Powerful yet "powerless" leader
"Leadership is (about) action, not position."
Presiden Turun Tangan
Sri-Edi Swasono
Kebetulan saya sempat berjabatan tangan dengan Martin Luther King Jr (1929-1968) sehingga kata-kata mutiaranya terasa berarti bagi saya. Ia mengatakan, "A genuine leader is not a searcher for consensus, but a molder of consensus (pemimpin yang tulen bukanlah pencari konsensus, tetapi pembentuk konsensus)."
Presiden Soeharto pada awal pemerintahannya jelas membentuk konsensus nasional, dalam Sekretariat Bersama Golkar, sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih berkoalisi.
Pada 8 Oktober 2012, Presiden "turun tangan" di tengah memuncaknya konflik antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masyarakat menilai pidato Presiden mengenai perselisihan Polri-KPK jelas, tegas, dan melegakan. Presiden memerintahkan Polri menyerahkan sepenuhnya kasus hukum dugaan korupsi simulator di Polri kepada KPK.
Komentar-komentar sangat positif, mendukung SBY turun tangan. Masyarakat awam mensyukuri, merasa "menemukan kembali" Presiden SBY. Disayangkan Presiden kelewat tawaduk, mengatakan tidak baik kalau Presiden sering turun tangan.
Keadaan di Tanah Air saat ini penuh keamburadulan, ibaratnya di mana-mana kita menghadapi ketidakberesan. Setiap hari kasus korupsi baru diungkap, baik korupsi oleh oknum lembaga-lembaga tinggi negara, pecundang- pecundang birokrat, kader-kader partai, maupun preman-preman bisnis.
Harapan baik Presiden dalam pemberantasan korupsi masih terganjal, KPK kekurangan SDM dan penyelidik, macet di sana-sini. Artinya, Presiden harus turun tangan lagi.
Demokrasi ekonomi
Bung Karno dan Bung Hatta baru mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional. Disebutkan oleh Presiden SBY berkat jasa besarnya, "...menancapkan gagasan kebangsaan, demokrasi ideologi Pancasila, Indonesia sebagai negara hukum, sistem ekonomi kerakyatan, kegotong-royongan, koperasi, dan berbagai gagasan besar lainnya...". Gagasan dan nilai-nilai ekstraordiner ini dimuliakan Presiden SBY.
Jadi, Presiden harus turun tangan jika ada menteri-menterinya tanpa kreativitas masih tunduk pada kepentingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ketimbang pada Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945, merugikan perekonomian nasional, serta mengabaikan patriotisme dan nasionalisme ekonomi. Memang keterlaluan ada menteri yang bilang kepada deputinya agar tidak usah "ideologi-ideologian", lakukan best practices saja seperti di Amerika.
Demokrasi ekonomi konsepsi Bung Hatta tidak terlepas dari doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyatan yang menolak liberalisme pasar bebas.
Demokrasi ekonomi Indonesia yang diemban Pasal 33 UUD 1945 merupakan benteng nasionalisme ekonomi Indonesia—artinya kepentingan ekonomi nasional yang diutamakan, tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Konsepsi koperasi dan ekonomi kerakyatan Bung Hatta telah menjadi pertimbangan Presiden SBY untuk penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini, tetapi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang tidak paham koperasi dalam konteks ideologi nasional Indonesia mendorong RUU Perkoperasian.
Terang-terangan, langkah ini mencabut roh koperasi, mengabaikan paham kebersamaan, menyelewengkannya dari Pasal 33 UUD 1945 sekaligus bertentangan dengan semangat kooperativisme global yang pada tahun ini sedang dirayakan dan dinyatakan PBB sebagai Tahun Koperasi.
Sampai 2012, sudah ada sekitar 400 pengaduan gugatan atas UU yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan sekitar 27 persen di antaranya dibatalkan karena melanggar nilai-nilai Pancasila (Mahfud MD, September 2012), termasuk UU Migas, UU Investasi, dan sebagainya. Rancangan-rancangan UU itu tak seharusnya dengan mudah lolos dan diketuk DPR, yang kemudian ditolak MK.
Bila transformasi sosial-politik dan sosial-ekonomi diselenggarakan secara awut-awutan, reformasi berubah jadi deformasi, posisi rakyat yang sentral-substansial (primus) direduksi menjadi marginal-residual. Posisi modal secara keliru justru didudukkan sebagai yang primus.
Bila seorang menteri tak mampu melakukan tugasnya untuk mengakhiri perbudakan berkelanjutan terhadap tenaga kerja kita di luar negeri, dan menteri-menteri yang lain, tanpa mengabaikan kemajuan yang ada, tak bisa merasa bahwa rakyat saat ini capek miskin, capek menganggur, capek pedih bercemburu sosial, karena kebijaksanaan pembangunan tidak berawal dari Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, Presiden harus turun tangan meluruskannya.
Masyarakat marah melihat "Indonesia is for sale", kepentingan negara terancam, BUMN dijuali, kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kedaulatan ekonomi rakyat, hajat hidup orang banyak makin tergerus. Kalau Presiden tidak turun tangan, pasti migas Blok Mahakam jatuh kepada asing lagi (meskipun BP Migas barusan dibubarkan). Migas Blok Tangguh, mineral Freeport, dan lain-lain tidak kunjung direnegosiasi.
Obligasi rekapitalisasi perbankan merenggut kekayaan kita, piutang menjadi utang fiktif berkelanjutan, ini merupakan absurditas in optima forma-nya para ekonomi neoliberal kita.
Kepala negara harus turun tangan pula ketika rezim otonomi daerah berubah menjadi eksklusivisme dan otoritarianisme lokal, yang menjuali SDA, menjuali pulau dan aset-aset nasional sambil memuja investor mancanegara.
Bila aparat dan masyarakat gagal menjaga kerukunan nasional, aparat perlu dimampukan (empowered) untuk menghadapi perubahan ultra dinamis sebagian masyarakat, agar berdaya mendeteksi bibit-bibit potensial pertikaian-pertikaian "SARA".
Ketika para menteri dan aparat tidak bisa menjamin hak konstitusional Gereja Yasmin dan kebebasan beragama, rakyat bertanya "di mana Presiden kita" sebagai tumpuan harapan?
Ketika Papua terus bergejolak, ketika tidak ada tangan-tangan bijaksana lain yang mengerti bagaimana menghadirkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat Papua.
Juga ketika para pemimpin tak memahami makna demokrasi kita yang berdasarkan kebersamaan, partisipatif, emansipatif, dan kehastabrataan "waterpas"–yang tak mengenal anak emas atau anak tiri terhadap segenap anak negeri di bentangan Sabang-Merauke dan Miangas-Rote—maka hanya Presiden yang jadi harapan perubahan.
Hak prerogatif
Presiden memiliki hak istimewa, hak prerogatif, ibarat exorbitanterecht-nya gubernur jenderal (gouverneur general). Membiarkan menteri pilihan Presiden, yang kemudian terbukti tidak canggih berkualitas tetap bertahan, dan membiarkan menteri-menterinya lengah mengemban patriotisme dan nasionalisme ekonomi dalam perang ideologi global, merupakan kelengahan Presiden memuliakan hak prerogatif yang menghiasi pundak Presiden.
Adalah in good faith, bahwa Presiden berkenan "turun tangan", bahwa leadership is action, not position. Barangkali perlu pula dipikirkan ulang pilihan politik koalisi tak kapabel atau politik konsensus ideologis-meritokratis.
SRI-EDI SWASONO Guru Besar UI dan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
Sumber: Kompas, 19 November 2012
No comments:
Post a Comment