Aug 31, 2007

Thamrin, Tak Cuma Memikirkan Banjir dan Gang Becek

PADAMU NEGERI
M.H. Thamrin dan Jakarta kita

repro
M.Hoesni Thamrin dan istri
Menyambut ulang tahun kota Jakarta yang ke-480 tahun ini, rasanya elok juga kalau kita ketengahkan kembali profil tokoh pejuang Mohammad Hoesni Thamrin. Perjuangan dan juga pemikiran-pemikiran tokoh asal Betawi ini rasanya masih kontekstual hingga kini.

Thamrin tak cuma memperjuangkan orang Betawi dan lingkungannya, tapi juga membela saudara sebangsanya yang kala itu masih terjajah.

Mohammad Hoesni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi setelah Bupati.

Mat Seni, begitu panggilan akrab Thamrin, dikenal sebagai orang yang mudah bergaul dengan siapa saja dan dari golongan sosial mana pun. Pengalaman masa kecil inilah yang banyak memengaruhi ide-ide politik yang ia lontarkan saat duduk di dewan kota, yaitu ide-ide tentang keberpihakan Thamrin pada rakyat.

Thamrin pernah bekerja di perusahaan perkapalan milik maskapai swasta Belanda bernama Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Di sinilah ia berkenalan dengan Van Der Zee seorang sosialis Belanda yang juga anggota Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) Batavia. Perkenalan dengan Van Der Zee inilah yang memberi kesempatan pada Thamrin untuk menyuarakan aspirasinya dengan menjadi anggota di Geementeraad Batavia oada tanggal 29 Oktober 1919.

Di Geementeraad Batavia, Thamrin merupakan figur yang berpihak pada rakyat pribumi. Ia pernah mengatakan: "Tuan kepala, saya duduk dalam Dewan Kota bukan sebagai perwakilan dari K.P.M, tetapi sebagai wakil rakyat Betawi, maka tuan jangan lupa bahwa saya adalah bagian dari rakyat itu."

Demi kepentingan perjuangan kemerdekaan, atas usul Hoesni Thamrin, pada tahun 1930 dibentuk anggota Dewan Rakyat Bangsa Indonesia yang kemudian diberi nama Fraksi Indonesia di Volksraad (Dewan rakyat). Tujuan Fraksi Indonesia yang dikepalai oleh Mohammad Hoesni Thamrin ini adalah untuk lebih menyatukan langkah perjuangan.

KCM/Jodhi Yudono
Para pendukung pementasan teater Abang Thamrin dari Betawi oleh sanggar Pelakon sedang berziarah ke makam M.Hoesni Thamrin (Mei 2007)

"Toedjoean dari Fraksi Nasional adalah menoentoet kemerdekaan Indonesia, oleh karena kami jakin, hanja dengan kemerdekaan dapat mentjapai masjarakat Indonesia jang sempoerna," ungkap Thamrin.

Thamrin juga membela didirikannya kantor berita Indonesia serta penggunaan bahasa Indonesia di semua tingkatan pemerintahan, dewan, serta penggunaan resmi kata "Indonesia" dan "bangsa Indonesia".

"Memoelikan dan memadjoekan bahasa Belanda dan mengasingkan bahasa sendiri lambat laoen membawa keroegian jang poela, biarpoen masa ini beloem terlihat. Bukankah bangsa jang hilang bahasanja moedah akan hilang poela kebangsaanja?" ujar Thamrin kala itu.

Demi kepentingan perjuangan bangsa, Mohammad Hoesni Thamrin kemudian menghibahkan gedung Kenari kepada kaum pergerakan kebangsaan, yaitu organisasi PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Beliau kemudian menamakan gedung tersebut Gedung Permufakatan Indonesia.

Adalah Thamrin juga yang sekali lagi memainkan peran utama selama perayaan dan Kongres Indonesia Raja pertama, dan kegiatan seputar penyambutan terhadap kembalinya Soekarno ke arena politik dengan dikuranginya separuh hukuman penjara Soekarno.

Seperti yang dijuluki oleh De Jong; 'gerakan pribumi menjadi lebih lebih jauh lebih pintar dan benar-banar menggunakan otak'. Dalam kenyataannya Thamrin menyadari ia berada dalam permulaan kehidupan politik dengan posisi pandangan kooperatif dengan usaha keras mendapatkan manfaat politiknya. Aksi semacam itu terlambat disadari Soekarno, sesuai yang diakuinya kepada Thamrin pada tahun 1933, juga oleh Hatta dan Syahrir.

Thamrin dan Soekarno mempunyai banyak makna. Menyebut nama mereka berati belajar dari sejarah temntang kerjasama seorang Thamrin politikus yang bekerja "dari dalam sistem". Keterlibatan Thamrin dalam semua peristiwa penting yang dialami Soekarno sangan signifikan: dia hadir pada saat Soekarno diadili dan dipenjara. Thamrin hadir saat Soekarno dibuang ke Ende juga memprotes penahanan Soekarno di Volksraad. Sampai pada akhirnya Thamrin dihukum tahanan rumah setelah Soekarno berkunjung ke rumahnya.

Dalam sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan, Thamrin untuk selamanya tercatat sebagai tahanan politik yang meninggal di tangan penguasa kolonialisme Belanda. Sebagai sesama pejuang kemerdekaan, hubungan dengan Soekarno juga meninggal sebagai tahanan politik, tetapi juga sebagai tahanan bangsanya sendiri, penguasa kejam rezim miiliterisme Orde Baru.

Saat Thamrin mangkat, sekitar 2000 orang atau lebih rakyat Indonesia menghantarkan jenazah Mohammad Hoesni Thamrin ke pemakaman Karet. Suasana ini menunjukkan bagaimana Mohammad Hoesni Thamrin sangat dihormati dan bahkan dicintai oleh rakyat sebagai seorang pejuang yang gigih membela rakyat Indonesia sampai titik darah penghabisan.

Dalam penghormatan terakhir tersebut hadir berbagai tokoh seperjuangan dengan Mohammad Husni Thamrin. Di antaranya ketua umum Parindra Woerjaningrat, Soekardjo Wirjopranoto, Hoesein Djajadiningrat, dan Marzoeki Mahdi.

Thamrin menukik sampai ke urusan, masalah-masalah kecil. Dia bicara tentang kampung-kampung becek tanpa penerangan dan masalah banjir. Dia menggugat daerah elit Menteng yang dalam pembangunan diprioritaskan segalanya. Dia selalu menjurubicarai kepentingan rakyat kecil. Misalnya tentang pajak dan sewa tanah bagi petani sampai-sampai kepada harga semua komoditi yang dihasilkan oleh rakyat.

"Sejak kecil saya dihadapkan pada kenyataan pahit dalam kehidupan saya: banjir yang menimbulkan kemelaratan dan penyakit. Saya semestinya tidak membiarkan bila emak sahabat saya mencuci beras dalam air yang kecoklat-coklatan," ungkap Thamrin.

Mohammad Hoesni Thamrin dikenal sangat berani melontarkan pendapat-pendapatnya dan mati-matian membela rakyat. Padahal pada saat itu orang-orang Indonesia yang duduk di Volksraad sangat sedikit. Namun, Thamrin tak pernah gentar menjadi "juru bicara" bagi rakyat kebanyakan. Seperti dikatakannya "Setiap pemimpin harus mendekati kemauan rakyat", prinsip itulah yang dipegang teguh seorang Thamrin walaupun duduk diparlemen bentukan pemerintah kolonial.

Gedung M.H. Thamrin

Gedung M.H. Thamrin dulunya merupakan gedung yang mempunyai banyak fungsi, terutama untuk pertemuan-pertemuan dari bermacam gerakan perjuangan kemerdekaan. Gedung tersebut pada awalnya merupakan kepunyaan keluarga Thamrin yang pada akhirnya diwariskan untuk negara. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Thamrin menyediakan gedung tersebut sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Indonesia guna menyatukan tekad untuk kemerdekaan walaupun berasal dari berbagai golongan dan kelompok politik.

Berbagai pertemuan, deklarasi, dan pergerakan lainnya seperti yang diadakan oleh GAPI, PARINDRA, 'tuntutan" Indonesia Berparlemen, sampai pertama kalinya dimainkan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh WR Soepratman dilaksanakan di Gedung Permoefakatan, begitu dulunya disebut. Kini gedung yang berada di jalan Kenari no. 15 Jakarta ini merupakan gedung museum M.H. Thamrin.

"Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum." (pernyataan Thamrin di Volksraad, 1930-1931) (dari berbagai sumber)

Aug 17, 2007

Tentang 'Indonesia'

Asal Usul Nama Indonesia
Oleh IRFAN ANSHORY

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Makna politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

Dirgahayu Indonesiaku!***

Penulis, Direktur Pendidikan "Ganesha Operation"

Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2004

Aug 7, 2007

Jakarta: Sejarah dan seluk beluknya

Memanusiakan Jakarta

Oleh Geger Riyanto

Bagi negeri ini, ibu kota bagaikan kepalanya. Ia menjadi bagian yang paling merasakan segenap pengalaman sejarahwi yang dirasakan sekujur tubuhnya, negeri Indonesia. Di saat berjaya, lambang-lambang kesuksesan negeri diukir di sini. Gedung-gedung pencakar langit dijulangkan, pusat-pusat hiburan didirikan, kawasan permukiman mewah ditancapkan.

Dan saat negeri diguncang krisis multidimensi, dampaknya terkulminasi di sini. Kerusuhan terjadi di berbagai lokasi. Massa dari kampung-kampung yang terpinggir di Jakarta tumpah ruah, membakar dan menjarahi kawasan-kawasan bisnis dan perbelanjaan. Lalu sebagaimana yang diilustrasikan Benny dan Mice dalam komiknya, Jakarta terbingkai sebagai lautan api.

Kota Privat

Menyimak catatan sejarah ini semestinya menjadi pelajaran tersendiri bagi ibu kota. Pola pembangunan komersialistik yang gencar dijalankan semenjak awal 1980-an, menciptakan jurang kelas yang tajam pada masyarakat Jakarta. Sehingga itulah sebabnya, sebagaimana yang dilihat pakar arsitektur, Abidin Koesno, kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 terpola melalui kesenjangan yang terpatri di kota Jakarta ini.

Namun, Koesno menambahkan hal lain yang juga menyulut pengalaman pahit itu. Menurutnya, Jakarta dibangun dengan alam pikiran masyarakat yang pernah terjajah. Kebijakan kolonial Belanda membentuk birokrasi yang tersentral di Batavia untuk kepentingan eksploitasi. Dan dalam wawasan berpikir warisan kolonial, ibu kota diletakkan sebagai otoritas tertinggi atas ekonomi dan politik negara. Lalu pembangunan fisik yang gencar dilansir pemerintah kita sendiri, semakin memantapkan pencitraan tersebut.

Sejauh ini, ekses fatal dari hal tersebut tak dapat dinafikan. Ibu kota menjadi wilayah yang eksklusif dan dikepung oleh ruang-ruang privat. Selama beberapa dekade ini, penyediaan ruang yang luas untuk aktivitas bisnis, tak dibarengi penyediaan ruang publik yang memadai. Kawasan di mana semua kalangan dapat berinteraksi secara sejajar sangat minim, akibatnya sekat-sekat kelas menjadi semakin solid.

Pada tahun 2005, tercatat bahwa pusat perbelanjaan di Jakarta mengambil ruang seluas 4.471.000 meter persegi. Peningkatan itu mencapai hampir 213 kali lipat bila dibandingkan dengan empat dekade yang lalu. Laju pertambahannya sama sekali tidak sebanding dengan pertambahan fasilitas publik seperti gelanggang remaja, gedung dan lapangan olahraga, sekolah, pasar, lokasi rekreasi rakyat seperti kebun binatang dan taman ria, sarana umum seperti tempat mandi, cuci dan kakus.

Selain itu, proporsi antara kendaraan pribadi dengan kendaraan umum di Jakarta sekitar 98 banding 2 untuk tiap 100 kendaraan, meskipun kendaraan pribadi hanya mengangkut 49,7 persen dari seluruh penumpang, dan sisanya diangkut kendaraan umum. Ditinjau dari segi-segi itu, rasanya ruang, di mana berbagai kalangan warga Jakarta dapat bertatap muka secara setara, bak celah sempit saja.

Rasa kepemilikan warga pun, di kota yang kualitas pembangunannya nomor satu di Indonesia dalam takaran Millenium Development Goal (MDG) ini, tampaknya masih cenderung rendah. Sejumlah perilaku merusak, seperti mencoret-coret fasilitas umum hingga membuang sampah sembarangan yang bisa dijumpai di kota Jakarta, menjadi pembuktiannya.

Dan yang sangat miris, kasus bunuh diri akibat impitan ekonomi masih saja terjadi. Padahal rasa terintimidasi atau tertekan yang menjadi penyulut tindakan nekat tersebut pada umumnya, semestinya bisa diringankan melalui jaringan kerukunan di antara warga masyarakat.

Namun, berulangnya kasus-kasus serupa memperlihatkan bahwa, di samping program-program pemerintah belum mampu menanggulanginya, ada yang salah pada pola relasi sosial di antara warga masyarakat ini.

Dari sejumlah permasalahan pelik inilah, terpatri citra Jakarta sebagai kota yang jauh dari citra yang hangat, ajek, dan bahkan manusiawi. Kota ini seperti peradaban beton, yang solid, konkret, dan padat, membuat senyawa bernama kemanusiaan sukar merembesinya.

Konsisten

Maka, kendati pembangunan ekonomi merupakan hal yang krusial, pemantapan modal sosial dan modal budaya tak kalah pentingnya bagi kota Jakarta. Setidaknya, daripada kota ini suatu saat luluh-lantak karena kekesalan kolektif warga masyarakat kelas bawah terhadap mereka yang "duduk" di atasnya. Dalam pemberdayaan kedua modal keberadaban suatu masyarakat ini, Ali Sadikin adalah tokoh yang bisa dijadikan panutan, meski tidak secara keseluruhan.

Pada masa kepemimpinannya atas Jakarta, yakni tahun 1966 sampai 1977, ia melansir proyek MH Thamrin untuk merehabilitasi kampung kumuh, lalu membangun LBH untuk membantu orang miskin yang memiliki sengketa hukum, mendirikan Lembaga Konsumen, pos pelayanan kesehatan (puskesmas), dan mendirikan Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat kebudayaan dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di dalamnya.

Bukan berlebihan bila dikatakan, fondasi infrastruktur dimensi sosial dan kebudayaan masyarakat Jakarta saat ini merupakan warisannya. Sehingga gelar "Empu Peradaban Kota" yang diberikan IKJ tahun lalu, memang sejatinya layak disandangnya.

Lalu, sosok lainnya yang bisa menjadi panutan dalam mengatasi permasalahan perkotaan yang serupa adalah mantan Wali Kota Bogota, Enrique Penalosa. Ia menjabat sebagai wali kota ibu kota negeri Kolombia tersebut pada tahun 1998. Kepemimpinannya berhasil mengubah Bogota, dari kota yang sebelumnya dijuluki warganya sendiri sebagai un enfierno (neraka dunia) menjadi kota bahagia.

Jika pada pertengahan 1090-an, terjadi 3.363 kasus pembunuhan, sekitar 1.400 jiwa melayang karena kecelakaan, kadar polusi nyaris paling tinggi di antara kota-kota di dunia, dan kemacetannya memakan rata-rata waktu empat jam untuk pergi dan pulang kerja, namun kini Bogota merupakan kota percontohan bagi kota-kota lainnya di berbagai belahan dunia, termasuk di banyak negara maju.

Kalimatnya yang tersohor adalah, "sebuah kota bisa jadi bersahabat terhadap warganya, atau kepada mobil-mobil, tetapi tak bisa kepada keduanya." Berangkat dari sinilah, ia membatalkan rencana pembangunan jalan layang yang direncanakan pemerintahan sebelumnya, lalu mengalihkan dananya untuk membangun taman, sekolah, perpustakaan, jalur sepeda, dan jalur pejalan kaki terpanjang di dunia. Ia juga menaikkan harga bahan bakar, melarang pemilik mobil berkendara di saat jam sibuk lebih dari tiga kali dalam seminggu, dan mengambil bagian besar dari jalan raya untuk dijadikan jalur bus.

Inilah gambaran, sejauh mana ada sosok politikus yang mampu memanusiakan kotanya melalui pembangunan infrastruktur yang memadai. Tetapi memang, menyitir opini pakar bisnis Rhenald Kasali, untuk berubah itu sakit. Kebijakan yang bervisi panjang dan dijalankan untuk kemaslahatan bersama jangka panjang, dalam prosesnya, banyak yang terlebih dahulu menyebabkan sakit. Penalosa pun nyaris pernah di-impeach karena kebijakannya membuat para pebisnis kalap.

Harapan akan kota yang manusiawi tentunya merupakan harapan penduduknya. Tetapi jalan sampai dengan terwujudnya harapan itu, jauh, berliku dan sukar untuk ditebak tantangan apa yang akan menghadang. Agaknya kebijakan yang berpihak kepada publik sarat diliputi ketidakpastian, ketimbang yang berorientasi komersial. Dan untuk membangun kota dengan visi yang panjang pun, pemimpinnya perlu siap untuk tidak populer di sejumlah kalangan pada awalnya. Tak bisa sekali revolusi langsung jadi, sebaliknya, tak ada kelahiran tanpa kesakitan. Tapi setelah itu, tak ada yang tak mungkin di kolong langit.

Penulis adalah penekun Sosiologi Pengetahuan Universitas Indonesia


Sumber: Suara Pembaruan, 5/8/07