Jul 27, 2009

Sydney for NBN HQ

Sydney pitched for national broadband network headquarters

By Brett Winterford
Jul 23, 2009 5:14 PM
 
Australian Technology Park, Barangaroo and North Ryde on HQ shortlist.

NSW Premier Nathan Rees has officially launched a bid for Sydney to be the headquarters of the $43 billion National Broadband Network (NBN).

Rees has appointed the executive director of Sydney's Chamber of Commerce Patricia Forsythe and NSW Chief Scientist Professor Mary O'Kane to lead Sydney's bid.

According to a glossy three-minute video released today to launch the bid, the team has already identified Redfern's Australia Technology Park, Barangaroo on the harbour foreshore, and North Ryde's Global Business Centre on a shortlist of locations the team will put forward as potential headquarters for NBNCo.

The video highlighted Sydney's facilities and international connections, describing the harbour city as being suited to a "fast and easy" NBN roll-out.

Among the claims made in the presentation:

  • Sydney has double the data centre capacity of the next largest Australian city.
  • Sydney has 43 percent of national expenditure on telecommunications research and development.
  • Sydney is home to 83 percent of Australia's commercial banks
  • Sydney boasts the best international telecommunications connectivity - with seven of Australia's nine fibre optic cables linking us to the US, Europe and Australia. (Australia-Japan, Southern Cross 1 and 2, Endeavour, APNG-2, Gondwana-1, Tasman 2).  Western Australia hosts the connections for the other two international cables.
  • NSW employs 47 percent of the nation's network engineers

The presentation did not qualify any of these claims with sources. Nor did it discuss how much of the data centre capacity is available.

The video can be seen in full here.

Sumber: http://www.itnews.com.au/News/150924,sydney-pitched-for-national-broadband-network-headquarters.aspx

 

Orkestra Indonesia di Negeri Kanguru

DIPLOMASI
Musik Simfoni Indonesia dan Pesan Perdamaian

Minggu, 26 Juli 2009 | 03:10 WIB

EFIX MULYADI

Ledakan bom di Jakarta pertengahan Juli yang mencoreng (lagi) wajah Indonesia justru menambah semangat bagi pemusik Addie MS untuk tampil secara optimal. Itulah yang ia buktikan bersama grup musik yang ia pimpin, Twilite Orchestra, di dalam pementasan di Sydney, Australia, 21 Juli 2009.

Pementasan mereka mendapat sambutan hangat penonton yang memadati ruang pertunjukan berkapasitas 2.500 tempat duduk.

 "Kami tertantang untuk membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya bom, tetapi juga kehangatan, perdamaian, seni musik, dan persahabatan," tutur Addie seusai latihan di gedung pertunjukan bergengsi Sydney Opera House.

Semangat persahabatan itu ia pompakan kepada 55 pemusiknya serta 80 anggota paduan suara gabungan Twilite Chorus dan CIC, paduan suara umat Katolik Indonesia yang bermukim di Sydney. Tampil pula penyanyi Binu D Sukaman dan Utha Likumahuwa serta dari tuan rumah Stephen Smith dan Jessica Mauboy.

Addie memang melihatnya bukan sekadar sebagai persoalan bermain musik, tetapi lebih sebagai langkah budaya yang penting di dalam konteks pasang surut hubungan di antara kedua negara. Ia percaya karya seni bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan saling pengertian dan kuat potensinya untuk menjembatani perbedaan kultural.

Di dalam temu pers di Jakarta tentang lawatan orkes musik Indonesia ke Australia tersebut, ia mengungkapkan peran sangat penting yang dijalankan oleh para seniman di dalam hubungan internasional. Ia mencuplik contoh di dalam masa perang dingin antara (waktu itu) Blok Barat dan Blok Timur. Katanya, hubungan yang kaku dan penuh prasangka itu menjadi lebih cair ketika Boston Symphonic Orchestra tampil di Moskwa pada tahun 1956. Begitu juga yang terjadi ketika Philadelphia Orchestra manggung di Beijing pada tahun 1973. Kedua kelompok musik itu mewakili masyarakat "bebas" yang dipimpin Amerika Serikat, yang tampil langsung di jantung negeri-negeri kampiun komunisme, yaitu Uni Soviet dan Republik Rakyat China.

Rawan gejolak

Penampilan kelompok musik simfonik Indonesia di negeri tetangga tersebut diharapkan menjalani fungsi serupa di dalam ukurannya sendiri sebagai momentum yang sangat penting untuk meneguhkan persahabatan. Di luar langkah simbolik, ia juga bekerja di ranah kesadaran masyarakat.

Maklumlah, lebih daripada negeri lain, tampaknya Australia mendapat perhatian besar justru karena hubungan kedua negara yang rawan gejolak. Selalu ada saja perkara yang membuatnya memburuk, yang membutuhkan usaha ekstra untuk memulihkannya. Hal itu berlangsung sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, jadi sebenarnya praktis sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia.

Pada tingkat pemerintah, upaya mengokohkan hubungan baik cukup sering dilakukan. Hubungan yang cukup serasi dinikmati pada saat Australia di bawah PM Joseph Bennedict Chifley mendukung kemerdekaan RI sampai tahun 1950. Hal itu juga terjadi pada masa pemerintahan Paul Keating pertengahan tahun 1990-an. Banyak orang berharap hal serupa terjadi sekarang pada masa pemerintahan PM Kevin Rudd. Ada anggapan, setiap kali pemerintahan dipegang oleh Partai Buruh, hubungan terasa mesra dan produktif. Sikap partai tersebut tecermin dari ungkapan Keating: "Tidak ada negara lain di dunia ini yang lebih penting bagi Australia selain Indonesia."

Di luar itu, boleh dikata setiap kali persahabatan terancam. Kita masih ingat sejumlah gerakan, gestur politik tokoh-tokoh dari kedua pihak, ancam-mengancam gaya elite masyarakat, maupun taktik diplomasi, yang semuanya menyadarkan kita bahwa hubungan bisa memburuk setiap saat. Pada umumnya, langkah untuk "memadamkan kebakaran" seperti itu memang bertumpu pada upaya diplomatik .

Peran rakyat

Di mana tempat upaya-upaya menjalin persahabatan lewat olahraga atau kesenian?

Sasaran utamanya mesti ke jantung kehidupan masyarakat, yaitu untuk mengubah persepsi negatif warga atas bangsa atas pihak lain, secara "alamiah", dan langkah semacam ini memang harus terus-menerus dilakukan di dalam waktu yang panjang. Aktor utama adalah rakyat di kedua pihak dan pemerintah paling banter memfasilitasi. Peran dominan pemerintah justru bisa kontraproduktif. Pidato atau pernyataan politik tidak akan mampu mengubah persepsi buruk menjadi baik.

Karena itu, pertanyaan tentang siapa sasaran dari pentas olahraga atau seni di negeri tujuan menjadi penting untuk memastikan bahwa upaya yang menghabiskan dana dan energi tidak kandas hanya menjadi perbincangan di kalangan "indonesianis", kelompok atau lingkungan yang sudah dekat dengan Indonesia. Melegakan bahwa 2.000 tiket pertunjukan Twilite Orchestra di Sydney, 21 Juli, terjual dan hanya sekitar 500 lembar yang dibagikan kepada relasi Indonesia. Artinya, ribuan penduduk setempat mau merogoh kocek dan menonton suguhan Indonesia tersebut.

Indonesia pernah membuat festival kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (disingkat dengan Festival KIAS) yang berlangsung sampai 18 bulan pada tahun 1991. Itu sebuah kegiatan kebudayaan berskala besar, berlangsung di sejumlah negara bagian, serta mengerahkan dana dan bakat-bakat terbaik yang dimiliki. Maka, digelarlah pertunjukan wayang, teater modern, sampai pameran seni rupa yang menampilkan antara lain karya- karya para empu, seperti Affandi. Kompas mengikuti beberapa bagian kegiatan itu di sana dan melihat efektivitasnya yang rendah.

"Departemen kami akan terus mendorong pagelaran dan eksposisi kesenian Indonesia di berbagai kawasan dunia. Sesudah kelompok Twilite Orchestra di Sydney, akhir Juli ini rombongan seni Jayasuprana tampil di Melbourne. Di Amerika Serikat grup musik Dwiki Dharmawan berpentas keliling di beberapa kota dan masih banyak lagi lainnya," tutur Sapta Nirwandar, Direktur Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Langkah-langkah semacam itu, dalam berbagai ukuran, mesti terus-menerus dilakukan, langsung dari rakyat ke rakyat, sementara hasilnya mungkin masih lama bisa dipanen. Jalan kebudayaan tidak pernah berupa jalan pintas, apalagi sekadar pidato resmi.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/26/03104880/musik.simfoni.indonesia.dan.pesan.perdamaian.

Jul 3, 2009

KBBI edisi IV

Hmm, jadi kena beli KBBI lagi nih, tapi rasanya cukup worth  :)

Artikel di bawah ini karangan superpakar bahasa Indonesia.... orang Swedia asli(!) yg sering menulis di Kompas.

--
Salam bahasa,
EJ


BAHASA
Ihwal KBBI Edisi Keempat

Jumat, 3 Juli 2009 | 02:58 WIB

ANDRE MOLLER

Setiba di rumah mertua di Blora beberapa saat lalu, ada hadiah berat yang menunggu saya: Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru. Kamus yang terdiri atas lebih dari 1.700 halaman ini sudah barang tentu menarik perhatian pakar bahasa di Indonesia. Telah diadakan pula sejumlah seminar dan sudah ditulis sejumlah makalah yang membahasnya dari pelbagai sudut. Tak jarang, sebagian dari pembahasan ini merupakan keluhan, entah itu keluhan atas kualitas kertas (yang lebih bagus daripada edisi-edisi terdahulu), harga (yang sering kali dinilai terlalu tinggi), entah penjelasan yang diberikan pada kata-kata tertentu. Sebagian orang merasa ada kata-kata dalam khazanah kebahasaan Nusantara yang belum masuk ke dalam kamus yang terdiri atas lebih dari 90.000 lema dan sublema ini.

Sebelum saya sampaikan keluhan ringan saya, yang sebetulnya lebih bersifat renungan pribadi, harus saya sampaikan pujian tak terhingga kepada semua orang yang terlibat dalam pembuatan kamus ini. Sungguh hebat bahwasanya sebuah bahasa yang baru "lahir" kurang dari 100 tahun yang lalu (Soempah Pemoeda, 1928) dan baru diakui pada tahun 1945 telah terekam dalam sebuah kamus adikarya seperti yang terletak di depan saya sekarang ini. Saya membungkuk dan bersalut (walau kata terakhir belum termasuk dalam arti ini di KBBI).

Keluhan atau renungan pertama saya berhubungan dengan tanah air saya, Swedia, yang sedikit dianaktirikan dalam kamus akbar ini. Waktu jadi mahasiswa di Yogya, saya bangga ketika Presiden (kala itu) Abdurrahman Wahid menyajikan sebuah kata "baru" ke dalam bahasa Indonesia: ombudsman. Dikatakannya pada kesempatan itu, kata ini ia serap dari bahasa Swedia. Betul, kata ini merupakan kata asli Swedia, dan tak aneh kalau seorang mahasiswa Swedia di Jurusan Bahasa Indonesia terlihat dengan dada melembung pada hari itu.

Kata ombudsman terekam di KBBI edisi baru di bawah "Kata dan Ungkapan Asing" (hlm 1605) dengan dua penjelasan yang sesuai dengan arti aslinya. Sejauh itu, semuanya baik-baik dan sah-sah saja. Namun, jika diamati dengan cermat, akan kelihatan tiga huruf miring di depan penjelasan ini: Ing. Maksudnya adalah bahwa kata ombudsman berasal dari bahasa Inggris. Ini jelas penyimpangan dari jalan bahasa yang lurus. Yang ragu-ragu hubungi Gus Dur.

Swedia juga diperlakukan dengan sedikit aneh di daftar "Nama Negara, Ibu Kota, Bahasa, dan Mata Uang" (hlm 1661). Selain ibu kota dieja dengan salah (seharusnya Stockholm), bahasa Swedia dinamakan "Swensk". Kata itu terdengar aneh di telinga seorang Swedia. Sejauh yang saya tahu, bahasa saya ini disebut bahasa Swedia dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Swedia sendiri, bahasanya disebut svenska. Dalam daftar ini memang ada sejumlah kejanggalan (seperti apakah bahasanya mau disebut dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokalnya), tetapi ini merupakan yang paling aneh yang saya jumpai.

Renungan terakhir saya (pada kesempatan ini) berkaitan dengan judul kamus ini. Saya belum memahami dengan betul judulnya. Terkadang disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa Edisi Keempat (misalnya hlm xxix, xxxi), dan terkadang disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (hlm vii), dan terkadang seolah-olah mau disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat (misalnya hlm i dan sampul). Menurut saya, alternatif terakhir paling afdal, tetapi saya kira alternatif pertama yang paling sering dipakai. Saya bertanya-tanya: ke mana perginya Pusat Bahasa edisi-edisi terdahulu? Dan mengapa mesti dimutakhirkan?

ANDRÉ MÖLLER Penyusun Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Swedia

Sumber: Kompas, 3 Juli 09