Jan 9, 2008

Nyai Dasima: Sang Peretas Jalan Menuju Sastra Modern Indonesia

Kesusastraan Indonesia sebetulnya amat kaya terlebih apabila kita menggali pusaka warisan bangsa yg tak pudar dilekang zaman, bahkan sudah "mendunia" dengan keberadaan terjemahan bahasa asingnya. /  EJ

Fenomena Dasima
Oleh IBNU WAHYUDI

DENGAN dibincangkannya Nyai Dasima karya S.M. Ardan (Masup Jakarta, Februari 2007) di TIM, Jakarta, 23 Februari lalu, kian jelaslah posisi penting cerita tragis Dasima dalam lintasan sejarah sastra Indonesia modern.

Memang, masih banyak yang enggan memasukkan Nyai Dasima menjadi bagian integral sastra Indonesia modern, namun realitas kesastraan ternyata jelas menunjukkan gambaran berbeda.

Lebih-lebih kalau kita sempat menonton tayangan "Nyai Dasima" lewat Trans TV, 2 Maret, tak ada lain yang barangkali akan kita bilang, kenapa tragedi yang konon betul terjadi pada awal abad ke-19 ini bisa begitu tenarnya? Apa istimewanya?

Novel Nyai Dasima ini bukan versi terbaru dari perjalanan dramatis seorang nyai bernama Dasima itu. Kendati begitu, diterbitkannya kembali Nyai Dasima versi S.M. Ardan, yang dilengkapi karya G. Francis, menegaskan lagi perihal kesohoran sebuah fiksi yang terbit pertama kali tahun 1896 itu. 

Perjalanan Nyai Dasima 

Seperti disebutkan, Nyai Dasima ini muncul atau dipublikasi pada tahun 1896 dan setakat ini dapat disebut sebagai prosa pertama dalam entitas sastra Indonesia modern. Dinyata-kan demikian lantaran sebelumnya tidak dapat dijumpai adanya prosa de-ngan bahasa Melayu serta diekspresikan lewat cetakan berhuruf latin. Memang, kalau untuk puisi, telah jauh mendahului penerbitan prosa. Setidak-tidaknya, kumpulan puisi Indonesia modern pertama telah terbit pada tahun 1857. Munculnya ragam puisi mendahului prosa ini secara genealogis maupun nalar-sastra, tidak mengherankan mengingat dalam ranah lisan, pola syair atau pantun juga jauh lebih dikenal dan dikuasai masyarakat Indonesia ketika itu dibandingkan dengan hikayat atau prosa pada umumnya.

Dalam cetak ulang Nyai Dasima ini dinyatakan bahwa pengarangnya adalah G. Francis dan penerbitnya adalah Kho Tjeng Bie & Co. Namun buku berjudul lengkap Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban daripada Pemboedjoek, nama G. Francis tertera hanya sebagai "jang mengeloewarken". Sementara, nama penerbit Kho Tjeng Bie & Co. tidak ada. Tidak mengherankan jika W.V. Sykorsky dalam tulisannya berjudul "Some Additional Remarks on Antecedents of Modern Indonesian Literature" (BKI, 1980) me-ragukan sosok G. Francis sebagai penulis Nyai Dasima. Kendati demikian, tetap banyak yang meyakini bahwa G. Francis adalah pengarang yang mungkin sekaligus penerbit, sebab akhir abad ke-19 itu sudah dikenal luas adanya toko buku G. Francis, berlokasi di "Molenvliet (Kebon Djeroek) 10/63, Batavia".

Setahun setelah terbitnya Tjerita Njai Dasima, prosa ini mengalami transformasi menjadi syair yang ditulis O.S. Tjiang. Pengarang ini mengaku bahwa Nyai Dasima yang terbit tahun 1896 itu adalah babon syairnya. Beberapa tahun kemudian, Nyai Dasima yang berupa syair ini ditulis ulang oleh Akhmad Beramka yang menurut dugaan telah menyalinnya antara tahun 1906-1909. Demikian pula dengan Lie Kim Hok, telah menerbitkan syair ini yang selengkapnya berbunyi Sjair Tjerita di Tempo Tahon 1813, Soeda Kadjadian di Betawi, Terpoengoet dari Boekoenja Njai Dasima, sampai mengalami cetakan keenam (1922). Bahkan orang yang hanya memahami bahasa Belanda pun dapat menikmati kisah ini lewat karya A. Th. Manusama dengan judul Nyai Dasima: Het Slachtoffer vanbedrog en misleiding, een historische zeden roman van Batavia (1926).

Transformasi yang terjadi bukan sebatas dalam genre yang sama, melainkan sungguh-sungguh beralih "bahasa", seperti menjadi film, sinetron, atau sandiwara. Dalam bentuk gambar hidup, tercatat pertama kali dibuat tahun 1929 dengan judul "Njai Dasima". Film ini diproduksi oleh Tan's Film dengan sutradara Lie Tek Swie. Oleh produser dan sutradara yang sama, dibuat pula "Njai Dasima" (II) tahun 1930, dan diakhiri dengan "Pembalesan Nancy" (Nancy Bikin Pembalesan) atau "Njai Dasima III" pada tahun yang sama. Ketiga film ini selain masih hitam-putih juga belum bersuara. Baru pada tahun 1932, masih oleh produser sama tapi dengan sutradara berbeda (Bachtiar Effendy), dibuatlah film "Njai Dasima" yang telah memasukkan teknologi suara. Sementara itu, kendati kisahnya agak berbeda, pada tahun 1940 telah diproduksi sebuah film berjudul "Dasima" oleh Java Industrial Film dengan sutradara Tan Tjoei Hock. Akhirnya, untuk produksi layar lebar, tercatat pula sebuah film yang cukup berani pada masanya, berjudul "Samiun dan Dasima" yang dibuat oleh Chitra Dewi Film Production tahun 1970 dengan sutradara Hasmanan.

Kisah Dasima ini memang telah dibuat dalam format sinetron. Selain itu, tahun 1996, tragedi Dasima ini pernah dibuat berseri dan ditayangkan RCTI dengan arahan Ali Shahab. Untuk dunia panggung, cerita wanita cantik dari Curug, yang dipiara Edward W. ini tergolong populer. Setidak-tidaknya tahun 1960-an, perkumpulan "Kuncup Harapan" yang dimotori S.M. Ardan telah pentas keliling dengan kisah ini. Tentu, pementasan lain sangat mungkin telah berlangsung di mana-mana baik yang tradisional maupun modern. Untuk yang tradisional, misalnya pementasan oleh Komedie Stambul seperti diungkapkan oleh Kenji Tsuchiya dalam "On Cerita Nyai Dasima" (Sejarah, No. 7).

Demikian pula dengan Opera Miss Riboet, di masa penjajahan konon sudah mementaskan "Nyai Dasima" sebanyak 127 kali, selain tradisi sahibul hikayat dengan tukang cerita yang sering menampilkan kisah melodramatis ini. Sementara yang berpentas belakangan adalah EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) yang mengangkat judul "Madame Dasima" dalam bentuk drama musikal tahun 2001, meski sesungguhnya drama ini tidak langsung diangkat dari karya G. Francis, S.M. Ardan, atau Rachmat Ali.

Rachmat Ali? Ya, tahun 2000, gubahan Rachmat Ali dalam bentuk novel yang juga berjudul Nyai Dasima, diterbitkan Grasindo. Sedangkan S.M. Ardan sendiri telah menerbitkan karya ini dengan nada yang berbeda dari karya G. Francis, pada tahun 1965 (Penerbit Triwarsa) lalu di-cetak ulang tahun 1971 oleh Pustaka Jaya.

Kalau sejak akhir tahun 1920-an pembaca Belanda telah dapat mengonsumsi kisah ini, pembaca berbahasa Inggris dapat mengapresiasinya melalui terjemahan Harry Aveling, yang terbit tahun 1988. Perjalanan hidup Dasima pun ada yang digubah dalam lagu keroncong yang sering hanya merupakan bagian dari suatu pertunjukan. Kepopuleran Nyai Dasima, secara tersurat termaktub pula dalam beberapa karya fiksi, misalnya menjadi karya yang dibaca oleh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pram atau sebagai drama yang disinggung dalam karya Du Perron. 

Sastra populer

Jelas Nyai Dasima masih luas dikenal dan kerap mewujud menjadi semacam mitos atau legenda, beredar di khalayak dengan bermacam bumbu. Namun, apa sesungguhnya daya tarik Nyai Dasima sehingga ia mampu melintasi waktu dan bermetamorfosis dalam wujud narasi yang berbagai ini? Jawabannya, agaknya tidak lain karena karya ini merepresentasi formula sastra populer yang salah satu tekanannya adalah mengharu-biru emosi pembaca lewat sensitivitas latar multietnis dan bahkan bersentuhan dengan religiusitas yang dikemas dengan bungkus kesetiaan dan perselingkuhan. Pola ini, dalam zaman yang bagaimanapun, rasanya akan selalu menawan.

Ditilik dari aspek penceritaan, Nyai Dasima tidak ada "istimewa"-nya. Terlebih jika didekati dan dikomparasi dengan karya-karya yang terbit setelahnya, yang se-ring diperkaya dengan eksperimentasi dan inovasi, lagi-lagi karya ini memang biasa saja. Tapi, nyatanya, karya ini mampu bertahan untuk sekian lama, bahkan hingga tahun 2007 ini. Tentu kenyataan ini ada musababnya. Agaknya, memang ada sejumlah aspek formal yang beroperasi mengendalikan "kelanggengan" kisah ini di samping sisi romantik yang niscaya telah menjadi stimulator narasi.

Paling kentara, walau hanya sebuah melodrama biasa, tema dalam Nyai Dasima ini niscaya cenderung awet dan berpeluang mampu menggelitik emosi. Perbedaan etnis atau ras, cinta, selingkuh, diskriminasi, pemengaruhan sikap, keirihatian, penaklukan lewat guna-guna, peracunan, penistaan, dan pembunuhan, yang terdapat sekaligus di dalamnya, adalah tema-tema menggoda. Tema-tema "inti" itu, secara implisit memosisikan dirinya sebagai cerita yang selalu menarik perhatian atau menjadi semacam rambu moral.

Adanya stereotif tokoh-tokoh yang berlebihan, bisa saja "jatuh" secara kualitatif, tapi secara atraktif, sangat mungkin mampu memenuhi ekspektasi pembaca. Sebagai karya yang muncul dalam masyarakat yang umumnya masih niraksara (akhir abad ke-19), hadirnya karakter budiman, menawan, atau kebalikannya, kelewat dengki, tega dalam menista, serta kejam, merupakan semacam keharusan yang diam-diam dituntut pembaca. Semua ini ada dalam Nyai Dasima dan pembaca seperti memperoleh tempat pelarian yang menyenangkan. Penampilan tokoh-tokoh yang hitam-putih semacam itu, jangan dikira akan dijauhi oleh pembaca; justru sebaliknya, ia dapat menjadi ruang yang berfungsi sebagai semacam katarsis, meskipun hanya kuasi.

Kelinearan alur yang sederhana tidak berarti membuat pembaca bosan, tapi malahan "memaksa" pembaca masuk ke teras persoalan secara intensif; menyebabkan pembaca masuk dalam penglibatan tak berjarak, sehingga sentimentalitas teraduk-aduk secara efektif. Kondisi semacam ini memang tidak mengarahkan pembaca kepada kekritisan, melainkan hanya pada peluapan emosional belaka.

Melihat faktor-faktor ini saja, tidak salah jika Nyai Dasima dapat diindikasi sebagai karya populer. Namun, kecenderungan "populer" pada sebuah karya tidak semestinya lantas mengarahkan kita kepada sikap "menganggap" atau "menafikan" yang bersifat sosiohistoris. Dinamika khazanah sastra, secara esensial, tidak lain (merupakan) cerminan perjalanan intelektualitas, paling kurang dari kesahajaan menuju ke kekompleksan.

Oleh karena itu, jika Nyai Dasima secara stilistik bersahaja, itu pun merupakan ekspresi jujur dalam menampilkan dirinya bersangkutan dengan lingkungan intelektual saat itu. Semua ini tentu harus dipandang dalam kaitannya dengan tradisi penulisan saat itu, kemelekhurufan atau situasi kependidikan, taraf apresiasi masyarakat semasa, sistem penerbitan atau reproduksi yang ada, maupun sistem-sistem lain yang secara alami membentuk suatu kondisi. Kelahiran Nyai Dasima, sekali lagi, berkaitan dengan situasi intelektualitas yang masih berada dalam taraf "rendah" itu dan tidak berasal dari suatu tradisi penulisan fiksi yang telah mapan.

Bagaimanapun, Nyai Dasima yang memang sebuah karya sastra populer, justru dapat dikatakan sebagai yang meretas jalan kepada hadirnya kesusastraan Indonesia modern.*** 

Penulis, peminat sastra, tinggal di Depok.

Sumber: Pikiran Rakyat, 10 Maret 2007


Jan 8, 2008

Ketidakpastian peradaban dalam bungkus science fiction

Bukan hanya Narnia, karya fiksi CS Lewis yg satu ini pun membukakan cakrawala pemikiran kita mengenai satu lagi aspek kehidupan... ketidakpastian hidup manusia, ketidakpastian budaya, ketidakpastian peradaban. / EJ

PS:
Perelandra atau juga dikenal sbg Voyage to Venus (on Venus) adalah buku ke-2 dari Cosmic Trilogy. Buku pertamanya adalah Out of the Silent Planet (on Mars) dan buku terakhirnya adalah That Hideous Strength (on Earth).

Fiksi Perelandra

Mikhael Dua

PERELANDRA adalah sebuah planet yang tidak memiliki daratan. Semuanya terdiri dari air yang mengalir tak berhenti. Karena itu tidak ada sesuatu pun yang berdiri tegak di atasnya. Makhluk-makhluk di atasnya harus memiliki kemampuan untuk meloncat dari satu pulau ke pulau yang lain, tanpa pernah bisa bertahan lama dalam pulau yang tidak memiliki daratan tersebut.

Ini adalah deskripsi figuratif mengenai sebuah planet dalam karya fiktif ilmu pengetahuan CS Lewis, penulis berkebangsaan Irlandia, pertengahan abad lalu. Para pembaca tentu terkagum-kagum dengan cara Lewis melukiskan planet yang diberi nama Perelandra itu. Bayangkan jika Anda diajak ke sana. Anda mungkin harus belajar menjaga keseimbangan agar tidak terpelosok dalam-dalam karena planet itu tidak memiliki basis tanah yang padat. Maka Anda mungkin akan tenggelam secara tak berhingga.

Bagi banyak orang, fiksi planet Perelandra tersebut bersifat omong kosong dan mengawang-awang. Penulisnya hanyalah seorang sastrawan yang tidak mengenal ilmu pengetahuan dan kosmologi, demikian penilaian mereka. Memang, Lewis bukanlah seorang ilmuwan beken seperti Einstein, Heisenberg, Bohr, dan Crick & Watson yang memiliki teori-teori yang dapat diuji kebenarannya. Lalu, apa pentingnya kita berbicara tentang fiksi Perelandra tersebut dalam sebuah refleksi etika di harian ini, justru pada awal tahun penuh optimisme ini?

Sebagai seorang sastrawan Lewis tidak ingin berargumen dengan cara sebagai ilmuwan. Alih-alih berbicara tentang dunia konkret, ia malah mengalihkan perhatian kita pada dunia astrologi dan mengajak kita untuk berjalan-jalan ke planet Venus imajiner, yang ia beri nama Perelandra. Sebagai seorang sastrawan ia berminat dengan narasi kemanusiaan kita. Karena itu, melalui fiksi Perelandra ia ingin berceritera tentang hidup manusia yang sebenarnya.

Makhluk-makhluk yang berdiam di Perelandra selalu hidup dalam alam yang tidak pasti, persis seperti yang kita alami sekarang, ketika kita menghadapi tsunami, banjir, tanah longsor, dan gempa. Semua bencana itu sama seperti air dalam dunia Perelandra, yang harus kita alami tanpa harus memahami dasarnya secara mendalam. Bantuan dan penanganan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta tidak pernah dapat mengembalikan kita ke situasi awal. Kita tidak pernah berpijak pada dasar tanah yang kering dan kokoh yang sebenarnya. Sebab yang kita alami adalah peruba- han dan ketidakpastian tak henti-hentinya.

Kepastian Ilmiah

Dengan analogi ini, Lewis ingin menertawakan semua doktrin kepastian sebagaimana didukung oleh ilmu pengetahuan modern. Sebagaimana diasumsikan Lewis, ilmu modern telah membangun dirinya di atas basis idea clara et distincta, teori-teori yang jelas dan kasatmata yang dibantu oleh logika klasifikasi yang memetakan dunia secara rasional. Program riset ilmiah sepanjang kurang lebih tiga setengah abad belakangan ini jika kita menghitung dari munculnya karya-karya John Locke, R Descartes, dan Adam Smith, telah memitoskan kepastian ilmiah itu. Masyarakat dan agama kita pun dibangun di atas cita-cita idea clara et distincta gaya Descartes tersebut. Keduanya menentukan standar yang dapat dipakai untuk menghukum mereka yang menyimpang dalam masyarakat dan agama.

Lewis, dengan demikian, mengintip apa yang dikatakan para antropolog tahun 1950-an, yang berpendapat bahwa kepastian adalah cita-cita dalam hampir semua kebudayaan. Kepastian kultural tersebut bukanlah masalah perasaan individual, melainkan sebuah masalah lembaga. Setiap masyarakat ingin kepastian, sehingga setiap keraguan yang ditimbulkan oleh individu atau kelompok akan segera diblokir secara institusional. Banyak keputusan individu yang membawa resiko bagi masyarakat luas akan selalu ditekan lembaga.

Tetapi, mengapa ketidakpastian kita bertambah dewasa ini? Para ilmuwan tahu bahwa dalam 300 tahun terakhir ini cita-cita Descartes mengenai kepastian tidak pernah terpenuhi. Dunia kedokteran harus mengeluarkan banyak dana penelitian untuk mendapatkan kepastian pengobatan yang tidak pernah memuaskan secara tuntas. Resep- resep dokter tidak lebih dari tebakan profesional, dengan harapan dan doa agar pasiennya benar-benar sembuh. Begitu juga kehidupan demokrasi yang kita dukung habis-habisan belum pasti memberikan kepastian politik, jika tidak didukung oleh otoritas pengambil keputusan yang dapat mengatasi semua perbedaan.

Oleh karena itu, karya Lewis menjelaskan kepada kita bahwa cita-cita kepastian berakhir sinis. Kita harus bergerak meninggalkan fundamentalisme ilmiah dan moral yang percaya bahwa ada kepastian mutlak. Alih-alih membawa kepastian ilmiah dan moral, menggunakan gaya Karl Popper, semua metode ilmiah dan moral yang kita gunakan hanya memberikan kepada kita conjectures, rekaan ilmiah yang dapat ditolak dengan bukti-bukti yang empiris.

Kepemimpinan

Mitos Perelandra menjelaskan kepada kita bahwa gagasan kepastian sedang mengalami pasang surut dalam kebudayaan kita dewasa ini, karena faktor ekonomi dan teknologi. Jika ini benar, barangkali tidak berguna jika kita merekomendasikan perubahan yang mendudukkan kembali posisi rasionalisme ilmiah yang menyisihkan penjelasan-penjelasan lain.

Dalam kesadaran akan sinisme kepastian itu, Lewis secara diam- diam ingin mengusulkan agar kita melakukan sebuah transformasi dalam diri kita sendiri untuk mengakui ketidakpastian.

Secara konkret, pengakuan terhadap ketidakpastian ini berarti sebuah ajakan agar kita secara sadar memasuki dunia yang tidak kita ketahui secara pasti, menjauhkan diri dari sikap penyensuran yang radikal, dan bersedia menerima gagasan lain yang merembes masuk dalam pikiran kita tanpa harus mengabaikannya atas nama rigorisme intelektual yang kita miliki.

Etos ketidakpastian ini memiliki urgensinya: tidak untuk menimbulkan pesimisme melainkan membangkitkan optimisme terhadap sebuah kepastian. Sejak kebudayaan modern bercita-cita untuk melahirkan homo economicus, manusia individu rasional yang memiliki ambisi untuk mengenal seluk-beluk hukum-hukum alam, dan sang pahlawan kebudayaan liberal, sejak saat itu pula manusia hanya memiliki satu tuntutan, yaitu kebebasan untuk berkuasa. Cara hidup tersebut menjebak kita ke dalam penghancuran alam, kecurigaan terhadap bangsa dan kebudayaan yang berbeda, dan fanatisme yang berkelebihan.

Penelitian antropologi menjelaskan bahwa manusia di seluruh dunia selalu sama. Kita adalah manusia rasional yang membutuhkan koordinasi. Kita membutuhkan kepemimpinan yang dapat membawa perubahan, janji, jaminan sosial, dan hidup. Jika dewasa ini kita sedang mengalami krisis yang berkepanjangan, kita sebenarnya mengharapkan sebuah kepemimpinan yang dapat mengembalikan kepastian hidup sebagai masyarakat. Tanpa itu setiap orang dan suku akan berjalan sendiri-sendiri. Itu berarti ketidakpastian Perelandra benar-benar terjadi. Mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi dalam tahun-tahun yang akan datang.

Penulis adalah Kepala Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya dan pengajar fil safat ilmu pengetahuan di Fakultas Teknik Unika Atma Jaya


Sumber: Suara Pembaruan, 5/1/08

Jan 4, 2008

Benefits of reading (fiction)

["Because, mate, If I'd ever learnt to read I would never have ended up in jail." -- former prisoner]

Love of reading opens up a world of possibilities

Tanya Plibersek
SMH, December 12, 2007

The novel Northanger Abbey, one of Jane Austen's less read works, has a gentle dig at the contorted plotlines and melodramatic expression of the gothic novels popular in the author's day.

But still Austen offers a defence of the novel, having her hero Henry Tilney say, "the person, be it gentleman or lady, who has not pleasure in a good novel, must be intolerably stupid".

Today's students need Jane Austen (and other authors who have stood the test of time) as much as ever. Good fiction is not a waste of time.

True story: a young man wondered why his colleague - a huge, rough-looking gardener who sported the DIY teardrop facial tattoos common on prisoners - read children's books at lunch time. His lips would move slowly as he read and re-read the picture books. The young man finally worked up the courage to ask why. "Because, mate," came the reply, "If I'd ever learnt to read I would never have ended up in jail."

He was learning the books so he could read them more fluently to his own children, hoping to spark in them an interest in reading he had never had.

It is a tragedy that 2½ million Australians can't read and another 2.7 million can barely read. Getting children who don't like reading to read comic books or reviews of computer games or car manuals - it doesn't matter what - is important. But we shouldn't lower our expectations of children.

Studying English should be more than just learning to communicate. It should be learning to love language. Of course, students need the basic skills of literacy - spelling, punctuation, grammar, a broad vocabulary - but complex and creative thinking relies on a playfulness with language that is bred by immersion in all its possibilities.

Many people eschew fiction, thinking that reading time should be spent learning facts. Good fiction helps us understand human experience. It is the food of empathy. It can make other cultures, other historical periods real for us. It is empathy that drives social progress: if we can imagine the hardships of a person's life we are prepared to work to relieve their burden.

As well as helping us understand the world, fiction helps us understand ourselves. Jane Austen's heroines are appealing (except, perhaps, the insipid Fanny Price) but they are mostly flawed. Emma Woodhouse thinks too highly of her own understanding; Elizabeth Bennet jumps to false conclusions; Anne Elliot has to learn proper balance between respecting the wishes of her family and being true to herself. No one can help reading these novels without asking, "Am I guilty of the same failing?"

In a world where teenagers are exposed to consumerism, early sexualisation, self-destructive behaviour and the prevailing message that if they want something they should have it (and happiness lies in getting everything you want), diving into a world that confronts them with moral dilemmas can open up parts of their minds that are otherwise not challenged. How many young people first thought about apartheid in South Africa after reading Alan Paton's great novels?

We want young Australians exposed to the best the English language has to offer, including the best colloquial expressions of it, because we want to develop the part of the brain that feeds creativity and complexity, that understands subtlety and wit, that allows higher communication and an ability to see things from the perspective of another.

Several years ago the Singapore Government realised that the education system of Singapore, while excellent, did not foster creativity in students. Since 2004 the Singapore Government has adopted a policy of "teach less, learn more", which aims for "less dependence on rote learning, repetitive tests and a 'one size fits all' type of instruction, and more on experiential discovery, engaged learning, differentiated teaching, the learning of life-long skills, and the building of character …"

One of the reasons cited for this change was that students needed to be better innovators for the good of the economy. Well, there is that, but reading good literature happens to be delightful, too.

Tanya Plibersek is a Federal Government minister and the federal member for Sydney.