Jan 8, 2008

Ketidakpastian peradaban dalam bungkus science fiction

Bukan hanya Narnia, karya fiksi CS Lewis yg satu ini pun membukakan cakrawala pemikiran kita mengenai satu lagi aspek kehidupan... ketidakpastian hidup manusia, ketidakpastian budaya, ketidakpastian peradaban. / EJ

PS:
Perelandra atau juga dikenal sbg Voyage to Venus (on Venus) adalah buku ke-2 dari Cosmic Trilogy. Buku pertamanya adalah Out of the Silent Planet (on Mars) dan buku terakhirnya adalah That Hideous Strength (on Earth).

Fiksi Perelandra

Mikhael Dua

PERELANDRA adalah sebuah planet yang tidak memiliki daratan. Semuanya terdiri dari air yang mengalir tak berhenti. Karena itu tidak ada sesuatu pun yang berdiri tegak di atasnya. Makhluk-makhluk di atasnya harus memiliki kemampuan untuk meloncat dari satu pulau ke pulau yang lain, tanpa pernah bisa bertahan lama dalam pulau yang tidak memiliki daratan tersebut.

Ini adalah deskripsi figuratif mengenai sebuah planet dalam karya fiktif ilmu pengetahuan CS Lewis, penulis berkebangsaan Irlandia, pertengahan abad lalu. Para pembaca tentu terkagum-kagum dengan cara Lewis melukiskan planet yang diberi nama Perelandra itu. Bayangkan jika Anda diajak ke sana. Anda mungkin harus belajar menjaga keseimbangan agar tidak terpelosok dalam-dalam karena planet itu tidak memiliki basis tanah yang padat. Maka Anda mungkin akan tenggelam secara tak berhingga.

Bagi banyak orang, fiksi planet Perelandra tersebut bersifat omong kosong dan mengawang-awang. Penulisnya hanyalah seorang sastrawan yang tidak mengenal ilmu pengetahuan dan kosmologi, demikian penilaian mereka. Memang, Lewis bukanlah seorang ilmuwan beken seperti Einstein, Heisenberg, Bohr, dan Crick & Watson yang memiliki teori-teori yang dapat diuji kebenarannya. Lalu, apa pentingnya kita berbicara tentang fiksi Perelandra tersebut dalam sebuah refleksi etika di harian ini, justru pada awal tahun penuh optimisme ini?

Sebagai seorang sastrawan Lewis tidak ingin berargumen dengan cara sebagai ilmuwan. Alih-alih berbicara tentang dunia konkret, ia malah mengalihkan perhatian kita pada dunia astrologi dan mengajak kita untuk berjalan-jalan ke planet Venus imajiner, yang ia beri nama Perelandra. Sebagai seorang sastrawan ia berminat dengan narasi kemanusiaan kita. Karena itu, melalui fiksi Perelandra ia ingin berceritera tentang hidup manusia yang sebenarnya.

Makhluk-makhluk yang berdiam di Perelandra selalu hidup dalam alam yang tidak pasti, persis seperti yang kita alami sekarang, ketika kita menghadapi tsunami, banjir, tanah longsor, dan gempa. Semua bencana itu sama seperti air dalam dunia Perelandra, yang harus kita alami tanpa harus memahami dasarnya secara mendalam. Bantuan dan penanganan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta tidak pernah dapat mengembalikan kita ke situasi awal. Kita tidak pernah berpijak pada dasar tanah yang kering dan kokoh yang sebenarnya. Sebab yang kita alami adalah peruba- han dan ketidakpastian tak henti-hentinya.

Kepastian Ilmiah

Dengan analogi ini, Lewis ingin menertawakan semua doktrin kepastian sebagaimana didukung oleh ilmu pengetahuan modern. Sebagaimana diasumsikan Lewis, ilmu modern telah membangun dirinya di atas basis idea clara et distincta, teori-teori yang jelas dan kasatmata yang dibantu oleh logika klasifikasi yang memetakan dunia secara rasional. Program riset ilmiah sepanjang kurang lebih tiga setengah abad belakangan ini jika kita menghitung dari munculnya karya-karya John Locke, R Descartes, dan Adam Smith, telah memitoskan kepastian ilmiah itu. Masyarakat dan agama kita pun dibangun di atas cita-cita idea clara et distincta gaya Descartes tersebut. Keduanya menentukan standar yang dapat dipakai untuk menghukum mereka yang menyimpang dalam masyarakat dan agama.

Lewis, dengan demikian, mengintip apa yang dikatakan para antropolog tahun 1950-an, yang berpendapat bahwa kepastian adalah cita-cita dalam hampir semua kebudayaan. Kepastian kultural tersebut bukanlah masalah perasaan individual, melainkan sebuah masalah lembaga. Setiap masyarakat ingin kepastian, sehingga setiap keraguan yang ditimbulkan oleh individu atau kelompok akan segera diblokir secara institusional. Banyak keputusan individu yang membawa resiko bagi masyarakat luas akan selalu ditekan lembaga.

Tetapi, mengapa ketidakpastian kita bertambah dewasa ini? Para ilmuwan tahu bahwa dalam 300 tahun terakhir ini cita-cita Descartes mengenai kepastian tidak pernah terpenuhi. Dunia kedokteran harus mengeluarkan banyak dana penelitian untuk mendapatkan kepastian pengobatan yang tidak pernah memuaskan secara tuntas. Resep- resep dokter tidak lebih dari tebakan profesional, dengan harapan dan doa agar pasiennya benar-benar sembuh. Begitu juga kehidupan demokrasi yang kita dukung habis-habisan belum pasti memberikan kepastian politik, jika tidak didukung oleh otoritas pengambil keputusan yang dapat mengatasi semua perbedaan.

Oleh karena itu, karya Lewis menjelaskan kepada kita bahwa cita-cita kepastian berakhir sinis. Kita harus bergerak meninggalkan fundamentalisme ilmiah dan moral yang percaya bahwa ada kepastian mutlak. Alih-alih membawa kepastian ilmiah dan moral, menggunakan gaya Karl Popper, semua metode ilmiah dan moral yang kita gunakan hanya memberikan kepada kita conjectures, rekaan ilmiah yang dapat ditolak dengan bukti-bukti yang empiris.

Kepemimpinan

Mitos Perelandra menjelaskan kepada kita bahwa gagasan kepastian sedang mengalami pasang surut dalam kebudayaan kita dewasa ini, karena faktor ekonomi dan teknologi. Jika ini benar, barangkali tidak berguna jika kita merekomendasikan perubahan yang mendudukkan kembali posisi rasionalisme ilmiah yang menyisihkan penjelasan-penjelasan lain.

Dalam kesadaran akan sinisme kepastian itu, Lewis secara diam- diam ingin mengusulkan agar kita melakukan sebuah transformasi dalam diri kita sendiri untuk mengakui ketidakpastian.

Secara konkret, pengakuan terhadap ketidakpastian ini berarti sebuah ajakan agar kita secara sadar memasuki dunia yang tidak kita ketahui secara pasti, menjauhkan diri dari sikap penyensuran yang radikal, dan bersedia menerima gagasan lain yang merembes masuk dalam pikiran kita tanpa harus mengabaikannya atas nama rigorisme intelektual yang kita miliki.

Etos ketidakpastian ini memiliki urgensinya: tidak untuk menimbulkan pesimisme melainkan membangkitkan optimisme terhadap sebuah kepastian. Sejak kebudayaan modern bercita-cita untuk melahirkan homo economicus, manusia individu rasional yang memiliki ambisi untuk mengenal seluk-beluk hukum-hukum alam, dan sang pahlawan kebudayaan liberal, sejak saat itu pula manusia hanya memiliki satu tuntutan, yaitu kebebasan untuk berkuasa. Cara hidup tersebut menjebak kita ke dalam penghancuran alam, kecurigaan terhadap bangsa dan kebudayaan yang berbeda, dan fanatisme yang berkelebihan.

Penelitian antropologi menjelaskan bahwa manusia di seluruh dunia selalu sama. Kita adalah manusia rasional yang membutuhkan koordinasi. Kita membutuhkan kepemimpinan yang dapat membawa perubahan, janji, jaminan sosial, dan hidup. Jika dewasa ini kita sedang mengalami krisis yang berkepanjangan, kita sebenarnya mengharapkan sebuah kepemimpinan yang dapat mengembalikan kepastian hidup sebagai masyarakat. Tanpa itu setiap orang dan suku akan berjalan sendiri-sendiri. Itu berarti ketidakpastian Perelandra benar-benar terjadi. Mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi dalam tahun-tahun yang akan datang.

Penulis adalah Kepala Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya dan pengajar fil safat ilmu pengetahuan di Fakultas Teknik Unika Atma Jaya


Sumber: Suara Pembaruan, 5/1/08

No comments: