May 14, 2010

Peran Sepak Bola & Kandidat Juara WC 2010

Pesta Surgawi Sepak Bola

Jumat, 14 Mei 2010 | 03:23 WIB

Oleh ANTON SANJOYO

Benarkah sepak bola sekadar permainan? Sejarah mencatat, strata olahraga ini, apalagi dalam konteks Piala Dunia, berada di atas segala-galanya. Perang, terorisme, dan kebencian berhenti sementara waktu. Selama sebulan, tiga miliar manusia terpenjara dalam kapsul waktu bernama Piala Dunia. Mereka melupakan segalanya, terutama problem duniawi untuk menyambut pesta surgawi sepak bola.

Ironisnya, sejarah pula merekam, sepak bola membuahkan duka, air mata, bahkan kematian dan peperangan. "Perang sepak bola" itu sungguh terjadi pada tahun 1969 antara El Salvador dan Honduras, dua negara yang sejak lama memang tidak mesra akibat sengketa perbatasan. Beberapa jam setelah El Salvador kalah 0-1 oleh Honduras dalam laga kualifikasi piala dunia, seorang gadis belia 18 tahun, Amelia Bolanos, menembak jantungnya sendiri. Bolanos kemudian dianggap sebagai martir dan pemakamannya dihadiri ribuan orang, termasuk presiden dan anggota timnas sepak bola El Salvador.

Namun, situasi tak membaik selepas pemakaman Bolanos. Patriotisme liar justru tumbuh dan menebarkan kebencian terhadap Honduras yang tim sepak bolanya harus dikawal ratusan tentara bersenjata lengkap saat laga tandang ke San Salvador. Saat laga berlangsung, bendera Honduras dibakar dan cemooh menggema bergemuruh. El Salvador kemudian menang telak 3-0 dan kedua negara segera memulai perang sebenarnya di perbatasan. Sekitar 6.000 orang, sipil dan dan militer, tewas dalam salah satu babak paling kelam dalam sejarah sepak bola tersebut.

Beruntung, masa suram itu telah berlalu meskipun patriotisme brutal masih menjadi warna dalam pergaulan sepak bola. Tahun lalu, Mesir dan Aljazair terlibat konflik politik menyusul laga kualifikasi piala dunia. Politikus Irlandia juga menebar kebencian pada Perancis setelah kapten "Les Bleus" Thierry Henry melakukan double handball sebelum mengirim umpan kepada William Gallas untuk membuyarkan impian Irlandia ke Afrika Selatan.

Dinamika sepak bola memang menggetarkan karena mampu mengembuskan kebencian etnis, radikalisme dan rasisme, sekaligus mengibarkan bendera nasionalisme pemersatu bangsa. Tahun 1998, saat timnas Perancis dibentuk oleh Aime Jacquet, badai kritik langsung menerpa pasukan "Les Bleus". Problemnya, Jacquet membentuk tim dengan pilar sebagian besar pemain keturunan imigran negeri-negeri bekas jajahan Perancis. Mereka mengecam pemain seperti Zinedine Zidane, Marcel Desailly, Liliam Thuram, Christian Karembeu, atau Youry Djorkaeff yang dicemooh: "menyayikan lagu kebangsaan 'La Marseillaise' pun tak bisa".

Namun terpaan badai kritik yang terutama diembuskan tokoh Partai Front Nasional, Jean-Marie Le Pen, sirna begitu saja sejalan dengan terus melajunya "Les Bleus" ke Piala Dunia 1998. Di Marseille, kota yang dihuni oleh banyak keturunan imigran Aljazair, poster raksasa Zidane terpampang di hampir semua sudut strategis.

Saat Perancis menjadi juara dunia dengan menumbangkan Brasil di Stade de France, St Denis, Zidane dan para keturunan imigran lainnya menjadi pahlawan nasional yang diarak dan disambut ratusan ribu orang di Avenue des Champ-Elysees: Zizou! allez Francais, allez Francais!

Gelora nasionalisme pula yang mengantarkan Spanyol menjadi juara Eropa 2008, sekaligus kandidat terkuat di Afsel 2010. Spanyol, salah satu negeri kiblat dan penghasil sepak bola paling memesona di dunia, tak pernah sanggup masuk jajaran elite "klub juara dunia" seperti Brasil, Argentina, Italia, Jerman, Perancis, Inggris, bahkan Uruguay. Meski mereka punya dua klub hebat, Real Madrid dan Barcelona, juara Eropa sebelum 2008, terakhir mereka raih pada 1964.

Problem sektarian dan kesukuan yang melingkupi timnas Spanyol menjadi penyebab buruknya kinerja "La Furia Roja" di pergaulan dunia. Baru setelah Luis Aragones menjadi manajer, rasa nasionalisme Spanyol diusung setinggi langit. Sentimen kesukuan: Madrid, Catalunya dan Basque, dilebur di bawah bendera nasional Spanyol.

Hasilnya menggelegar. Spanyol menjuarai Euro 2008 dengan penuh gaya, dan meski gagal di Piala Konfederasi tahun lalu, Iker Casillas dan kawan-kawan tetap favorit terkuat di Afsel. Manajer Vicente del Bosque yang meneruskan kerja Aragones punya kans besar mencatatkan tinta emas pada sejarah sepak bola Spanyol.

Sampai hari ini, Real Madrid dan Barcelona masih meneruskan rivalitasnya yang abadi di ajang La Liga, namun begitu mereka memakai kostum La Furia Roja, tak ada lagi rivalitas itu. Carles Puyol dan Gerard Pique harus bekerja sama dengan Sergio Ramos menggalang lini belakang. Demikian pula Andres Iniesta dan Xavi Hernandez harus bahu-membahu dengan Xabi Alonso di lini tengah untuk menyokong Fernando Torres dan David Villa di lini depan.

Bagi Spanyol, momentum bangkitnya nasionalisme dalam satu bendera sejak Euro 2008 memang menjadi masa emas untuk masuk negara "juara dunia" di Afsel mendatang. Diberkahi pemain yang matang di berbagai kompetisi elite dunia, Spanyol tampaknya memang layak diunggulkan menjadi juara. Casillas dan kawan-kawan sekaligus punya kans hebat mencatat sejarah baru setelah Brasil yang mampu menjadi juara dunia di luar kontinen.

Brasil sendiri akan selalu menjadi team to beat dan tetap menjadi unggulan utama di setiap kejuaraan. Mereka nyaris tak punya problem dengan nasionalisme atau sejenisnya. Justru problem nonteknis juara dunia lima kali ini lebih banyak pada passion para pemainnya sendiri untuk jadi juara atau tidak. Begitu gairah mereka di puncak grafiknya, bahkan Spanyol sekalipun tak akan bisa menghentikan.

Dalam gradasi yang lebih kurang sama dengan Brasil, Italia adalah tim yang selalu punya cara untuk bertahan dan dalam keadaan terpojok, mereka sering membuktikan justru tampil sebagai yang terbaik. Bersama Spanyol dan Brasil, juara dunia tiga kali Italia adalah tim yang rasanya paling layak diunggulkan di Afsel 2010.

Di atas semua itu, Piala Dunia yang kurang dari sebulan lagi, pastilah akan menjadi "katup pengaman" dari keletihan dan kejenuhan sosial yang belakangan kita alami di Indonesia akibat konflik konyol para politisi dalam perebutan kekuasaan.

May 5, 2010

Indonesian Finance Minister headhunted for a year

World Bank headhunts Indonesian finance minister Sri Mulyani Indrawati

Sri Mulyani Indrawati

Indonesian Finance Minister Sri Mulyani Indrawati will resign her post and take a senior Washington-based position at the World Bank next month. Source: AFP

INDONESIA'S finance minister, Sri Mulyani Indrawati, will resign her post and take a senior Washington-based position at the World Bank next month.

Dr Indrawati, the architect of President Susilo Bambang Yudhoyono's financial reform agenda, confirmed the appointment today, after it was announced overnight by World Bank director Robert Zoellick.

She will be one of three advisers reporting directly to Mr Zoellick.

Dr Indrawati would bring "a unique set of skills and experience to the World Bank Group, from the vantage point of an advancing middle-indome country that still faces significant challenges of poverty,'' Mr Zoellick said, according to Bloomberg.

With no successor yet announced, Dr Indrawati's departure leaves a vacuum in the Indonesian reform agenda. Dr Yudhoyono had yet to confirm her departure or indicate whom he will replace her with but an announcement is expected shortly.

Dr Indrawati, a highly regarded technocrat known for standing her ground on policy issues, has been the target of repeated attacks by opponents both within the parliament and across the broader political spectrum.

Her frequent struggles with political nemesis, businessman and Golkar Party chairman Abu Rizal Bakrie, are legendary.

She has also in recent months stared down a parliamentary inquiry into the bailout of the ailing Bank Century, presenting evidence to show that decision was made within the dictates of law and in order to preserve economic stability.

She has also been a key face in the Canberra-Jakarta relationship, with an ongoing assistance program from Australia targeted at Indonesia's financial reform initiatives.

Indonesia’s Loss, the World Bank’s Gain

It might be that only a Divine intervention has made this "solution" possible... way, way beyond our limited sphere of thoughts. This is in spite of us having to let go of someone with this calibre & courage. Surely, such character will bring about a lot more use (and become a blessing) to the greater people out there stamping out poverty in three huge regional parts of the world.  (EJ) 


Finance Minister Sri Mulyani Indrawati to be World Bank

Finance Minister Sri Mulyani Indrawati to be World Bank's managing director (EPA Photo)

Editorial: Indonesia's Loss, the World Bank's Gain

5-May-2010  Finance Minister Sri Mulyani Indrawati's appointment as managing director of the World Bank is Indonesia's loss and the World Bank's gain. A fearless reformer and highly respected economist, Sri Mulyani has been a central member of President Susilo Bambang Yudhoyono's cabinet for the past five years.

She has been largely responsible for putting in place the macro-economic fundamentals that have allowed Indonesia to outperform other regional economies in recent years. Under her stewardship, Indonesia was one of only a handful of countries that registered positive growth during the financial crisis of 2008 and 2009.

More importantly the outlook for the Indonesian economy looks extremely positive, which is one reason why the Indonesian stock market and the rupiah performed so well in the first quarter of 2010. With her new appointment, there will be concerns about whether her successor can manage the ship just as expertly.

But perhaps Sri Mulyani's lasting legacy will be her courage to take on an entrenched bureaucracy within the Ministry of Finance by introducing sweeping reforms. She bravely closed down the customs department to stop widespread corruption in the nation's ports, a move that earned her respect and derision in equal measure.

Just this week, she has vowed to go after tax officials and major tax dodgers in another attempt to sweep the Directorate of Taxation clean after recent high profile corruption cases involving the department. In this regard, her successor will have huge shoes to fill and it remains to be seen whether he or she will posses the same iron will as the outgoing minister.

But given her fraught relationship with the House of Representatives over the Bank Century scandal, perhaps her appointment is the best face saving outcome for all sides: politicians, the president and Sri Mulyani herself. Her appointment to the second most senior job at the World Bank will definitely lift Indonesia's reputation on the global stage but her drive, intelligence and courage will be missed at home.