Ong Hok Ham
Seorang komentator menulis: "Hanya orang sekelas Ong yang bisa melihat dan menertawakan Lee Kuan Yew. Kita bangga punya sosok tokoh sekelas Ong Hok Ham."
ONG
Catatan Pinggir -- Goenawan MohamadSEJAK saya melihatnya pada tahun 1962 di sekitar Universitas Indonesia, Onghokham selalu tampak dengan baju dan celana khaki yang kusut. Ia selalu membawa satu tas kulit yang mencong; isinya—buku dan lain-lain—selalu berlebihan. Ia terkadang naik sebuah bromfiets yang mencemaskan karena bergoyang-goyang dengan bunyi sember yang seperti menderita.
Rambutnya sudah menipis, kacamatanya sudah sedikit merosot—satu hal yang mengesankan saya yang baru saja jadi mahasiswa. Cara bicaranya tak berubah sampai dengan masa Reformasi: tak koheren, dengan aksen Jawa Timur yang tak lekang, terkadang agak menyembur, tapi umumnya tak agresif, dan selamanya menunjukkan Ong yang perseptif dalam melihat dan memikirkan sekitar.
Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia meninggal pekan lalu, ia disebut sebagai "sejarawan". Terutama sejak ia kembali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun 1975. Ia sendiri punya versi lain tentang dirinya. Ada dua hal yang dia bawa pulang dari Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepandaian memasak. Ia lebih bangga dengan yang nomor dua itu, katanya, tanpa senyum.
Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi jangan-jangan perlu juga dilihat bahwa beda itu tak teramat besar. Keduanya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sentuhan personal.
Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhormat tentu akan berkeberatan dengan kesimpulan itu. Tapi bukan hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak pernah ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu titik dalam waktu. Tiap karya seorang sejarawan bertolak dari masa-kininya sendiri.
Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara tentang "genealogi", yang bisa dikatakan sebagai penulisan alternatif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja pernyataan bahwa yang dituju bukanlah "pengetahuan" dan "kebenaran" tentang masa lalu itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini.
Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Hampir tiap bab tergerak untuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu mungkin sebabnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali yang berdasarkan skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek, hidangan sekali santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya waktu itu—dan hampir selamanya terasa tak selesai.
Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke majalah Tempo, saya punya problem dengan cara Ong menulis: saya selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik. Tapi kemudian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan yang lezat tak pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut.
Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemukakan sebuah kesimpulan dan teori besar. Seperti Sartono Kartodirdjo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa, yang menyebabkan sejarah baginya bukan kisah orang "atas". Ia suka menemukan dan mengemukakan hal ihwal kecil—misalnya "perhitungan hari baik" dalam masyarakat Jawa, atau jumlah gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolonial. Tapi tampaknya ia bukan berambisi untuk jadi seorang Braudel, yang dari detail yang memikat melahirkan sebuah teori (tentang kapitalisme, misalnya) yang memukau. Ong bukan pula seorang sejarawan Marxis, yang dengan teori mengkonstruksikan temuan empiris. Ong menulis dengan cara hampir seenaknya—tak sampai berkeringat seperti ketika ia bekerja di dapur.
Ia seakan-akan dengan sengaja menunjukkan dirinya tanpa kategori. Apakah dia sebenarnya—"sejarawan", "kolumnis", "intelektual publik", "juru masak"—ia tak peduli. Ia keturunan Tionghoa yang akan menampik stereotip warga "kebudayaan Cina"—yang disebut oleh Lee Kuan Yew sebagai "sinic culture", sebuah sistem nilai yang katanya berbeda, bahkan sebuah kontras, dari "indic culture", "kebudayaan ala India". Dengan bangga, pemimpin Singapura itu mau menunjukkan bahwa hanya mereka yang berakar pada "kebudayaan Cina" yang cocok buat pembangunan ekonomi: pekerja keras, tak suka berleha-leha, dan pada dasarnya puritan untuk mencapai hasil optimal dalam kerja.
Onghokham menertawakan "teori" Lee Kuan Yew yang sangat dekat dengan pandangan rasialis itu. "Lee bukan menggambarkan watak orang Cina," katanya. "Gambaran idealnya gambaran seorang Kristen Metodis."
Ong tak menyukai mereka yang puritan, Kristen Metodis, para santri, para saudagar, atau ideolog ala Singapura. Baginya Puritanisme adalah represi demi mencapai surga atau kesempurnaan. Ong jauh dari mereka yang peduli akan prestasi tinggi, karya yang sempurna, atau posisi yang terhormat. Ia tak mendapatkan gelar "profesor" karena ia anggap sepele tetek-bengek administratif buat memperoleh gelar akademis itu. Baginya yang memikat justru hal-hal yang dianggap "dosa" oleh Puritanisme: makanan, minuman, waktu bergaul dan bersenang-senang.
Mungkin karena Ong lebih dekat dengan hidup ketimbang intelektual lain yang hanya berkutat pada ide besar tentang "manusia" dan "masyarakat".
Saya ingat malam-malam di pertengahan 1960-an: saya termasuk sekelompok teman yang kemudian dikenal sebagai penulis (Nono Makarim, Fikri Jufri, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi di warung di Gang Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, dengan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang penuh. Ia gemar mencemooh kami sebagai "intelektual kota". Mungkin ia hendak mengingatkan, kami yang suka omong tentang "Indonesia" acap kali lupa ada yang tak dapat dirumuskan dari sudut kota Jakarta itu. "Indonesia" bukanlah hanya ide. "Indonesia" adalah kehidupan. Dan Ong memang dekat ke dalamnya.
~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXIIIIII/03 - 9 September 2007~
No comments:
Post a Comment