Nov 26, 2009

Substansi Haji yang Mabrur

Makna substantif di atas simbolisasi.Substansi itu mengungguli bentuk. Substance over form. (EJ)


Haji, Sebuah Pengembaraan

Kamis, 26 November 2009

Oleh Moeslim Abdurrahman

Di kalangan sufi, ada kisah menarik yang sering diceritakan, terutama menjelang orang mau berangkat haji. Dalam kisah itu diceritakan tentang dua santri, yaitu Si Fulan dan Si Rojul. Sebelum menuju ke Tanah Suci, kedua santri itu tidak lupa sowan dulu, pamitan kepada Kiai, guru yang mereka hormati yang selama ini menjadi panutan spiritual mereka.

Dengan senang hati, Sang Guru mendoakan agar kedua santri itu nanti memperoleh haji mabrur. Sudah tentu, sebagai seorang kiai, selain membekali doa, biarpun agak singkat, ia juga memberikan nasihat yang penting-penting. Tetapi, yang selalu ditekankan dalam nasihat itu, Kiai bilang, ingat ya bekal yang paling pokok menunaikan ibadah haji itu tidak lain adalah iman dan takwa kita sendiri.

Banyak orang berhaji, kata Kiai tersebut, hanya datang dengan jasmani, sambil membawa daftar permintaan dan mengingat-ingat doa apa yang seharusnya dibaca di tempat-tempat tertentu, tanpa berusaha secara rohaniah melakukan penyerahan batin dan spiritual sepenuh- penuhnya, sebagai submission kepada Khalik, Tuhan seru sekalian alam.

Seusai mendengarkan nasihat Kiai, dengan rasa hormat dan terharu, kedua santri tersebut mulailah melakukan perjalanan menuju Mekkah, kota suci, tempat berdirinya bayt-Allah, kiblat kaum Muslimin di seluruh dunia. Mereka sengaja berpisah, masing-masing menempuh rutenya sendiri, yang penting keduanya akan bertemu di tanah haram, agar dalam perjalanan itu ada pengalaman yang berbeda, ada juga horizon yang berbeda.

Singkat cerita, selama kedua santrinya pergi haji itu, tidak ada kabar tidak ada berita. Tahu-tahu, begitu selesai musim haji, eh Si Fulan dan Rojul datang lagi menemui Kiai-nya.

Dengan syukur alhamdulillah, Kiai tersebut menyambut, merasa gembira, karena kedua santri kesayangannya telah pulang. Bagaikan seorang anak yang baru dilahirkan, Kiai tersebut memandang keduanya dengan mata berseri-seri karena setiap orang pulang dari haji memang dianggap dosanya lunas, kembali putih dan bersih seperti warna kapas.

Bahkan, kata Kiai itu, selama 40 hari kepulangannya, Si Fulan dan Rojul masih membawa berkah dan dapat memberkahi orang lain. Betapa Si Fulan gembira dengan sambutan Kiai-nya itu. Ia kemudian mulai menceritakan bagaimana perjalanan haji yang telah ditempuhnya.

Sewaktu pertama kali masuk Masjidil Haram, ia bilang hampir-hampir tak bisa melanjutkan langkah kakinya. Dengan nada sedikit terharu, ia menggambarkan betapa suasana emosionalnya tatkala itu melihat, oh inilah rumah Tuhan yang didirikan kembali oleh Nabi Ibrahim AS yang kemudian menjadi arah sujud berjuta-juta umat Islam sekarang ini. Sambil tak henti-hentinya membaca subhanallah, Si Fulan menangis tersedu-sedu karena dalam hidupnya ternyata, toh, dikaruniai kesempatan bisa datang ke Mekkah, dan bisa bersembahyang di dekat Kabah dan secara fisik memang sangat dekat sekali. Si Fulan kemudian melakukan tawaf, mencium Hajar Aswad, dan tidak lupa ia berdoa di Multazam.

Perasaan terharu dan sempat menangis yang kedua kalinya adalah tatkala ia mendaki bukit Rahmah di Arafah. Betapa di tempat itu, ia ingat kisah Nabi Adam AS yang dipertemukan kembali dengan istrinya setelah turun dari surga.

Yang ketiga, dalam seluruh paket perjalanan hajinya itu, Si Fulan juga mengaku tidak bisa menahan tangisnya sewaktu di Madinah berziarah ke makam Rasulullah. Sungguh, ujarnya, sebagai seorang pelaku sufi yang selama ini selalu mendambakan dalam mimpinya agar bisa bertemu Nabi Muhammad, ia merasa bahagia sekali ada di sana, dekat dengan tempat jasad nabi tersebut disemayamkan.

Dengan rendah hati tampak sekali Si Fulan ingin segera mendapat konfirmasi dari Kiai-nya, apakah dengan menangis di tiga tempat tadi, hal itu merupakan tanda-tanda bahwa hajinya mabrur. Dengan agak lamban akhirnya Kiai menjawab dengan singkat sekali, katanya, "Insya Allah, insya Allah, Lan."

Kini, giliran Si Rojul. Ia bilang, "Kiai, sebelumnya saya mohon maaf," begitulah dengan suara lirih dan nada tampak penyesalan. Dengan jujur Rojul bilang bahwa perjalanannya ternyata tak sampai ke Tanah Suci.

"Sungguh maaf Kiai, bekal saya habis di tengah jalan," ucapnya. Bekal itu, oleh Rojul, katanya, habis diberikan kepada anak-anak yatim, orang-orang tua yang lapar, fakir-miskin yang menjumpainya selama dalam perjalanan. Jadi, alhasil, Si Rojul urung, tidak sampai niatnya ke Mekkah, apalagi menunaikan wukuf di Arafah dan bisa menziarahi makam Rasulullah. Sambil terharu dan sedikit terisak-isak, Rojul menyudahi cerita pahitnya itu.

Anehnya, berbeda dengan yang dirasakan oleh Si Rojul, Kiai sepuh yang alim itu, setelah mendengarkan betapa terjal jalan setapak yang pernah dilalui Rojul menuju ke Tanah Suci ini, dengan sangat spontan berkomentar, "Alhamdulillah," yang diucapkannya beberapa kali menunjukkan kepuasan batinnya.

"Kau Rojul," ungkapnya, "ternyata telah mengerjakan haji mabrur yang sesungguh-sungguhnya." Sebab, tambahnya, "Kamu dengan niat ikhlas selama ini ternyata sudah berihram. Memakai pakaian itu dalam hidupmu, dalam hati dan jiwamu, biarpun secara fisik ibadah hajimu belum sampai ke Arafah."

Dan kata Kiai ini, memang tidak semua orang yang telah pergi haji memperoleh makna substantif ibadahnya seperti itu. Sebab, ritual haji, yang sebenarnya lebih banyak didominasi oleh ibadah gerak untuk merekonstruksi sejarah kenabian monoteistik itu, jika dilaksanakan tanpa refleksi, tanpa perenungan kritis, ya bisa saja memuaskan secara emosional seperti ungkapan tangisnya Si Fulan tadi. Apalagi kalau orang yang pergi wukuf hanya sekadar ingin mencuci dosa pribadi, maka bunyi istigfar tak akan membekas secara spiritual dan memberikan implikasi yang bermakna bagi kehidupan sosial. Sebab, tanpa kesadaran yang mendalam bahwa noda kesalehan yang harus kita bersihkan di samping yang sifatnya perorangan, di sana tentu ada banyak dosa struktural, yakni bagian dari tanggung jawab kita bersama untuk membangun kesetaraan, keadilan, dan keadaban publik.

Dalam hal ini, simbolisasi berpakaian ihram dalam haji, tidak lain, saya kira merupakan pernyataan dan peringatan tentang betapa penting menegakkan secara terus-menerus komitmen keberagamaan dan kesalehan egalitarianistik seperti itu, apalagi dalam kehidupan yang hedonistik dan individualistik sekarang ini.

Masuk dalam horizon makna yang luas seperti itu adalah pilihan kita. Pilihan tatkala harus merumuskan diri kita sendiri, apa yang kita maksud dengan ibadah, dengan kesalehan selama ini.

Dan kisah tentang Kiai dan dua santrinya itu, saya kira tidak lain dan tidak bukan memberikan pelajaran yang bagus, betapa pentingnya kita selalu mencari makna yang lebih substantif di luar semaraknya ritual selama ini, yang ditandai misalnya dengan semakin meningkatnya jumlah jemaah haji setiap tahun dan bisa jadi akan semakin banyaknya hewan kurban yang secara seremonial akan kita sembelih, sehabis shalat Idul Adha besok pagi.

Moeslim Abdurrahman Ketua Al-Maun Institute, Jakarta

Sumber: Kompas, 26 Nov 09

Nov 12, 2009

Mengakrabi Pelajaran Matematika & Sains untuk Anak

Apakah Memang Penting Mata Pelajaran Matematika Dan Sains Itu ?

Kamis, 12-11-2009 13:43:34 oleh: Marjohan M.Pd
Kanal: Opini

Kita bersyukur bahwa banyak orang tua siswa sekarang sangat peduli terhadap pendidikan dan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) anak-anak mereka . Sejak anak kecil hingga berusia remaja, mereka ikut mencikarui- melakukan -interferensi positif- terhadap pendidikan anak. Toko-toko buku sekarang sudah menjadi tempat yang sangat popular untuk dikunjungi demi kepentingan ilmu pengetahuan. Pengunjung yang posisinya sebagai orang tua paling senang mengunjungi bagian pojok buku psikologi, menemukan buku tentang cara mendidik anak dan sampai kepada pojok buku filsafat , nuansa buku agama atau buku pendidikan popular lainnya.

Di rumah banyak orang tua yang juga sudah mendorong pertumbuhan dan perkembangan SDM anak. Mereka mengantarkan anak untuk pendidikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan TK. Pada pendidikan dini ini, anak mulai mengenal adaptasi dengan sosial, serta berlatih untuk menguasai gerak halus dan gerak kasar. Suasana belajar pada pendidikan dini tersebut betul-betul menyenangkan, atau diistilahkan bahwa suasana belajar sudah bernuansa PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan) atau PAIKEM (Pembelajaran Aktif, inovatif, Kreatif Efektif dan Menyenangkan).

Guru-guru untuk pendidikan usia dini tersebut selalu memberikan pelayanan prima atauexcellent service terhadap manusia-manusia kecil ini. Sebagai responnya, maka manusia kecil (anak didik) tadi menyambut pelayanan prima sang guru dengan suka cita, riang gembira dan penuh rasa cinta. Sekaligus mereka menjadikan ibu guru pada PAUD atau TK sebagai guru idola mereka.

Namun waktu selalu bergulir dan anak didik kecil mungil tadi melangkah masuk ke pendidikan SD. Sebagian anak didik akan beradaptasi dengan mudah di sekolah yang baru (SD) mana kala berjumpa dan belajar dengan guru kelas yang juga melayani anak dengan prima, yaitu guru-guru yang senang mengekspresikan kata-kata yang penuh dengan muatan emosi "anak-anakku sekalian, anak anak yang pintar, anak-anakku tersayang" Guru-guru kelas pada SD pun menjadi "guru idola".

Namun anak didik bakal kaget, stres dan mengalami nightmare (mimpi buruk) mana kala belajar dengan guru-guru yang kikir dengan ekspresi yang hangat, kecuali kalimat penuh mengancam "bila tidak membuat tugas dihukum berdiri kaki itik di depan kelas, ketahuan mencontek maka kertasnya ujian dirobek….". Guru-guru yang kurang bisa beradaptasi dengan pedagogi dan perkembangan jiwa anak sangat tepat untuk segera mengundurkan diri sebagai pendidik.

Pada mulanya fokus pengajaran pada bangku Sekolah Dasar adalah supaya anak menguasai "tiga R", yaitu keterampilan reading, writing dan arithmetic (keterampilan membaca, menulis dan berhitung). Keterampilan menulis terasa menyenangkan manakala guru kelas ikut memegang jari-jari halus siswa menulis di atas kertas. Demikian pula dengan pelajaran membaca. Anak merasa mulutnya bisa berubah menurut vokal "a, i, u, e dan o", dan mengekspresikan ungkapan yang lucu-lucu yang diikuti dengan bentuk alfabetnya.

Pelajaran matematika di kelas satu Sekolah Dasar, sangat berkesan bila dihubungkan dengan pengalaman atau unsur-unsur emosional dan yang berhubungan dengan kebutuhan anak. Orang-orang yang berusia 40-an sekarang ini, kemungkinan masih ingat dengan pelajaran berhitung saat mereka di SD dulu. "Satu manggis ditambah tiga manggis menjadi empat manggis".Ekspresi ini mungkin masih membekas, namun bagaimana dengan suasana belajar matematika anak sekarang ?

Gara-gara peringkat mutu matematika dan sains siswa Indonesia menempati posisi yang sangat rendah di negara-negara Asean, apa lagi untuk tingkat dunia, maka kurikulumnya pun digenjot dan ditambal sulam. Guru-guru matematika dan sains sejak dari SD sampai ke bangku SLTA diharapkan untuk proaktif.

Ada wujud kepedulian sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kualitas matematika dan sains anak. Guru guru dan tokoh pendidik yang lain berpacu untuk merancang- menyusun buku matematika dan sains, mulai untuk tingkat SD, SMP dan tingkat SMA. Sebagian buku ada yang diujicobakan di sekolah-sekolah super sebelum dicetak dan sisebar luaskan untuk menjadi konsumsi siswa-siswa di berbagai sekolah di Indonesia yang kualitas otak mereka amat jauh berbeda dengan kualitas otak siswa di sekolah yang bermutu. Kualitas orang tua orang siswa pun juga berbeda dengan sekolah kebanyakan.

Mata pelajaran sains dan matematika cenderung menjadi mata pelajaran yang kurang bersahabat dengan anak didik. Sementara itu guru- guru wajib menyajikannya sesuai dengan tuntutan kurikulum. Karena rancangan materi buku matematika terlalu sulit maka lambat laun anak anak memandang mata pelajaran ini sebagai monster yang menakutkan dan membosankan. Anak-anak selalu susah payah untuk memahaminya, apalagi guru guru cenderung tegang dalam memperkenalkan mata pelajaran ini. Ya karena di rumah orang tua mereka sendiri juga jarang kedengaran berhitung, maka anak miskin dengan logika dan sang guru sering menjadi naik pitam, "wah soal berhitung demikian mudah juga kamu tidak tahu, dasar bloon".

Ada seorang staf pendidik memiliki anak yang belajar di kelas 3 SD, berkata bahwa tiap hari ia menemani anaknya belajar, sudah membudayakan belajar mandiri di rumah, membuat PR dan membaca. Namun hampir setiap hari anaknya rewel dan merengek gara-gara kurang mengerti dengan PR matematika."Ya ampun pelajaran matematika untuk konsumsi murid kelas 3 SD dirancang tidak begitu menarik- tingkat bahasa cukup tinggi bagi imajinasi anak, kita saja yang sudah lulus S.1 dan S.2 masih harus konsentrasi untuk memahaminya, apalagi murid kelas 3 SD yang masih hijau dan belum cukup pengalaman untuk memahami spasial dan logika, kemudian diberi tugas yang melebihi kekuatan jari-jari kecil mereka", dan itulah fakta serta kenyataannya. Bila anak terpaksa belajar- belajar dalam kondisi tertekan (stress), tentu akan mendatangkan rasa bosan dan dipaksa, maka terjadilah pembunuhan karakter mereka dalam belajar.

Namun buku buku matematika dan sains tersebut kan sudah disahkan oleh BSNP- Badan Standar Nasional Pendidikan. "Nah itulah masalahnya, pengesahan buku-buku oleh BSNP mungkin berdasarkan verifikasi dari atasnya- top down, dilihat dari kacamata siswa cerdas dan sekolah unggulan melulu. Buku-buku tersebut dianggap layak dan bermutu untuk sekolah berkualitas dan anak anak cerdas yang cuma berdomisili di pulau Jawa dan kota-kota besar. Sementara itu coba lihat, banyak buku-buku yang walau sudah disahkan oleh BSNP tetap tidak teresentuh dan menumpuk di perpustakaan. Seharusnya BSNP juga rajin-rajin untuk mencek buku yang telah mereka rekomendasikan itu sampai ke lapangan di berbagai pelosok negeri. Kemudian juga perlu merekomendasi tingkat kesulitan buku berdasarkan verifikasi bottom-up, dari arus bawah- berdasarkan sekolah sekolah kebanyakan tersebar di persada ini".

Ada orang tua bertanya tentang seberapa jauh pentingnya mata pelajaran matematika dan sains tersebut. "Matematika dan sains itu sangat penting, syarat untuk lulus UN, kalau anak cerdas untuk bidang studi ini, ia bisa kuliah di Pulau Jawa, Universitas bergengsi, anak bias jadi dokter, jadi insinyur. Bila anak masuk jurusan IPA, peluang untuk kuliah lebih bagus dari jurusan IPS dan Bahasa". Berarti secara tidak langsung jurusan IPA lebih hebat dari dua jurusan lain, maka siswa yang masuk jurusan IPA akan merasa superior dan yang masuk jurusan Bahasa dan IPS menjadi inferior atau rendah diri.

Menyadari begitu sulit dan pentingnya mata pelajaran matematika dan sains, maka solusinya adalah para siswa mulai dari SD, SMP dan SLTA direkomendasikan untuk mengikuti belajar siang, atau belajar tambahan di les-les privat. Malah pebisnis franchise pendidikan merespon dengan riang gembira, segera membuka kelas-kelas bimbingan belajar dan meraup laba sampai ratusan juta rupiah atas derita kesulitan belajar anak. Namun tentu saja bisa dijangkau oleh siswa yang orang tuanya berduit, sementara bagi siswa miskin harus gigit jari atau cari bimbingan belajar yang murah meriah.

Kini banyak sekolah menyadari atas problem belajar anak untuk mata pelajaran matematika dan sains, yang nota benenya adalah juga mata pelajaran yang diujikan dalam UN (Ujian Nasional). Maka usai PBM yang normal, maka kembali siswa disekap- atau direkomendasikan untuk sekolah tambahan. Apakah proses PBM belajar tambahan untuk mata pelajaran yang dipandang sangat primadona ini effisien dan efektif ? Yang jelas siswa terlihak lesu, bosan, merasa terpaksa, sehingga mengikuti PBM hanya secara main-main saja. Akibat PBM nya sendiri tidak menarik, suasana hati untuk belajar juga tidak pas "Sang guru saja juga merasa terpaksa untuk mengajar sore". Maka jadilah guru yang merasa bosan mengajar siswa yang juga merasa bosan. Anak didik merasa tersekap lagi sepanjang hari di sekolah, akibatnya badan dan jiwa menjadi letih. Setelah pulang sekolah tentu juga tidak bisa mengulang pelajaran, apalagi untuk berbakti pada orang tua dan untuk masyarakat sekitar.

Kalau sekarang banyak siswa kurang bisa bertegur sapa dengan orang tua atau guru dengan santun, ya itu gara-gara mereka tidak punya waktu bersosial, karena disekap oleh PBM- belajar tambahan, "Anak sekarang sombong-sombong tidak ramah dan tidak biasa menyapa orang tua !" .Kalau pemuda kita juga tidak jago lagi dalam olah raga, malas turun ke sawah atau tidak kenal dengan laut (bagi anak nelayan, sehingga ikan-ikan kita pun dicuri oleh negara lain) adalah juga gara-gara anak tidak punya waktu untuk ke laut atau ke pedalaman, juga karena disekap terlalu lama di sekolah atas nama meningkatkan PBM yang sebenanrnya tidak begitu signifikan dampaknya. Kemudian kalau siswa menjadi acuh tidak acuh dengan kehidupan sosial di seputar rumah dan miskin dengan life skill serta sirnanya karakter ramah tamah adalah juga karena gara-gara anak dipaksa lagi oleh mata pelajaran matematika dan sains untuk sekolah tambahan, termasuk bagi mereka yang tidak berminat dengan mata pelajaran tersebut.

Fenomena dalam kehidupan di sekolah, terutama untuk tingkat SMA dan MA, bahwa mayoritas siswa dan orang tua mengidolakan mata pelajaran sains termasuk matematika."Masuklah ke jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau sains niscaya masa depan mu cerah !". Demikian sugesti secara implisit dan eksplisit di sekolah dan di rumah. Tanpa analisa yang mendalam berdasarkan bakat dan minat maka anak didik setuju saja. Maka diserbu dan diidolakanlah "jurusan IPA tersebut". Guru-gurunya pun keciprat beruntung, karena dihormati melebihi guru bidang studi lain, sementara jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), apalagi jurusan Bahasa dan mungkin juga guru-gurunya, dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai jurusan kelas dua. Dalam pemilihan jurusan di SMA, bila anak ternyata masuk ke IPS dan Bahasa akan dipandang kurang cerdas. Orang tua yang IPA maniak akan marah-marah, "Kok kamu masuk jurusan IPS, bodoh kamu, percuma saja kamu ikut les dulu dan buang-buang uang saja". Malah ada anak yang rela tinggal kelas asal tahun berikutnya bias masuk jurusan IPA, apakah jurusan IPA itu adalah segala-galanya ?

Kini banyak anak-anak cerdas belajar pada jurusan IPA. Tetapi tunggu dulu, apakah mereka betul-betul cerdas? Belum tentu, mereka kan cuma sekedar terlatih menjawab soal-soal Ujian Nasional (UN), dan soal ujian SNMPTN (Sistem Nasional Masuk Perguruan Tinggi), namun begitu dibawa ke laboratorium mereka tidak mengerti dengan cara praktikum, di rumah kalau listrik mati karena korslet, mereka bingung untuk membuatnya nyala. Malah mereka pun sudah menjadi orang yang anti kritik karena merasa sudah jagoan di kelas. Inilah akibat PBM Cuma sekedar memburu skor out-put dan memasung proses pembelajaran dan proses bersosial anak di rumah (akibat banyak ditahan di sekolah).

Ada orang mengatakan bahwa pintarnya anak Indonesia cuma sebatas menjawab soal-soal UN semata, tapi tidak pintar memegang tangkai cangkul buat membersihkan halaman rumah, tidak tahu cara membantu diri sendiri, keluarga apa lagi buat membantu orang lain- gara-gara hanya berorientasi belajar tanpa diimbangi dengan rasa peduli pada sosial. Sekali lagi, pintarnya anak Indonesia hanya sekedar mencari selembar ijazah dan habis itu bengong dan nongkrong dalam tangga pengangguran.

Apakah memang penting mata pelajaran matematika dan sains itu? Mata pelajaran ini memang sangat penting, namun gara-gara mengidolakan mata pelajaran ini, dan anak didik terlalu disekap berlama-lama di sekolah sehingga kesempatan mereka untuk mengembangkan diri di sore hari jadi hilang. Terus terang siswa sekarang perlu kehidupan seperti siswa generasi dulu, punya waktu untuk main voli, membuat acara ulang tahun, pergi mengaji, ikut kegiatan keluarga dalam rangka memahami adat istiadat, tahu cara mengelola usaha bisnis keluarga, tahu cara menggoreng telur dadar dan punya waktu untuk beramah tamah dengan tetangga. Bila mata pelajaran matematik dan sains terasa sangat membosankan, maka PBM dengan sistem PAKEM atau PAIKEM sangat perlu untuk dimiliki oleh guru bidang studi tersebut- tentu orang tua (terutama untuk tingkat SD karena pelajaran ini belum begitu sulit) juga perlu menjadi guru sains dan matematika di rumah. Mengajar bidang studi ini dengan memberi PR segudang sangat percuma, karena siswa pasti saling mencontek dan saling menyalin tugas teman, tanpa mengerti kecuali sekedar menyenangkan hati sang guru untuk menganggap mereka sebagai siswa yang rajin.

Akhir kata bahwa pokok permasalahan anak didik dalam belajar sains dan matematika di sekolah adalah karena mereka memiliki minat belajar dan motivasi belajar yang cukup rendah. Maka kurang tepat solusinya dengan memaksa mereka belajar tambahan setiap hari sampai sang surya tenggelam lagi di ufuk barat dan mereka pulang ke rumah dengan penuh lesu dan bosan, serta miskin dengan life skill dan kurang peka dengan kehidupan sosial. Belajar tambahan begitu lama setiap hari mungkin bisa menyebabkan mereka kehilangan masa-masa indah untuk mempelajari keterampilan hidup dan keterampilan sosial yang mungkin juga jauh lebih penting untuk dimiliki dari pada sekedar belajar tidak sepenuh hati di sekolah sore / sekolah tambahan. Mana tahu andaikata hidup mereka susah dan nilai akademis belum bisa memberi janji untuk pekerjaan yang mereka mimpikan maka life skill mungkin bisa sebagai alternatif dalam hidup, dengan membuka restoran, bengkel, bisnis out door activity, dan lain-lain, tentu saja selagi dalam keridhaan Sang Khalik.

(Marjohan M.Pd, Guru SMAN 3 Batusangkar)

Sumber: Wikimu