Apr 16, 2017

Tekun Berkarya di Usia Senja

SOSOK

"Kamus Berjalan" Kota Jakarta

Pater Adolf Heuken
Pater Adolf HeukenKOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Nama Adolf Heuken SJ (87) identik dengan kota Jakarta tempo doeloe. Bukan sejarawan, arsitek, arkeolog, atau epigraf, tetapi rohaniwan, Pater Heuken -begitu biasa dipanggil- membuktikan bahwa fanatisme, ketekunan, kerja keras, komitmen, dan kecintaan yang ditunjang penguasaan beberapa bahasa berbuah keahlian.

Lebih dari separuh usianya, lahir di Coesfeld, Jerman, tanggal 17 Juli 1929, Pater Heuken masuk Indonesia tahun 1961. Setelah ditahbiskan sebagai pastor dari Ordo Serikat Jesus (SJ) tahun 1961 di Jerman, tiga tahun berkarya di Yogyakarta sebagai dosen, tahun 1963 ia menetap hingga sekarang di Jalan Mohamad Yamin Nomor 37, Jakarta.

Awalnya diminta bantu-bantu Pater Beek SJ, menjadi pastor di Paroki Mangga Besar dan mengajar di Atma Jaya, Heuken lantas menetapkan diri sebagai penulis. Awalnya menulis buku-buku rohani, tetapi kemudian berkembang ke bidang sejarah Jakarta. "Jakarta saya cintai sekaligus saya cemasi," katanya kepada Kompas, pekan lalu.

Cinta sebab menawarkan berbagai tantangan. Cemas sebab tak ada orang yang peduli. Padahal, mengetahui secara mendalam, didasarkan atas studi kepustakaan, berarti merekam memori tempat berpijak masa sekarang dan nanti. Kesadaran itulah yang mendorongnya menekuni Jakarta tempo dulu. Menurut Pater Franz Magnis-Suseno SJ, sesama kolega dan seasal dari Jerman, "Koleksi Pater Heuken satu-satunya terlengkap tentang sejarah kota Jakarta, sebagian di antaranya dalam bahasa Portugis."

Dengan kecintaan dan kecemasannya, Heuken berburu bahan, membacanya, mendatangi beratus-ratus tempat, merajutnya sebagai sejarah, dan menuliskannya dalam puluhan buku. Berbagai penghargaan diterimanya, antara lain dari Pemerintah Indonesia bersama Pater PJ Zoetmulder SJ (almarhum) memperoleh penghargaan Satya Lencana Kebudayaan. Dia katakan, "Saya hanya mau pelajari Jakarta, bukan kota-kota yang lain, paling banter ditambah Bogor, Tangerang, dan Bekasi."

Minat itu tidak muncul tiba-tiba. Ketika masih menjadi dosen di Yogyakarta, ia suka membuka-buka buku di perpustakaan. Dia terkesan dengan buku-buku tentang Batavia. Namun, buku tentang kota lama Jakarta belum lengkap, banyak campur aduk antara fiksi dan fakta. Ia pun mencari bahan dan buku-buku lain di berbagai negara, dari berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Portugis.

"Saya tidak tahu persis, tetapi saya tahu semua buku itu terletak di mana saja," jawabnya. Dia tunjukkan salah satu judul buku klasik, berwarna kecoklatan, terbit tahun 1621 tentang kota Jakarta tempo dulu. Katanya, "Ini asli, dan sekarang harganya sangat mahal, jauh beda dengan ketika saya beli tahun 70-an."

Kolektor, penulis, penerbit

Mengoleksi buku beragam bahasa tentang sejarah Jakarta-Heuken menguasai bahasa Jerman, Latin, Indonesia, Inggris, Perancis, Belanda, dan Portugis-tidak terhenti sebagai kolektor. Heuken bukanlah kolektor yang menyimpan buku tetapi tidak pernah menyentuh apalagi membacanya. Dia adalah kolektor yang aktif. Buku itu dibaca dan dipakainya melengkapi naskah yang sedang dia kerjakan. Dia perlakukan buku-buku itu ibarat menulis bahan disertasi kandidat doktor.

Di setiap halaman yang dirasanya relevan untuk buku yang sedang ditulis, atau kira-kira akan menjadi bahan judul buku lain, ia taruh kertas dengan catatan-catatan. Heuken berdialog dengan isi buku yang sedang dibaca.

Saat menulis, beberapa buku terserak di sekitarnya. Dia tahu di buku mana dan di halaman berapa referensi dan bahan pelengkap tulisannya dimuat. Saat itulah potongan-potongan kertas berperan besar. Secara refleks Heuken tahu persis bahan atau referensi yang sedang dibutuhkan di sejumlah buku. Kertas-kertas yang berisi catatan itu jadi sumber rujukan tulisannya.

"Saya menulis buku dalam satu waktu untuk dua tiga judul sekaligus," jelas Pater Heuken. "Kalau macet, saya stop dulu, bahkan saya tinggalkan sama sekali. No." Sebaliknya kalau semua berjalan lancar, tiga judul buku selesai bersamaan.

Buku-bukunya serius dalam cara pengungkapan, isi, dan kuat dalam referensi (berasal dari berbagai bahasa), termasuk kualitas cetakannya mewah dan berwarna. Harga buku pun murah yang biasa dihitung tiga kali ongkos cetak. Saat ini Pater Heuken sedang menyelesaikan enam judul dengan berbagai topik, di antaranya Lapangan Banteng dan Sekitarnya.

Tidak ada pembaca kedua sebelum naskah siap diproses copyediting oleh penerbit. Dia baru baca kembali dalam bentuk proefdruk, proses terakhir sebelum masuk cetak. Pencetaknya macam-macam. Tetapi, Cipta Loka Caraka adalah penerbitnya, dikenal masyarakat sebagai penerbit yang menerbitkan buku-buku dengan P Adolf Heuken SJ sebagai penulis sekaligus penerbit. Untuk distribusi, CLC menyerahkan langsung ke agen.

Sampai awal tahun 2017 ini, Heuken antara lain menulis 10 serial dan 6 ensiklopedi terbitan Cipta Loka Caraka. "Saya tulis 15 judul buku tentang sejarah Jakarta, dan sekarang masih 20 buku menginspirasi saya untuk menulis sejarah Jakarta," katanya.

Seperti almarhum Pater Zoetmulder SJ, ahli Jawa Kuno, Pater Heuken menulis naskah semua dengan tulis tangan. Berbeda dengan Pater Zoetmulder khusus dengan ballpoint merek BIC, Pater Heuken memakai ballpoint murahan. Baru sesudahnya, naskah tulisan tangan itu diserahkan ke karyawan untuk diketik. Dulu empat sampai lima karyawan, sekarang hanya satu orang. Sesudah diketik, Heuken membaca dan mengoreksinya, dibetulkan, dan kemudian diserahkan ke penerbit.

Kamus berjalan

Beranjak sepuh, tapi masih aktif menulis, dengan tumpukan buku di atas mejanya, Heuken ibarat "kamus berjalan Jakarta tempo dulu". "Paling berat menulis ensiklopedi," katanya, melukiskan rasa kepuasan dan kesulitannya sebagai penulis. Dialah kolektor buku-buku babon, penulis, penyunting, dan penerbit buku tentang sejarah kota Jakarta.

Dengan kursi roda dan tongkat di samping kursinya, Pater Heuken bisa berjam-jam duduk, suntuk menekuni huruf-huruf. Membaca dan menulis, beberapa tahun lalu berburu buku-buku di toko-sekarang digantikan lewat telepon-menjadi kesibukan utama Pater Heuken yang pertengahan tahun ini genap 88 tahun. Jam kerja dimulai pukul 08.00, berlanjut sampai pukul 14.00. Istirahat. Pukul 17.00 sampai pukul 20.00 kerja, baca-baca bahan bacaan ringan sampai sekitar pukul 22.30.

Dulu, kegiatan itu kadang-kadang diselingi berenang. Sekarang tidak lagi. Selain panggilan tugas pokoknya sebagai pastor seperti doa brevir tiap pagi dan mempersembahkan misa, seluruh waktunya diisi membaca dan menulis.

Anak sulung dari delapan saudara keluarga guru, studi filsafat di Muenchen dan teologi di Frankfurt, tahbisan di Frankfurt, sosok Adolf Heuken SJ lekat dengan sejarah kota lama Jakarta. Siapa penerus Pater? Heuken hanya menggelengkan kepala, mendesah, dan berkata, "Akan ada".

Ada beberapa calon doktor atau sarjana yang datang untuk tanya ini-itu melengkapi bahannya. Heuken selalu bertanya dulu, sudah baca buku saya tentang topik itu belum? Kalau dijawab sudah, ia akan menanyakan seberapa jauh benar-benar membacanya. Kalau dijawab belum, yang bersangkutan disuruh pulang, dan baru datang kalau sudah membacanya.

Dengan sosok tinggi besar, jalan sudah tertatih-tatih, Pater Heuken membuktikan buah "kecintaan dan kecemasannya" sekaligus kebenaran premis sejarah itu fakta, bukan fiksi atau penafsiran.

Sumber: Kompas Cetak, 13 April 2017