Aug 3, 2012

Efek Ortografi dalam Aplikasi Pancasila

Imajinasi Einstein dalam bingkai praksis kenegaraan NKRI yang Mahamerdeka!
 

BAHASA

Ketuhanan yang Satu Besar

Oleh MULYO SUNYOTO

Sebelum mengupas sisi kebahasaan sila pertama dasar negara kita, perlulah saya mengutip kalimat agung dari Albert Einstein: logika membawa Anda dari A sampai Z, tetapi imajinasi membawamu ke mana-mana.

Ketuhanan Yang Maha Esa. Perhatikan format penulisannya, ortografinya. Bentuk terikat yang memperoleh kehormatan ditulis dengan takzim: diawali dengan huruf kapital. Penyunting masa kini yang rewel-bawel pasti bernafsu mengamendemennya, menuliskannya kembali berdasarkan landasan hukum positif linguistik hari ini. Yang berlaku adalah yang, bukan Yang.

Masih perkara ortografi: maha yang jelas-jelas bentuk terikat tak eloklah ditulis terpisah dari kata, tepatnya numeralia, yang mengikutinya. Sang editor yang bertangan gatal pasti berhasrat merapatkan keduanya. Secara keseluruhan rumusan sila perdana itu jadi Ketuhanan yang Mahaesa.

Tapi, ya, sudahlah. Ortografi pada hakikatnya bukan esensi bahasa yang paling awal. Di masa purba tak ada itu huruf. Yang ada cuma bunyi. Di situ tenaga tak habis percuma untuk berkelahi soal huruf besar atau kecil, huruf tegak atau miring.

Nah, sekarang saatnya merangsek ke ranah semantik. Lagi-lagi editor yang merasa belum bekerja kalau belum mengubah teks itu geram. Dia sudah paham betul makna maha. Untuk kian meyakinkan diri, dia buka kamus terbitan terbaru Pusat Bahasa. Di sana maha diartikan sebagai adverbia 'sangat, amat, teramat' dan sebagai adjektiva 'besar'. Karena esa yang bermakna 'satu' adalah numeralia, yang bisa berkelas nomina atau adjektiva, mahaesa sepadan dengan 'sangat satu' atau 'satu besar'.

Sangat satu? Satu besar? Akal linguistik sang editor macet total. Selintas kemudian dia teringat si bungsu yang kini belajar di taman kanak-kanak, di kelas nol besar. Ingatan selintas ini mengembang jadi garis awal imajinasinya: ya, ya, ya, katanya tanpa suara sambil manggut-manggut. Ya, di jagat ini, ada satu matahari, ada satu Albert Einstein. Namun, keesaan matahari bukan lagi satu dipandang dari sistem Bimasakti. Keesaan Einstein sirna ditinjau dari konstelasi manusia genius sepanjang kehidupan berdenyut. Artinya: ada sesuatu yang lain yang mirip- mirip, bahkan sangat mungkin melampaui, sifat kemataharian dan keeinsteinan.

Tuhan beda. Dia tak sekadar esa. Maha Esa! Dia pun melampaui tetek bengek ortografi.

Imajinasi sang editor belum berhenti. Fantasinya mengembara ke mana-mana. Dia terpukau oleh pemfrasaan versi perumus dasar negara itu. Dengan rumusan itu, rakyat Indonesia dibebaskan menjadi penganut iman apa pun, termasuk deisme—bertuhan tanpa beragama. Meskipun sila pertama dasar negara itu digunakan sebagai bingkai praksis kenegaraan, tak ada segi pemformalan agama-agama yang mesti dianut (calon) penyelenggara (lembaga) negara. Tak seperti penguasa Orde Baru yang menebarkan restriksi beriman: hanya sehitungan jumlah jari satu tangan agama yang diakui secara resmi.

Lalu, bagaimana dengan peluang memilih agnostikisme, ateisme? Tak sulit menjawab pertanyaan ini. Bila hidup Anda merasa bermakna dengan menjadi pegawai negeri sipil atau militer, jangan banyak tingkah secara intelektual. Anda mesti bertuhan, tepatnya beragama. Namun, bila Anda merasa lebih bermakna menjadi manusia bebas dalam berpikir, yang memperoleh nafkah dari mana pun kecuali gaji bulanan PNS, sila menjadi pendekap dua paham yang tak dirangkul sang garuda.

Apalagi Cak Mahfud MD bersuara: tak ada pasal yang bisa menghukum pengikut ateisme.

Hmm, luar biasa hidup di NKRI ini. Mahamerdeka, gitu loh!

Mulyo Sunyoto Magister Pendidikan Bahasa

Sumber: Kompas, 03 Agustus 2012