Mensastrakan Teh dan Filosofinya
"Saya tak tertarik pada kehidupan kekal. Saya hanya ingin menikmati teh..."
Teh Hijau dan Khasiat Antikanker
Oleh AGNES ARISTIARINI
"We had a kettle, we let it leak.
Our not repairing made it worse.
We haven't had any tea for a week...
The bottom is out of the Universe."
(Kami biarkan ketel bocor.
Kami biarkan semakin buruk.
Maka kami belum minum teh dalam seminggu...
Dan semesta pun tidak mendukung.)
Rudyard Kipling (1865-1936), Sastrawan
Begitulah orang memandang teh. Hadir dalam keseharian hampir sepanjang peradaban manusia, teh memang menempati posisi istimewa dalam kehidupan. Bahkan, Ratu Elizabeth II dari Inggris memulai harinya dengan teh.
"Ia hidup di istana megah, lengkap dengan para pelayan, dan bertemu ribuan orang setiap tahun. Namun, dalam kesehariannya, Ratu Elizabeth II adalah pribadi sederhana. Setiap pagi, pelayan mengetuk pintu kamar
dengan secangkir teh di baki," kata Brian Hoey, ahli kerajaan dan penulis buku Life with the Queen (2006).
Pelengkap kesempurnaan
Di Jepang, teh adalah "agama" dalam seni hidup. Menurut Kakuzo Okakura dalam bukunya, The Book of Tea (1906), sejak abad ke-15 ritual teh Jepang menempatkan teh sebagai sumber kemurnian dan harmoni. Teh dipuja sebagai pelengkap kesempurnaan dalam hidup, pemersatu alam dan manusia.
Filosofi teh adalah higienis karena ia menekankan kebersihan. Ekonomis karena ia menunjukkan kemudahan dan kesederhanaan. Namun, di atas itu semua, teh adalah geometri moral. Ia mengajarkan bagaimana menghargai relasi manusia dengan semesta: ajaran utama dalam kearifan Timur.
Masa isolasi Jepang yang panjang membuat pemujaan terhadap teh—disebut sebagai teh-isme—berkembang pesat. Rumah dan budaya, tata cara makan-minum, seni dan tradisi, semua dipengaruhi teh-isme. Sebutan "orang tanpa teh" di Jepang berarti manusia yang tidak berperasaan. Sebaliknya, manusia yang terlalu berlebihan emosinya disebut "orang yang kebanyakan teh".
Demikian pula halnya di China, tempat teh berawal. Situs The Chinese Historical and Cultural Project menyebutkan, teh merupakan obat dan minuman tertua dalam sejarah manusia. Menurut legenda, Kaisar China Shen Nong menemukan teh tanpa sengaja pada 2737 sebelum Masehi.
Sebagai ilmuwan, ia percaya bahwa minum air yang direbus lebih sehat daripada air mentah. Saat istirahat setelah berkunjung ke desa-desa, pelayan yang merebus air tak sadar pancinya kemasukan daun camelia kering. Sang Raja ternyata senang karena air itu jadi punya rasa dan aroma baru sekaligus menyegarkan tubuh.
Pada pemerintahan Dinasti Tang, tahun 780, seorang cerdik pandai bernama Lu Yu menerbitkan Cha Ching, buku pertama yang bercerita tentang teh. Lu Yu menghabiskan waktu lebih dari 20 tahun untuk mempelajari dan mendokumentasikan cara menanam, memproses, menguji, dan menyeduh teh. Inilah awal kelahiran tradisi minum teh.
Teh yang semula lebih berperan sebagai obat berkembang menjadi bagian keseharian. Tanpa teh, hidup menjadi tidak sempurna. Tidaklah mengherankan bila teh masuk tujuh bahan pokok China: bahan bakar, beras, minyak, garam, kecap, cuka, dan teh.
Terus diteliti
Sampai sekarang, teh terus menarik perhatian. Berbagai penelitian dilakukan terhadap berbagai jenis teh, baik teh hijau, hitam, putih, maupun oolong. Semua mengandung polifenol—bagian dari senyawa flavonoid yang bersifat antioksidan—sehingga mampu menangkal radikal bebas yang bisa merusak DNA dan memicu munculnya kanker, penggumpalan darah, ataupun arterosklerosis.
Semakin panjang proses pengolahan teh, semakin rendah kadar polifenolnya. Teh hitam dan oolong yang diolah dengan cara fermentasi paling sedikit kadar polifenolnya meskipun tetap berkhasiat. Kadar tertinggi ada pada teh hijau dan teh putih, tetapi yang terakhir ini kurang begitu populer.
Teh hijau diproses dengan cara dikeringkan—bisa dengan disangrai atau diuapi—sehingga memiliki kadar antioksidan tertinggi. Antioksidan teh hijau berasal dari senyawa yang disebut catechins, terutama epigallocatechin-3-gallate (EGCG) terkonsentrasi.
Situs WebMD yang mengutip penelitian Tak-Hang Chan, PhD, profesor emeritus dari Departemen Kimia di McGill University di Montreal, Kanada, menyebutkan bahwa penggunaan EGCG sukses mengecilkan tumor kanker prostat pada tikus.
Signifikan cegah kanker
Penelitian terbaru yang dipublikasikan kantor berita Reuters semakin mengukuhkan khasiat teh hijau. Dilakukan oleh Shanghai Women's Health Study, penelitian melibatkan hampir 70.000 perempuan tidak merokok berusia separuh baya atau lebih yang mengonsumsi teh hijau secara teratur minimal tiga kali seminggu. Ternyata semakin sering minum teh hijau secara signifikan menurunkan risiko kanker.
Hal ini senada dengan penelitian di Pusat Kedokteran Columbia University, New York, dengan responden 40 perempuan. Kandungan polifenon E pada teh hijau yang termasuk keluarga flavonoid mampu menghambat faktor pertumbuhan endotelial vaskular dan hepatosit, keduanya merupakan pemicu pertumbuhan, migrasi, dan invasi sel tumor.
"Banyak penelitian praklinik yang fokus pada EGCG, salah satu komponen utama teh hijau, dan berbagai mekanismenya dalam mencegah kanker. Namun, masih sangat sulit menarik kesimpulan studi-studi itu pada manusia. Demikian pula dengan penelitian kami yang masih sangat terbatas untuk meyakinkan bahwa teh hijau bisa mencegah kanker payudara. Yang jelas, studi ini membantu kita untuk memahami mekanisme antitumor," kata Katherine D Crew, asisten profesor epidemiologi di Columbia University, seperti dikutip Science Daily.
Mungkin kita memang masih dalam tahap ungkapan sastrawan China, Lu T'ung (790-835). "Saya tidak tertarik kehidupan kekal. Saya hanya ingin menikmati teh."
Namun, ini pun sudah memberikan harapan.
Sumber: Kompas, 07 November 2012
No comments:
Post a Comment