Dec 31, 2007

Pembelajaran Demokrasi di Timur dan Barat

-Catatan Akhir Tahun 2007-


THE GLOBAL NEXUS

Benazir, Demokrasi, dan Pilpres AS

Christianto Wibisono

Tewasnya Benazir Bhutto dan kesimpangsiuran berita penembakan dan pengeboman yang dibantah tanpa otopsi dan penghilangan jejak forensik merupakan bukti nyata kebiadaban rezim otoriter militer Pakistan. Ternyata kesamaan agama dan bangsa saja tidak cukup untuk menjamin kesetiakawan atau persaudaraan. Justru perang saudara antara sesama bangsa merupakan perang yang selalu paling berdarah, paling mengakar, dan makan waktu turun-temurun untuk membebaskan dari semangat dendam kesumat. Zulfikar Ali Bhutto dibunuh oleh Zia ul Haq yang kualat dan tewas jatuh dalam helikopter bersama Dubes AS untuk Pakistan. Sekarang Benazir Bhutto dibunuh menjelang pemilu 8 Januari 2008 yang hampir pasti akan menempatkan Benazir menjadi PM untuk ketiga kalinya.

Dunia benar-benar menjadi selebar daun kelor atau rata (The world is flat tulis Thomas Friedman) karena terbunuhnya Benazir mendadak mengubah peringkat capres yang sedang bertarung di AS. Posisi John McCain (Republik) melejit ke tempat kedua karena orang AS mulai memikir bahwa ternyata masalah teror masih tetap menghantui. Kalau Pakistan berganti rezim menjadi Taliban maka presiden baru di Gedung Putih tentu harus siap berdiplomasi atau menghadapi tantangan itu dengan kesigapan yang bisa diandalkan. Pamor Senator Obama, yang pernah menyatakan akan membom Pakistan, agak merosot karena dianggap kurang berpengalaman dalam politik luar negeri.

Setelah dua kali menjabat perdana menteri sebetulnya Benazir sudah menikmati hidup mewah dengan mondar-mandir London-Dubai-Paris- New York. Rekening yang sempat terbongkar di Swiss senilai US$ 13,8 juta masih disengketakan, tapi jelas dia masih mempunyai rekening di luar jumlah yang terpantau oleh Musharraf. Hasil wawancara terakhir Benazir dengan Gail Sheehy akan muncul dalam tabloid Parade (suplemen The Washington Post edisi 6 Januari 2008). Judulnya, I'm the one the terrorist most hate.

Kepulangan Benazir Bhutto merupakan diplomasi diam-diam AS untuk menciptakan duet Musharraf - Bhutto. Rencana Condi Rice ini tidak mempunyai plan B karena tidak siap dan menduga bahwa Benazir akan secepat ini terbunuh. Pengamat menyatakan heran bagaimana dua macan akan disatukan tanpa saling menerkam.

Kemanusiaan

Demokrasi memerlukan ke-kesatria-an dan kemanusiaan. Kalau yang bertarung tidak punya moral dan etika manusia beradab, serta menganggap politik dan demokrasi mirip adu gladiator atau adu manusia lawan singa/macan di mana salah satu harus mati maka itulah yang terjadi dalam sejarah manusia di mana saja termasuk di Barat sebelum demokrasi dipraktekkan. Demokrasi memang tidak sempurna dan terkadang tidak efisien, lebih cepat otoriter model Soeharto atau Vladimir Putin. Tapi, kalau orang tidak mau belajar demokrasi dengan alasan nilai asing Barat dan tetap mau bertahan dengan model suksesi perang dan dendam kesumat ala dinasti kerajaan kuno, ya tragedi seperti Benazir akan menimpa siapa saja, di mana saja, dan entah sampai kapan.

Manusia mengalami evolusi dengan mengubah cara penyelesaian konflik politik dari adu otot sampai salah satu mati, dengan adu otak, argumen dan program. Jadi, politik adalah seperti sport yang tidak perlu harus dimenangkan secara mutlak, pihak lawan harus mati kalau kalah. Riwayat bunuh-membunuh diktator dan raja merupakan warisan universal termasuk yang disebut orang bule, atau budaya Barat. Yunani membunuh Socrates, dan Romawi membunuh Julius Caesar.

Raja Charles I masih dipenggal kepalanya di Inggris pada 1649. Prancis masih meng-guillotine raja dan ratunya pada 1792. Hitler masih menjadi diktator dan tiran sampai 1945. Jadi, untuk Barat pun demokrasi dan pemilihan pemimpin politik secara damai, melalui ballot dan bukan dengan bullet, peluru adalah fenomena baru .

Pendapat yang menganggap demokrasi itu monopoli dan warisan Barat karena itu tidak cocok dengan manusia Timur non-Barat masih berkumandang termasuk pada elite Indonesia yang kecewa dengan demokrasi model reformasi setengah matang. Oleh karena itu, orang mulai bicara soal meniru Putin, kembali ke Soeharto, jangan terlalu liberal, harus ada pembatasan, dan seterusnya. Pada saat orang menjual pembatasan demokrasi dengan menghilangkan unsur liberalnya, maka yang muncul ialah machstaat. Macht bisa diwakili oleh birokrasi yang di Pakistan secara mencolok mencoba membodohi rakyat dengan menyatakan bahwa Bhutto meninggal karena kepalanya terbentur atap mobil. Kekuatan pengekang dan penindas hak asasi yang mengatasnamakan bangsa, negara, dan rakyat untuk kekuasaan pribadi yang tidak terkontrol.

Substansi utama demokrasi yang harus dipertahankan ialah pengawasan berimbang atas kekuasaan agar tidak disalahgunakan. Juga tidak boleh terjadi korupsi bersama, atas nama legislatif, yudikatif setelah pengurangan kekuasaan eksekutif pasca-reformasi.

Penyakit parah Indonesia ialah setelah korupsi eksekutif dibatasi ternyata pihak legislatif dan yudikatif termasuk aparat penegak hukum, masih melanjutkan pola korupsi absolut rezim Orde Baru. Kalau dulu dalam satu monolit kekuasaan, sekarang justru secara independen, saling mempertahankan kekuasaan untuk menikmatinya tanpa kontrol.

Benazir Bhutto mengajukan syarat amnesti terhadap tuduhan korupsi sebelum pulang ke Pakistan. Seluruh elite negara berkembang dan sebetulnya sebagian negara maju juga masih bergelimang kolusi dengan pengusaha. Presiden Sarkozy, misalnya, diberitakan berpesiar dengan pacarnya dalam jet pribadi jutawan Vincent Bollore. Seluruh pers terkemuka Eropa langsung mengecam opera sabun Sarkozy.

Jadi, penyakit korupsi atau conflict of interest bukan merupakan budaya orang Timur, tapi di Barat juga masih bisa terjadi. Yang membedakan ialah, di Barat masih terdapat mekanisme politik yang beradab untuk menyelesaikan dengan upaya supremasi hukum dan Trias Politika yang efektif. Itulah yang vacum di dunia ketiga dan itulah yang terjadi di akhir 2007. Sehingga, setiap kali pergantian politik harus melalui kudeta, pembunuhan, dan penjarahan politik, dari Mei 1998 di Jakarta sampai kini di Pakistan. Benazir meninggalkan dunia memasuki Tahun Tikus Bumi 2008 menurut Imlek, dalam suasana waswas oleh ancaman ektremis bernuklir.

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional


SP, 31/12/07

Dec 21, 2007

Polemik muatan religi dalam kesusasteraan anak

Resensi Buku

Pullman, Agama, dan Dongeng Pascamodern

TRISNO S SUTANTO

Trilogi His Dark Materials karya Philip Pullman, yang edisi Indonesia-nya baru-baru ini diterbitkan oleh Gramedia, boleh jadi akan dicatat sebagai tonggak baru sejarah kesusastraan anak berbahasa Inggris bersama Alice's Adventures in Wonderland (1865) karya Lewis Carroll, trilogi The Lord of the Rings (1954-1955) dari JRR Tolkien, dan tujuh jilid Chronicles of Narnia (1950-1956) karya CS Lewis.

Sedikitnya sudah tujuh juta eksemplar trilogi ini terjual, diterjemahkan ke dalam lebih dari 37 bahasa, dan rencananya akan diadaptasi menjadi film layar lebar akhir tahun ini oleh produser The Lord of the Rings.

Akan tetapi, berbeda dengan mereka semua, karya Pullman lebih memancing banyak kontroversi, khususnya dari kalangan Kristen konservatif karena secara blak-blakan menyerang otoritas gereja. Apalagi, dalam soal agama, posisi Pullman memang sangat jelas.

"Saya seorang ateis," kata Pullman dalam konferensi di Oxford, Agustus 2000. "Tetapi, bagaimanapun juga, kita membutuhkan surga, kita membutuhkan segala hal yang dirujuk oleh (kata) surga, kita butuh kegembiraan, makna dan tujuan dalam kehidupan kita, ketersambungan dengan alam semesta, segala hal yang dulu dijanjikan oleh Kerajaan Surga pada kita tetapi gagal dipenuhinya." Tidak heran jika Peter Hitchens, seorang penulis Kristen konservatif, menyebut Pullman sebagai "Penulis paling berbahaya di Inggris", dan menuduh adanya "konspirasi kaum ateis" untuk membuang sisa-sisa terakhir kekristenan (Baca: The Mail on Sunday, 27 Januari 2002, hal 63).

Saya tidak ingin menyibukkan diri dengan urusan konspirasi itu, yang jelas tidak dapat dicari bukti pembenarannya. Lagi pula, seperti dilaporkan ensiklopedia online wikipedia.org, tokoh sekaliber Rowan Williams, Uskup Agung Canterbury, malah menganjurkan agar trilogi His Dark Materials dijadikan bahan ajar untuk pendidikan agama di sekolah-sekolah! Sebab apa yang disajikan Pullman adalah sebuah dongeng pascamodern tentang pergolakan jiwa menuju kematangan, semacam bildungsroman bagi mereka yang merasa bahwa dunia agama tradisional tidak lagi mampu memuaskan kebutuhan terdalam manusia.

Membunuh "Otoritas"

Trilogi His Dark Materials adalah cerita anak-anak. Tidak lebih dari itu. Tetapi, sama seperti karya-karya lain yang bermutu, His Dark Materials menggabungkan berbagai unsur, mulai dari mitologi, agama, fisika kuantum, sampai permenungan filosofis yang memukau.

Dalam bagian pertama trilogi ini, The Golden Compass (judul Inggris: Northern Lights) yang menyabet The Carnegie Medal dan The Guardian Award untuk fiksi anak-anak, Pullman memulai kisahnya ketika Lyra Belacqua bersama Pantalaimon, daemonnya, bersembunyi di lemari pakaian dan tanpa sengaja mencuri dengar cerita pengembaraan Lord Asriel ke wilayah Utara kepada para Cendekiawan Akademi Jordan di Oxford. Cerita Lord Asriel tentang "Debu" dan praktik kejam di Bolvangar, di mana anak-anak diputuskan hubungannya dari "daemon" mereka, serta lenyapnya Roger, teman bermain Lyra, karena diculik "para pelahap", membuat Lyra dan Pantalaimon memutuskan untuk memulai pengembaraan mereka. Dan bekal Lyra hanya satu: kompas emas yang disebut "alethiometer" yang selalu memberi jawaban yang benar.

Bagian kedua, The Subtle Knife, menambah kompleks plot kisah petualangan yang tampak sederhana itu, dengan masuknya dua tokoh utama lain: Will Parry, seorang anak yang tanpa sengaja menjadi pembunuh dan menemukan "jendela" untuk memasuki "dunia lain", serta Mary Malone, seorang peneliti fisika, tetapi menyukai I Ching yang mencurahkan upayanya untuk membuka misteri "Bayangan", atau "materi gelap" dalam istilah fisika kuantum. Tanpa sepengetahuannya, Will ditakdirkan menjadi "pembawa pisau gaib" yang mampu membuka jendela-jendela penghubung antardunia.

Di kota Cittàgazze yang berada di dunia lain, Will bertemu Lyra, bersahabat, dan memulai petualangan mereka. Keduanya mencari sang ayah. Lyra mencari Lord Asriel yang memasuki dunia lain dengan mengorbankan Roger, sementara Will mencari ayah yang tidak pernah dikenalnya, John Parry, perwira Marinir Kerajaan yang tiba-tiba lenyap dalam ekspedisi penelitian di Utara. Dan Pullman perlahan-lahan membuat kita menyadari kerangka besar yang mendasari triloginya. Setiap tokoh, termasuk para penyihir maupun malaikat, sesungguhnya berada di dalam jalinan ambisi puncak Lord Asriel untuk memberontak terhadap kekuasaan tertinggi, yakni mencari dan membunuh Sang Otoritas!

Baru dalam bagian ketiga, The Amber Spyglass, buku fiksi anak- anak pertama yang menyabet sekaligus penghargaan Whitbread tahun 2001 maupun Whitebread Book of the Year tahun 2002, seluruh jalinan rumit dongeng Pullman menjadi jelas. Sang Otoritas itu tidak lain adalah figur yang selama ini disebut dan mendaku diri sebagai Tuhan, yang diwakili sekaligus dipenjarakan oleh Metatron.

Pemberontakan itu berhasil. Otoritas berhasil dibunuh, Metatron dengan seluruh bala tentaranya berhasil dihancurkan. Dan Lyra pun menyadari nasib yang menentukan dirinya. Dia adalah Hawa, ibu kehidupan yang kemudian jatuh cinta kepada Will si Adam, karena cerita Mary Malone, sang ular penggoda. Sebuah dongeng yang mengingatkan kita pada kitab Kejadian dalam Alkitab, tetapi dengan tafsir berbeda.

Jika kisah Adam dan Hawa dalam kitab Kejadian selama ini dipandang sebagai titik awal jatuhnya manusia ke dalam dosa, Pullman menganggap sebaliknya. Itu adalah titik awal ketika manusia meninggalkan alam kanak-kanak yang serba "murni" (innocence) untuk menjadi dewasa, mengenal cinta, membuang ketaatan mutlak pada "Otoritas", baik agama maupun lainnya, mengambil tanggung jawab dan menjadi bijaksana.

Bildungsroman pascamodern

Jelas, dengan visi semacam itu, Pullman menjadi penulis kontroversial, khususnya bagi kalangan agamawan konservatif yang menganggap agama—dengan seluruh perangkat institusinya—adalah barang yang suci yang tidak boleh diganggu, dipertanyakan, apalagi dikritik. Jika Anda termasuk kelompok seperti ini, sebaiknya Anda tidak membaca trilogi Pullman. Apalagi The Amber Spyglass, di mana Pullman bicara blak-blakan dan melontarkan kritik tanpa tedeng aling-aling terhadap "agama".

Misalnya, lewat tokoh Mary Malone, mantan biarawati yang menjadi peneliti "materi gelap" dalam fisika kuantum, ia menandaskan bahwa "Agama Kristen adalah kesalahan yang sangat berpengaruh dan meyakinkan" (hal 524). Begitu juga ketika diperhadapkan dengan Pater MacPhail, Presiden Lembaga Pengadilan Disiplin Agama, lembaga superkuat di bawah Magisterium Gereja, Mrs Coulter justru menggugat balik: "Well, di mana Tuhan, kalau Ia masih hidup? Dan kenapa Ia tidak berbicara lagi?" (hal 391).

Akan tetapi bagi mereka yang cukup terbuka dan kritis, dongeng Pullman merupakan perenungan memukau tentang makna agama yang tidak lagi dilandaskan pada kewenangan Otoritas dengan seluruh birokrasinya, atau terjebak pada figur-figur mitologis, melainkan lebih sebagai pencarian makna kehidupan yang hakiki. Suatu pemahaman keagamaan yang telah mampu melangkaui kritik akal budi Pencerahan, ambang batas di mana umat manusia—memakai metafora Kant yang masyhur—sudah mencapai "akil balig". Sebab, seluruh kritik pedas Pullman memang ditujukan pada kewenangan atas nama "Otoritas" yang selama ini telah membelenggu manusia.

Sementara bagi Lyra dan Will, seluruh petualangan mereka adalah proses pergolakan jiwa yang harus dilalui untuk menjadi dewasa, melewati ambang pubertas dan pertama kali menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta. Di akhir cerita, Will harus mematahkan "pisau gaib" dan menutup setiap jendela penghubung antardunia, sementara Lyra kehilangan kemampuan alamiahnya dalam membaca alethiometer. Itulah harga kedewasaan. Menjadi dewasa berarti kehilangan kemampuan untuk berpindah-pindah dunia, atau selalu mendapat jawaban yang tepat untuk setiap persoalan. Akan tetapi menjadi dewasa juga berarti menyadari bahwa dunia di mana kita ada, di sini dan sekarang ini, sungguh merupakan tempat terpenting yang layak menerima seluruh perhatian kita. Sebab "Kerajaan sudah berakhir, kerajaan surga, semuanya sudah tamat," kata Lyra di akhir buku. "Kita tidak boleh menjalani kehidupan seakan-akan hal itu lebih penting daripada kehidupan di dunia ini, karena tempat yang terpenting adalah di mana kita berada."

Dengan kata lain, trilogi Pullman bisa dibaca sebagai terjemahan, dalam bentuk bildungsroman yang canggih, dari panggilan dasar Pencerahan: Sapere Aude! Beranilah berpikir sendiri!

Trisno S Sutanto Pencinta Buku Cerita Anak-anak

Sumber: Kompas, 21 Mei 2007


Dec 20, 2007

Ateisme dan kesulitan bahasa

Tentang Atheisme dan Tuhan yang Tak Harus Ada

GOENAWAN MOHAMAD

Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ

Atheisme dimulai dengan kesulitan bahasa. Dan, jika kita membaca buku Christopher Hitchens, God is Not Great, kita akan tahu: ada juga salah sangka.

Atheisme tak datang dari kecerdasan semata-mata, tapi juga dari kaki yang gemetar dan tubuh yang terdesak. Kegamangan kepada agama yang sedang tampak kini mengingatkan suasana sehabis perang agama di Eropa di beberapa dasawarsa abad ke- 16. Agama nyaris identik dengan kekerasan, kesewenang- wenangan, dan penyempitan pikiran. Dari sinilah lahir semangat Pencerahan: terbit karya Montaigne dan Descartes, buah skeptisisme yang radikal. Doktrin agama diletakkan di satu jarak.

Kini berkibarnya "revivalisme", terkadang dalam bentuk "fundamentalisme", dan tentu saja bercabulnya kekerasan menyebabkan reaksi yang mirip: buku Hitchens terbit di dekat The End of Faith oleh Sam Harris (tahun 2004). Juga The God Delusion karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi. Satu kutipan oleh Dawkins: "Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama."

Namun, agaknya bukan karena waham bila dalam masa tiga dasawarsa terakhir ada "gerak" lain yang cukup berarti: mendekatnya filsafat ke iman. Dalam gerak "pascamodern" ke arah Tuhan ini diangkat kembali pendekatan fenomenologis Heidegger yang mendeskripsikan "berpikir meditatif", atau lebih khusus lagi, "berpikir puitis", yang lain dari cara berpikir yang melahirkan metafisika dan ilmu-ilmu.

Bersama itu, ada kritik Heidegger terhadap "tuhan menurut filsafat", atau tuhan dalam metafisika—yang baginya harus ditinggalkan. Dengan meninggalkannya, kata Heidegger, manusia justru akan lebih dekat ke "Tuhan yang ilahi" (göttlichen Gott).

Mungkin dengan itu kita bisa memahami Derrida: ia menyebut diri atheis, tapi juga mengatakan "tetapnya Tuhan dalam hidup saya" yang "diseru dengan nama-nama lain".

Jelas gerak "menengok kembali agama" itu bukan gerak kembali kepada asas theisme yang lama. Dalam Philosophy and the Turn to Religion, Hent de Vries mengikhtisarkan kecenderungan itu dalam sepatah kata Perancis yang mengandung dua makna: kata á Dieu 'ke Tuhan' atau adieu 'selamat tinggal', "satu gerakan ke arah Tuhan, ke arah kata atau nama Tuhan", yang juga merupakan ucapan "selamat tinggal yang dramatis kepada tafsir yang kanonik dan dogmatik… atas pengertian 'Tuhan' yang itu juga".

Syahadat Nurcholish Madjid

Tampak, tak hanya ada satu makna dalam nama "Tuhan". Bahkan, sejak berkembang pendekatan pascastrukturalis terhadap bahasa, kita kian sadar betapa tak stabilnya makna kata.

Kata Tuhan hanyalah "penanda" (signans) yang maknanya baru kita "dapat" tapi dalam arti sesuatu yang berbeda dari, misalnya, "makhluk". Beda ini akan terjadi terus-menerus. Sebab itu, pemaknaan "Tuhan" tak kunjung berhenti.

Penanda itu tak pernah menemukan signatum atau apa yang ditandainya. Signatum ("petanda"?) itu baru akan muncul nanti, nanti, dan nanti sebab kata Tuhan akan selamanya berkecimpung dalam hubungan dengan penanda-penanda lain.

Maka, tiap kali "Tuhan" kita sebut, sebenarnya kita tak menyebut-Nya. Saya ingat satu kalimat dari sebuah sutra: "Buddha bukanlah Buddha dan sebab itu ia Buddha". Bagi saya, ini berarti ketika kita sadar bahwa "Buddha" atau "Tuhan" yang kita acu dalam kata itu sebenarnya tak terwakili oleh kata itu, kita pun akan sadar pula tentang Sang "Buddha" dan Sang "Tuhan" yang tak terwakili oleh kata itu.

Agaknya itulah maksud Nurcholish Madjid ketika menerjemahkan kalimat syahadat Islam dengan semangat taukhid yang mendasar: "Aku bersaksi tiada tuhan selain Tuhan sendiri". Dengan kata lain, nama "Allah" hanyalah signans, dan tak bisa dicampuradukkan dengan signatum yang tak terjangkau. Jika dicampuradukkan, seperti yang sering terjadi, "Allah" seakan-akan sebutan satu tuhan di antara tuhan-tuhan lain—satu pengertian yang bertentangan dengan monotheisme sendiri.

Di abad ke-13, di Jerman, Meister Eckhart, seorang pengkhotbah Ordo Dominikan, berdoa dengan menyebut Gottes (tuhan) dan Gottheit (Maha Tuhan). Yang pertama kurang-lebih sama dengan "pengertian" tentang Tuhan, sebuah konsep. Yang kedua: Ia yang tak terjangkau oleh konsep. Maka, Eckhart berbisik, "aku berdoa… agar dijauhkan aku dari tuhan". Di tahun 1329 Paus Yohannes XXII menuduhnya "sesat". Ia diadili dan ditemukan mati sebelum vonis dijatuhkan.

Masalah bahasa itulah yang membuat akidah dan teologi jadi problematis. Teologi selamanya terbatas—bahkan mencong. Jean-Luc Marion mengatakan teologi membuat penulisnya "munafik". Sang penulis berlagak bicara tentang hal-hal yang suci, tetapi ia niscaya tak suci. Sang penulis bicara mau tak mau melampaui sarana dan kemampuannya. Maka, kata Marion, "kita harus mendapatkan pemaafan untuk tiap risalah dalam teologi".

"Satu", Zizek, dan ontologi Badiou

Theisme cenderung tak mengacuhkan itu. Theisme umumnya berangkat dari asumsi bahwa dalam bahasa ada makna yang menetap karena sang signatum hadir dan terjangkau—asumsi "metafisika kehadiran".

Ini tampak ketika kita mengatakan "Tuhan yang Maha Esa". Bukan saja di sana ada anggapan bahwa makna "Tuhan" sudah pasti. Juga kata esa menunjuk ke sesuatu yang dapat dihitung. Jika "tuhan" dapat dihitung, Ia praktis setaraf dengan benda. Ketika kita mengatakan "Tuhan itu Satu", kita sebenarnya telah menyekutukan-Nya.

Justru di situlah atheisme bermula. Slavoj Zizek mencoba membahas ini dengan menggunakan tesis ontologis Alain Badiou. Dalam tulisannya yang menawarkan sebuah "teologi materialis" dalam jurnal Angelaki edisi April 2007, Zizek mengatakan, "Satu" adalah pengertian yang muncul belakangan.

Zizek mengacu ke Badiou: "banyak" (yang juga berarti "berbagai-bagai") atau multiplisitas adalah kategori ontologis yang terdasar. Multiplisitas ini bukan berasal dari "Satu" dan tak dapat diringkas jadi "Satu". Lawan multiplisitas ini bukan "Satu", tapi "Nol"—atau kehampaan ontologis. "Satu" muncul hanya pada tingkat "mewakili" —hanya sebuah representasi.

Monotheisme tak melihat status dan peran "Satu" itu. Tak urung, monotheisme yang menghadirkan Tuhan sebagai "Satu" memungkinkan orang mempertentangkan "Satu" dengan "Nol". Maka, orang mudah untuk menghapus "Satu" dan memperoleh "Nol". Lahirlah seorang atheis. Tepat kata Zizek ketika ia menyimpulkan, "atheisme dapat bisa terpikirkan hanya dalam monotheisme".

Namun, memang tak mudah bagi kita yang dibesarkan dalam tradisi Ibrahimi untuk menerima "teologi materialis" Zizek. Umumnya tak mudah bagi para pemeluk Islam, Kristen, dan Yahudi menerima argumen ontologis Badiou yang menganggap "Satu" hanya sebuah representasi meskipun dengan demikian mereka telah memperlakukan Tuhan sama dan sebangun dengan representan-Nya—satu hal yang sebenarnya bertentangan dengan dasar taukhid Surah al-Ikhlas dalam Al Quran, yang menegaskan "tak suatu apa pun yang menyamai-Nya".

Kaum monotheis memang berada dalam posisi yang kontradiktif. Apalagi, bagi mereka, Tuhan yang Satu itu juga Tuhan yang personal.

Syahdan, Emmanuel Levinas mengkritik keras Heidegger. Kita tahu, acap kali Heidegger berbicara dengan khidmat tentang Sein (Ada). Sein (Ada) adalah yang menyebabkan hal-hal-yang-ada muncul ber-ada. Bagi Levinas, dengan gambaran itu Sein (Ada) seakan-akan mendahului dan di atas segala hal yang ada (existents). Artinya, dalam ontologi Heidegger, Ada menguasai semuanya. Bagaikan "dominasi imperialis".

Tampaknya Levinas menganggap Heidegger—pemikir Jerman yang pernah jadi pendukung Nazi itu—berbicara tentang Ada sebagai semacam tuhan yang impersonal. Juga ketika Heidegger menyebut Yang Suci (das Heilige).

Menurut Levinas, ini menunjukkan kecenderungan "paganisme". Tanpa mendasarkan Ada dan Yang Suci dalam hubungan interpersonal, Heidegger telah mendekatkan diri bukan ke "bentuk agama yang lebih tinggi, melainkan ke bentuk yang selamanya primitif".

Levinas—yang filsafatnya diwarnai iman Yahudi—tampaknya hanya memahami agama dengan paradigma monotheisme Ibrahimi. Tentu saja itu tak memadai. Bukan saja Levinas salah memahami pengertian Ada dalam pemikiran Heidegger. Ia juga tak konsisten dengan filsafatnya sendiri, yang menerima Yang Lain sebagaimana Yang Lain, tanpa memasukkannya ke dalam kategori yang siap.

Padahal, dengan memakai iman Ibrahimi sebagai model, Levinas meletakkan keyakinan lain—Buddhisme dan Taoisme misalnya—dalam kotak. Apabila baginya agama lain itu "primitif", itu karena tak sesuai dengan standar Kristen dan Yahudi. Ia menyimpulkan: di ujung "agama primitif" ini tak ada yang "menyiapkan munculnya sesosok tuhan".

Levinas tak melihat, justru dengan tak adanya "sesosok tuhan" dalam "agama primitif", atheisme jadi tak relevan. Dengan kata lain, persoalannya terletak pada theisme sendiri. Saya teringat Paul Tillich.

Teolog Kristen itu menganggap theisme mereduksi hubungan manusia dan Tuhannya ke tingkat hubungan antara dua person, yang satu bersifat "ilahi". Dari reduksi inilah lahir atheisme sebagai antitesis. Maka, ikhtiar Tillich ialah menggapai "Tuhan-di-atas-Tuhan-dalam- theisme".

Tuhan "Tak Harus Ada"

Kini suara Tillich (meninggal di tahun 1965) sudah jarang didengar. Setidaknya bagi saya. Tapi, niatnya menggapai "Tuhan-di-atas-Tuhan-dalam-theisme" dan ucapannya bahwa Tuhan "tidak eksist"—sebab Ia melampaui "esensi serta eksistensi"—saya temukan reinkarnasinya dalam pemikiran Marion.

Marion, seperti Heidegger, menafikan tuhan kaum atheis yang sejak Thomas Aquinas (dan secara tak langsung juga sejak Ibnu Rushd, dengan dalil al-inaya dan dalil al-ikhtira'-nya) dibenarkan "ada"-nya dengan argumen metafisika. Baginya, Tuhan yang dianggap sebagai causa sui, sebab yang tak bersebab, adalah Tuhan yang direduksi jadi berhala: Ia hanya jadi titik terakhir penalaran tentang "ada". Ia hanya pemberi alasan (dan jaminan) bagi adanya hal ihwal, jadi ultima ratio untuk melengkapi argumen. Tapi, di situlah metafisika tak memadai.

Sebab Tuhan bukanlah hasil keinginan dan konklusi diskursus kita. Tuhan benar-benar tak harus ada (n'a justement pas á être). Ia mengatasi Ada, tak termasuk Ada. Ia mampu tanpa Ada. Bagi Marion, Tuhanlah yang datang dengan kemerdekaannya ke kita karena Kasih-Nya yang berlimpah, sebagai karunia dalam wahyu.

Di momen yang dikaruniakan itu kita bersua dengan manifestasi les phénomènes saturés, 'fenomena yang dilimpah-turahi'. Di hadapan fenomena dalam surplus yang melebihi intensiku itu, aku mustahil menangkap dan memahami obyek—kalaupun itu masih bisa disebut "obyek". Bahkan, aku dibentuk olehnya.

"Fenomena yang dilimpah-turahi" itu juga kita alami dalam pengalaman estetik ketika melihat lukisan Matisse, misalnya: sebuah pengalaman yang tak dapat diringkas jadi konsep. Apalagi pengalaman dengan yang ilahi, dalam wahyu: hanya dengan aikon kita bisa menjangkau-Nya.

Aikon, kata Marion, berbeda dengan berhala. Berhala adalah pantulan pandangan kita sendiri, terbentuk oleh arahan intensi kita. Sebaliknya pada aikon: intensi kita tak berdaya. Yang kasatmata dilimpah-turahi oleh yang tak-kasatmata, dan aikon mengarahkan pandanganku ke sesuatu di atas sana, yang lebih tinggi dari aikon itu sendiri. "Aikon" yang paling dahsyat adalah Kristus. Marion mengutip Paulus: Kristuslah "aikon dari Tuhan yang tak terlihat".

Di sini Marion bisa sangat memesona, tetapi ia tak bebas dari kritik. Dengan memakai wahyu sebagai paradigma "fenomena yang dilimpah-turahi", Marion—seperti Levinas—berbicara tentang "agama" dengan kacamata Ibrahimi. Bagaimana ia akan menerima Buddhisme, yang tak tergetar oleh wahyu dari "atas", melainkan pencerahan dari dalam?

Bagi Marion, berhala terjadi hanya ketika konsep mereduksikan Tuhan sebagai "kehadiran". Tapi, mungkinkah teologi yang ditawarkannya sepenuhnya bebas dari tendensi pemberhalaan?

Dengan pandangan khas Katolik, ia bicara tentang aikon. Tapi, bisa saja aikon itu—juga Tuhan—di-atas-Ada yang diperkenalkannya kepada kita, sebagaimana Gottheid yang hendak digayuh Eckhart—merosot jadi berhala, selama nama itu, kata itu, dibebani residu sejarah theisme yang, jika dipandang dari perspektif Buddhisme Zen, tetap berangkat dari Tuhan yang personal, bukan dari getar Ketiadaan.

Di sinilah kita butuh Derrida. Marion mengira "Tuhan-Tanpa-Ada" yang diimbaunya bisa bebas dari sejarah dan bahasa, tapi dengan Derrida kita akan ingat: kita selamanya hidup dengan bahasa yang kita warisi, dari tafsir ke tafsir. "Tuhan" tak punya makna yang hadir.

Maka Yudaisme, misalnya, cenderung tak menyebut Nama-Nya; dalam nama itu Tuhan selalu luput. "Dieu déja se contredit", kata Derrida: belum-belum Tuhan sudah mengontradiksi diri sendiri.

Maka, lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa. Dengan kata lain, hidup dengan janji: kelak ada Makna Terang yang akan datang—betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman kepada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran.

Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.

Jakarta, 27 September 2007

GOENAWAN MOHAMAD Penyair, Pendiri Majalah Tempo

Sumber: Kompas, 06 Oktober 2007

Dec 19, 2007

Belajar dari Teladan Pemimpin Kristen

Adakah Pengganti Dr Leimena?

Salahuddin Wahid

Sebuah tabloid khusus kalangan Kristen menurunkan tulisan yang mengeluhkan tidak adanya atau kurangnya pemimpin saat ini, apalagi di tingkat nasional, yang beragama Kristen. Apa benar demikian? Gubernur yang beragama Kristen cukup banyak: di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Papua, Irjabar, Maluku, NTT. Hampir 25 persen gubernur di Indonesia beragama Kristen, lebih besar daripada persentase penduduk beragama Kristen (di bawah 10%) di Indonesia.

Beberapa menteri beragama Kristen atau Katolik, yaitu Mari Pangestu, Purnomo Yusgiantoro, Freddy Numberi. Pimpinan DPR, MPR dan DPR memang tidak ada yang beragama Kristen. Dalam Pilpres 2004 tidak ada satu pun capres atau cawapres yang beragama Kristen, padahal tidak ada UU yang melarangnya.

Kita tampaknya lupa bahwa seorang non-Jawa dan non-Muslim pernah menjadi pejabat presiden sebanyak tujuh kali saat Bung Karno (BK) melawat ke luar negeri (1961-1964), yaitu Dr Johannes Leimena. Dia adalah salah satu pemimpin terbaik bangsa Indonesia dan pemimpin Kristen yang mencapai karier paling tinggi dan paling mengesankan. Amat layak bagi umat dan tokoh Kristen untuk belajar dari Leimena.

Dr Leimena, sama seperti pemimpin lain pada masa lalu, tumbuh dari bawah, tidak bergantung pada pemimpin lain. Mereka punya karakter, sikap, prinsip, dan rendah hati. Tidak banyak yang oportunis atau penjilat. Secara pribadi mereka saling percaya dan saling membantu, walaupun berbeda agama. Mereka tidak memperebutkan jabatan, beberapa dari mereka menolak jabatan menteri, seperti Dr Muwardi dan Ibu Trimurti.

Oom Jo berwatak sederhana, terus terang, setia, kritis, penuh tanggung jawab dan kecil pamrihnya. Bagi dia, politik bukan teknik untuk berkuasa tetapi etika untuk mengabdi. Menurut Dr Zakaria Ngelow, ada lima hal yang dapat dipelajari dari kehidupan dan pemikiran Dr Leimena. Pertama, mengutamakan pengembangan diri dalam hal kualitas moral dan iman. Kedua, pembaruan visi keagamaan yang lebih memberi tempat kepada fungsi sosialnya. Ketiga, visi keagamaan mengacu pada kemanusiaan dan bertujuan mewujudkan kesejahteraan sosial. Keempat, sebagai nasionalis sejati, Leimena sepenuhnya mencintai dan mengabdi pada kemerdekaan, kesatuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Beliau menentang separatisme dan ideologi alternatif. Bagi Dr Leimena, Indonesia adalah suatu bangsa majemuk di bawah satu ideologi, Pancasila. Kelima, dia adalah sosok ideal cendekiawan Indonesia, yang menyatukan dalam dirinya wawasan moral, keagamaan, kemanusiaan, nasionalisme, kepemimpinan, dan intelektualitas, yang dibingkai dalam sosok yang tenang, sederhana, dan rendah hati.

Ketenangan dan Ketabahan

Salah satu yang menonjol dari pribadi Dr Leimena ialah ketenangan dan ketabahan. Ketenangan dan ketabahan Oom Jo tampak saat beliau mendorong dan agak memaksa BK untuk pergi ke Bogor saat BK di Halim mengalami kesulitan menentukan apakah ke Bogor atau ke Madiun. Juga saat sidang kabinet 11 Maret 1966. BK meninggalkan sidang dan menuju Bogor dengan memakai helikopter. Subandrio dengan tergopoh-gopoh mengikuti BK. Dengan tenang, Oom Jo mengambil alih pimpinan sidang kabinet dan dengan tenang menutup sidang itu. Mahasiswa dan Angkatan 66 tidak bersikap negatif terhadap Oom Jo, seperti terhadap Subandrio dan Chairul Saleh.

Mengapa BK memilih Dr Leimena terus-menerus sebagai Pejabat Presiden dan tidak pernah memilih dua Waperdam lainnya? Tentu hanya BK yang bisa menjawabnya dengan tepat. Tetapi, kita bisa menduganya. Tampaknya Dr Leimena adalah yang paling dipercaya BK di antara ketiga Waperdam itu. Itu pasti tidak lepas dari pendapat BK tentang Dr Leimena seperti berikut: "Ambillah misalnya Leimena... saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui."

Ucapan BK di atas menunjukkan bahwa Dr Leimena adalah pemimpin yang punya integritas. Menurut Oxford Dictionary, integritas ialah sifat jujur dan punya prinsip moral yang kuat; kebenaran moral. Pemimpin yang punya integritas harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, harus transparan, jujur dan tidak manipulatif. Kedua, harus harus bisa dipercaya dengan menepati semua janjinya. Ketiga, harus berani bertanggung jawab atas segala keputusan dan tindakannya. Keempat, harus bersikap konsisten.

Seperti umumnya pemimpin masa lalu, Dr Leimena adalah seorang negarawan. Menurut The World Book Encyclopedia, a statesman is a person with a broad knowledge of government and politics, who take a leading part in public affairs. Most people think of statesman being concerned with the needs and interest of their country as a whole. In contrast, they think of politicians as having only party or political aims. Salah satu ucapan dari Winston Churchill yang terkenal ialah, The duty to my party ends when the duty to my country begins.

Leimena adalah pemimpin yang mempunyai visi. Salah satu visi yang menarik ialah tentang ke-Kristen-an dan ke-Indonesia-an. Dia menggunakan istilah double-citizenship. Bagaimanakah kita dapat hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan sebagai warga negara yang sejati dan bertanggung jawab?

Ada beberapa pandangan Dr Leimena yang menarik tentang hubungan gereja dan negara. Pertama, negara berkewajiban menyelenggarakan/memelihara ketertiban itu, dengan demikian menjadi pegawai Allah. Karena Allah dalam Yesus Kristus adalah Tuhan dari dunia dan sorga, maka kekuasaan negara berasal dari Tuhan. Dengan demikian negara tidak mempunyai tujuan dan norma dalam dirinya. Fungsi yang diberikan kepada negara ialah memelihara ketertiban itu atas dasar Hukum dan Keadilan, dan menciptakan kemungkinan kepada warga negara untuk bertindak sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Kedua, gereja harus turut serta menegakkan ketertiban tersebut di atas. Ia tidak dapat membagi kehidupannya ke dalam dua lapangan yang terpisah sama sekali: kehidupan batin dan kehidupan politik, tetapi kerajaan Allah harus dikabarkan dalam semua lapangan kehidupan, juga dalam lapangan politik. Menurut panggilannya dalam lapangan politik ini, ia tiap kali harus menentukan sikapnya yang bergantung pada situasi dan soal yang dihadapinya.

Latar Belakang

Wajar kalau muncul pertanyaan, adakah pengganti Dr Leimena pada saat ini? Kita tahu bahwa pemilihan pimpinan tingkat nasional tidak harus dipengaruhi dikotomi sipil-militer, tua-muda, Jawa-non Jawa dan Islam-non Islam. UUD memperbolehkan orang non-Jawa dan non-Islam untuk menjadi Presiden RI. Tetapi, wajar kalau saat ini orang Jawa memilih tokoh Jawa dan orang Islam memilih Muslim menjadi Presiden. Perkembangan sejarah di banyak negara menunjukkan bahwa latar belakang suku dan agama secara perlahan menurun pengaruhnya.

Sebenarnya pada Pilpres 2004 sudah hampir muncul pasangan capres/cawapres Kristen yang didukung oleh PDS dan sejumlah partai kecil, tetapi konon gagal mencapai kesepakatan dalam negosiasi yang terkait dana. Memang tidak mudah untuk mencari tokoh yang layak dicalonkan, tetapi bukan berarti tidak mungkin atau tidak ada. Saat ini tokoh partai di tingkat nasional beragama Kristen yang menonjol adalah Ruyandi Hutasoit, Mangindaan, dan Theo Sambuaga. Gubernur beragama Kristen yang menonjol prestasinya adalah Gubernur Sulawesi Utara Harry Sarundayang dan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Tentu masih ada lagi potensi lain.

Salah satu dari mereka bisa dipasangkan sebagai cawapres dengan tokoh beragama Islam sebagai capres. Kalah menang bukanlah masalah utama. Yang penting ialah menunjukkan kepada dunia internasional bahwa sesuai UUD, Indonesia bisa menerima cawapres (bahkan mungkin saja capres) beragama Kristen.

Penulis adalah Pengasuh Pesantren Tebuireng


Sumber: Suara Pembaruan, 10 Desember 2007

Nov 3, 2007

Karya indah dari surga

Puisi yang Memabukkan
Oleh: Lan Fang

Bahwa membaca puisi Tiongkok klasik adalah opium. Membacanya adalah menyedotnya dalam-dalam sampai pada suatu tahap tertentu tidak mampu lagi membayangkan apa pun, kecuali bukit, sungai, pohon yangliu, perahu, deru angin, dan suara aneh orang-orang yang harus berpisah mesti tidak menginginkannya. Ini yang ditulis Sapardi Djoko Damono sebagai ulasan penutup Purnama di Bukit Langit, antologi puisi Tiongkok Klasik.

Pendapat itu tidak berlebihan karena sepanjang membaca buku yang memuat himpunan puisi sebanyak 560 buah dari berbagai macam era dinasti Tiongkok itu memang sarat dengan keindahan. Bukan sekadar mendapatkan tamasya kata-kata, tetapi juga terdapat banyak catatan kaki yang menjelaskan arti syair-syairnya. Buku antologi ini membawa pembacanya untuk berkelana memahami filosofi Tiongkok kuno.

Hal ini tidak aneh karena Tiongkok memang dikenal sebagai negeri puisi yang mencapai pematangan pada masa Dinasti Tang (618-907). Bahkan, bisa dikatakan, puisi yang dihasilkan bangsa Tiongkok diperkirakan jumlahnya lebih banyak daripada gabungan seluruh puisi yang ditulis bangsa-bangsa lain di dunia. Kedudukan puisi dalam perkembangan Tiongkok sebagai negara sangat penting. Bukan sekadar menjadi bahasa ungkap, simbol-simbol, pepatah, atau syair lagu, tetapi kebanyakan para pejabat, petinggi negara, dan raja menggubah puisi. Bahkan puisi menjadi pelajaran wajib yang dijadikan barometer ujian negara dalam merekrut calon birokrat. Itu sebabnya, sebenarnya, buku antologi puisi Tiongkok Klasik ini bukan sekadar menyajikan keindahan alam sebagai metafora dalam susunan kata-kata, tetapi juga menceritakan tentang perjalanan politik suatu bangsa, peperangan, kebudayaan, juga kerinduan kepada kampung halaman, sebagai cermin kehidupan masyarakat yang terjadi pada masa dinasti tertentu.

Puisi juga merupakan catatan sebuah waktu dan generasi. Maka, bila membandingkan buku antologi puisi ini dengan buku antologi puisi penyair Indonesia keturunan Tiongkok, akan ditemukan jejak yang tergerus zaman yang terus berderap dan kebudayaan di mana penyair itu berada.

Contohnya ketika penyair mengungkapkan kematian, terlihat banyak perbedaan cara ungkap yang disesuaikan dengan kondisi setempat.


Mengubur Bunga -- Cao Xueqin (1615-1763: Dinasti Qing)

Bilur yangliu daun olma subur merimbun sendirian,
Tak pedulikan persik terbang prem yang bertebaran,
Tahun depan persik-prem sanggup kembali mekar,
Tahun depan siapakah yang berada di tengah kamar?


Cing Bing -- Tan Lioe Ie (antologi Malam Cahaya Lampion, Bentang, Mei 2005)

Untuk Giam Lo Ong
Dibelah semangka merah
Sebab tertulis di langit :
Belah semangka merah
Tak putus garis keturunan.


Bapakku Telah Pergi -- Mardi Luhung (antologi Ciuman Bibirku Yang Kelabu: Akar, Maret 2007)

Bapakku telah pergi,
Menemui pembakaran
Ruang suci tempat selesaian

Tapi ekor-ekor yang ditinggalnya
Membelit tubuhku
Menciptakan jarak, yang ujungnya

Cao Xueqin memuisikan kematian dengan keindahan alam yang digambarkan melalui bunga dan burung sebagaimana masyarakat Tionghoa meninggal pada zaman itu dikuburkan di pegunungan. Sedangkan Tan Lioe Ie mengawinkan legenda klasik Sampek Engtay dengan mitos ritual semangka merah. Tetapi Mardi Luhung, penyair yang terlahir dari bapak Tionghoa dan ibu Jawa, dan kini bermukim di daerah pesisir, memandang kematian adalah prosesi yang disamakan dengan laut dan ikan-ikan. Perbandingan ini menarik untuk disimak karena bagaimana pun latar belakang penyair akan masuk dalam puisi-puisinya.

Dalam buku antologi puisi Tan Lioe Ie Malam Cahaya Lampion, masih bisa diendus aroma Tiongkok walaupun hanya dalam mitos ritual yang dipergunakan sebagai eksplorasi ide. Kita masih bisa menemukan simbol-simbol oriental seperti naga, dupa, dan arak. Tetapi pada buku puisi Mardi Luhung Ciuman Bibirku Yang Kelabu, hanya dapat ditemukan jejak "kecinaannya" pada sebuah puisi yang bercerita tentang prosesi kremasi. Sebuah kecinaan yang ambigu, mengingat sekarang bukan orang Tionghoa saja yang meninggal dengan cara dikremasi. Pada masyarakat Bali kita mengenal ritual pembakaran jenazah yang disebut ngaben.

Antologi puisi klasik Tiongkok ini juga layak dijadikan pembelajaran bahwa untuk menerjemahkan puisi dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia bukan sekadar menguasai kedua bahasa itu sama baiknya. Tetapi, juga harus kaya dengan kosa kata yang sesuai, membuatnya menjadi tetap enak dibaca, tanpa mengubah makna aslinya.

Ini sesuatu yang tidak mudah, mengingat puisi klasik Tiongkok bukanlah bagian dari budaya lisan seperti halnya pantun dalam sastra Melayu yang mempunyai rima. Tetapi puisi klasik Tiongkok adalah budaya tulis yang dibuat dari aksara-aksara simbol, sehingga tidak mengenal adanya rima. Bila dalam terjemahan Zhou Fuyuan ini ada "permainan" bunyi, sudah tentu mengandung risiko pergeseran makna yang merupakan "pengkhianatan" pada makna aslinya.

Tetapi, Sapardi Djoko Damono menghalalkan adanya "pengkhianatan" dari penerjemahan puisi klasik Tiongkok ini karena sebagaimana karya terjemahan lainnya, tidak mungkin bisa diterjemahkan sesuai bahasa aslinya karena akan menjadi kaku. Ketika sebuah karya diterjemahkan, bisa jadi karya tersebut menjadi karya penerjemahnya, bukan lagi menjadi karya penyair aslinya. Sebagaimana antologi puisi klasik Tiongkok ini, begitu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ia sudah menjadi bagian dari kesusasteraan Indonesia.

Buku antologi puisi klasik Tiongkok ini tidak hanya bermanfaat karena merupakan studi banding kesusastraan, tetapi di dalamnya memuat ringkasan biografi 17 penyair penting Tiongkok: Qu Yuan, Tao Yuanming, Wang Wei, Li Bai, Du Fu, Bai Juyi, Li He, Li Shangyin, Li Yu, Liu Yong, Su Shi, Li Qingzhao, Lu You, Xin Qiji, Guan Hanqing, Chen Weisiong, dan Nalan Xing. Untuk kepentingan apresiasi pembaca, puisi-puisi yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia juga tetap menyertakan puisi aslinya.

Jadi, wajar bila bagi Sapardi Djoko Damono menikmati puisi klasik Tiongkok ini bukan sekadar untuk mendapatkan makna dari kata-kata yang berjajar, tetapi juga keindahan visual yang terpancar dari hasil permainan pena penyairnya dalam wujud kaligrafi (tanpa perlu mengerutkan kening untuk mereka-reka artinya).

Judul Buku : Purnama di Bukit Langit
Penulis : Zhou Fuyuan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, April 2007
Tebal : 367 Halaman

Sumber: http://www.gramedia.com/wacana.asp?id=070911152217


*) Lan Fang, cerpenis, tinggal di Surabaya



Oct 28, 2007

Bahasa Indonesia: Pemersatu atau pembauran?

ASAL USUL
Engdonesian

Ariel Heryanto

Bahasa Indonesia, seperti bangsa Indonesia, sejak dari sono-nya merupakan gado-gado alias campuran atawa indo bin blasteran, binti hibrid. Dalam bahasa kita, mengalir lancar istilah Melayu, Jawa, India, China, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, dan seterusnya. Sama sekali ini bukan cela, noda, atau bencana. Tapi juga bukan barang unik, atau berkah istimewa. Itu ciri milik semua bahasa dan bangsa mutakhir.

Di mata para peneliti, masuk-keluar dan nongkrong-nya istilah yang semula asing ke tubuh bahasa Indonesia itu tidak kebetulan, atau acak-acakan. Ada polanya. Dan pola itu tidak sama dari zaman ke zaman.

Yang namanya Soempah Pemoeda 1928 lahir dari sebuah kongres yang membahas makalah-makalah berbahasa Belanda yang ditulis pemuda-pemudi Indonesia. Di kalangan orang sekolahan pada generasi itu, bahasa-bahasa Eropa perlu dikuasai sebaik-baiknya. Bukan hanya untuk kepentingan karier pribadi, tapi juga kepentingan bangsa dan "kemajuan" alias modernitas masyarakat ini.

Lazim sekali cendekia pribumi lulusan sekolah kolonial pada masa itu menguasai dua atau tiga bahasa Eropa sekaligus. Tapi, bagaimana pun fasihnya, bagi mereka bahasa-bahasa Eropa itu merupakan bahasa asing. Semacam alat yang bisa dipakai bila diperlukan, atau dilepas bila tidak diperlukan. Mereka tetap menggunakan bahasa-bahasa daerah di Nusantara, sebagai bahasa-ibu.

Di sinilah ironisnya. Berbagai bahasa asing dan Nusantara berhamburan setiap kali Presiden Soekarno berpidato. Tapi, dia juga presiden yang paling galak menentang politik imperialisme Barat, pimpinan Amerika Serikat. Ia menentang masuknya musik pop Barat dan memenjarakan musikus Indonesia yang ikut-ikutan musikus pop Barat.

Pada masa Orde Baru, ironi berlanjut, tetapi secara terbalik.

Sejak revolusi kemerdekaan, dan terlebih-lebih lagi sejak berjayanya pemerintahan Orde Baru, terjadi banjir modal dan budaya pop dari Barat, khususnya Amerika Serikat. Bukan cuma Coca-Cola, tetapi juga slogan dan iklannya. Bukan cuma banjir film Holywood, tapi juga jazz, rock, pop top 40, soul, raegge, punk, dan hiphop. Bertolak belakang dengan semangat revolusioner pemerintahan sebelumnya, sejak Orde Baru pemandangan kota-kota Indonesia dipadati istilah Inggris. Kursus bahasa Inggris versi Amerika hiruk-pikuk menggantikan serunya pawai partai di zaman sebelumnya.

Ironisnya, bersamaan dengan semua itu terjadi kemerosotan yang mencolok pada rata-rata kemampuan cendekiawan di negeri itu dalam berbahasa Inggris secara formal. Yang lebih parah, para pemimpin nasional Orde Baru bahkan tampak kerepotan berbicara, apalagi menulis, bahasa Indonesia.

Maka tidak aneh, sepuluh tahun setelah merasakan enaknya kekuasaan negara, di tahun 1975 pemerintah Orde Baru menyediakan modal besar-besaran untuk program Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hasilnya? Sampai di akhir masa kekuasaannya, Soeharto si "Bapak Pembangunan Indonesia" kesusahan berbicara bahasa Indonesia secara "baik dan benar". Apalagi berbahasa asing!

Bagaimana dengan bahasa anak-anak gaul Indonesia di kedua zaman? Para sarjana asing (Ben Anderson, Krishna Sen, dan David Hill, misalnya) mencatat pergeseran yang serupa. Sebelum bangkitnya Orde Baru, istilah-istilah Inggris berhamburan dalam komik, karikatur, atau juga grafiti. Semuanya tampil sebagai bahasa milik bangsa asing yang ditolak atau digairahi. Hal serupa masih berlanjut dalam film nasional Indonesia di zaman Orde Baru. Dalam film di masa itu, bahasa Inggris, seperti wajah Indo berperan sama dengan gambar adegan film yang diambil di negeri-negeri bermusim empat. Semuanya hiasan tempel pemikat konsumen. Semuanya serba asing dan tidak menjadi bagian terpadu dari kisah yang dituturkan.

Tapi itu pada film. Ceritanya lain pada bacaan pop. Sejak berjayanya Orde Baru, bahasa Inggris menjadi bagian yang tidak bisa dihindarkan oleh generasi novelis Lupus, majalah Hai, atau Gadis. Apalagi sejak RCTI mengudara, dan disusul MTVAsia.

Sekarang generasi gaul Orde Baru dan pasca-Orde Baru kesusahan menyelesaikan satu kalimat berbahasa Indonesia tanpa menggunakan istilah Inggris. Maka, suka atau tidak suka Engdonesian menjadi lingua franca generasi gaul Indonesia di kota-kota: "Hei bebi, long time no see. Lho apa ini? Oh, ngasih oleh-oleh? For mi? Repot-repot aja. Waduh, so lovely! Ai laf yu. Tengku ya. Nanti malam bisa ikutan diner ama kita-kita? Aku sudah buking-in buat kamu. Plis join as. Gitu dulu, ya. Bai-bai."

Tadinya selama berpuluh tahun di sekitar kita hanya ada Taglish (Tagalog English) dan kemudian Singlish (Singaporean English). Di negeri kita lain. Belanda enggan mengajarkan bahasa Eropa pada kaum terjajah di Hindia Belanda. Maka, sesudah puluhan tahun Belanda pergi, Indonesia tidak pernah mengalami gejala post-kolonial. Yang ada hanya gejala kolonial dan antikolonial berkelanjutan.

Sebagai orang yang bertahun-tahun mengkritik propaganda Bahasa Indonesia Baik dan Benar dua puluh tahun lalu, saya sempat terperangah oleh maraknya gejala Engdonesia. Seakan-akan wilayah publik urban di Indonesia saat ini telah menjadi lembaran-lembaran majalah Hai, Gadis, novel Lupus, atau studio MTV Asia. Patut disesalkan? Tidak, untuk saya. Itulah budaya pop urban.

Tapi sejujurnya, Engdonesia membunuh selera baca saya ketika ramai-ramai dipakai wartawan untuk menyampaikan laporan jurnalistik resmi atau oleh penulis kolom di media cetak.

Saya kagum kreativitas anak-anak muda sekarang menciptakan istilah-istilah baru untuk berkirim SMS. Seperempat abad lalu, generasi saya punya padanannya, berkat adanya telegram. Waktu itu belum ada internet atau faksimile. Kening saya berkerut ketika ada mahasiswa menggunakan istilah-istilah SMS dalam menuliskan tugas kuliahnya.

Sumber: Kompas, 30 Oktober 2005



Make the switch to the world's best email. Get the new Yahoo!7 Mail now.

Oct 10, 2007

Ong Hok Ham

Seorang komentator menulis: "Hanya orang sekelas Ong yang bisa melihat dan menertawakan Lee Kuan Yew. Kita bangga punya sosok tokoh sekelas Ong Hok Ham."

ONG

Catatan Pinggir -- Goenawan Mohamad

ong.gif SEJAK saya melihatnya pada tahun 1962 di sekitar Universitas Indonesia, Onghokham selalu tampak dengan baju dan celana khaki yang kusut. Ia selalu membawa satu tas kulit yang mencong; isinya—buku dan lain-lain—selalu berlebihan. Ia terkadang naik sebuah bromfiets yang mencemaskan karena bergoyang-goyang dengan bunyi sember yang seperti menderita.

Rambutnya sudah menipis, kacamatanya sudah sedikit merosot—satu hal yang mengesankan saya yang baru saja jadi mahasiswa. Cara bicaranya tak berubah sampai dengan masa Reformasi: tak koheren, dengan aksen Jawa Timur yang tak lekang, terkadang agak menyembur, tapi umumnya tak agresif, dan selamanya menunjukkan Ong yang perseptif dalam melihat dan memikirkan sekitar.

Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia mening­gal pekan lalu, ia disebut sebagai "sejarawan". Terutama sejak ia kembali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun 1975. Ia sendiri punya versi lain tentang diri­nya. Ada dua hal yang dia bawa pulang dari Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepandaian memasak. Ia lebih bangga dengan yang nomor dua itu, katanya, tanpa senyum.

Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi jangan-jangan perlu juga dilihat bahwa beda itu tak teramat besar. Keduanya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sentuhan personal.

Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhormat tentu akan berkeberatan dengan kesimpulan itu. Tapi bukan hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak pernah ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu titik dalam waktu. Tiap karya seorang sejarawan bertolak dari masa-kininya sendiri.

Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara tentang "genealogi", yang bisa dikatakan sebagai penulisan alternatif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja pernyataan bahwa yang dituju bukanlah "pengetahuan" dan "kebenaran" tentang masa lalu itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini.

Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Hampir tiap bab tergerak untuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu mungkin sebabnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali yang berdasarkan skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek, hidangan sekali santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya waktu itu—dan hampir selamanya terasa tak selesai.

Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke majalah Tempo, saya punya problem dengan cara Ong menulis: saya selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik. Tapi kemudian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan yang lezat tak pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut.

Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemukakan sebuah kesimpulan dan teori besar. Seperti Sartono Kartodirdjo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa, yang menyebabkan sejarah bagi­nya bukan kisah orang "atas". Ia suka menemukan dan mengemukakan hal ihwal kecil—misalnya "perhitungan hari baik" dalam masyarakat Jawa, atau jumlah gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolonial. Tapi tampaknya ia bukan berambisi untuk jadi seorang Braudel, yang dari detail yang memikat melahirkan sebuah teori (tentang kapitalisme, misalnya) yang memukau. Ong bukan pula seorang sejarawan Marxis, yang dengan teori mengkonstruksikan temuan empiris. Ong menulis dengan cara hampir seenaknya—tak sampai berkeringat seperti ketika ia bekerja di dapur.

Ia seakan-akan dengan sengaja menunjukkan dirinya tanpa kategori. Apakah dia sebenarnya—"sejarawan", "kolumnis", "intelektual publik", "juru masak"—ia tak peduli. Ia keturunan Tionghoa yang akan menampik stereotip warga "kebudayaan Cina"—yang disebut oleh Lee Kuan Yew sebagai "sinic culture", sebuah sistem nilai yang katanya berbeda, bahkan sebuah kontras, dari "indic culture", "kebudayaan ala India". Dengan bangga, pemimpin Singapura itu mau menunjukkan bahwa hanya mere­ka yang berakar pada "kebudayaan Cina" yang cocok buat pembangunan ekonomi: pekerja keras, tak suka berleha-leha, dan pada dasarnya puritan untuk mencapai hasil optimal dalam kerja.

Onghokham menertawakan "teori" Lee Kuan Yew yang sangat dekat dengan pandang­an rasialis itu. "Lee bukan menggambarkan watak orang Cina," katanya. "Gambaran idealnya gambaran seorang Kristen Metodis."

Ong tak menyukai mereka yang puritan, Kristen Metodis, para santri, para saudagar, atau ideolog ala Singapura. Baginya Puritanisme adalah represi demi mencapai surga atau kesempurnaan. Ong jauh dari mere­ka yang peduli akan prestasi tinggi, karya yang sempurna, atau posisi yang terhormat. Ia tak mendapatkan gelar "profesor" karena ia anggap sepele tetek-bengek administratif buat memperoleh gelar akademis itu. Baginya yang memikat justru hal-hal yang dianggap "dosa" oleh Puritanisme: makanan, minuman, waktu bergaul dan bersenang-senang.

Mungkin karena Ong lebih dekat dengan hidup ketimbang intelektual lain yang hanya berkutat pada ide besar tentang "manusia" dan "masyarakat".

Saya ingat malam-malam di pertengahan 1960-an: saya termasuk sekelompok teman yang kemudian dikenal se­bagai penulis (Nono Makarim, Fikri Jufri, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi di warung di Gang Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, dengan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang penuh. Ia gemar mencemooh kami se­bagai "intelektual kota". Mungkin ia hendak meng­ingatkan, kami yang suka omong tentang "Indonesia" acap kali lupa ada yang tak dapat dirumuskan dari sudut kota Jakarta itu. "Indonesia" bukanlah hanya ide. "Indonesia" adalah kehidupan. Dan Ong memang dekat ke dalamnya.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXIIIIII/03 - 9 September 2007~


Sep 27, 2007

Pendekatan Kreatif terhadap Matematika

Belajar itu bukan hanya berarti secara sempit mempelajari suatu mata ajaran, tetapi yg lebih penting adalah bagaimana cara belajar. Inilah dia, bagaimana belajar menyukai pelajaran itu sendiri. Suka karena bisa. Below is a good piece. -- EJ


Ning Esti

Agar Matematika Kian Disuka

SP/Unggul WirawanNing Esti

Bu Ning, begitu sapaan akrabnya. Sosok perempuan sederhana itu adalah guru matematika di SMAN I Temanggung, Jawa Tengah. Semangat dan dedikasinya telah mengantar sejumlah siswa menjadi petarung terbaik kompetisi matematika dunia. Ning berangkat dari premis yang paling sederhana, suka karena bisa.

NING tak berambisi apa pun ketika membentuk klub pencinta matematika. Sepulang sekolah, dia mengumpulkan sejumlah siswa yang ingin mendalami bidang matematika. Meskipun tak mendapat dukungan dari rekan-rekan sekerja, guru lulusan Fakultas MIPA jurusan Matematika Universitas Sebelas Maret Solo ini pantang menyerah. Tanpa target apa pun, klub itu berjalan seadanya. Sang suami, yang kebetulan juga guru pelajaran kimia di SMA di Kebumen juga mendukungnya.

"Buat apa tambah waktu jam pelajaran sampai sore hari? Kok tidak buat keluarga saja. Kamu dapat apa, to?" tutur Ning menirukan ucapan-ucapan yang mempertanyakan motivasinya.

Ning menuturkan, tahun 1999, kelompok belajar Matematika SMAN I Temanggung dimulai dengan pelajaran biasa. Tidak ada yang istimewa. "Namun beberapa anak tampak menonjol, saya kasih kuis, kok bisa. Lalu tercetus ide untuk membuat klub matematika," tuturnya.

"Saya tidak berpikir apa-apa. Kegiatan ini tidak dianggarkan dan tidak dikelola sekolah. Sendiri-sendiri saja. Kami kumpul-kumpul membahas materi-materi yang menantang dan aneh. Di luar dugaan, dari yang sedikit itu malah menemukan yang lebih," ujarnya ketika menghadiri Pelatihan Guru dan Kepala Sekolah oleh Tanoto Foundation di Balikpapan, Kalimantan Timur, baru-baru ini.

Kerja keras Ning Esti tidak percuma. Murid-murid di kelas I yang diajarnya, ternyata mulai menyukai matematika. Sekalipun kerap dianggap pelajaran momok, matematika ala Ning Esti ternyata mulai disukai. Secara tidak langsung, perempuan kelahiran Cilacap 25 Agustus 1962 ini mengembangkan metode belajar yang efektif.

"Ada anak-anak yang agak lebih diberi jalan dan didorong hingga maksimal. Kebetulan mereka bisa menjelaskan ke teman-temannya. Rupanya, tanpa sadar, saya sudah melakukan metode cooperative learning. Bahasan anak ke anak berbeda jika saya yang menerangkan," katanya.

Menurut Ning, metode pembelajaran itu dirasa sangat membantu tugasnya sebagai pengajar. Di sisi lain, metode cooperative learning dapat mengungkap masalah-masalah yang dihadapi sejumlah anak yang tidak menyukai matematika.

"Saya akhirnya tahu, satu anak tidak suka matematika bukan karena materi SMA lebih sulit. Dia tidak suka gara-gara tidak bisa hitung pecahan. Saya akhirnya tahu kesulitan mereka di mana," tambahnya.

Membuahkan Prestasi

Suatu ketika, kata Ning, ada seorang siswa kelas I, bernama Nanang Susyanto. Anak itu dari keluarga tidak mampu. Ayahnya sehari-hari bekerja sebagai tukang reparasi payung. Nanang pernah menyampaikan maksudnya untuk mendapatkan beasiswa. Namun, permintaan itu ditolak karena dia belum dapat menunjukkan prestasi.

"Saya kasih semangat. 'Sudah kamu belajar saja dengan baik, tunjukkan prestasimu'. Lalu saya terus menutup SPP-nya. Sampai enam bulan, ternyata ada lomba matematika tingkat kabupaten, dia muncul sebagai juara III. Lalu berikutnya, dia menjadi juara di tingkat provinsi," kenangnya.

Ning Esti rela mengorbankan waktu dan tenaga untuk profesi sebagai guru. Dedikasi dan ketulusan hatinya dibuktikan saat Nanang akan mengikuti kompetisi tingkat internasional. Dia mengajak teman-teman seprofesinya menyumbangkan uang yang kemudian dibelikan baju, sepatu, dan pakaian dalam. Ning khawatir, Nanang yang potensial, kalah mental sebelum bertanding hanya akibat penampilan yang apa adanya.

Tahun 2004, berkat gemblengan Ning, Nanang akhirnya menjadi juara International Mathematical Olympiad ke-45 (IMO) di Yunani. Nanang kini menjadi mahasiswa jurusan Matematika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Jika kembali ke kampung halamannya, Nanang sering berbagi soal-soal matematika dengan mantan gurunya itu.

Buah kerja keras Ning tidak hanya tercermin dari prestasi yang diraih Nanang. Pada tahun 2004 juga, Ning berhasil membawa muridnya meraih medali emas Olimpiade Sains Nasional ke-3 di Pekanbaru, Riau.

Tidak dimungkiri, gaya mengajar Ning Esti cukup efektif dan disukai para muridnya. Alhasil, meskipun resminya mengajar di kelas I, Ning juga "dicari" murid-murid kelas II dan kelas III yang ingin belajar bersama. Uniknya dia tak merasa malu jika gagal memecahkan soal.

"Sama anak-anak, saya sering tanya-tanya. Kadang sama Nanang kalau dia pulang. Saya merasa berdosa kalau melihat anak-anak berpotensi didiamkan saja. Jadi, meskipun tidak digaji atau apa, saya ikhlas. Tuhan itu mahakaya. Ternyata saya dipanggil menjadi guru untuk membina anak-anak ikut olimpiade," tuturnya.

Meskipun sukses mengantar sejumlah murid berprestasi di ajang internasional, Ning tetap pribadi yang bersahaja. Bahkan sepulangnya dari pembinaan guru matematika di Bandung, dia tak cukup piawai memecahkan soal yang ditanyakan murid. Di sisi lain, kepolosan Ning ternyata disukai murid-murid yang merasa tidak digurui.

"Gurunya tidak bisa, kok katro ya. Begitulah, kata kuncinya, guru jangan pernah berhenti belajar. Saya percaya itu. Kalau guru yang ilmunya lebih tinggi, menjawab soal cukup setengah halaman, tapi saya bisa sampai enam lembar. Tapi justru yang seperti ini, anak-anak jadi suka. Kami dapat belajar bersama, dan murid pun bahkan bisa mendebat," kelakarnya.

Kini, Ning Esti tercatat sebagai salah satu instruktur di Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika SMA. Setelah berbagai prestasi internasional diraih, klub matematika SMAN I Temanggung mendapat dukungan penuh. Selain honor, dia juga mendapatkan berbagai fasilitas. Banyak orang meyakini, Ning Esti memang guru teladan yang berdedikasi.

"Saya masih harus mendidik anak saya. Dua laki-laki, dan satu perempuan. Anak laki-laki saya tidak suka matematika. Maunya olahraga terus. Ini juga persoalan yang sulit," ujar ibu tiga anak ini sambil tersenyum. [SP/Unggul Wirawan]


SP, 4/9/07

Sep 23, 2007

Meliput agama dalam berita

Tantangan Mengelola Media yang Berkualitas & Menarik

SP/Rina Ginting - Sejumlah pembicara pada acara diskusi panel bertema �Reporting Religion as News�.

[JAKARTA] Kristen terpanggil untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah, di mana berbagai masalah muncul satu per satu, melalui pelayanan multidimensi dan multibidang. Kristen juga ditantang untuk mengelola media yang berkualitas dan menarik. Injil sebagai Kabar Gembira jangan sampai dibatasi hanya sebagai kabar sukacita tentang surga, tetapi juga dunia; bukan hanya rohani, tapi juga jasmani.

Hal ini dikatakan Dr Victor Silaen, pengamat politik dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Jakarta dalam acara diskusi panel yang bertema "Reporting Religion as News", yang diselenggarakan INKommunity, komunitas wartawan Kristen, Jumat (21/9) di Jakarta.

Selain Victor, tampil Kristanto Hartadi, Pemimpin Redaksi Sinar Harapan dengan tema "Mengembangkan Berita Agama di Media Mainstream", Adiputra, konsultan radio, "Tantangan dalam Mengelola Radio Kristen", serta Don Bosco Salamun, anggota Komisi Penyiaran Indonesia dengan tema "Tren Program Bernuansa Agama di Televisi".

Dengan tema "Mengembangkan Jurnalisme di Media Ministri", Victor Silaen menjelaskan pelayanan kristiani bukan hanya berorientasi keterbebasan dari dosa, tetapi juga keterbebasan dari pelbagai belenggu dan tekanan yang membuat hidup ini terasa begitu susah dan sengsara, semisal kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan yang sejenisnya.

Jadi, pelayanan kristiani haruslah dikembangkan seluas-luasnya agar mampu menjawab pelbagai tantangan kehidupan dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang makin komplek itu.

Selain itu, kata Pemimpin Redaksi Tabloid Dwi Mingguan Reformata itu, penting pula dipikirkan upaya-upaya strategis agar terjadi koordinasi dan kooperasi yang baik di antara sesama kelompok atau lembaga pelayanan kristiani.

Tujuannya, agar semua visi pelayanan itu dapat diwujudkan secara lebih efektif dan efisien. Di dalam hal inilah terasa betapa penting dan perlunya media informasi-komunikasi - baik cetak, elektronik, maupun audio-visual.

Victor Silaen menegaskan pentingnya media. Dengan adanya media, kita selaku komunikator (pihak penyampai pesan) dapat memperoleh beberapa keuntungan, antara lain: 1) informasi-informasi yang akan disampaikan dapat direncanakan atau dipersiapkan agar lebih baik dan menarik; 2) informasi-informasi yang disampaikan dapat menjangkau masyarakat luas; 3) informasi-informasi yang sudah disampaikan tak lekas berlalu begitu saja karena dapat disimpan dalam bentuk cetakan (buletin, jurnal, majalah, tabloid, dan yang sejenisnya), atau rekaman (kaset, video, dan yang sejenisnya), atau terpampang lama di komputer (internet);4) kita juga dimungkinkan untuk memperoleh umpan-balik (respons) dari komunikan dalam bentuk informasi baru yang memerkaya, masukan, usulan, kritik, dan lainnya.

Dengan beberapa keuntungan itu saja, tambahnya, menjadi jelaslah bahwa sesungguhnya media informasi-komunikasi bukan hanya dapat berfungsi sebagai sarana penghubung, tetapi juga pendukung. Terlebih di zaman serba-modern yang membuat waktu menjadi terasa kian berharga ini.

Mengapa harus repot-repot, misalnya, untuk berbicara di sana-sini atau pergi ke sana-sini untuk menyampaikan informasi jika ada media yang dapat membantu atau bahkan menggantikan upaya manusia untuk tujuan itu? Sekaitan itu, maka Kristen ditantang untuk mampu mengelola sekaligus mengembangkan media massa yang baik, berkualitas, dan menarik.

Pilar Keempat Demokrasi

Menurut Victor Silaen, pentingnya Kristen melibatkan diri dalam pelayanan media massa dewasa ini adalah, karena media massa juga telah dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Untuk dapat mewujudkan peran strategis tersebut, media harus mampu menjaga jarak terhadap lembaga-lembaga kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), juga terhadap kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi di luar negara.

Hanya dengan demikianlah media niscaya dapat memerankan dirinya secara maksimal sebagai kekuatan pengontrol, yang terus-menerus bersuara kritis. Dampaknya, secara relatif praktik korupsi dapat dikurangi. Di samping itu, media massa juga dapat memerankan dirinya sebagai sosialisator yang secara intensif dapat menyebarluaskan ide-ide dan pemikiran-pemikiran penting untuk membangun moral dan mental bangsa.

Namun diakuinya, upaya mewujudkan peran-peran yang strategis dan ideal seperti itu tidaklah mudah. Para pengelolanya (baik redaksi maupun non-redaksi) harus betul-betul profesional dan berwawasan luas. Di samping itu, ketersediaan dana yang mendukung tugas-tugas operasional juga harus betul-betul menjadi perhatian.

Jika tidak, maka khususnya jajaran redaksi bisa terjebak pada beberapa hal berikut. Pertama, kecenderungan menjadi jurnalisme dinamit (dynamite journalism ). Yang dimaksud dengan itu adalah laporan yang dipublikasikan media hanya membuat hingar-bingar karena terdengar lantang, tapi setelah itu sunyi-senyap.

Dalam perang melawan korupsi, misalnya, peran media massa di Indonesia masih sebatas pemandu sorak (cheerleaders) atau corong pengeras suara (megaphones) dari kelompok antikorupsi atau aparat yang menangangi kasus korupsi. Mungkin karena wartawannya tidak menyelidiki kasus korupsi itu sendiri, melainkan hanya menunggu hasil laporan para penyelidik resmi atau partikelir.

Jadi, pihak media tidak melakukan investigative reporting terhadap kasus-kasus korupsi, melainkan hanya reporting on investigation. Penyebabnya, ya karena itu tadi, kurangnya sumber dana (dan sumber daya), yang membuat wartawan jarang sekali mendapatkan tugas mengungkap sebuah kasus dalam jangka waktu panjang.

Mereka hanya menjalankan tugas rutin pencarian berita sehari-hari yang tidak mendalam dan menanti datangnya informasi atau bocoran sumber mengenai kasus-kasus besar yang bisa meledak di media massa.

Dia memberi contoh di Afrika Selatan, dengan kecenderungan yang disebut jurnalisme meja (desk journalism). Dalam hal ini, wartawan hanya duduk di ruang redaksi untuk menerima telepon dari seseorang yang menceritakan ihwal penyimpangan, skandal atau perselingkuhan tokoh-tokoh tertentu dan menawarkan bukti-buktinya.

Berdasarkan itu kemudian dibuatlah laporan jurnalistik. Kesannya, berita tersebut merupakan laporan investigasi. Padahal, bukan hasil investigasi, melainkan hasil pembocoran pihak tertentu kepada wartawan.

Namun, bagaimana pun, kata Victor Silaen, pemberitaan-pemberitaan dengan ciri-ciri seperti di atas tetap diperlukan. Selain sebagai informasi, ia juga bisa menumbuhkan dorongan moral bagi rakyat dan kelompok-kelompok antikorupsi untuk terus berjuang memerangi korupsi. Dengan kata lain, berita tangan kedua tetap lebih baik ketimbang tak ada berita (korupsi) sama sekali.

Menurur Victor, Kristen harus menyikapi peluang pelayanan di bidang media karena, pertama, pelayanan di bidang ini jelas sangat strategis dan efektif untuk tujuan apa pun - baik pekabaran Injil, mencerdaskan bangsa, memberdayakan rakyat, mengontrol kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi negara maupun non-negara, dan lain sebagainya.

Kedua, atas dasar itulah, maka jika Kristen ingin menggarap bidang ini, tak bisa tidak, diperlukan keseriusan, kerja-keras, dan ketersediaan sumber-sumber daya sekaligus sarana-prasarana pendukung yang memadai. Kalau semua prasyarat itu terpenuhi, maka selanjutnya tinggal memilih mau masuk ke media apa - cetak, radio, atau televisi.

Tetapi, sebaliknya, kalau semua prasyarat itu tidak terpenuhi atau hanya terpenuhi sebagian saja, maka lebih baik berpikir seribu kali sebelum memulainya. Sebab, bidang ini bukanlah bidang yang mudah digarap - apalagi dikembangkan. Karena itu, jika pun tetap ada keterpanggilan untuk masuk ke bidang ini, lakukan saja secara individual (bergabung dengan media tertentu), tak usah menunggu harus secara kolektif (membangun media sendiri).

"Agak pesimistis, memang, jika mengamati bahwa selama ini tak terlalu banyak orang Kristen yang terpanggil untuk menggumuli pelayanan di bidang ini secara serius. Boleh jadi karena prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi memang sangat sulit (terutama yang menyangkut sumber daya dan sumber dana). Tetapi, herannya, mengapa untuk membangun partai politik (yang belum tentu strategis dan efektif sebagai wadah pelayanan) ternyata banyak juga orang Kristen yang merasa terpanggil. Padahal, untuk mempersiapkannya saja, dari segi dana sudah meminta pengorbanan yang sangat besar", katanya.

Ditambahkannya, kalau begitu, mungkin kita boleh juga optimistik, karena ternyata ada juga orang-orang Kristen yang mau mengorbankan diri begitu besarnya untuk sebentuk pelayanan yang (diasumsikan) tidak terlalu strategis dan efektif.

Artinya, kalau saja mereka bisa diyakinkan akan pentingnya pelayanan di bidang media, boleh jadi prasyarat-prasyarat yang dibutuhkan itu tak terlalu sulit lagi untuk dipenuhi. [R-8]


Sumber: Suara Pembaruan, 22/9/07

Aug 31, 2007

Thamrin, Tak Cuma Memikirkan Banjir dan Gang Becek

PADAMU NEGERI
M.H. Thamrin dan Jakarta kita

repro
M.Hoesni Thamrin dan istri
Menyambut ulang tahun kota Jakarta yang ke-480 tahun ini, rasanya elok juga kalau kita ketengahkan kembali profil tokoh pejuang Mohammad Hoesni Thamrin. Perjuangan dan juga pemikiran-pemikiran tokoh asal Betawi ini rasanya masih kontekstual hingga kini.

Thamrin tak cuma memperjuangkan orang Betawi dan lingkungannya, tapi juga membela saudara sebangsanya yang kala itu masih terjajah.

Mohammad Hoesni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi setelah Bupati.

Mat Seni, begitu panggilan akrab Thamrin, dikenal sebagai orang yang mudah bergaul dengan siapa saja dan dari golongan sosial mana pun. Pengalaman masa kecil inilah yang banyak memengaruhi ide-ide politik yang ia lontarkan saat duduk di dewan kota, yaitu ide-ide tentang keberpihakan Thamrin pada rakyat.

Thamrin pernah bekerja di perusahaan perkapalan milik maskapai swasta Belanda bernama Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Di sinilah ia berkenalan dengan Van Der Zee seorang sosialis Belanda yang juga anggota Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) Batavia. Perkenalan dengan Van Der Zee inilah yang memberi kesempatan pada Thamrin untuk menyuarakan aspirasinya dengan menjadi anggota di Geementeraad Batavia oada tanggal 29 Oktober 1919.

Di Geementeraad Batavia, Thamrin merupakan figur yang berpihak pada rakyat pribumi. Ia pernah mengatakan: "Tuan kepala, saya duduk dalam Dewan Kota bukan sebagai perwakilan dari K.P.M, tetapi sebagai wakil rakyat Betawi, maka tuan jangan lupa bahwa saya adalah bagian dari rakyat itu."

Demi kepentingan perjuangan kemerdekaan, atas usul Hoesni Thamrin, pada tahun 1930 dibentuk anggota Dewan Rakyat Bangsa Indonesia yang kemudian diberi nama Fraksi Indonesia di Volksraad (Dewan rakyat). Tujuan Fraksi Indonesia yang dikepalai oleh Mohammad Hoesni Thamrin ini adalah untuk lebih menyatukan langkah perjuangan.

KCM/Jodhi Yudono
Para pendukung pementasan teater Abang Thamrin dari Betawi oleh sanggar Pelakon sedang berziarah ke makam M.Hoesni Thamrin (Mei 2007)

"Toedjoean dari Fraksi Nasional adalah menoentoet kemerdekaan Indonesia, oleh karena kami jakin, hanja dengan kemerdekaan dapat mentjapai masjarakat Indonesia jang sempoerna," ungkap Thamrin.

Thamrin juga membela didirikannya kantor berita Indonesia serta penggunaan bahasa Indonesia di semua tingkatan pemerintahan, dewan, serta penggunaan resmi kata "Indonesia" dan "bangsa Indonesia".

"Memoelikan dan memadjoekan bahasa Belanda dan mengasingkan bahasa sendiri lambat laoen membawa keroegian jang poela, biarpoen masa ini beloem terlihat. Bukankah bangsa jang hilang bahasanja moedah akan hilang poela kebangsaanja?" ujar Thamrin kala itu.

Demi kepentingan perjuangan bangsa, Mohammad Hoesni Thamrin kemudian menghibahkan gedung Kenari kepada kaum pergerakan kebangsaan, yaitu organisasi PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Beliau kemudian menamakan gedung tersebut Gedung Permufakatan Indonesia.

Adalah Thamrin juga yang sekali lagi memainkan peran utama selama perayaan dan Kongres Indonesia Raja pertama, dan kegiatan seputar penyambutan terhadap kembalinya Soekarno ke arena politik dengan dikuranginya separuh hukuman penjara Soekarno.

Seperti yang dijuluki oleh De Jong; 'gerakan pribumi menjadi lebih lebih jauh lebih pintar dan benar-banar menggunakan otak'. Dalam kenyataannya Thamrin menyadari ia berada dalam permulaan kehidupan politik dengan posisi pandangan kooperatif dengan usaha keras mendapatkan manfaat politiknya. Aksi semacam itu terlambat disadari Soekarno, sesuai yang diakuinya kepada Thamrin pada tahun 1933, juga oleh Hatta dan Syahrir.

Thamrin dan Soekarno mempunyai banyak makna. Menyebut nama mereka berati belajar dari sejarah temntang kerjasama seorang Thamrin politikus yang bekerja "dari dalam sistem". Keterlibatan Thamrin dalam semua peristiwa penting yang dialami Soekarno sangan signifikan: dia hadir pada saat Soekarno diadili dan dipenjara. Thamrin hadir saat Soekarno dibuang ke Ende juga memprotes penahanan Soekarno di Volksraad. Sampai pada akhirnya Thamrin dihukum tahanan rumah setelah Soekarno berkunjung ke rumahnya.

Dalam sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan, Thamrin untuk selamanya tercatat sebagai tahanan politik yang meninggal di tangan penguasa kolonialisme Belanda. Sebagai sesama pejuang kemerdekaan, hubungan dengan Soekarno juga meninggal sebagai tahanan politik, tetapi juga sebagai tahanan bangsanya sendiri, penguasa kejam rezim miiliterisme Orde Baru.

Saat Thamrin mangkat, sekitar 2000 orang atau lebih rakyat Indonesia menghantarkan jenazah Mohammad Hoesni Thamrin ke pemakaman Karet. Suasana ini menunjukkan bagaimana Mohammad Hoesni Thamrin sangat dihormati dan bahkan dicintai oleh rakyat sebagai seorang pejuang yang gigih membela rakyat Indonesia sampai titik darah penghabisan.

Dalam penghormatan terakhir tersebut hadir berbagai tokoh seperjuangan dengan Mohammad Husni Thamrin. Di antaranya ketua umum Parindra Woerjaningrat, Soekardjo Wirjopranoto, Hoesein Djajadiningrat, dan Marzoeki Mahdi.

Thamrin menukik sampai ke urusan, masalah-masalah kecil. Dia bicara tentang kampung-kampung becek tanpa penerangan dan masalah banjir. Dia menggugat daerah elit Menteng yang dalam pembangunan diprioritaskan segalanya. Dia selalu menjurubicarai kepentingan rakyat kecil. Misalnya tentang pajak dan sewa tanah bagi petani sampai-sampai kepada harga semua komoditi yang dihasilkan oleh rakyat.

"Sejak kecil saya dihadapkan pada kenyataan pahit dalam kehidupan saya: banjir yang menimbulkan kemelaratan dan penyakit. Saya semestinya tidak membiarkan bila emak sahabat saya mencuci beras dalam air yang kecoklat-coklatan," ungkap Thamrin.

Mohammad Hoesni Thamrin dikenal sangat berani melontarkan pendapat-pendapatnya dan mati-matian membela rakyat. Padahal pada saat itu orang-orang Indonesia yang duduk di Volksraad sangat sedikit. Namun, Thamrin tak pernah gentar menjadi "juru bicara" bagi rakyat kebanyakan. Seperti dikatakannya "Setiap pemimpin harus mendekati kemauan rakyat", prinsip itulah yang dipegang teguh seorang Thamrin walaupun duduk diparlemen bentukan pemerintah kolonial.

Gedung M.H. Thamrin

Gedung M.H. Thamrin dulunya merupakan gedung yang mempunyai banyak fungsi, terutama untuk pertemuan-pertemuan dari bermacam gerakan perjuangan kemerdekaan. Gedung tersebut pada awalnya merupakan kepunyaan keluarga Thamrin yang pada akhirnya diwariskan untuk negara. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Thamrin menyediakan gedung tersebut sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Indonesia guna menyatukan tekad untuk kemerdekaan walaupun berasal dari berbagai golongan dan kelompok politik.

Berbagai pertemuan, deklarasi, dan pergerakan lainnya seperti yang diadakan oleh GAPI, PARINDRA, 'tuntutan" Indonesia Berparlemen, sampai pertama kalinya dimainkan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh WR Soepratman dilaksanakan di Gedung Permoefakatan, begitu dulunya disebut. Kini gedung yang berada di jalan Kenari no. 15 Jakarta ini merupakan gedung museum M.H. Thamrin.

"Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum." (pernyataan Thamrin di Volksraad, 1930-1931) (dari berbagai sumber)

Aug 17, 2007

Tentang 'Indonesia'

Asal Usul Nama Indonesia
Oleh IRFAN ANSHORY

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Makna politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

Dirgahayu Indonesiaku!***

Penulis, Direktur Pendidikan "Ganesha Operation"

Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2004