Nov 30, 2012

Mensastrakan Teh dan Filosofinya

"Saya tak tertarik pada kehidupan kekal. Saya hanya ingin menikmati teh..."


Teh Hijau dan Khasiat Antikanker

Oleh AGNES ARISTIARINI

"We had a kettle, we let it leak.

Our not repairing made it worse.

We haven't had any tea for a week...

The bottom is out of the Universe."

(Kami biarkan ketel bocor.

Kami biarkan semakin buruk.

Maka kami belum minum teh dalam seminggu...

Dan semesta pun tidak mendukung.)

Rudyard Kipling (1865-1936), Sastrawan

Begitulah orang memandang teh. Hadir dalam keseharian hampir sepanjang peradaban manusia, teh memang menempati posisi istimewa dalam kehidupan. Bahkan, Ratu Elizabeth II dari Inggris memulai harinya dengan teh.

"Ia hidup di istana megah, lengkap dengan para pelayan, dan bertemu ribuan orang setiap tahun. Namun, dalam kesehariannya, Ratu Elizabeth II adalah pribadi sederhana. Setiap pagi, pelayan mengetuk pintu kamar

dengan secangkir teh di baki," kata Brian Hoey, ahli kerajaan dan penulis buku Life with the Queen (2006).

Pelengkap kesempurnaan

Di Jepang, teh adalah "agama" dalam seni hidup. Menurut Kakuzo Okakura dalam bukunya, The Book of Tea (1906), sejak abad ke-15 ritual teh Jepang menempatkan teh sebagai sumber kemurnian dan harmoni. Teh dipuja sebagai pelengkap kesempurnaan dalam hidup, pemersatu alam dan manusia.

Filosofi teh adalah higienis karena ia menekankan kebersihan. Ekonomis karena ia menunjukkan kemudahan dan kesederhanaan. Namun, di atas itu semua, teh adalah geometri moral. Ia mengajarkan bagaimana menghargai relasi manusia dengan semesta: ajaran utama dalam kearifan Timur.

Masa isolasi Jepang yang panjang membuat pemujaan terhadap teh—disebut sebagai teh-isme—berkembang pesat. Rumah dan budaya, tata cara makan-minum, seni dan tradisi, semua dipengaruhi teh-isme. Sebutan "orang tanpa teh" di Jepang berarti manusia yang tidak berperasaan. Sebaliknya, manusia yang terlalu berlebihan emosinya disebut "orang yang kebanyakan teh".

Demikian pula halnya di China, tempat teh berawal. Situs The Chinese Historical and Cultural Project menyebutkan, teh merupakan obat dan minuman tertua dalam sejarah manusia. Menurut legenda, Kaisar China Shen Nong menemukan teh tanpa sengaja pada 2737 sebelum Masehi.

Sebagai ilmuwan, ia percaya bahwa minum air yang direbus lebih sehat daripada air mentah. Saat istirahat setelah berkunjung ke desa-desa, pelayan yang merebus air tak sadar pancinya kemasukan daun camelia kering. Sang Raja ternyata senang karena air itu jadi punya rasa dan aroma baru sekaligus menyegarkan tubuh.

Pada pemerintahan Dinasti Tang, tahun 780, seorang cerdik pandai bernama Lu Yu menerbitkan Cha Ching, buku pertama yang bercerita tentang teh. Lu Yu menghabiskan waktu lebih dari 20 tahun untuk mempelajari dan mendokumentasikan cara menanam, memproses, menguji, dan menyeduh teh. Inilah awal kelahiran tradisi minum teh.

Teh yang semula lebih berperan sebagai obat berkembang menjadi bagian keseharian. Tanpa teh, hidup menjadi tidak sempurna. Tidaklah mengherankan bila teh masuk tujuh bahan pokok China: bahan bakar, beras, minyak, garam, kecap, cuka, dan teh.

Terus diteliti

Sampai sekarang, teh terus menarik perhatian. Berbagai penelitian dilakukan terhadap berbagai jenis teh, baik teh hijau, hitam, putih, maupun oolong. Semua mengandung polifenol—bagian dari senyawa flavonoid yang bersifat antioksidan—sehingga mampu menangkal radikal bebas yang bisa merusak DNA dan memicu munculnya kanker, penggumpalan darah, ataupun arterosklerosis.

Semakin panjang proses pengolahan teh, semakin rendah kadar polifenolnya. Teh hitam dan oolong yang diolah dengan cara fermentasi paling sedikit kadar polifenolnya meskipun tetap berkhasiat. Kadar tertinggi ada pada teh hijau dan teh putih, tetapi yang terakhir ini kurang begitu populer.

Teh hijau diproses dengan cara dikeringkan—bisa dengan disangrai atau diuapi—sehingga memiliki kadar antioksidan tertinggi. Antioksidan teh hijau berasal dari senyawa yang disebut catechins, terutama epigallocatechin-3-gallate (EGCG) terkonsentrasi.

Situs WebMD yang mengutip penelitian Tak-Hang Chan, PhD, profesor emeritus dari Departemen Kimia di McGill University di Montreal, Kanada, menyebutkan bahwa penggunaan EGCG sukses mengecilkan tumor kanker prostat pada tikus.

Signifikan cegah kanker

Penelitian terbaru yang dipublikasikan kantor berita Reuters semakin mengukuhkan khasiat teh hijau. Dilakukan oleh Shanghai Women's Health Study, penelitian melibatkan hampir 70.000 perempuan tidak merokok berusia separuh baya atau lebih yang mengonsumsi teh hijau secara teratur minimal tiga kali seminggu. Ternyata semakin sering minum teh hijau secara signifikan menurunkan risiko kanker.

Hal ini senada dengan penelitian di Pusat Kedokteran Columbia University, New York, dengan responden 40 perempuan. Kandungan polifenon E pada teh hijau yang termasuk keluarga flavonoid mampu menghambat faktor pertumbuhan endotelial vaskular dan hepatosit, keduanya merupakan pemicu pertumbuhan, migrasi, dan invasi sel tumor.

"Banyak penelitian praklinik yang fokus pada EGCG, salah satu komponen utama teh hijau, dan berbagai mekanismenya dalam mencegah kanker. Namun, masih sangat sulit menarik kesimpulan studi-studi itu pada manusia. Demikian pula dengan penelitian kami yang masih sangat terbatas untuk meyakinkan bahwa teh hijau bisa mencegah kanker payudara. Yang jelas, studi ini membantu kita untuk memahami mekanisme antitumor," kata Katherine D Crew, asisten profesor epidemiologi di Columbia University, seperti dikutip Science Daily.

Mungkin kita memang masih dalam tahap ungkapan sastrawan China, Lu T'ung (790-835). "Saya tidak tertarik kehidupan kekal. Saya hanya ingin menikmati teh."

Namun, ini pun sudah memberikan harapan.

Sumber: Kompas, 07 November 2012

Nov 19, 2012

Powerful yet "powerless" leader

"Leadership is (about) action, not position."


Presiden Turun Tangan

Sri-Edi Swasono

Kebetulan saya sempat berjabatan tangan dengan Martin Luther King Jr (1929-1968) sehingga kata-kata mutiaranya terasa berarti bagi saya. Ia mengatakan, "A genuine leader is not a searcher for consensus, but a molder of consensus (pemimpin yang tulen bukanlah pencari konsensus, tetapi pembentuk konsensus)."

Presiden Soeharto pada awal pemerintahannya jelas membentuk konsensus nasional, dalam Sekretariat Bersama Golkar, sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih berkoalisi.

Pada 8 Oktober 2012, Presiden "turun tangan" di tengah memuncaknya konflik antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masyarakat menilai pidato Presiden mengenai perselisihan Polri-KPK jelas, tegas, dan melegakan. Presiden memerintahkan Polri menyerahkan sepenuhnya kasus hukum dugaan korupsi simulator di Polri kepada KPK.

Komentar-komentar sangat positif, mendukung SBY turun tangan. Masyarakat awam mensyukuri, merasa "menemukan kembali" Presiden SBY. Disayangkan Presiden kelewat tawaduk, mengatakan tidak baik kalau Presiden sering turun tangan.

Keadaan di Tanah Air saat ini penuh keamburadulan, ibaratnya di mana-mana kita menghadapi ketidakberesan. Setiap hari kasus korupsi baru diungkap, baik korupsi oleh oknum lembaga-lembaga tinggi negara, pecundang- pecundang birokrat, kader-kader partai, maupun preman-preman bisnis.

Harapan baik Presiden dalam pemberantasan korupsi masih terganjal, KPK kekurangan SDM dan penyelidik, macet di sana-sini. Artinya, Presiden harus turun tangan lagi.

Demokrasi ekonomi

Bung Karno dan Bung Hatta baru mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional. Disebutkan oleh Presiden SBY berkat jasa besarnya, "...menancapkan gagasan kebangsaan, demokrasi ideologi Pancasila, Indonesia sebagai negara hukum, sistem ekonomi kerakyatan, kegotong-royongan, koperasi, dan berbagai gagasan besar lainnya...". Gagasan dan nilai-nilai ekstraordiner ini dimuliakan Presiden SBY.

Jadi, Presiden harus turun tangan jika ada menteri-menterinya tanpa kreativitas masih tunduk pada kepentingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ketimbang pada Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945, merugikan perekonomian nasional, serta mengabaikan patriotisme dan nasionalisme ekonomi. Memang keterlaluan ada menteri yang bilang kepada deputinya agar tidak usah "ideologi-ideologian", lakukan best practices saja seperti di Amerika.

Demokrasi ekonomi konsepsi Bung Hatta tidak terlepas dari doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyatan yang menolak liberalisme pasar bebas.

Demokrasi ekonomi Indonesia yang diemban Pasal 33 UUD 1945 merupakan benteng nasionalisme ekonomi Indonesia—artinya kepentingan ekonomi nasional yang diutamakan, tanpa mengabaikan tanggung jawab global.

Konsepsi koperasi dan ekonomi kerakyatan Bung Hatta telah menjadi pertimbangan Presiden SBY untuk penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini, tetapi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang tidak paham koperasi dalam konteks ideologi nasional Indonesia mendorong RUU Perkoperasian.

Terang-terangan, langkah ini mencabut roh koperasi, mengabaikan paham kebersamaan, menyelewengkannya dari Pasal 33 UUD 1945 sekaligus bertentangan dengan semangat kooperativisme global yang pada tahun ini sedang dirayakan dan dinyatakan PBB sebagai Tahun Koperasi.

Sampai 2012, sudah ada sekitar 400 pengaduan gugatan atas UU yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan sekitar 27 persen di antaranya dibatalkan karena melanggar nilai-nilai Pancasila (Mahfud MD, September 2012), termasuk UU Migas, UU Investasi, dan sebagainya. Rancangan-rancangan UU itu tak seharusnya dengan mudah lolos dan diketuk DPR, yang kemudian ditolak MK.

Bila transformasi sosial-politik dan sosial-ekonomi diselenggarakan secara awut-awutan, reformasi berubah jadi deformasi, posisi rakyat yang sentral-substansial (primus) direduksi menjadi marginal-residual. Posisi modal secara keliru justru didudukkan sebagai yang primus.

Bila seorang menteri tak mampu melakukan tugasnya untuk mengakhiri perbudakan berkelanjutan terhadap tenaga kerja kita di luar negeri, dan menteri-menteri yang lain, tanpa mengabaikan kemajuan yang ada, tak bisa merasa bahwa rakyat saat ini capek miskin, capek menganggur, capek pedih bercemburu sosial, karena kebijaksanaan pembangunan tidak berawal dari Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, Presiden harus turun tangan meluruskannya.

Masyarakat marah melihat "Indonesia is for sale", kepentingan negara terancam, BUMN dijuali, kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kedaulatan ekonomi rakyat, hajat hidup orang banyak makin tergerus. Kalau Presiden tidak turun tangan, pasti migas Blok Mahakam jatuh kepada asing lagi (meskipun BP Migas barusan dibubarkan). Migas Blok Tangguh, mineral Freeport, dan lain-lain tidak kunjung direnegosiasi.

Obligasi rekapitalisasi perbankan merenggut kekayaan kita, piutang menjadi utang fiktif berkelanjutan, ini merupakan absurditas in optima forma-nya para ekonomi neoliberal kita.

Kepala negara harus turun tangan pula ketika rezim otonomi daerah berubah menjadi eksklusivisme dan otoritarianisme lokal, yang menjuali SDA, menjuali pulau dan aset-aset nasional sambil memuja investor mancanegara.

Bila aparat dan masyarakat gagal menjaga kerukunan nasional, aparat perlu dimampukan (empowered) untuk menghadapi perubahan ultra dinamis sebagian masyarakat, agar berdaya mendeteksi bibit-bibit potensial pertikaian-pertikaian "SARA".

Ketika para menteri dan aparat tidak bisa menjamin hak konstitusional Gereja Yasmin dan kebebasan beragama, rakyat bertanya "di mana Presiden kita" sebagai tumpuan harapan?

Ketika Papua terus bergejolak, ketika tidak ada tangan-tangan bijaksana lain yang mengerti bagaimana menghadirkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat Papua.

Juga ketika para pemimpin tak memahami makna demokrasi kita yang berdasarkan kebersamaan, partisipatif, emansipatif, dan kehastabrataan "waterpas"–yang tak mengenal anak emas atau anak tiri terhadap segenap anak negeri di bentangan Sabang-Merauke dan Miangas-Rote—maka hanya Presiden yang jadi harapan perubahan.

Hak prerogatif

Presiden memiliki hak istimewa, hak prerogatif, ibarat exorbitanterecht-nya gubernur jenderal (gouverneur general). Membiarkan menteri pilihan Presiden, yang kemudian terbukti tidak canggih berkualitas tetap bertahan, dan membiarkan menteri-menterinya lengah mengemban patriotisme dan nasionalisme ekonomi dalam perang ideologi global, merupakan kelengahan Presiden memuliakan hak prerogatif yang menghiasi pundak Presiden.

Adalah in good faith, bahwa Presiden berkenan "turun tangan", bahwa leadership is action, not position. Barangkali perlu pula dipikirkan ulang pilihan politik koalisi tak kapabel atau politik konsensus ideologis-meritokratis.

SRI-EDI SWASONO Guru Besar UI dan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa

Sumber: Kompas, 19 November 2012

Nov 8, 2012

Representasi Hobbesianism



Menolak Menjadi Indonesia

Oleh Teuku Kemal Fasya

Beberapa waktu lalu ketika melakukan penelitian di Natuna dan Anambas—kabupaten pemekaran dari Natuna, saya menemukan banyak hal baik yang mungkin tidak ditemukan di dalam budaya kita pada umumnya.

Kedua kabupaten kaya minyak dan gas (migas) ini, yang sebelumnya disebut "Pulau Tujuh", hidup dalam keragaman yang sangat tinggi. Meskipun etnis Melayu adalah mayoritas, tetapi tidak menjadi etnis dominan dan manipulatif. Etnis lain, seperti Minang, Siak, Kampar, Bugis, Jawa, Batak, dan China, dapat hidup rukun-damai. Mereka saling bekerja sama dalam aspek kehidupan yang luas. Agama di wilayah ini bukan hanya enam (orang masih melupakan Konghucu sebagai agama resmi sejak era Abdurrahman Wahid), tetapi bisa tujuh atau delapan.

Masyarakat asli (indigenous people) Anambas bukanlah suku Melayu, melainkan suku Laut yang tinggal di Air Sena dan Air Asuk, Pulau Siantan. Sampai hari ini sebagian besar suku Laut masih hidup dengan agama lokal. Mereka tidak dianggap aneh oleh Melayu Muslim. Ada yang berpindah menjadi Katolik, Buddha atau Islam, tetapi tidak berdasarkan politik islamisasi atau kristenisasi. Mereka memilih agama baru dengan alasan-alasan yang sangat personal.

Ketika saya menanyakan kepada tokoh-tokoh lokal tentang sejarah konflik wilayah ini, mereka sulit sekali mengingatnya. Hampir seumur hidup mereka tidak pernah ada sejarah konflik berbasis agama dan etnis. Etnis China tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif, bahkan banyak yang duduk di pemerintahan dan politik.

Muhammad Jamil, tokoh politik Natuna keturunan Aceh yang telah berada Bunguran (Natuna) sejak 1965 ketika Orde Lama melancarkan agresi anti-Malaysia, mengatakan, daerah ini bebas dari segala pengaruh buruk Jakarta. Fenomena pembantaian pengikut PKI pada 1965 atau perampasan dan pemerkosaan etnis China pada 1998 tidak pernah jadi realitas di daerah ini.

Meski secara kultural NU, tak ada representasi politik dominan. Ada 11 partai yang mendapatkan kursi di DPRD Natuna dan 13 partai di Anambas, sebagian besar partai politik berhaluan nasionalis. Momen elektoral, seperti pilkada, pun tidak pernah bergumuruh dan luruh oleh kekerasan. "Natuna dan Anambas bebas dari darah politik dan permusuhan yang kerap ditemukan di Pulau Jawa," kata Jamil.

Definisi politis

Persis ungkapan ikonik Natuna: inilah "mutiara terpendam dari utara" Indonesia. Mungkin tak ada elite Jakarta yang sudi ke daerah ini jika ia tak memiliki potensi mineral berlimpah. Daerah ini mungkin terlepas begitu saja ke tangan Vietnam atau Malaysia jika ia miskin. Namun, tokoh nasional, seperti Mohammad Hatta, pernah menjejakkan kakinya ke Natuna, bahkan ketika belum mengetahui potensi alamnya pada pertengahan 1950-an. Padahal, ada banyak hal positif yang bisa dipelajari dari daerah ini dan bisa disumbangkan untuk Indonesia yang lebih luas.

Saat ini politik Indonesia diingat bersemangatkan Hobbesianism. Demokrasi Indonesia diterjemahkan sebagai praktik menyebar fitnah dan mekanisme kompleks untuk menguntungkan diri sendiri dan perkauman. Tidak ada harmoni dan kerukunan kecuali di ujung retorika. Tidak ada ketulusan atas perbedaan karena perbedaan bisa merusak iman dan mengganggu eksistensi kelompok dan golongan.

Wacana seperti ini tidak bisa dikatakan kesalahan seluruh rakyat Indonesia. Kekaburan memaknai Indonesia ini sesungguhnya hanya disebabkan beberapa kesalahan. Kesalahan pertama karena sebagian besar penelitian dan penulisan Indonesia dikonstruksikan melalui lensa miopik. Bukan hanya sarjana asing, cendekiawan pribumi pun sering latah menyebutkan praktik dan budaya politik "pusat" adalah representasi Indonesia. Penelitian tentang dinamika politik Indonesia hanya bertemu narasumber di Jakarta, paling luas Jawa.

Kesalahan kedua adalah narasi. Narasi "negara" lebih menawan untuk dibaca dan dimaknai, tetapi secara bersamaan narasi masyarakat, apalagi masyarakat sipil, dianggap kurang seksi untuk dibaca. Akhirnya penyebutan tentang Indonesia adalah yang berhubungan dengan "serba negara". Belum lagi penyebutan Indonesia yang memermanenkan limitasi temporer dan spasial, yaitu rezim yang sedang berkuasa (Simon Philpott, Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity, 2000).

Kesalahan ketiga karena pencampuran hal-hal ilmiah dan politik mengaburkan mana yang disebut fakta dan opini, mana yang bisa disebut ketepatan dan mana yang bersifat berlebih-lebihan, generalisasi, dan penyederhanaan. Ini bisa dilihat dari wacana para politikus, demagog, fundamentalis, oportunis, dan lain-lain, yang sifatnya elitis. Mereka membangun teori serba suram tentang Indonesia. Padahal, Indonesia yang diteoretisasikan itu tak lebih luas dari pikiran, tempat tinggal, dan lingkungannya.

Rivalitas di Senayan (baca: DPR) dengan mudah disebut rivalitas antaranak bangsa. Kekacauan di Jakarta yang kemudian menyebar melalui media arus utama sedikit banyak langsung dipotretkan sebagai Indonesia, padahal—jika pun semua penduduk Jakarta buruk—tidak sampai 5 persen penduduk Nusantara.

Anti-Jakarta?

Apa yang sebenarnya berlaku dalam wacana poskolonial bisa juga digunakan untuk mendefinisikan Indonesia versi baru. Wajah buruk demokrasi hari ini disebabkan elite-elite (Jakarta atau pengikut Jakarta) yang minim semangat kebangsaan, anti- keberagaman, pikiran taklid, dan serakah berada di tengah kekuasaan. Sebagian keburukan itu pun mengalir ke daerah-daerah. Akan tetapi, tidak semua terkena dampaknya. Ada daerah-daerah yang sama sekali tidak mengikuti langgam Jakarta.

Saat ini politik nasional dipenuhi praktik serba fitnah, jegal, dan korup, tetapi ada juga daerah-daerah yang tak suka—baik secara esensial maupun instrumental—budaya itu. Kalau kini "Indonesia" dikacaukan oleh praktik kekerasan atas nama kesucian agama, kepentingan mayoritas, dan arogansi tempatan, masih ada "Indonesia-indonesia" kecil yang mentradisikan sebaliknya. Andaikata muncul opini "keniscayaan Indonesia harus menjadi negara agama", siapa pula yang mengklaim itu sebagai keniscayaan?

Jika ada yang mengatakan dulu politik lokal dimanipulasi oleh elite nasional, apakah ada pembenaran elite lokal sekarang berhak memanipulasi sub-lokalnya? Nilai etis mana yang membenarkannya? Tidak ada akar historisisme dan keilmiahan yang mengharuskan kita takluk oleh opini entah dari mana dan untuk kepentingan siapa itu.

Kalau "Indonesia" yang direpresentasikan serba melarat, preman, korup, anti-perbedaan, dan monolitik, selayaknya kita menolak "Indonesia" seperti itu. Karena ada Indonesia lain yang masih bersih dan otentik, yang belum rusak oleh budaya impor Jakarta dan Barat. Ia bertempat jauh dari pusat, masih hening di tengah hiruk-pikuk, dan mempraktikkan kebaikan berbangsa, berwarga-negara, dan bermasyarakat.

Teuku Kemal Fasya Dosen Antropologi Asal Aceh

Sumber: Kompas, 7 November 2012

Nov 1, 2012

Kiprah CPA Australia di Indonesia

Ayo, buruan rame2 jadi akuntan di Indo...  :-)
Market masih terbuka lebar!
 

PENDIDIKAN

Indonesia Butuh 2,5 Juta Akuntan Berkualitas

Jakarta, Kompas - Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi membuat banyak investor dunia ingin masuk ke Indonesia. Namun, masih banyak investor ragu masuk ke Indonesia karena pelaporan keuangan. Jumlah akuntan berkualitas dinilai investor masih belum mencukupi kebutuhan pasar sehingga dikhawatirkan banyak pelaporan keuangan yang belum benar.

"Seharusnya jumlah akuntan publik yang ideal itu 1 persen dari jumlah penduduk. Jadi, sebenarnya Indonesia membutuhkan 2,5 juta akuntan publik. Namun, yang ada sekarang 1.400 akuntan publik," kata Marsudi Wahyu Kisworo, Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, seusai penandatanganan kerja sama dengan Certified Practicing Accountants (CPA) Australia di Jakarta, Rabu (31/10).

Agus Suparto, Kepala Bidang Pembinaan Akuntan Pusat Pembinaan Akuntan Jasa dan Penilai Kementerian Keuangan, mengatakan, pertumbuhan akuntan publik di Indonesia memang sangat lambat. Setiap tahun hanya 4 persen. Adapun akuntan beregister saat ini jumlahnya mencapai 51.800 akuntan dengan pertambahan 1.500 orang per tahun. "Jumlah ini masih jauh dari cukup. Selain itu, secara kualitas, akuntan juga perlu meningkatkan kapasitas," ujar Agus.

Peningkatan kapasitas ini sangat diperlukan karena pada tahun 2015 akan dimulai Masyarakat Ekonomi ASEAN. "Jika akuntan Indonesia tidak siap, kita dibanjiri oleh akuntan negara tetangga," ujar Agus.

Untuk peningkatan kapasitas itu, CPA Australia bekerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia, Institut Akuntan Manajemen Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Bina Nusantara, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas.

"Di pasar modal, pelaporan keuangan sangat dibutuhkan. Untuk itu, kami ingin membantu meningkatkan kualitas akuntan di Indonesia," kata Rob Thomason, Executive General Manager Business Development CPA Australia. (ARN)

Sumber: Kompas, 01 November 2012