Jun 28, 2011

The world's happiest nation

...
 
 
OECD rates Australians as the happiest people in the world
smile

Australians are the happiest people in the world. Picture: File Source: Supplied

YOU might not believe this but you are happy. Smile.

Sure, grocery prices are going to rise by $1300 in the next two years and interest rates are heading for ten per cent. And yes, the stock market slump has stuffed the plans of thousands of baby boomers who wanted to retire, and hundreds of us are barely able to keep up with electricity price rises, but Australians are the happiest people in the world.

The organisation compared people in the 34 OECD member countries, using 11 indicators - such as income, education and health - weighted equally and Australians topped the pack.

Along with the 11 factors the OECD associates with a "good life," the index takes into consideration citizens' answers to quality-of-life questions like, "How satisfied are you with your life?" "How would you describe your health?" and "Do you know someone you could turn to in a time of need?"

So we are either happy, or just bad at filling out surveys.

In order, the next nine happiest countries were: Canada, Sweden, New Zealand, Norway, Denmark, the US, Switzerland, Finland and the Netherlands.

The index will eventually include the OECD's six partner countries - Brazil, China, India, Indonesia, Russia and South Africa.

Looks like our Prime Minister isn't buying it either.

Julia Gillard today acknowledged some households are doing it "pretty tough" despite the Australian economy being the envy of the the world.

As she spruiked the benefits of a resources boom, Ms Gillard admitted some people were struggling with cost-of-living pressures.

"Those pressures are real," she told ABC Television.

"Macro economy, we are the envy of the world ... but around the kitchen table people are looking at bills, are looking at the cost of living and are finding it pretty tough.

The government had addressed that with increased family payments, Ms Gillard said.

So maybe it's government cash that is making us happy?

With AAP

http://www.news.com.au/national/oecd-rates-australians-as-the-happiest-people-in-the-world/story-e6frfkvr-1226083256292

Jun 24, 2011

Mencari Jejak Tuhan dalam Sejarah

 
Masa Depan Tuhan
Friday, 24 June 2011
Judul di atas adalah judul buku baru karangan Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan (2011) dalam edisi bahasa Indonesia. Aslinya The Case for God: What Religion Really Means.

 
Armstrong adalah penulis keagamaan yang serius, tradisi risetnya kuat, sehingga pantas jika lebih dari 15 bukunya masuk ranking terlaris di dunia. Tuhan dalam kajian Armstrong adalah Tuhan yang menyejarah, yang hidup di tengah dan bersama pemeluknya,Tuhan yang kemudian melahirkan komunitas orang beriman dan sekian banyak tradisi dan institusi agama. 

Jadi, Tuhan sebagai Yang Mahatinggi dan Absolut tentu tidak dibatasi waktu, tak mengenal kemarin, sekarang, dan masa depan. Bahkan juga tidak terpahami oleh akal pikiran. Kita terlalu banyak berbicara tentang Tuhan akhir-akhir ini dan apa yang kita katakan sering dangkal, kata Armstrong (hlm 9). 

Di samping menyajikan dinamika jejak-jejak Tuhan dan pengaruhnya dalam sejarah manusia, buku ini secara tidak langsung menjawab paham ateisme modern yang berciri sangat rasional dan ilmiah (scientific atheism) yang telah memukau masyarakat modern dan anak-anak muda di Barat. 

Selama abad ke-16 dan ke-17, di Barat lahir peradaban baru yang diatur dengan rasionalitas ilmiah dan ekonomi yang berbasis pada teknologi serta penanaman modal. Sejak itu satu-satunya ukuran kebenaran adalah metode ilmiah. Logos mengalahkan mitos. Padahal di dalam mitos keagamaan terkandung kebenaran dan kebajikan yang tidak dapat dijangkau oleh logos.

Tafsiran yang serba rasional atas agama menimbulkan dua fenomena baru yang sangat khas: fundamentalisme dan ateisme (hlm 19). Selama ini tokoh yang mengembangkan paham ateisme selalu merujuk pada Feurbach, Karl Marx, Nietzsche, atau Freud yang muncul di abad ke-19. Tetapi sekarang bermunculan paham ateisme baru yang dimotori terutama oleh Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris.

Dalam karya-karya mereka akan ditemukan argumentasi ilmiah kontemporer untuk menyerang umat beragama yang masih mempercayai Tuhan dan campur tangan-Nya dalam sejarah.Terhadap serangan dimaksud, buku Armstrong ini turut berdiri sebagai pembelaan terhadap eksistensi agama-agama. 

Logika dan pendekatan ilmiah, terlebih yang mengandalkan paham empirisisme-positivisme, tidak akan pernah mampu memotret dan menganalisis misteri kehidupan, keberagamaan, dan kebertuhanan. Berbagai karya Armstrong secara serius berhasil menyajikan betapa agama dan keyakinan pada Tuhan selalu hadir pada panggung sejarah dan turut memengaruhi manusia memaknai hidupnya. 

Agama, keyakinan, dan pemahaman terhadap Tuhan, senantiasa berinteraksi dengan perkembangan sejarah sebuah masyarakat dengan segala aspeknya. Karena itu, katanya, memahami kitab suci hanya sebatas kata-kata literernya akan menyesatkan dan mengalami reduksi, tidak sampai pada pesan inti agama.

Di sisi lain, arogansi ilmiah dalam memahami agama telah mendorong munculnya respons balik berupa fundamentalisme agama. Perubahan mindset pemahaman agama dan kehidupan di Eropa sangat dipengaruhi oleh ekspedisi Christopher Columbus pada 1492 yang berhasil menemukan benua baru Amerika, yang disponsori Raja Katolik Ferdinand dan Isabella.

Berita keberhasilan ini menyebar bagaikan wabah baru, bahwa di luar Eropa ternyata ada dunia lain yang sangat menarik untuk dieksplorasi. Jadi, ekspedisi, eksplorasi, perpindahan penduduk, dan penyebaran informasi baru selalu melahirkan sintesa budaya baru, yang diawali dengan masalah dan tantangan baru. 

Hari ini, apa yang terjadi pada abad ke-15 di Eropa telah merata di seluruh dunia melalui jejaring internet dan dunia maya. Masyarakat terkondisikan untuk berani melampaui batas-batas dunia yang diketahui. Perjumpaan dan benturan berbagai tradisi dan informasi budaya serta agama ini telah membuat sebagian besar umat beragama gamang dan kaget (shocked). 

Bahwa klaim kebenaran, keilahian, dan surga ternyata juga dimiliki oleh kelompok umat agama lain. Sementara itu, ada juga kelompok yang secara gigih menentang adanya Tuhan dan ingin menghapus agama. Perasaan tidak nyaman dan terancam dalam beragama inilah akar munculnya gerakan fundamentalisme. 

Mengutip Armstrong, fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka coba bela, misalnya dengan sangat selektif baca ayat-ayat kitab suci yang membenarkan kekerasan dan permusuhan terhadap umat yang berbeda keyakinan (hlm 470). 

Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi sebenarnya religiositas jenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan (hlm 471). Demikianlah, dunia terus berputar. Sejarah terus bergulir merekam sepak terjang pemikiran dan perilaku manusia. Agama pun sering kali jadi sasaran kritik dan caci maki.

Tetapi nyatanya agama tetap hidup dan berkembang.Tuhan selalu berada di hati manusia. Ini membenarkan pandangan yang mengatakan bahwa "agama memiliki seribu nyawa". Kalaupun mati satu, masih lebih banyak yang bertahan hidup.

Orang boleh saja mengkritik perilaku umat beragama dan berbagai institusi keagamaan yang dibangunnya, tapi kesadaran, kebutuhan dan keyakinan agama masih tetap menggelora. Dengan agama seseorang mencari makna dan tujuan hidup yang lebih hakiki dan mulia. (Prof Dr Komaruddin Hidayat - Rektor UIN Syarif Hidayatullah)
 

Jun 13, 2011

Runtuhnya Nilai Kejujuran

Runtuhnya Nilai Kejujuran

Sabtu, 11 Juni 2011 19:55 WIB

KITA semua pasti ikut merasa prihatin atas nasib yang dialami siswa sekolah dasar AL dan kedua orangtuanya Siami serta Widodo. Karena sikap jujur mereka untuk menyatakan ketidakbenaran atas pelaksanaan ujian nasional, malah mereka akhirnya dinyatakan bersalah.

Orangtua AL dianggap mencoreng nama baik sekolah. Para orangtua yang lain menyalahkan orangtua AL yang mempersoalkan adanya permintaan guru sekolah yang memerintahkan AL membagi jawaban ujian nasional kepada murid-murid yang lain.

Ini persoalan mendasar yang tidak bisa dianggap enteng. Betapa nilai-nilai kejujuran sudah begitu terpuruknya pada bangsa ini. Kita tidak lagi bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk.

Nilai sepertinya sudah terbalik-balik pada bangsa ini. Orang yang salah bisa menjadi benar, sementara orang yang benar bisa dianggap salah. Itu bukan hanya terjadi pada kasus di Gadelsari Barat, Surabaya, tetapi sudah menjadi praktik umum yang kita lihat setiap hari.

Ketika kita sedang berada dalam kekuasaan, seringkali kita tidak menangkap ketidakadilan seperti itu. Seakan-akan itu hanya sebuah persoalan kecil yang tidak penting dan tidak memiliki makna apa pun. Namun ketika kemudian merasakan sendiri ketidakadilan itu, maka bisa terasalah arti sebuah kebaikan, arti sebuah kebenaran, arti sebuah kejujuran.

Itulah yang pasti dirasakan oleh Adang Daradjatun. Ketika masih menjabat sebagai polisi, menjadi Wakil Kepala Kepolisian RI, ia tidak terlalu peduli atas ketidakadilan yang terjadi. Ketika para pelaku korupsi kabur ke luar negeri, tidak terdorong keinginan untuk memerintahkan anggota polisi untuk menangkap mereka.

Kini ia merasa ketidakadilan itu, ketika istrinya Nunun Nurbaeti dipersangkakan ikut terlibat dalam kasus suap pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Adang berteriak keras ketika istrinya ditetapkan sebagai tersangka, dicabut paspornya, dan dimintakan kepada Interpol untuk ditangkap.

Dalam wawancaranya dengan Metrotv, Adang tidak bisa menerima atas ketidakadilan yang ia rasakan. Bagaimana istrinya ditetapkan sebagai tersangka dan dicabut paspornya, sementara begitu banyak koruptor yang kabur ke luar negeri sejak bertahun-tahun lalu, namun hingga kini tidak pernah juga dicabut paspornya.

Adang menegaskan bahwa dirinya tidak akan tinggal diam. Meski bukan dalam arti melakukan perlawanan total, dirinya akan membuka semua ketidakberesan yang terjadi. Ia tidak akan membiarkan istrinya dijadikan korban dari sebuah ketidakbenaran.

Adang beruntung masih tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai polisi bintang tiga, pasti masih banyak anggota polisi yang akan membantu dirinya melawan ketidakadilan itu.

Namun tidak demikian nasibnya Saimi dan Widodo. Mereka bukanlah siapa-siapa. Mereka hanya rakyat biasa yang mencoba menegakkan nilai kejujuran. Namun ia harus tersingkir dari lingkungannya, yang tidak bisa menerima sikap jujurnya.

Adakah orang yang membela Saimi dan Widodo? Adakah mereka yang peduli terhadap AL? Tidak ada sama sekali. Mereka dibiarkan menghadapi kejamnya kehidupan di tengah bangsa yang sedang kehilangan nilai kebaikan.

Seharusnya pemerintah tampil untuk menggunakan momentum ini mengajarkan kembali pentingnya arti sebuah kejujuran, pentingnya sebuah keadilan. Tampil untuk menjadikan sosok Saimi dan Widodo sebagai simbol kejujuran, bukan malah membiarkan mereka menjadi korban dari ketidakbenaran.

Bahkan Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, Gubernur Jawa Timur, Wali Kota Surabaya seharusnya bersimpati kepada nasib yang dialami Saimi dan Widodo. Bukan hanya duduk diam, menonton ketidakbenaran itu terus terjadi, sehingga tidak ada pembelajaran yang bisa dipetik oleh bangsa ini.

Ketika semua pemimpin diam, maka orang tidak akan berani untuk bicara kebenaran, bicara kejujuran. Mereka akan menelan semua ketidakbenaran itu, kalau pun dirasakan bertentangan dengan nilai kebajikan yang mereka yakini. Sebab, ternyata bicara kebenaran, bicara kejujuran di negeri ini malah dianggap sebagai sebuah kesalahan.

Ketika memberikan kuliah di depan generasi muda, sebenarnya ada pelajaran berharga yang diberikan Presiden. Bahwa sebagai pemimpin kita tidak boleh berkompromi untuk hal-hal yang prinsipiil seperti dalam hal etika atau nilai-nilai. Yang boleh dikompromikan hanyalah taktik atau strategis dalam mencapai tujuan.

Kasus AL, Saimi, dan Widodo seharusnya dipakai untuk melaksanakan kebajikan yang disampaikan. Saimi dan Widodo merupakan sosok langka di negeri yang hanya berorientasi kepada hasil, tanpa memedulikan proses. Saimi dan Widodo mengajarkan kepada kita semua bahwa kejujuran itu masih ada di negeri ini.

Sumberhttp://www.metrotvnews.com/read/tajuk/2011/06/11/790/Runtuhnya-Nilai-Kejujuran/tajuk