Dec 28, 2010

Katong Samua Basudara

...ini pake 'katong', bukan 'torang'...  :)
 
SOLIDARITAS
"Katong Samua (Masih) Basudara"
Kamis, 23 Desember 2010
KOMPAS/RENY SRI AYU
Patung Christina Tiahahu yang dipasang di ketinggian, di samping Gedung DPRD Provinsi Maluku danmenghadap Kota Ambon yang berada di tepi Teluk Ambon, adalah salah satu simbol kota ini, Rabu (22/12). Saat ini, Kota Ambon terus berbenah dan bangkit setelah dilanda konflik horizontal beberapa tahun lalu.

Reny Sri Ayu dan Ponco Anggoro

"Bagi kami, setiap hari adalah hari raya. Hubungan kami bukan hanya karena ada hari raya, tapi hubungan persaudaraan yang mendalam, tanpa keterpaksaan dan tidak dibatasi kepercayaan, agama, atau apa pun," kata John Sahalessy.

John berteman dengan semua orang di Desa Wayame, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon. Selasa (21/12) siang, silih berganti tetangga John datang membawa bingkisan. Sama persis seperti John yang selalu membawakan bingkisan kalau teman-temannya merayakan Idul Fitri. John juga selalu mengundang mereka untuk acara Natal bersama di Gereja Pniel, tempatnya bekerja sebagai pendeta.

Memang tak semua warga Wayame merayakan Natal. Namun, semua ikut menyambutnya.

Menjelang perayaan Natal bersama 24 Desember, warga bekerja bersama. "Biasa memang kita bantu-bantu kalau tetangga mau Natalan. Biasa kalau mau Natal unit, anak-anak muda ikut bantu pasang tenda, kursi, bersih-bersih, dan bikin kue," kata Rusnawaty (25).

Rumah ayah Rusnawaty, Ali Minangkabau, bersebelahan dengan rumah Margaretha Durenge (50), tepat di depan Masjid Daarun Na'im. Bertetangga sejak kecil, Rusnawaty sudah menganggap Margaretha sebagai ibunya sendiri. Sejak ibu Rusnawaty meninggal, Margarethalah yang menjaga Rusnawaty dan adik-adiknya. Akmil Durenge (20), putra bungsu Margaretha, dianggap Rusnawaty sebagai saudara kandungnya. Akmil juga akrab dengan pemuda-pemuda di desanya. Ia bahkan sering diajak berkeliling membangunkan warga untuk sahur.

Kebersamaan dan persaudaraan di Wayame tidak bisa dirasakan di seluruh wilayah di kota Ambon. Ambon memang telah damai dan aman. Namun, persaudaraan dan kebersamaan antara kerabat, saudara, teman, sahabat, tetangga, dan kenalan yang beragama Kristen dan Muslim hilang. Bahkan, kini terjadi segregasi permukiman warga Kristen dan Muslim. "Dulu sebelum konflik kami masih punya tetangga Muslim. Setelah konflik, mereka tak lagi tinggal di sini. Rumah mereka jual. Saudara kami yang bertetangga dengan Muslim juga pindah," kata Hisky Lolokari (60), warga Kelurahan Waihoka, Kecamatan Sirimau, yang juga Ketua Pengurus Keluarga Maray di Ambon.

Ivon van Roem (40) dan Dani (43), warga Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, menceritakan hal yang sama. Kendati dalam keseharian mereka tetap saling menyapa, hubungan belum kembali setulus dulu. Ada rasa waswas dan khawatir apa yang dilakukan atau dikatakan akan menimbulkan salah paham.

Hisky, Lukas, Ivon, dan ribuan warga Ambon lainnya merindukan kebersamaan. Modal untuk kembali ke impian itu masih ada, yaitu lewat Pela Gandong, yang merupakan ikatan kekerabatan yang dibangun oleh para leluhur atas sumpah persaudaraan dan garis darah yang berbeda agama.

Willem Pariama, Wakil Sekretaris Sinode Gereja Protestan Maluku yang juga tokoh masyarakat Maluku, mengatakan, Pela Gandonglah yang menjadi akar yang bisa mempersatukan warga Maluku secara keseluruhan yang pernah tercerai-berai oleh konflik.

"Perbedaan agama dan kepercayaan hanya sebatas pagar halaman masjid atau gereja. Keluar dari pagar rumah ibadah, kami semua sama dan satu, warga negara Indonesia yang hidup di tanah yang sama dan berasal dari leluhur yang sama," kata John Sahalessy.

Pela Gandong bukan sekadar warisan masa lalu. Saat ini, masyarakat Maluku perlu mengaktualisasikan Pela Gandong dan menempatkannya dalam konteks yang lebih modern, ditambah dengan semangat nasionalisme. Kita pasti masih bisa berharap karena sesungguhnya katong samua basudara!

Sumber: Kompas, 23 Des 10

Dec 17, 2010

The lostness of meaning

Modern greetings send mixed messages

 
Two women rush to give each other a big hug, simultaneously uttering the greeting, ""Minal aidin, ya!""

And their shared response comes almost in unison, ""Sama-sama"" (You, too!).

Minal aidin wal faidzin actually means "from the battle and with victory". This expresses the victory achieved by Muslims after fighting hunger, thirst and temptation during the fasting month of Ramadhan. Most people here mistakenly use it as though it means "mohon maaf lahir dan bathin" (forgive me wholeheartedly).

It's not the only greeting that is garbled in the way we use it.

Another one that is usually used in the wrong way is "dirgahayu", which literally means "long life!". It is usually uttered on anniversaries to wish that someone, or an institution, a long future; "Dirgahayu Indonesia" is an expression to wish this country survives.

But look at the banners posted to welcome Independence Day or Jakarta's anniversary. This expression is printed in various forms. "Dirgahayu Indonesia ke-55" (Long live 55-year old Indonesia) or "Dirgahayu ulang tahun RI ke-55" (Long live the 55th anniversary of the Republic of Indonesia) are the most common greetings on the banners in front of buildings or on pedestrian bridges. When you think about it, both are wrong.

I was recently annoyed by the number of e-mails in my inbox, some containing Idul Fitri greetings and others expressing Christmas wishes. Those greetings came not only from my friends and relatives, but also from those with whom I have never crossed paths.

Not that I dislike greetings -- I love it when people wish me happiness. But, come on, nobody celebrates both religious holidays, and receiving greetings from someone you don't know just leaves you feeling uncomfortable.

"That's what modernity has done," commented Dave, my American colleague who also received some Idul Fitri greetings in his inbox. Nowadays people are too busy to buy cards and write the addresses of friends and relatives personally.

They leave that job to the machines. All they do is forward each greeting they receive to all addresses listed in their folders without bothering to select which greeting should go to whom.

I recall the old times before the Internet and e-mail were invented. One month before the holidays, I used to start shopping for gifts and cards. I would write the addresses and sign the cards personally. And, when I received cards, I checked them carefully and excitedly. I even kept the cards for years. It brought such loving memories.

Marianne Parasiuk, a reader living in Australia, once expressed her feeling about Christmas cards.

"Sending cards might be an ancient thing to do, what with the invention of modern means of communications such as the telephone, the Internet, SMS and all that. But cards carry a lot of messages. It is an exciting process, selecting, buying, writing and sending."

Sending greetings by e-mail, however, is more convenient than sending cards today. And it saves on costs. You do not have to waste time going to the stores, selecting a big pile of cards, and spending a handsome amount of money.

"It is also environmentally friendly," says Anthony Sumampouw, an expert in information technology. "If everyone in the world sent e-cards instead of conventional cards we would save a tremendous amount of paper and, in turn, save tropical forests. From the Internet, you can download greeting cards free of charge. And, sending it is easier. Within seconds, the greeting will arrive at its destination in good shape."

"In good shape?" snorted Miana in response. "I do not open all the e-cards I receive as they cause me trouble. Most of them come in large documents that exceed your storage capacity. And it takes a long time to download them one by one, especially if you don't have a direct connection. Think about the phone bills you have to pay. So, I usually delete them without opening. I know the content anyway."

So, modernity is not all magic. A new means of sending greetings should be invented. Something that is convenient, but also has a personal touch and is environmentally friendly. Anyone who comes up with a solution to this idea is sure to have his or her future made.

 
-- Carl Chairul
 
 

Dec 5, 2010

Kiat Membaca Buku Tebal

Speed reading is indeed a skill to die for...


Membaca Cepat Itu Penting
Minggu, 5 Desember 2010 | 03:39 WIB

Murid yang pandai di sekolah pasti karena rajin membaca. Mereka rajin membaca buku-buku pelajarannya.

Selain itu, mereka juga suka membaca buku-buku di luar pelajaran. Tentu saja buku-buku yang bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan, dan yang pasti ada hubungannya secara tak langsung dengan pelajaran di sekolah.

Karena itu, membaca adalah sangat penting. Masalahnya, selain suka membaca adalah mencari cara agar kita dapat membaca dengan cepat. Masih banyak buku yang belum kita baca masih berderet menunggu giliran.

Di bawah ini ada beberapa kiat agar kita dapat membaca cepat dan menguasai bahan bacaan dalam waktu singkat:

Biasakan berdoa sebelum membaca. Berdoa ini penting agar niat kita membaca buku untuk menambah ilmu pengetahuan dapat tercapai.

Apabila kita sudah berniat perlu konsentrasi. Tanpa konsentrasi, sulit bagi kita untuk dapat menyerap isi bacaan. Untuk itu buatlah suasana tempat membaca dalam keadaan tenang, sehingga tanpa gangguan apa pun.

Kebiasaan membaca dengan bersuara justru mengurangi konsentrasi karena perhatian kita terganggu oleh suara kita sendiri.

Dengan tanpa suara, maka mata, hati, dan pikiran dapat tertuju sepenuhnya pada apa yang kita baca. Isi bacaan dapat langsung masuk ke dalam otak.

Salah satu penyebab lambatnya kita membaca karena kita membaca kata demi kata. Biasakan membaca kalimat per kalimat, karena setiap kalimat mengandung suatu pengertian yang utuh.

Bagi kita yang sedang belajar bahasa asing, hal ini justru menjadi kebiasaan yang baik. Karena apabila kita hanya terpaku pada satu kata yang tidak kita mengerti, akan menghambat proses bacaan selanjutnya.

Cara ini juga akan mempercepat kemahiran bahasa, baik yang kita pakai sehari-hari maupun bahasa asing yang baru dipelajari.

Membaca sudah pasti dengan mata, tetapi ada sebagian dari kita yang mempunyai kebiasaan membaca sembari jari tangan diletakkan di atas kata-kata yang kita baca.

Penggunaan jari tangan atau alat lain yang semula dimaksudkan untuk mempermudah kita membaca, justru akan mengganggu proses membaca itu sendiri.

Biarkanlah mata kita berjalan sendiri mengikuti arah huruf.

Membuat catatan ringkas tentang apa yang kita baca berguna untuk mempermudah mengingat kembali. Hal ini juga bisa dibantu dengan melihat ulang daftar isi.

Mungkin ada bagian yang kurang kita pahami atau cepat lupa. Bagian tersebut dapat dibaca ulang sehingga kita akan lebih memahami apa yang baru dibaca.

Membaca cepat perlu banyak latihan. Baik waktu belajar di sekolah, di rumah, maupun di luar waktu pelajaran.

Kita dapat mempergunakan cara ini dengan sebaik-baiknya untuk melatih diri membaca cepat.

Semakin terlatih akan semakin ringan tugas-tugas kita membaca buku, baik pelajaran sekolah maupun bacaan tambahan. 

Jangan Takut Buku Tebal

Semakin kita bertambah usia, dari anak-anak ke masa remaja, apalagi setelah menginjak dewasa, pasti beban bacaan akan semakin berat. Akan tetapi, kita tidak perlu takut apabila suatu ketika nanti akan dihadang oleh buku-buku tebal yang wajib di- baca. Di perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum lazim terdapat deretan buku-buku tebal.

Kita juga tidak perlu khawatir apabila kita sudah membiasakan diri membaca cepat. Jadi kita tidak perlu kagum lagi apabila melihat orang-orang pandai yang kaya ilmu menekuni buku-buku tebal karena mereka sudah tahu kiatnya membaca dengan cepat.

Selain itu, kita juga perlu memilih buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan usia. Semakin banyak buku yang kita miliki di rumah, kita akan semakin bangga di depan teman-teman sekolah.

Apabila sebagian buku tidak sempat kita beli, perpustakaan di sekolah atau perpustakaan umum dapat kita manfaatkan sebaik-baiknya.

Marilah mulai sekarang kita jadikan membaca cepat sebagai kebiasaan yang positif. 

Pramudito, Penulis Lepas Tinggal di Depok, Jawa Barat

Sumber: Kompas, 5 Dec 10

Kwik Ing Hoo - Ilustrator Wiro, Anak Rimba Indonesia

Wiro dan Sindrom Kolonial
Minggu, 5 Desember 2010 | 03:55 WIB
1956 BY KWIK ING HOO

Seno Gumira Ajidarma

Kwik Ing Hoo meninggalkan dunia ini pada Minggu 28 November setelah mencapai usia 89 tahun. Para pelayat di rumah duka Dharma Agung, Teluk Buyung, Bekasi, pada hari itu kemungkinan besar hanya mengenalnya sebagai seorang Rahmat Junus, ayahanda Toni Junus, dan bukan ilustrator komik Wiro, Anak Rimba Indonesia, yang digubahnya bersama Lie Djoen Liem sebagai penulis teks, yang telah pindah ke Amerika Serikat. Padahal, Wiro adalah komik Indonesia yang monumental. Ada selapis generasi di Indonesia, yang pada masa kecilnya di tahun '50-'60-an begitu bangga berkalung katapel sembari berayun dari dahan ke dahan, tiada lain karena membaca Wiro.

Komik seri Wiro yang terbit dalam sepuluh jilid sejak tahun 1956 adalah komik Indonesia yang paling unik, paling terkenal, dan paling penting di antara para "Tarzan lokal" karena keberhasilannya membumikan karakter Tarzan ke dalam sebuah konteks Indonesia. Dengan pengakuan terbuka di dalam naratif atas sumber inspirasinya, yakni komik dan film-film tentang Tarzan dari Amerika Serikat, Wiro bahkan seperti membalikkan sudut pandang "meniru" itu dengan pembukaan: berbagai surat kabar "di seluruh dunia", seperti Herald, World Gazette, Saturday Post, dan Morning Post, memberitakan ditemukannya Wiro, yang film tentang dirinya itu, Wiro, The Jungle Boy, diputar di bioskop Rex, Luxor, ataupun Capitol.

Bioskop itu tentulah maksudnya berada di Amerika Serikat, dan film itu tentulah sebuah film dokumenter produksi The American Motion Picture Coy, hasil pekerjaan Dr Watson, yang bersama Miss Lana, seorang ahli serangga, melakukan perjalanan keluar-masuk rimba raya Indonesia. Mereka nyaris terbunuh ketika ditawan "gerombolan orang-orang liar" di dalam hutan Sumatera Utara jika tidak diselamatkan Wiro, yang kemudian bergabung untuk menjelajahi rimba seperti cita-citanya. Ya, Wiro adalah seorang murid sekolah dasar yang kurang bagus prestasinya di kelas, tetapi akrab dengan binatang, hebat dalam olahraga, dan selalu membaca komik-komik Tarzan di bawah sinar lampu tempel sampai jauh malam.

"Mungkinkah aku berhadapan dengan Tarzan? Siapakah dikau adanya," tanya Dr Watson ketika ikatan tangannya dibuka Wiro.

"Aku bukan Tarzan, tetapi …. Wiro anak Indonesia," jawab Wiro dengan tenang.

Prasangka rasis dan eksotisisme 

Berbeda dengan pendahulunya, Tarzan of the Apes karya Edgar-Rice Burroughs pada 1912 yang tidak luput dari prasangka rasis, bahwa orang kulit putih lebih superior dibandingkan dengan orang kulit hitam, maka keberadaan Wiro sebagai anak Indonesia yang menggantikan posisi Tarzan jelas mengubah oposisi tersebut, karena dalam perubahan dari wacana kolonial menuju wacana pascakolonial memang tampak berlangsung politik identitasnya sendiri dalam proses pelepasan ikatan dari sindrom kolonial.

Dalam proses, prasangka tidak langsung menghilang. Jika Tarzan adalah bayi manusia yang dirawat kera, maka Wiro meninggalkan rumah dan masuk hutan setelah mengalami tindak kekerasan dari ayah tirinya. Melalui pengembaraannya di dalam hutan, para penggubah komik ini berpeluang menampilkan segenap fauna dengan semangat majalah National Geographic (meski terdapatnya badak di Papua tentu menimbulkan tanda tanya), yakni memperkenalkannya sebagai bagian dari keindahan alam ataupun hukum rimba, yang terpaksa dicampuri Wiro ketika mendapatkan sahabat-sahabatnya: Tesar, harimau yang terjebak akar; Kongga, induk orangutan yang anaknya diselamatkan Wiro dari sambaran ular; dan Sambo, gajah sumatera yang ditolongnya setelah tertimpa batu besar. Adapun monyet kecil Kala, didapatkan Wiro pertama kali sebelum masuk hutan, karena memang dijual di pasar. Demikianlah Wiro menjadi komik Tarzan yang Indonesia sentris.

Dalam jenis ilustrasi naratif alias komik tanpa balon, teks dan gambar tampak cocok, seperti ada kerja sama yang saling menanggapi, sehingga bagaikan tiada bagian gambar yang tidak dijelaskan. Segala kewajaran yang membuat pembacaan tidak terganggu, menunjukkan keterampilan tinggi yang tidak begitu mudah ditandingi, yang tentu juga menunjuk kepada tingkat keahlian Kwik Ing Hoo sebagai ilustrator yang tidak dapat pula diingkari. Namun, justru terhadap "kewajaran" sebagai wacana, pendekatan realisme yang meyakinkan sebagai "kenyataan" ini, harus dilakukan sikap kritis.

Posisi Dr Watson dan Miss Lana, misalnya, jelas tetap teracu kepada wacana kolonial, dalam oposisi biner klasik bahwa kulit putih superior dan dalam Wiro ini "pribumi" tetap inferior; seperti ditunjukkan dalam berbagai bentuk: teknologi kamera, buku-buku ilmu pengetahuan, arsenal senapan dan tank, para portir yang mirip "jongos" (selalu berpeci), dan apalagi penggambaran suku-suku di pedalaman ataupun di pantai, yang lebih teracu kepada eksotisisme dalam komik dan film Tarzan dari Hollywood daripada suku-suku di pedalaman Indonesia itu sendiri.

Apabila kemudian rombongan ini lantas "membasmi" sisa serdadu Jepang di Papua, semakin jelas dalam wacana pascakolonial ini pun posisi superior kulit putih tidak tergoyahkan. Masalahnya, bagaimana dengan posisi Wiro sebagai protagonis? Tidakkah Wiro bisa dianggap berada dalam posisi yang tidak lagi inferior berhadapan Dr Watson dan Miss Lana? Sejumlah kajian di lingkungan akademik tentang komik Wiro, berdasarkan penanda bahwa Wiro makan daging babi hutan, membagikan dan menjualnya kepada penduduk kampung yang tidak menolaknya, dan ketika melewati kota selalu terlihat pula arsitektur bangunan kelompok etnik Tionghoa, menyatakan bahwa Wiro berasal dari kelompok etnik tersebut.

Namun, pembuktian semacam itu belum cukup karena rumah dan kampung halaman Wiro sendiri tidak memperlihatkan penanda yang terarah ke sana. Betapa pun, karena Wiro pasti juga bukan bagian dari suku-suku pedalaman atau pantai, mungkinkah karena itu sahih sebagai representasi karakter Indonesia? Pada tahun 1956, baru 11 tahun dari proklamasi 1945, dari para penggubah berlatar etnik Tionghoa, sebuah proyek identitas setelah runtuhnya bentuk tradisional atas identitas akibat modernitas, setidaknya telah menyumbangkan salah satu sumber alternatif bagi konstruksi identitas kebangsaan Indonesia.

SENO GUMIRA AJIDARMA, Wartawan