kasih dan kehidupan sebagaimana dihidupi dan dirayakan oleh para petani.

Dalam perjalanan waktu, masyarakat modern atau perkotaan tetap mempertahankan atau mengolah simbol dan pemahaman tersebut seturut situasi atau perkembangan yang ada. Beberapa pokok perayaan kasih yang pantas direnungkan adalah sebagai berikut.

Pertama, manusia hidup dalam lautan kasih. Petani selalu dikelilingi oleh berbagai tanda dan peristiwa kehidupan: padi, pohon, sayuran, buah, ternak, unggas, bayi, keluarga, dan sebagainya. Semua bentuk kehidupan itu tumbuh, berkembang, dan menghasilkan buah-buah kehidupan yang melimpah. Ritme ini membuat kehidupan menjadi indah, membahagiakan, dan mengagumkan karena semuanya digerakkan oleh kasih. Petani pada akhirnya dapat memahami bahwa kasih dan kehidupan tidaklah terpisahkan.

Dongeng yang diperdengarkan kepada anak-anak saat merayakan Imlek adalah kisah kemenangan manusia atas monster waktu nian (si pembawa kematian dan kehancuran tata kehidupan).

Memasuki tahun baru, semua orang mengharapkan dapat tetap hidup dalam lautan kasih yang penuh kedamaian, kesejahteraan, kelimpahan berkah, dan jauh dari kehancuran hidup. Lambang buah kedamaian (apel, pingguo), kelimpahan berkat (ikan, yu), dan lainnya dimakan supaya manusia dapat tetap menyatu dengan lautan kasih yang menghidupkan.

Kedua, kasih yang menghidupkan itu adalah karunia. Lautan kehidupan dipahami oleh petani sebagai kasih karunia yang mengalir secara harmonis (Yin & Yang) dari para penguasa langit dan bumi serta dari leluhur. Kendati harus selalu bekerja keras, petani tidak dapat dan tidak berhak memaksa kasih untuk melahirkan kehidupan.

Imlek selalu diawali dengan upacara syukur kepada siapa atau apa saja yang telah mengaruniakan kasih yang membawa, memenuhi, menggerakkan, dan menumbuhkan kehidupan ini.

Upacara ini tidak harus dilakukan di suatu tempat ibadat, tetapi sudah selayaknya mereka melaksanakannya di rumah masing-masing. Selesai upacara, seluruh anggota keluarga memberikan penghormatan kepada anggota keluarga yang dipandang paling "senior". Seluruh keluarga mengungkapkan pemahaman bahwa mereka yang "dituakan" telah ikut serta menjadi saluran berkat kasih yang menghidupkan itu. Untuk itu, mereka memang layak dihormati.

Ketiga, kasih selalu di dalam kebersamaan dan solidaritas dengan yang lain. Puncak perayaan Imlek terletak pada saat seluruh anggota keluarga berkumpul dan mensyukuri segala kasih dan rahmat yang dialami oleh seluruh keluarga. Di dalam kebersamaan itulah, setiap orang merasakan keberadaan dan makna dirinya justru ada dalam keberelasian dan kesatuan dengan orang lain, yang terwujud nyata dalam keluarga.

Di saat itu tidak teralami perasaan keterasingan, kecemasan, ataupun kegelisahan. Semuanya disatukan di dalam ikatan kehidupan yang penuh kasih. Masa lalu (generasi tua) dan masa mendatang (generasi muda) menyatu di dalam suasana kegembiraan dan kebahagiaan karena semua berbagi kasih.

Yang tua mengaruniai hong bao (kasih sarana kehidupan), yang muda mempersembahkan bai gui (hormat kepada pemberi kasih kehidupan). Dalam perjalanan waktu, tidak hanya orangtua yang harus memberi sarana kehidupan, tetapi anak juga harus mau memberikan yang terbaik bagi kehidupan orangtua, terutama di saat mereka tak sekuat dulu lagi.

Bagi petani, keluarga tidak hanya dialami sebagai suatu unit produksi atau ekonomi. Keluarga juga memberikan jaminan kedamaian, kepastian kehidupan, dan sumber rohani bagi setiap anggota keluarga. Dari yang dianggap lebih tua, yang muda belajar tentang cara dan kebijaksanaan hidup bersama. Dengan demikian, keluarga dipandang sebagai sekolah kasih yang pertama dari tiap manusia.

Kasih yang dirayakan

Perkembangan masyarakat di zaman sekarang memperlihatkan bahwa Imlek dan Valentine tampak sebagai bagian dari bermacam pilihan perayaan kasih dan kehidupan bagi banyak orang di berbagai belahan dunia. Proses reformasi yang berjalan di Indonesia telah menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Selama Imlek dan Valentine dilaksanakan sebagai ungkapan syukur atas pengalaman cinta kasih, bangsa Indonesia tidak akan mengalami kerugian.

Lebih dari itu, kedua perayaan itu dapat memberikan hal yang indah dan baik bagi perkembangan bangsa Indonesia yang sudah cukup lama didera oleh berbagai praktik kekerasan di dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa Indonesia tetap membutuhkan pengalaman perayaan kasih dan pengamalan kasih yang dirayakan. Selamat merayakan Tahun Baru Imlek: "Gongxi Xinnian"; dan "Happy Valentine!"

P Agung Wijayanto Rohaniwan dan Pengamat Kebudayaan China, Tinggal di Semarang

Sumber: Kompas, 13 Feb 10

Jul 27, 2009

Orkestra Indonesia di Negeri Kanguru

DIPLOMASI
Musik Simfoni Indonesia dan Pesan Perdamaian

Minggu, 26 Juli 2009 | 03:10 WIB

EFIX MULYADI

Ledakan bom di Jakarta pertengahan Juli yang mencoreng (lagi) wajah Indonesia justru menambah semangat bagi pemusik Addie MS untuk tampil secara optimal. Itulah yang ia buktikan bersama grup musik yang ia pimpin, Twilite Orchestra, di dalam pementasan di Sydney, Australia, 21 Juli 2009.

Pementasan mereka mendapat sambutan hangat penonton yang memadati ruang pertunjukan berkapasitas 2.500 tempat duduk.

 "Kami tertantang untuk membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya bom, tetapi juga kehangatan, perdamaian, seni musik, dan persahabatan," tutur Addie seusai latihan di gedung pertunjukan bergengsi Sydney Opera House.

Semangat persahabatan itu ia pompakan kepada 55 pemusiknya serta 80 anggota paduan suara gabungan Twilite Chorus dan CIC, paduan suara umat Katolik Indonesia yang bermukim di Sydney. Tampil pula penyanyi Binu D Sukaman dan Utha Likumahuwa serta dari tuan rumah Stephen Smith dan Jessica Mauboy.

Addie memang melihatnya bukan sekadar sebagai persoalan bermain musik, tetapi lebih sebagai langkah budaya yang penting di dalam konteks pasang surut hubungan di antara kedua negara. Ia percaya karya seni bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan saling pengertian dan kuat potensinya untuk menjembatani perbedaan kultural.

Di dalam temu pers di Jakarta tentang lawatan orkes musik Indonesia ke Australia tersebut, ia mengungkapkan peran sangat penting yang dijalankan oleh para seniman di dalam hubungan internasional. Ia mencuplik contoh di dalam masa perang dingin antara (waktu itu) Blok Barat dan Blok Timur. Katanya, hubungan yang kaku dan penuh prasangka itu menjadi lebih cair ketika Boston Symphonic Orchestra tampil di Moskwa pada tahun 1956. Begitu juga yang terjadi ketika Philadelphia Orchestra manggung di Beijing pada tahun 1973. Kedua kelompok musik itu mewakili masyarakat "bebas" yang dipimpin Amerika Serikat, yang tampil langsung di jantung negeri-negeri kampiun komunisme, yaitu Uni Soviet dan Republik Rakyat China.

Rawan gejolak

Penampilan kelompok musik simfonik Indonesia di negeri tetangga tersebut diharapkan menjalani fungsi serupa di dalam ukurannya sendiri sebagai momentum yang sangat penting untuk meneguhkan persahabatan. Di luar langkah simbolik, ia juga bekerja di ranah kesadaran masyarakat.

Maklumlah, lebih daripada negeri lain, tampaknya Australia mendapat perhatian besar justru karena hubungan kedua negara yang rawan gejolak. Selalu ada saja perkara yang membuatnya memburuk, yang membutuhkan usaha ekstra untuk memulihkannya. Hal itu berlangsung sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, jadi sebenarnya praktis sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia.

Pada tingkat pemerintah, upaya mengokohkan hubungan baik cukup sering dilakukan. Hubungan yang cukup serasi dinikmati pada saat Australia di bawah PM Joseph Bennedict Chifley mendukung kemerdekaan RI sampai tahun 1950. Hal itu juga terjadi pada masa pemerintahan Paul Keating pertengahan tahun 1990-an. Banyak orang berharap hal serupa terjadi sekarang pada masa pemerintahan PM Kevin Rudd. Ada anggapan, setiap kali pemerintahan dipegang oleh Partai Buruh, hubungan terasa mesra dan produktif. Sikap partai tersebut tecermin dari ungkapan Keating: "Tidak ada negara lain di dunia ini yang lebih penting bagi Australia selain Indonesia."

Di luar itu, boleh dikata setiap kali persahabatan terancam. Kita masih ingat sejumlah gerakan, gestur politik tokoh-tokoh dari kedua pihak, ancam-mengancam gaya elite masyarakat, maupun taktik diplomasi, yang semuanya menyadarkan kita bahwa hubungan bisa memburuk setiap saat. Pada umumnya, langkah untuk "memadamkan kebakaran" seperti itu memang bertumpu pada upaya diplomatik .

Peran rakyat

Di mana tempat upaya-upaya menjalin persahabatan lewat olahraga atau kesenian?

Sasaran utamanya mesti ke jantung kehidupan masyarakat, yaitu untuk mengubah persepsi negatif warga atas bangsa atas pihak lain, secara "alamiah", dan langkah semacam ini memang harus terus-menerus dilakukan di dalam waktu yang panjang. Aktor utama adalah rakyat di kedua pihak dan pemerintah paling banter memfasilitasi. Peran dominan pemerintah justru bisa kontraproduktif. Pidato atau pernyataan politik tidak akan mampu mengubah persepsi buruk menjadi baik.

Karena itu, pertanyaan tentang siapa sasaran dari pentas olahraga atau seni di negeri tujuan menjadi penting untuk memastikan bahwa upaya yang menghabiskan dana dan energi tidak kandas hanya menjadi perbincangan di kalangan "indonesianis", kelompok atau lingkungan yang sudah dekat dengan Indonesia. Melegakan bahwa 2.000 tiket pertunjukan Twilite Orchestra di Sydney, 21 Juli, terjual dan hanya sekitar 500 lembar yang dibagikan kepada relasi Indonesia. Artinya, ribuan penduduk setempat mau merogoh kocek dan menonton suguhan Indonesia tersebut.

Indonesia pernah membuat festival kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (disingkat dengan Festival KIAS) yang berlangsung sampai 18 bulan pada tahun 1991. Itu sebuah kegiatan kebudayaan berskala besar, berlangsung di sejumlah negara bagian, serta mengerahkan dana dan bakat-bakat terbaik yang dimiliki. Maka, digelarlah pertunjukan wayang, teater modern, sampai pameran seni rupa yang menampilkan antara lain karya- karya para empu, seperti Affandi. Kompas mengikuti beberapa bagian kegiatan itu di sana dan melihat efektivitasnya yang rendah.

"Departemen kami akan terus mendorong pagelaran dan eksposisi kesenian Indonesia di berbagai kawasan dunia. Sesudah kelompok Twilite Orchestra di Sydney, akhir Juli ini rombongan seni Jayasuprana tampil di Melbourne. Di Amerika Serikat grup musik Dwiki Dharmawan berpentas keliling di beberapa kota dan masih banyak lagi lainnya," tutur Sapta Nirwandar, Direktur Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Langkah-langkah semacam itu, dalam berbagai ukuran, mesti terus-menerus dilakukan, langsung dari rakyat ke rakyat, sementara hasilnya mungkin masih lama bisa dipanen. Jalan kebudayaan tidak pernah berupa jalan pintas, apalagi sekadar pidato resmi.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/26/03104880/musik.simfoni.indonesia.dan.pesan.perdamaian.