Aug 7, 2007

Jakarta: Sejarah dan seluk beluknya

Memanusiakan Jakarta

Oleh Geger Riyanto

Bagi negeri ini, ibu kota bagaikan kepalanya. Ia menjadi bagian yang paling merasakan segenap pengalaman sejarahwi yang dirasakan sekujur tubuhnya, negeri Indonesia. Di saat berjaya, lambang-lambang kesuksesan negeri diukir di sini. Gedung-gedung pencakar langit dijulangkan, pusat-pusat hiburan didirikan, kawasan permukiman mewah ditancapkan.

Dan saat negeri diguncang krisis multidimensi, dampaknya terkulminasi di sini. Kerusuhan terjadi di berbagai lokasi. Massa dari kampung-kampung yang terpinggir di Jakarta tumpah ruah, membakar dan menjarahi kawasan-kawasan bisnis dan perbelanjaan. Lalu sebagaimana yang diilustrasikan Benny dan Mice dalam komiknya, Jakarta terbingkai sebagai lautan api.

Kota Privat

Menyimak catatan sejarah ini semestinya menjadi pelajaran tersendiri bagi ibu kota. Pola pembangunan komersialistik yang gencar dijalankan semenjak awal 1980-an, menciptakan jurang kelas yang tajam pada masyarakat Jakarta. Sehingga itulah sebabnya, sebagaimana yang dilihat pakar arsitektur, Abidin Koesno, kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 terpola melalui kesenjangan yang terpatri di kota Jakarta ini.

Namun, Koesno menambahkan hal lain yang juga menyulut pengalaman pahit itu. Menurutnya, Jakarta dibangun dengan alam pikiran masyarakat yang pernah terjajah. Kebijakan kolonial Belanda membentuk birokrasi yang tersentral di Batavia untuk kepentingan eksploitasi. Dan dalam wawasan berpikir warisan kolonial, ibu kota diletakkan sebagai otoritas tertinggi atas ekonomi dan politik negara. Lalu pembangunan fisik yang gencar dilansir pemerintah kita sendiri, semakin memantapkan pencitraan tersebut.

Sejauh ini, ekses fatal dari hal tersebut tak dapat dinafikan. Ibu kota menjadi wilayah yang eksklusif dan dikepung oleh ruang-ruang privat. Selama beberapa dekade ini, penyediaan ruang yang luas untuk aktivitas bisnis, tak dibarengi penyediaan ruang publik yang memadai. Kawasan di mana semua kalangan dapat berinteraksi secara sejajar sangat minim, akibatnya sekat-sekat kelas menjadi semakin solid.

Pada tahun 2005, tercatat bahwa pusat perbelanjaan di Jakarta mengambil ruang seluas 4.471.000 meter persegi. Peningkatan itu mencapai hampir 213 kali lipat bila dibandingkan dengan empat dekade yang lalu. Laju pertambahannya sama sekali tidak sebanding dengan pertambahan fasilitas publik seperti gelanggang remaja, gedung dan lapangan olahraga, sekolah, pasar, lokasi rekreasi rakyat seperti kebun binatang dan taman ria, sarana umum seperti tempat mandi, cuci dan kakus.

Selain itu, proporsi antara kendaraan pribadi dengan kendaraan umum di Jakarta sekitar 98 banding 2 untuk tiap 100 kendaraan, meskipun kendaraan pribadi hanya mengangkut 49,7 persen dari seluruh penumpang, dan sisanya diangkut kendaraan umum. Ditinjau dari segi-segi itu, rasanya ruang, di mana berbagai kalangan warga Jakarta dapat bertatap muka secara setara, bak celah sempit saja.

Rasa kepemilikan warga pun, di kota yang kualitas pembangunannya nomor satu di Indonesia dalam takaran Millenium Development Goal (MDG) ini, tampaknya masih cenderung rendah. Sejumlah perilaku merusak, seperti mencoret-coret fasilitas umum hingga membuang sampah sembarangan yang bisa dijumpai di kota Jakarta, menjadi pembuktiannya.

Dan yang sangat miris, kasus bunuh diri akibat impitan ekonomi masih saja terjadi. Padahal rasa terintimidasi atau tertekan yang menjadi penyulut tindakan nekat tersebut pada umumnya, semestinya bisa diringankan melalui jaringan kerukunan di antara warga masyarakat.

Namun, berulangnya kasus-kasus serupa memperlihatkan bahwa, di samping program-program pemerintah belum mampu menanggulanginya, ada yang salah pada pola relasi sosial di antara warga masyarakat ini.

Dari sejumlah permasalahan pelik inilah, terpatri citra Jakarta sebagai kota yang jauh dari citra yang hangat, ajek, dan bahkan manusiawi. Kota ini seperti peradaban beton, yang solid, konkret, dan padat, membuat senyawa bernama kemanusiaan sukar merembesinya.

Konsisten

Maka, kendati pembangunan ekonomi merupakan hal yang krusial, pemantapan modal sosial dan modal budaya tak kalah pentingnya bagi kota Jakarta. Setidaknya, daripada kota ini suatu saat luluh-lantak karena kekesalan kolektif warga masyarakat kelas bawah terhadap mereka yang "duduk" di atasnya. Dalam pemberdayaan kedua modal keberadaban suatu masyarakat ini, Ali Sadikin adalah tokoh yang bisa dijadikan panutan, meski tidak secara keseluruhan.

Pada masa kepemimpinannya atas Jakarta, yakni tahun 1966 sampai 1977, ia melansir proyek MH Thamrin untuk merehabilitasi kampung kumuh, lalu membangun LBH untuk membantu orang miskin yang memiliki sengketa hukum, mendirikan Lembaga Konsumen, pos pelayanan kesehatan (puskesmas), dan mendirikan Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat kebudayaan dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di dalamnya.

Bukan berlebihan bila dikatakan, fondasi infrastruktur dimensi sosial dan kebudayaan masyarakat Jakarta saat ini merupakan warisannya. Sehingga gelar "Empu Peradaban Kota" yang diberikan IKJ tahun lalu, memang sejatinya layak disandangnya.

Lalu, sosok lainnya yang bisa menjadi panutan dalam mengatasi permasalahan perkotaan yang serupa adalah mantan Wali Kota Bogota, Enrique Penalosa. Ia menjabat sebagai wali kota ibu kota negeri Kolombia tersebut pada tahun 1998. Kepemimpinannya berhasil mengubah Bogota, dari kota yang sebelumnya dijuluki warganya sendiri sebagai un enfierno (neraka dunia) menjadi kota bahagia.

Jika pada pertengahan 1090-an, terjadi 3.363 kasus pembunuhan, sekitar 1.400 jiwa melayang karena kecelakaan, kadar polusi nyaris paling tinggi di antara kota-kota di dunia, dan kemacetannya memakan rata-rata waktu empat jam untuk pergi dan pulang kerja, namun kini Bogota merupakan kota percontohan bagi kota-kota lainnya di berbagai belahan dunia, termasuk di banyak negara maju.

Kalimatnya yang tersohor adalah, "sebuah kota bisa jadi bersahabat terhadap warganya, atau kepada mobil-mobil, tetapi tak bisa kepada keduanya." Berangkat dari sinilah, ia membatalkan rencana pembangunan jalan layang yang direncanakan pemerintahan sebelumnya, lalu mengalihkan dananya untuk membangun taman, sekolah, perpustakaan, jalur sepeda, dan jalur pejalan kaki terpanjang di dunia. Ia juga menaikkan harga bahan bakar, melarang pemilik mobil berkendara di saat jam sibuk lebih dari tiga kali dalam seminggu, dan mengambil bagian besar dari jalan raya untuk dijadikan jalur bus.

Inilah gambaran, sejauh mana ada sosok politikus yang mampu memanusiakan kotanya melalui pembangunan infrastruktur yang memadai. Tetapi memang, menyitir opini pakar bisnis Rhenald Kasali, untuk berubah itu sakit. Kebijakan yang bervisi panjang dan dijalankan untuk kemaslahatan bersama jangka panjang, dalam prosesnya, banyak yang terlebih dahulu menyebabkan sakit. Penalosa pun nyaris pernah di-impeach karena kebijakannya membuat para pebisnis kalap.

Harapan akan kota yang manusiawi tentunya merupakan harapan penduduknya. Tetapi jalan sampai dengan terwujudnya harapan itu, jauh, berliku dan sukar untuk ditebak tantangan apa yang akan menghadang. Agaknya kebijakan yang berpihak kepada publik sarat diliputi ketidakpastian, ketimbang yang berorientasi komersial. Dan untuk membangun kota dengan visi yang panjang pun, pemimpinnya perlu siap untuk tidak populer di sejumlah kalangan pada awalnya. Tak bisa sekali revolusi langsung jadi, sebaliknya, tak ada kelahiran tanpa kesakitan. Tapi setelah itu, tak ada yang tak mungkin di kolong langit.

Penulis adalah penekun Sosiologi Pengetahuan Universitas Indonesia


Sumber: Suara Pembaruan, 5/8/07

No comments: