Oct 28, 2008

Bahasa: Identitas Bangsa

80 Tahun Sumpah Pemuda

Menghidupkan "Roh" Bahasa Persatuan

istimewaDendy Sugono

"Sorry, hari ini gue minta izin mau off dulu. Tunggu sebentar, gue nggak bisa nelpon loe. Gue lagi meeting."

Tiga kalimat pendek tersebut, kedengarannya enak dan terkesan gaul. Bahkan bisa disebut si penuturnya intelek bergaya metropolitan. Tetapi, adakah yang aneh atau janggal dari kalimat yang sering ter- dengar dalam percakapan sehari-hari di masyarakat, terutama di Jakarta dewasa ini?

Sepintas memang kelihatan tidak ada masalah dengan ucapan seperti itu. Apalagi, zaman sekarang memang dituntut kreativitas. Bagi masyarakat awam, bahasa lisan di atas, sepintas tak bermasalah. Tetapi, bagi kalangan ahli bahasa Indonesia, kalimat tersebut sangat merisaukan. Mengapa?

Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Dendy Sugono yang ditemui SP belum lama ini di Jakarta mengaku risau dengan penggunaan bahasa yang campur aduk itu. Dendy pun mengingatkan ada banyak kesalahan berbahasa tersebut.

Kalimat yang benar dari,"Sorry, hari ini gue minta izin, gue mau off dulu" adalah,"Maaf, hari ini saya mau minta izin, saya mau libur/tidak kerja dulu." Demikian pula, dua kalimat,"Tunggu sebentar, gue nggak bisa nelpon loe. Gue lagi meeting", yang benar adalah,"Tunggu sebentar, saya tidak bisa menelepon Anda. Saya sedang rapat." Kesalahannya adalah mencampuradukkan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Betawi.

Bahasa, menurut Dendy Sugondo, digolongkan menjadi bahasa lisan dan tulisan. Bahasa lisan, dibagi lagi menjadi bahasa lisan formal dan nonformal (cakap, Red). Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Keduanya berfungsi sebagai alat komunikasi dan identifikasi diri, serta tetap harus mengindahkan kaidah bahasa yang baik dan benar. Sebab, para ahli sepakat bahwa bahasa yang dibentuk oleh kaidah aturan serta pola tertentu, tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan kesalahan interpretasi dalam komunikasi.

Kecenderungan di Indonesia, lanjut Dendy, penutur memadukan bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah. Kebiasaan itu bisa disebut "kreatif", tetapi merusak kaidah bahasa.

Penggunaan bahasa Indonesia yang salah di ruang publik berdampak buruk pada perkembangan kebahasaan nasional. Ketidakteraturan berbahasa adalah cerminan ketidakpahaman atau ketidakdisiplinan terhadap tata bahasa.

Sementara itu, dosen program studi Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Asep Sambodja mengatakan bahasa percakapan anak-anak muda di televisi terdengar masih kacau dan cuek dengan kaidah. Ada campur-aduk bahasa yang tidak pada tempatnya. Tetapi, redaktur majalah Susastra itu juga melihat ada anak muda yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata memperlihatkan penguasaan bahasa Indonesia yang canggih.

Kaidah Bahasa

Penggunaan bahasa Indonesia yang tidak mengikuti kaidah, menurut Dendy, akan merusak penggunaan dan pemahaman bahasa Indonesia pada anak-anak dan masyarakat. Celakanya, bahasa pada iklan banyak yang menyalahi kaidah bahasa Indonesia, padahal media itu sangat cepat dicerna dan ditiru anak-anak dan masyarakat.

Contohnya, iklan rokok yang berbunyi "Nggak Ada Loe, Nggak Rame". Jika mengikuti kaidah, seharusnya "Kalau Anda Tidak Ada, Suasananya Tidak Ramai".

Selain bahasa iklan, penggunaan bahasa asing untuk nama jalan atau petunjuk, seperti di kawasan perumahan elite dan toko swalayan, juga merusak dan menghambat perkembangan bahasa Indonesia. Padahal, orang asing yang tinggal di Indonesia justru lebih fasih berbahasa Indonesia.

Dendy berharap setiap insan Indonesia menjunjung tinggi bahasanya, meskipun menguasai bahasa asing. Harapan itu terutama ditujukan kepada pejabat dan tokoh publik. Ketika berpidato atau dalam acara resmi, pejabat hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 2008 yang bersamaan dengan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta hendaknya menjadi momentum untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Para pendiri bangsa, kata Dendy, sadar akan fungsi, peran, dan kedudukan bahasa Indonesia. Kerap kali orang salah kaprah dengan Sumpah Pemuda, khususnya menyangkut bahasa Indonesia, dengan menyatakan berbahasa satu. Padahal, bunyinya,"Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Jadi, bukan bahasa satu, yang seolah-olah tidak boleh berbahasa asing ataupun bahasa daerah.

Makna yang dalam dari Sumpah Pemuda adalah setiap warga negara boleh, bahkan dituntut menguasai bahasa asing untuk meningkatkan pergaulan, tetapi tetap harus menjunjung bahasa Indonesia. Ikrar itu juga bermakna, selain bahasa Indonesia, bahasa daerah yang merupakan kekayaan bangsa, tetap harus dipelihara.

Dendy berharap peringatan Sumpah Pemuda kali ini menjadi momentum menghidupkan kembali "roh" bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa persatuan hendaknya menjadi jiwa bagi setiap warga Indonesia. Kalau setiap warga negara mencintai dan bangga berbahasa Indonesia secara baik dan benar, dengan sendirinya "roh" bahasa persatuan akan terus hidup dan berakar.

Ungkapan bahasa menunjukkan bangsa, sangat diharapkan terwujud. Sebab, ungkapan itu memiliki makna filosofi yang dalam. Kebiasaan para penutur bahasa, oleh ahli bahasa disebut sebagai refleksi perilaku masyarakat dalam bernegara. Ketika warga tidak disiplin berbahasa, bisa ditafsirkan sebagai ketidaktaatan warga terhadap aturan negara.

Identitas Diri

Dalam Kongres III Bahasa Indonesia di Jakarta 28 Oktober- 3 November 1978, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letjen TNI Sayidiman Suryohadiprojo yang tampil dengan makalah berjudul Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pembinaan Ketahanan Nasional (Depdiknas, 1983), mengingatkan pentingnya bahasa dalam pertahanan nasional. Menurutnya, ketahanan nasional tak mungkin ada apabila bangsa itu tidak memiliki identitas dan harga diri.

Bahasa Indonesia yang merupakan produk perjuangan nasional, kata Sayidiman, mempunyai saham penting untuk memberikan identitas tersendiri pada bangsa kita. "Meskipun terdiri dari sekian banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa sendiri-sendiri, ditambah dengan besarnya dialek, tetapi kita telah berhasil mengkreasikan bahasa nasional yang digunakan di seluruh wilayah nasional yang luas itu. Inilah jasa Sumpah Pemuda 1928 dan perjuangan setelah itu untuk mewujudkan kepada sumpah tersebut," ujarnya.

Tidak hanya Sayidiman, jauh sebelumnya pujangga besar Sutan Takdir Alisjahbana dalam berbagai karya sastranya telah menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bahasa persatuan tersebut. Dalam buku berjudul Dari Perdjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957) terungkap bagaimana Sutan Takdir Alisjahbana berjuang menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bahasa persatuan itu.

Dalam buku itu disebutkan bagaimana penjajah Belanda hendak mengganti bahasa Indonesia di sekolah-sekolah bumiptera di Aceh dengan bahasa Aceh. Upaya itu akhirnya gagal setelah diprotes pemuda Indonesia melalui surat kabar yang terbit di Pulau Jawa ketika itu.

Di sisi lain, buku ini juga mengingatkan bagaimana tokoh Belanda, Prof Kern sejak 1890 meminta pemerintahnya mengajarkan bahasa Belanda di sekolah-sekolah bumiptera jajahannya. Anjuran itu didukung Dr Nieuwenhuis (meninggal 1931) tentang perlunya mengajarkan bahasa Belanda di kalangan bangsa Indonesia.

Dia bahkan mengkritik bangsanya, bahwa selama 300 tahun menjajah Indonesia, Belanda mengabaikan kewajiban menyebarkan bahasanya.

Kritik Nieuwenhui itu memang telah dibuktikan Spanyol yang pernah menjajah Filipina. Meskipun Amerika Serikat bersusah payah memasukkan bahasa Inggris di Filipina pascapenjajahan Spanyol, bahasa Spanyol tetap digunakan di negara itu.

Demikian pula Inggris yang telah kehilangan jajahannya, seperti Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara yang kini masuk negara persemakmurannya di Asia dan Afrika, tetapi budaya dan bahasa Inggris tetap melekat dan menjadi bahasa resmi di negara bekas jajahannya itu. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara bekas jajahan Prancis. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan, bahasa sangat penting dalam kehidupan berbangsa.

Dalam seminar Majelis Bahasa Malaysia, Brunei, dan Indonesia (Mabbim)-Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) yang berlangsung April 2008 di Jakarta, ketiga negara penutur bahasa Indonesia/Melayu, sepakat menjadikan bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa dunia. Ketiga negara itu berobsesi meningkatkan martabat bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa pergaulan internasional dengan lebih banyak menyerap kosa kata ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru.

Kalau Malaysia dan Brunei saja peduli pada bahasa Indonesia/Melayu, maka bangsa Indonesia sebagai penutur terbesar bahasa itu, seharusnya lebih menjunjung tinggi bahasa persatuan tersebut. Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda dan Kongres IX Bahasa Indonesia hendaknya menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang harus dijunjung tinggi dengan cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. [SP/Marselius Rombe Baan]


SP, 28/10/08

Oct 20, 2008

Kunci Menguasai Peradaban

"...Kang Abik tak lupa menanyakan berapa buku yang biasa dibaca para peserta ceramah setiap hari..."
 
 
Habiburrahman El Shirazy
Membaca Saat Pengajian
Selasa, 23 September 2008

Minimnya budaya membaca di Indonesia membuat novelis Habiburrahman El Shirazy (32) prihatin. Tak tinggal diam, Habiburrahman yang populer lewat novel Ayat-ayat Cinta ini, setengah kampanye, menyelipkan ajakan untuk membaca buku saat memberi ceramah di pengajian.

Saat didaulat memberi siraman rohani memperingati Nuzulul Quran di Masjid Al Amien, Blotongan, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Jumat (19/9) malam, misalnya, Kang Abik, panggilannya, tak lupa menanyakan berapa buku yang biasa dibaca para peserta ceramah setiap hari.

"Kalau tidak buku, hayo siapa yang berlangganan koran, coba angkat tangan? Wah, sedikit sekali. Padahal, kunci menguasai peradaban itu ya membaca. Al Quran juga mengajarkan agar banyak membaca," katanya saat melihat hanya segelintir orang yang mengacungkan tangan.

Lulusan Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir, ini lantas menggelitik peserta pengajian dengan mengisahkan pengalamannya menunggu pesawat yang penerbangannya tertunda sampai dua jam. Dari respons penumpang, bisa diketahui bagaimana etos membacanya.

"Begitu ada pengumuman pesawat ditunda, orang Indonesia langsung ramai ngobrol, jadi kayak pasar. Orang Jepang dan bule langsung mengambil buku dari tas dan asyik membaca," tuturnya berapi-api. (GAL)

Sumber: Kompas cetak, Nama & Peristiwa 23/9/08

Oct 7, 2008

Ketahanan Bhinneka Tunggal Ika

Pengantar

100 Tahun Kebangkitan Nasional
Bangsa yang "Tahan Banting"
Senin, 6 Oktober 2008 | 02:00 WIB

Oleh MYRNA RATNA

Empat puluh tahun lalu, ekonom Swedia yang juga pemenang Nobel, Gunnar Myrdal, menulis karya monumental, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, yang berisi kajian terhadap negara-negara Asia Selatan dan Tenggara (khususnya India, tetapi juga melebar ke Indonesia dan negara-negara lain). Myrdal menggambarkan, negara-negara di kawasan itu dirundung kemiskinan, dibayangi ledakan penduduk dan perekonomian yang suram.

Penyebab kondisi itu, menurut Myrdal, adalah "keterbelakangan" Asia dalam hal modal, sumber daya, dan tingkat pendidikan. Namun, karakter "khas" orang Asia juga berperan di situ, seperti disiplin kerja rendah, termasuk disiplin waktu dan ketertiban; kebencian terhadap kerja manual, suka hal- hal irasional, sulit beradaptasi dengan perubahan, kurang berambisi, gampang dieksploitasi, sulit bekerja sama.

Pemerintahan di negara-negara itu dinilainya "terlalu lembek" (ia menemukan istilah soft states), alias tidak mampu menerapkan disiplin sosial. Reformasi akan sulit diwujudkan karena korupsi dan inefisiensi merajalela. "Tanpa ada disiplin sosial, sulit bagi negara-negara itu untuk bisa berkembang cepat," katanya (Time, 15 Maret 1968).

Gunnar Myrdal tutup usia pada 17 Mei 1987 (88 tahun). Ketika itu, Jepang, Korsel (dan China) telah menjadi macan-macan ekonomi Asia. Bahkan, kontras dengan ramalan Myrdal, Indonesia pun melaju sebagai kekuatan ekonomi menengah di kawasan dengan PDB sekitar 3.080 dollar AS.

Namun, krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1997-1998 membuka mata tentang perlunya mempertimbangkan faktor kultural (nilai, sikap, keyakinan, dan tradisi) dalam membentuk bangunan ekonomi dan politik sebuah negara. Tentu saja kultur tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan faktor-faktor lain, seperti penegakan hukum, sistem pengadilan independen, transparansi, dan kepemimpinan, untuk mewujudkan sebuah tata kelola pemerintahan yang baik.

Dengan kata lain, mengutip Dwight H Perkins, seandainya saja ekonomi di Asia Timur dan Tenggara dikelola dalam jalur yang menjunjung penegakan hukum dan bukan jalur KKN (korupsi, kroniisme dan nepotisme, sebuah karakteristik khas hubungan pemerintah-pengusaha di Asia, termasuk Indonesia), krisis moneter diyakini tak akan terjadi di kawasan (Culture Matters, hal 233).

Optimisme

Dalam perjalanannya setelah 10 tahun reformasi yang diwarnai keprihatinan mendalam akan masa depan bangsa, tetap ada titik-titik yang membangkitkan optimisme. Salah satunya adalah karakteristik bangsa Indonesia yang "tahan banting". Bukankah negeri ini tak habis- habisnya didera masalah? Krisis ekonomi yang berkepanjangan, kerusuhan, bencana tsunami, gunung meletus, gempa bumi, banjir, serangan bom, serangan penyakit, dan konflik berdarah. Namun, bangsa ini tetap bangkit dan memulai lagi.

Mungkin pembaca masih ingat bagaimana warga Yogyakarta bahu-membahu membangun kehidupan mereka kembali hanya beberapa jam setelah gempa bumi meluluhlantakkan sebagian wilayah itu tahun 2006. Mereka memulai bekerja dengan tangannya sendiri sampai bantuan pemerintah datang kemudian. Kita juga semakin sering menyaksikan antrean panjang rakyat yang rela berdiri berjam-jam demi satu jeriken minyak tanah atau satu ember air bersih. Kalau bisa, mereka juga ingin menjerit menghadapi impitan hidup yang makin menyesakkan. Tapi, bukankah hidup harus terus berlanjut?

Sudah sepatutnya pemerintah berterima kasih kepada rakyat yang tetap bangkit meski harta benda lenyap ditelan bencana. Rakyat yang tetap berjuang meski kebijakan pemerintah membuat hidup semakin sulit. Penghargaan itu hanya sepadan bila diwujudkan melalui penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, rancangan kebijakan yang betul-betul mengutamakan kepentingan rakyat, serta penegakan hukum yang tidak diskriminatif.

Mayoritas bangsa ini juga memiliki "nasionalisme" yang kental (terlepas bagaimana nasionalisme didefinisikan) dengan sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Benedict Anderson menggambarkan betapa beda proses mewujudnya nasionalisme di Indonesia dibandingkan dengan di Indochina pada era kolonialisme. Di Indochina tak mencuat kesadaran bersama tentang "keindochinaan", sementara "keindonesiaan" terus bertahan di bumi Nusantara, bahkan mengakar dengan kuat, melintasi zaman (Imagined Community, hal 127).

Jauh sebelum gagasan Indonesia merdeka muncul, kelompok-kelompok yang menamakan diri Jong Ambon, Jong Java, dan lainnya, rela menomorduakan keterikatan etnis dengan tanah kelahiran mereka demi tujuan yang lebih besar, yaitu sebuah "negara yang belum terwujud" bernama Indonesia, dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda sehingga ketika bahasa Indonesia tahun 1928 diadopsi sebagai bahasa nasional, demikian Anderson, bangsa Indonesia tak pernah lagi menoleh ke belakang.

Gagasan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan tak bermakna, tetapi harta yang harus dirawat bersama. Inilah inti demokrasi dalam sebuah bangsa yang heterogen. Bila "modal" bersama ini dipelihara baik dan dikelola oleh sebuah kepemimpinan yang bersih dan bijak, bangsa ini akan survive menghadapi tantangan apa pun.

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/06/02000831/bangsa.yang.tahan.banting