Apr 29, 2011

Proses Penyerapan Bahasa

Lema baru hari ini: merisak (to bully) dan berlepak (to hang out).
 

BAHASA

Kumpul Kerbau

ANTON M MOELIONO

Ada perbedaan yang jelas antara proses penyerapan kosakata asing zaman dulu dari yang sekarang. Dahulu penyerapan didasarkan pada pendengaran dan hasilnya ditulis dengan huruf yang dianggap paling dekat dengan bunyi vokal atau konsonan Indonesia. Misalnya, chaffeur (Belanda) menjadi sopir, winkel menjadi bengkel, dan luitenant menjadi letnan.

Menurut penelitian mahasiswa saya, bentuk serapan dari bahasa Belanda hingga awal Perang Dunia Kedua berjumlah kira-kira 4.000 butir. Di samping itu selama berabad-abad berlangsung penyerapan antara lain dari bahasa Sanskerta, Arab, Cina, Portugis, Tamil, dan Persia. Bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dewasa ini paling banyak menyerap kosakata dari bahasa Inggris ragam Amerika, Britania, dan Australia.

Karena bangsa Indonesia sedang memasuki peradaban beraksara dan teknologi informasi, warga masyarakat bangsa Indonesia—di mana pun tinggalnya—diharapkan memakai unsur kosakata serapan dengan bentuk tulisnya sama dan seragam, sedangkan lafalnya dapat berbeda menurut suku etnis dan bahasa daerah yang masih dipakainya.

Ambillah kata Belanda dan Inggris bus, yang di Medan lafalnya mungkin mirip dengan atau , tetapi di Bandung lafalnya menjurus ke seperti kata beureum 'merah', dan di Yogya condong ke sebab orang ngebis. Akhir-akhir ini diperkenalkan bentuk busway, dan yang suku awalnya dilafalkan secara Inggris: . Demi keseragaman, yang menjadi ciri pembakuan, kita menetapkan ejaannya jadi bus.

Sejak 1972 dipakai pedoman berikut. Proses penyerapan bertolak dari bentuk tulisan tak lagi dari lafal ungkapan asing. Ejaan kata Inggris management diubah menjadi manajemen yang lafalnya oleh orang Yogya berbeda dari orang Padang. Namun, ejaan atau bentuk tulisannya sama. Namun, karena kita tidak merasa wajib mematuhi kaidah dan aturan, kecuali jika ada sanksi, atau denda, kata basement belum diserap menjadi basemen (ba-se-men) walaupun sudah ada aransemen, klasemen, dan konsumen. Kata basement dapat diterjemahkan jadi ruang bawah tanah dengan akronimnya rubanah.

Sikap taat asas juga perlu diterapkan pada unsur serapan yang berasal dari bahasa daerah Nusantara. Ungkapan kumpul kebo kita nasionalkan menjadi kumpul kerbau karena yang berkumpul serumah itu bukan kerbau-kerbau Jawa saja. Selanjutnya orang yang membangkang atau menentang perintah tidak mbalelo, tetapi membalela. Orang yang tidak berprasangka bahwa daya ungkap bahasa Indonesia masih rendah akan menemukan kata membalela di dalam kamus Poerwadarminta yang terbit pada tahun 1952.

Begitu pula ada kata merisak 'menakuti atau menyakiti orang yang lebih lemah' untuk memadankan to bully dan bullying, serta kata berlépak 'menghabiskan waktu dengan duduk-duduk tanpa melaksanakan sesuatu yang bermanfaat' untuk mengungkapkan budaya remaja to hang out.

Kita tidak mengenal kosakata Indonesia karena, menurut laporan terakhir, 50 persen dari sekolah dasar dan 35 persen dari sekolah lanjutan pertama pemerintah tidak memiliki koleksi pustaka, dan kamus tidak disertakan berperan dalam proses belajar-mengajar bahasa.

Anton M Moeliono Pereksa Bahasa, Guru Besar Emeritus UI

Sumber: Kompas, 29 April 2011

Apr 25, 2011

Katarsis sekaligus kenosis

Dia yang Dilucuti

Oleh Armada Riyanto

Drama penyaliban Tuhan adalah drama kekejaman dan kekasaran dosa manusia yang "menelanjangi" Tuhan.

"Mereka membagi-bagikan pakaian-Ku di antara mereka dan membuang undi atas jubah-Ku," demikian Yohanes 19:23-24.

Secara kasar para prajurit melepaskan pakaian dan menyalibkan Kristus, Allah yang menjelma menjadi manusia. Ia pun tergantung dan terkulai di atas salib dalam disposisi tubuh-Nya telanjang. Sesudah penyaliban, pakaian-Nya diundi para prajurit algojonya.

Tak ada yang tersisa dari Kristus, segalanya telah diambil untuk membayar lunas utang dosa manusia. Kemanusiaan dan ketuhanan-Nya pun berpadu sedemikian rupa dalam misteri penebusan salib.

Ia menjadi persembahan dan korban bagi keselamatan seluruh ciptaan. Ia adalah Sang Penebus dalam ketelanjangan-Nya, ketidakberdayaan-Nya. Salah satu aspek dramatis teologi salib adalah refleksi tentang Tuhan yang "ditelanjangi".

Ketelanjangan Tuhan menjadi semacam katarsis yang tuntas dari harga mahal sebuah cinta yang menyelamatkan. Ketelanjangan-Nya adalah pengosongan diri-Nya, kenosis. Dalam ketelanjangan-Nya, Kristus menanggalkan "keallahan-Nya" untuk mengenakan "kemanusiaan-Nya".

Ia meninggalkan keabadian untuk memeluk kefanaan sekaligus menghancurkan kekuasaan kematian. Nanti sang kepala prajurit yang tidak mengenal Tuhan akan segera mendeklarasikan Kristus "sungguh-sungguh Allah" justru ketika Dia mati telanjang di atas kayu salib.

Melucuti martabat

Ketelanjangan Tuhan juga mengatakan betapa kasar dan dahsyat konsekuensi sebuah dosa. Dosa itu melucuti, merendahkan, dan menghinakan martabat. Ketelanjangan hanyalah perkara tubuh, tetapi ketika tubuh ditelanjangi, martabat dan keluhurannya ditindas sehabis-habisnya. Demikianlah narasi historis drama penyaliban Yesus Kristus dalam Jumat Agung.

Sudah terlalu lama manusia menafikan martabat tubuh. Perkara nilai tubuh kerap disempitkan dalam perspektif platonian bahwa tubuh adalah sumber dosa. Tubuh dimaknai secara sempit sebagai kehadiran absurd, ambigu, dan aneh. Makna tubuh dilepaskan dari kodrat intensi indah penciptaan bahwa Tuhan menciptakan manusia seutuhnya dengan tubuhnya. Manusia adalah dia yang hadir dalam tubuhnya. Ia pun mengekspresikan kebebasannya dengan tubuhnya.

Karena itu, realitas Yesus Kristus yang ditelanjangi mengungkapkan realitas penghinaan terhadap keutuhan manusia secara amat dramatis.

Eksistensi manusia tak mungkin dilucuti dari tubuhnya. Dalam perkara "ketertutupan" dan "ketelanjangan" tubuh, perspektif yang kerap diusung sering kali jatuh pada sekadar adagium bahwa ketelanjangan memicu sinyal nafsu seks dan kekerasan. Dalam perspektif teologis salib, nafsu dan kekerasan sudah terpatri secara nyata pada ketelanjangan Yesus.

Tuhan ditelanjangi oleh nafsu dosa dan segala kekerasan yang mengalir darinya. "Tindakan mengabsurdkan" tubuh lewat berbagai ratifikasi penutupan secara paksa juga mengungkapkan kedangkalan cara pandang. Disebut "pengabsurdan" karena tubuh adalah anugerah dari Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya.

Tubuh bukanlah tambahan. Tubuh adalah bagian kodrati dari keberadaan manusia dalam keutuhannya. Artinya, keluhuran manusia terpancar dalam penghormatan kehadirannya secara utuh. Manusia tak bisa direndahkan sehubungan dengan kesempurnaan atau kekurangsempurnaan kehadiran nyata dari tubuhnya.

Ketelanjangan Tuhan tidak mengatakan pertama-tama kenyataan bahwa Tuhan tanpa pakaian. Ketelanjangan tubuh Tuhan adalah pemberian diri dan cinta-Nya secara tuntas kepada karya penebusan umat manusia. Kemurnian cinta Kristus kepada manusia telah ditampilkan dalam "tiada tersisanya" apa pun yang melekat pada tubuh-Nya.

Ketika Tuhan ditelanjangi, ketika itu betapa hebat cinta Kristus yang menyelamatkan manusia di satu pihak dan betapa memilukan dosa manusia yang telah merendahkan martabatnya sendiri di lain pihak.

Saat manusia bersekongkol menabrak prinsip keadilan fondasi kesejahteraan bangsa, saat itu ia kembali merenggut pakaian Tuhan dan membuang undi atasnya. Kasus saling tuding manipulasi dan korupsi jadi bukti dosa sosial yang melucuti martabat keluhuran tata hidup manusia.

Manusia seolah dilucuti dari otentisitasnya. Narasi siapa bersalah dan siapa merekayasa perkara penggelapan uang nasabah bank (tetapi pada saat yang sama sudah lebih dari tiga pekan tak satu pun nasabah korban melaporkan diri kendati dirugikan) menjadi salah satu wujud penelanjangan pakaian keadilan.

Tata hidup bersama bangsa ini kembali ditelanjangi, dibawa ke titik nadir keadilan. Drama penelanjangan Yesus Kristus terjadi 2.011 tahun silam. Namun, peristiwa serupa sampai kini terulang lagi dan lagi. Kita pun mesti "telanjang dan benar-benar bersih"—meminjam syair Ebiet G Ade—dari segala intensi buruk dan dosa.

Armada Riyanto Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang

Sumber: Kompas, 25 April 2011

Apr 19, 2011

Sun Go Kong vs. Siluman Singa

gentlemen,
guess this will be our topic of discussion this Sunday ? :-)
 

POLITIK KEBUDAYAAN

Wayang Potehi sebagai Perekat Kebangsaan

BUNYI KERENCENGAN bertalu-talu terdengar di balik sudut ruangan merah menyala. Sederetan boneka kain dengan sosok cerita klasik Sun Go Kong bergerak di panggung pertunjukan wayang potehi Sabtu (16/4) malam di Dapur Babah, sebuah restoran peranakan di Jakarta. Pengunjung dari Eropa, negara ASEAN, dan warga Jakarta dengan saksama menonton adegan demi adegan Sun Go Kong melawan Siluman Singa yang mengudeta penguasa Negeri Hao Ke Kok.

Dari balik panggung terdengar rangkaian narasi cerita dalam bahasa Jawa, Indonesia, Melayu Pasar awal abad ke-20, dan dialek Hokkian dibawakan secara fasih seorang pria Jawa arek Suroboyo bernama Subur alias Sugiyo Waluyo (49). Di samping panggung terdapat sebuah layar berisi tulisan alur cerita dalam bahasa Inggris.

Alur cerita mengalir mulus, pengunjung sesekali tertawa lepas mendengar narasi jenaka dalang Subur, yang belajar mendalang potehi sejak tahun 1974 itu. Gerakan tangan Subur lincah memainkan karakter Siluman Singa, Sun Go Kong, dan para sute (adik seperguruan), Pendeta Tong Sam Cong, serta tokoh lain dalam cerita klasik yang dulu dibawakan di kelenteng-kelenteng sebagai tontonan bersama warga lintas komunitas peranakan Tionghoa dan Jawa.

Singkat cerita, Sun Go Kong berhasil mengalahkan Siluman Singa yang akhirnya terbongkar kedoknya sebagai Raja Hao Ke Kok palsu. Raja yang asli dapat dihidupkan kembali oleh Dewata dengan pil kehidupan.

Yang menarik, Pendeta Tong Sam Cong, Sung Go Kong, dan para sute tak mau menerima hadiah harta melimpah dan jabatan yang ditawarkan raja yang mereka tolong. Mereka tetap memilih hidup sederhana dan menyelesaikan tugas mengambil kitab di barat (India). Itulah pesan kesederhanaan dan keluhuran budi yang diusung dengan baik oleh dalang Subur yang bermukim di dekat Kelenteng Hong Tek Hian di Surabaya.

"Saya berharap ada yang mau menjadi penerus seni potehi," ujar dalang Subur prihatin.

Perekat kebangsaan

Seni potehi yang diusung dalang Subur merupakan warisan budaya berusia 3.000 tahun lebih yang dibawa imigran Tionghoa dari daratan Tiongkok. Seni itu kini justru dilestarikan para dalang suku Jawa yang berasal dari Surabaya. Sebagian mereka berguru kepada maestro dalang potehi di Kelenteng Tay Kak Sie Semarang, Thio Tiong Gie.

Pengamat wayang peranakan dari Universitas Indonesia, Woro Retno Mastuti, mengatakan, keberadaan wayang potehi dan wayang thithi (wayang kulit Tionghoa) merupakan kekayaan budaya di Indonesia. Bahasa pengantar pertunjukan wayang sudah menggunakan bahasa Indonesia. "Dekorasi wayang thithi malah menggunakan corak busana batik jawa. Ini tidak ada duanya," ujar Woro.

Woro menambahkan, proses integrasi ini terus berlangsung alamiah. Dia mengenal adanya komunitas dalang peranakan Tionghoa yang setia memainkan wayang purwa.

Istri Duta Besar Singapura untuk Indonesia Gouri Mirpuri mengaku kagum melihat keunikan budaya peranakan di Indonesia yang sudah melebur dalam bagian kebudayaan nasional. "Tentunya menarik kalau bisa dipertunjukkan di Museum Peranakan Singapura. Kita juga prihatin mendengar tidak banyak generasi muda yang mau menjadi dalang wayang potehi," ujar Mirpuri.

Meleburnya potehi merupakan salah satu sarana perekat kebangsaan di dalam negeri dan ke luar sebagai sarana diplomasi budaya yang efektif.

(Iwan Santosa)

Sumber: Kompas, 19 Apr 2011