Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Jun 24, 2011

Mencari Jejak Tuhan dalam Sejarah

 
Masa Depan Tuhan
Friday, 24 June 2011
Judul di atas adalah judul buku baru karangan Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan (2011) dalam edisi bahasa Indonesia. Aslinya The Case for God: What Religion Really Means.

 
Armstrong adalah penulis keagamaan yang serius, tradisi risetnya kuat, sehingga pantas jika lebih dari 15 bukunya masuk ranking terlaris di dunia. Tuhan dalam kajian Armstrong adalah Tuhan yang menyejarah, yang hidup di tengah dan bersama pemeluknya,Tuhan yang kemudian melahirkan komunitas orang beriman dan sekian banyak tradisi dan institusi agama. 

Jadi, Tuhan sebagai Yang Mahatinggi dan Absolut tentu tidak dibatasi waktu, tak mengenal kemarin, sekarang, dan masa depan. Bahkan juga tidak terpahami oleh akal pikiran. Kita terlalu banyak berbicara tentang Tuhan akhir-akhir ini dan apa yang kita katakan sering dangkal, kata Armstrong (hlm 9). 

Di samping menyajikan dinamika jejak-jejak Tuhan dan pengaruhnya dalam sejarah manusia, buku ini secara tidak langsung menjawab paham ateisme modern yang berciri sangat rasional dan ilmiah (scientific atheism) yang telah memukau masyarakat modern dan anak-anak muda di Barat. 

Selama abad ke-16 dan ke-17, di Barat lahir peradaban baru yang diatur dengan rasionalitas ilmiah dan ekonomi yang berbasis pada teknologi serta penanaman modal. Sejak itu satu-satunya ukuran kebenaran adalah metode ilmiah. Logos mengalahkan mitos. Padahal di dalam mitos keagamaan terkandung kebenaran dan kebajikan yang tidak dapat dijangkau oleh logos.

Tafsiran yang serba rasional atas agama menimbulkan dua fenomena baru yang sangat khas: fundamentalisme dan ateisme (hlm 19). Selama ini tokoh yang mengembangkan paham ateisme selalu merujuk pada Feurbach, Karl Marx, Nietzsche, atau Freud yang muncul di abad ke-19. Tetapi sekarang bermunculan paham ateisme baru yang dimotori terutama oleh Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris.

Dalam karya-karya mereka akan ditemukan argumentasi ilmiah kontemporer untuk menyerang umat beragama yang masih mempercayai Tuhan dan campur tangan-Nya dalam sejarah.Terhadap serangan dimaksud, buku Armstrong ini turut berdiri sebagai pembelaan terhadap eksistensi agama-agama. 

Logika dan pendekatan ilmiah, terlebih yang mengandalkan paham empirisisme-positivisme, tidak akan pernah mampu memotret dan menganalisis misteri kehidupan, keberagamaan, dan kebertuhanan. Berbagai karya Armstrong secara serius berhasil menyajikan betapa agama dan keyakinan pada Tuhan selalu hadir pada panggung sejarah dan turut memengaruhi manusia memaknai hidupnya. 

Agama, keyakinan, dan pemahaman terhadap Tuhan, senantiasa berinteraksi dengan perkembangan sejarah sebuah masyarakat dengan segala aspeknya. Karena itu, katanya, memahami kitab suci hanya sebatas kata-kata literernya akan menyesatkan dan mengalami reduksi, tidak sampai pada pesan inti agama.

Di sisi lain, arogansi ilmiah dalam memahami agama telah mendorong munculnya respons balik berupa fundamentalisme agama. Perubahan mindset pemahaman agama dan kehidupan di Eropa sangat dipengaruhi oleh ekspedisi Christopher Columbus pada 1492 yang berhasil menemukan benua baru Amerika, yang disponsori Raja Katolik Ferdinand dan Isabella.

Berita keberhasilan ini menyebar bagaikan wabah baru, bahwa di luar Eropa ternyata ada dunia lain yang sangat menarik untuk dieksplorasi. Jadi, ekspedisi, eksplorasi, perpindahan penduduk, dan penyebaran informasi baru selalu melahirkan sintesa budaya baru, yang diawali dengan masalah dan tantangan baru. 

Hari ini, apa yang terjadi pada abad ke-15 di Eropa telah merata di seluruh dunia melalui jejaring internet dan dunia maya. Masyarakat terkondisikan untuk berani melampaui batas-batas dunia yang diketahui. Perjumpaan dan benturan berbagai tradisi dan informasi budaya serta agama ini telah membuat sebagian besar umat beragama gamang dan kaget (shocked). 

Bahwa klaim kebenaran, keilahian, dan surga ternyata juga dimiliki oleh kelompok umat agama lain. Sementara itu, ada juga kelompok yang secara gigih menentang adanya Tuhan dan ingin menghapus agama. Perasaan tidak nyaman dan terancam dalam beragama inilah akar munculnya gerakan fundamentalisme. 

Mengutip Armstrong, fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka coba bela, misalnya dengan sangat selektif baca ayat-ayat kitab suci yang membenarkan kekerasan dan permusuhan terhadap umat yang berbeda keyakinan (hlm 470). 

Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi sebenarnya religiositas jenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan (hlm 471). Demikianlah, dunia terus berputar. Sejarah terus bergulir merekam sepak terjang pemikiran dan perilaku manusia. Agama pun sering kali jadi sasaran kritik dan caci maki.

Tetapi nyatanya agama tetap hidup dan berkembang.Tuhan selalu berada di hati manusia. Ini membenarkan pandangan yang mengatakan bahwa "agama memiliki seribu nyawa". Kalaupun mati satu, masih lebih banyak yang bertahan hidup.

Orang boleh saja mengkritik perilaku umat beragama dan berbagai institusi keagamaan yang dibangunnya, tapi kesadaran, kebutuhan dan keyakinan agama masih tetap menggelora. Dengan agama seseorang mencari makna dan tujuan hidup yang lebih hakiki dan mulia. (Prof Dr Komaruddin Hidayat - Rektor UIN Syarif Hidayatullah)
 

Aug 24, 2010

Indonesianist Peneliti Keraton Yogyakarta

"Saya sebenarnya sudah separuh pensiun, tetapi tidak bisa diam dan ingin terus belajar..."


Menggelar Indonesia di Mancanegara
Selasa, 24 Agustus 2010 | 02:43 WIB
KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN
JENNIFER LINDSAY

MAWAR KUSUMA

Abdi dalem Keraton Yogyakarta, KRT Rintaiswara, menyodorkan buku katalog karya Jennifer Lindsay saat menjelaskan kekayaan koleksi manuskrip di Kewedanaan Hageng Punakawan Perpustakaan Widya Budaya. Buku itu menjadi panduan bagi mereka yang ingin mempelajari manuskrip tentang Keraton Yogyakarta.

Lindsay, peneliti Australia itu, membuat buku proyek mikrofilm naskah di Keraton Yogyakarta dibantu dua rekannya, RM Soetanto dan Alan Feinstein, tahun 1985. Proyek itu atas permintaan Sultan Hamengku Buwono IX. Setelah 20 tahun kemudian buku karyanya itu masih menjadi satu-satunya katalog manuskrip Keraton Yogyakarta.

Tak berhenti pada manuskrip keraton, dia terus menunjukkan ketertarikannya pada budaya dan sejarah Indonesia. Kini perempuan kelahiran Selandia Baru itu memimpin proyek penelitian "Indonesia's Cultural History 1950-1965: in Search of a Lost Legacy". Pada proyek ini dia meneliti dan menulis misi kesenian Indonesia ke luar negeri.

Ia mewawancarai langsung para pelaku seni budaya era 1950-1965-an yang merupakan duta Indonesia ke berbagai negara. Dia menangkap, betapa pentingnya budaya sebagai alat diplomasi saat Indonesia masih berusia muda.

"Dari awal, saya sangat menghargai mereka yang memilih hidup tidak gampang," ujarnya.

Selain menghasilkan buku penelitian 20 penulis, dibantu Australia-Netherlands Research Collaboration Scheme, Lindsay juga menyutradarai film dokumenter, Menggelar Indonesia. Film ini berisi wawancara dengan 30 duta seni budaya Indonesia pada awal kemerdekaan, yang menjadi produk sampingan penelitiannya.

Film itu diputar gratis di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, dan Bali. Rencananya, Menggelar Indonesia juga akan diputar di perguruan tinggi dan komunitas lain di luar negeri. Ia mengaku senang karena para pelaku sejarah itu kembali diperhatikan, sekaligus menginspirasi kaum muda untuk menghargai sejarah.

Bersama Bulantrisna Djelantik, Irawati Durban Ardjo, dan Menul Robi Sularto, Lindsay memproduksi film dokumenter berdurasi 90 menit itu. Sebelumnya, ia meneliti periode awal kemerdekaan Indonesia selama setahun. Buku hasil penelitian kolaborasi baru itu akan dirilis awal September nanti. "Film ini arsip sejarah. Tak hanya sejarah Indonesia, tapi sejarah dunia," katanya.

Lindsay prihatin sebab perhatian masyarakat pada era 1950-1965 amat kurang. "Saya terkesan, pada awal berdirinya Republik ini, budaya begitu penting. Budaya yang membawa Indonesia ke luar negeri sekaligus membentuk rasa Indonesia di dalam negeri," tambahnya.

Kecintaan bertahap

Kecintaannya kepada Indonesia dibangun bertahap. Pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia pada usia 19 tahun, Lindsay jatuh cinta pada budaya Indonesia. Itulah kali pertama dia ke luar negeri. Ia tinggal di Yogyakarta selama enam tahun, sejak 1971. Di sini Lindsay belajar gamelan, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa.

Ingin semakin mengenal Indonesia, ia melanjutkan kuliah S-2 di Cornell University, Amerika Serikat, pada 1978-1980. Ia mengambil jurusan Sejarah Asia Tenggara. Pemilihan jurusan Sejarah itu, diakuinya, sebenarnya aneh. Sebab, ia pernah tak lulus mata kuliah Sejarah saat kuliah S-1 Sastra Inggris di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Lindsay lalu melanjutkan S-3 jurusan Kajian Indonesia di University of Sydney, Australia. Katalog mikrofilm naskah Keraton Yogyakarta adalah buku pertama yang ditulisnya, ketika menggelar penelitian PhD pada 1981-1983. Disertasinya diterbitkan tahun 1991, berjudul Klasik, Kitsch, Kontemporer: Sebuah Studi Mengenai Pertunjukan Jawa.

Setelah menyelesaikan S-3, ia bekerja pada Australia Council, membidangi kebijakan kesenian dengan pendanaan dari pemerintah. Dia lalu diangkat sebagai Atase Kebudayaan Australia di Kedutaan Australia di Jakarta pada 1989-1992. Dia juga sempat bekerja di Ford Foundation, Jakarta. Selanjutnya, Lindsay mengajar pada program Asia Tenggara di National University of Singapore, menjadi peneliti tamu pada Asia Research Institute, serta dosen Kajian Pagelaran Asia di University of Sydney. Karier mengajarnya berhenti tahun 2006 ketika ia memutuskan pensiun dan fokus sebagai penulis, penerjemah, dan peneliti.

Kini dia menjadi peneliti tamu pada School of Culture, History and Language, College of Asia and the Pacific, di Australia National University (ANU). Sejak tahun 2008 ia juga menjadi peneliti tamu pada International Institute of Asian Studies and KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) Leiden, Belanda.

Menguasai segudang pengetahuan tentang sejarah dan budaya Indonesia, Lindsay merasa semakin tidak tahu apa-apa. Semua pelajaran tentang budaya ataupun sejarah yang telah dipelajarinya, semuanya terasa baru dan menarik.

"Semakin tua, semakin belajar sesuatu yang baru, saya semakin merasa tidak tahu," katanya.

Ia yakin, setiap orang tak akan bisa memahami masa sekarang tanpa melirik masa lalu. Sejatinya, sejarah adalah sesuatu yang mengasyikkan dan menarik. Sejarah sama sekali tidak kering. Sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan menjadi bagian dari kekinian.

Jennifer Lindsay bercerita, kecintaannya terhadap seni budaya sudah tertanam sejak masih kanak-kanak. Orangtuanya berprofesi sebagai pemusik. Ayahnya dirigen orkes dan pemain violin, sedangkan ibunya antara lain bermain piano. Lindsay kecil pun belajar bermain piano dan selo. Maka dia juga menyukai hampir semua jenis musik, bukan hanya gamelan Jawa.

Perempuan yang lebih senang disebut sebagai pemerhati budaya itu mengatakan, ia akan terus memberikan pemikirannya bagi Indonesia. Ikatan batin Lindsay dengan Indonesia dan teman-temannya di Indonesia membuat dia lebih sering menghabiskan waktu di Indonesia dibandingkan di Selandia Baru atau Australia.

"Saya sebenarnya sudah separuh pensiun, tetapi tidak bisa diam dan ingin terus belajar (tentang Indonesia)," katanya menegaskan.

Sumber: Kompas, 24/8/10

Apr 24, 2009

Argentina 1976-1983

Estaba la Madre

Senin, 20 April 2009

"Ibu itu di sana, berdiri, berkabung…"

Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedih­an manusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.

Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terban­dingkan. Tapi pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan.

Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah titah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ribuan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu orang hilang.

Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik. Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio, Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap.

Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkat­an laut menceritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda yang diculik itu. Pada suatu saat mere­ka akan dibius dan ditelanjangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat. Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu….

Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak mengingatkan orang lagi akan zaman yang buas itu. Ia menciptakan sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di YouTube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesunyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda itu muncul seje­nak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah. Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.

Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan sejumlah perempuan yang tak lazim. "Inilah orang-orang gila itu," begitu kita dengar di pembukaan.

Para "orang gila", umumnya separuh baya, berbaris di jalan, dengan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah dihilangkan. Me­reka "gila" karena di negeri yang ketakutan itu, mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama 20 tahun.

"Saya tak bisa melupakan," kata Renee Epelbaum. "Saya tak bisa memaafkan." Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai "Para Ibu di Plaza de Mayo"—sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-angsur, jumlah itu jadi 400.

Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo. Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre, misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang digubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan di Golgotha: "Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius…"—"Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung."

Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang "hilang".

Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. "Kamis, mereka menunggunya untuk makan malam di rumah," demikianlah paduan ­suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali.

"Ini pukul sembilan.

Ini pukul 10.

Tengah malam

Fajar datang,

dan ia tak pernah pulang."

Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan?

Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika "Tim Mawar" dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutalan dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak yakin akan legitimasinya sendiri.

Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka mengancam si lemah dan meng­ajukan dalih kebersamaan—hingga terdengar menggelikan:

Hidup kemerdekaan!

Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.

Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang

mengaku.

Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka

menjerit.

Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, di pel­bagai sudut di Buenos Aires, kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: "Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan."   Goenawan Mohamad

 
Sumber: Tempo, 20 April 09

Feb 17, 2008

Asal Usul: Valentine's Day

Sejarah Kisah Kasih 14 Februari

Bunga mawar yang sering dijadikan simbol kasih sayang

Kompas, 14 Februari 2008

USAI mempersembahkan kambing dan minum anggur, para pendeta berlari berhamburan di jalan-jalan kota. Tak lupa, mereka pun menggenggam potongan-potongan kulit kambing kurban tadi. Mereka juga menyentuh siapa saja yang mereka jumpai.

Nah, biasanya, perempuan-perempuan mudalah yang sangat ingin disentuh dengan potongan-potongan kulit kambing seraya berharap beroleh karunia kesuburan berikut bisa melahirkan dengan mudah. "Demi Lupercus!" begitulah kira-kira teriakan mendamba para perempuan untuk anugerah tersebut.

Ya, Lupercus, dewa yang sosoknya digambarkan setengah telanjang berpakaian kulit kambing itu adalah nama yang acap diteriakkan penduduk Roma kuno pada perayaan Lupercalia, tiap 15 Februari, kala itu.

Lalu, di jiran Roma, Grekia yang beribu kota di Athena, kesuburan - diawali dengan cinta, tentu saja - hitung-hitungan kalender tengah Januari hingga tengah Februari adalah Bulan Gamelion. Pada bulan itulah segala persembahan diunjukkan terkait dengan pernikahan suci Dewa Zeus dengan Hera.  

Lalu apa hubungan perayaan bagi dewa-dewi itu dengan hari kasih sayang yang kini diperingati tanggal 14 Februari?

Masih di Roma, cerita tentang cinta dan kasih sayang memang beragam. Namun nama yang paling sering disebut dan dihubungkan dengan perayaan Valentine adalah "Valentinus" yang sejatinya sukar dicari keterhubungannya. Soalnya, nama itu menunjuk pada nama seorang pastor di Roma, nama seorang uskup, dan nama seorang martir di provinsi Romawi Afrika.

Tapi bahwa 14 Februari kemudian ditetapkan sebagai Hari Raya Santo Valentinus, kabarnya, merupakan langkah yang diambil Paus Gelasius I pada 496 sesudah Masehi untuk sedikit banyak mengungguli perayaan Lupercalia, sehari sesudahnya.

Selanjutnya, pada abad pertengahan, khususnya, di Inggris dan Prancis, 14 Februari adalah hari yang dipercaya sebagai hari tatkala burung mencari pasangannya untuk kawin.

Sementara, saat ini, Hari Valentine atawa Hari Kasih Sayang yang jatuh pada 14 Februari juga, lebih menonjol tampil dalam perwujudan cinta kasih sepasang lelaki perempuan yang tengah kasmaran bersimbol mulai dari kartu ucapan hingga bunga mawar serta penganan cokelat. Walau, sesungguhnya, cinta kasih tak cuma berhenti pada terminal mabuk asmara.

Maka dari itulah, memaknai Hari Valentine menjadi pilihan amat pribadi bagi khalayak masa kini. Boleh bertukar sapa maupun benda hingga saling menabur salam doa. Bukan untuk dijadikan silang-selisih karena sejatinya, cinta kasih adalah anugerah dari Yang Mahatinggi. (Josephus Primus)

Sumber: http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.02.14.17295549&channel=1&mn=35&idx=68

Dec 19, 2007

Belajar dari Teladan Pemimpin Kristen

Adakah Pengganti Dr Leimena?

Salahuddin Wahid

Sebuah tabloid khusus kalangan Kristen menurunkan tulisan yang mengeluhkan tidak adanya atau kurangnya pemimpin saat ini, apalagi di tingkat nasional, yang beragama Kristen. Apa benar demikian? Gubernur yang beragama Kristen cukup banyak: di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Papua, Irjabar, Maluku, NTT. Hampir 25 persen gubernur di Indonesia beragama Kristen, lebih besar daripada persentase penduduk beragama Kristen (di bawah 10%) di Indonesia.

Beberapa menteri beragama Kristen atau Katolik, yaitu Mari Pangestu, Purnomo Yusgiantoro, Freddy Numberi. Pimpinan DPR, MPR dan DPR memang tidak ada yang beragama Kristen. Dalam Pilpres 2004 tidak ada satu pun capres atau cawapres yang beragama Kristen, padahal tidak ada UU yang melarangnya.

Kita tampaknya lupa bahwa seorang non-Jawa dan non-Muslim pernah menjadi pejabat presiden sebanyak tujuh kali saat Bung Karno (BK) melawat ke luar negeri (1961-1964), yaitu Dr Johannes Leimena. Dia adalah salah satu pemimpin terbaik bangsa Indonesia dan pemimpin Kristen yang mencapai karier paling tinggi dan paling mengesankan. Amat layak bagi umat dan tokoh Kristen untuk belajar dari Leimena.

Dr Leimena, sama seperti pemimpin lain pada masa lalu, tumbuh dari bawah, tidak bergantung pada pemimpin lain. Mereka punya karakter, sikap, prinsip, dan rendah hati. Tidak banyak yang oportunis atau penjilat. Secara pribadi mereka saling percaya dan saling membantu, walaupun berbeda agama. Mereka tidak memperebutkan jabatan, beberapa dari mereka menolak jabatan menteri, seperti Dr Muwardi dan Ibu Trimurti.

Oom Jo berwatak sederhana, terus terang, setia, kritis, penuh tanggung jawab dan kecil pamrihnya. Bagi dia, politik bukan teknik untuk berkuasa tetapi etika untuk mengabdi. Menurut Dr Zakaria Ngelow, ada lima hal yang dapat dipelajari dari kehidupan dan pemikiran Dr Leimena. Pertama, mengutamakan pengembangan diri dalam hal kualitas moral dan iman. Kedua, pembaruan visi keagamaan yang lebih memberi tempat kepada fungsi sosialnya. Ketiga, visi keagamaan mengacu pada kemanusiaan dan bertujuan mewujudkan kesejahteraan sosial. Keempat, sebagai nasionalis sejati, Leimena sepenuhnya mencintai dan mengabdi pada kemerdekaan, kesatuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Beliau menentang separatisme dan ideologi alternatif. Bagi Dr Leimena, Indonesia adalah suatu bangsa majemuk di bawah satu ideologi, Pancasila. Kelima, dia adalah sosok ideal cendekiawan Indonesia, yang menyatukan dalam dirinya wawasan moral, keagamaan, kemanusiaan, nasionalisme, kepemimpinan, dan intelektualitas, yang dibingkai dalam sosok yang tenang, sederhana, dan rendah hati.

Ketenangan dan Ketabahan

Salah satu yang menonjol dari pribadi Dr Leimena ialah ketenangan dan ketabahan. Ketenangan dan ketabahan Oom Jo tampak saat beliau mendorong dan agak memaksa BK untuk pergi ke Bogor saat BK di Halim mengalami kesulitan menentukan apakah ke Bogor atau ke Madiun. Juga saat sidang kabinet 11 Maret 1966. BK meninggalkan sidang dan menuju Bogor dengan memakai helikopter. Subandrio dengan tergopoh-gopoh mengikuti BK. Dengan tenang, Oom Jo mengambil alih pimpinan sidang kabinet dan dengan tenang menutup sidang itu. Mahasiswa dan Angkatan 66 tidak bersikap negatif terhadap Oom Jo, seperti terhadap Subandrio dan Chairul Saleh.

Mengapa BK memilih Dr Leimena terus-menerus sebagai Pejabat Presiden dan tidak pernah memilih dua Waperdam lainnya? Tentu hanya BK yang bisa menjawabnya dengan tepat. Tetapi, kita bisa menduganya. Tampaknya Dr Leimena adalah yang paling dipercaya BK di antara ketiga Waperdam itu. Itu pasti tidak lepas dari pendapat BK tentang Dr Leimena seperti berikut: "Ambillah misalnya Leimena... saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui."

Ucapan BK di atas menunjukkan bahwa Dr Leimena adalah pemimpin yang punya integritas. Menurut Oxford Dictionary, integritas ialah sifat jujur dan punya prinsip moral yang kuat; kebenaran moral. Pemimpin yang punya integritas harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, harus transparan, jujur dan tidak manipulatif. Kedua, harus harus bisa dipercaya dengan menepati semua janjinya. Ketiga, harus berani bertanggung jawab atas segala keputusan dan tindakannya. Keempat, harus bersikap konsisten.

Seperti umumnya pemimpin masa lalu, Dr Leimena adalah seorang negarawan. Menurut The World Book Encyclopedia, a statesman is a person with a broad knowledge of government and politics, who take a leading part in public affairs. Most people think of statesman being concerned with the needs and interest of their country as a whole. In contrast, they think of politicians as having only party or political aims. Salah satu ucapan dari Winston Churchill yang terkenal ialah, The duty to my party ends when the duty to my country begins.

Leimena adalah pemimpin yang mempunyai visi. Salah satu visi yang menarik ialah tentang ke-Kristen-an dan ke-Indonesia-an. Dia menggunakan istilah double-citizenship. Bagaimanakah kita dapat hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan sebagai warga negara yang sejati dan bertanggung jawab?

Ada beberapa pandangan Dr Leimena yang menarik tentang hubungan gereja dan negara. Pertama, negara berkewajiban menyelenggarakan/memelihara ketertiban itu, dengan demikian menjadi pegawai Allah. Karena Allah dalam Yesus Kristus adalah Tuhan dari dunia dan sorga, maka kekuasaan negara berasal dari Tuhan. Dengan demikian negara tidak mempunyai tujuan dan norma dalam dirinya. Fungsi yang diberikan kepada negara ialah memelihara ketertiban itu atas dasar Hukum dan Keadilan, dan menciptakan kemungkinan kepada warga negara untuk bertindak sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Kedua, gereja harus turut serta menegakkan ketertiban tersebut di atas. Ia tidak dapat membagi kehidupannya ke dalam dua lapangan yang terpisah sama sekali: kehidupan batin dan kehidupan politik, tetapi kerajaan Allah harus dikabarkan dalam semua lapangan kehidupan, juga dalam lapangan politik. Menurut panggilannya dalam lapangan politik ini, ia tiap kali harus menentukan sikapnya yang bergantung pada situasi dan soal yang dihadapinya.

Latar Belakang

Wajar kalau muncul pertanyaan, adakah pengganti Dr Leimena pada saat ini? Kita tahu bahwa pemilihan pimpinan tingkat nasional tidak harus dipengaruhi dikotomi sipil-militer, tua-muda, Jawa-non Jawa dan Islam-non Islam. UUD memperbolehkan orang non-Jawa dan non-Islam untuk menjadi Presiden RI. Tetapi, wajar kalau saat ini orang Jawa memilih tokoh Jawa dan orang Islam memilih Muslim menjadi Presiden. Perkembangan sejarah di banyak negara menunjukkan bahwa latar belakang suku dan agama secara perlahan menurun pengaruhnya.

Sebenarnya pada Pilpres 2004 sudah hampir muncul pasangan capres/cawapres Kristen yang didukung oleh PDS dan sejumlah partai kecil, tetapi konon gagal mencapai kesepakatan dalam negosiasi yang terkait dana. Memang tidak mudah untuk mencari tokoh yang layak dicalonkan, tetapi bukan berarti tidak mungkin atau tidak ada. Saat ini tokoh partai di tingkat nasional beragama Kristen yang menonjol adalah Ruyandi Hutasoit, Mangindaan, dan Theo Sambuaga. Gubernur beragama Kristen yang menonjol prestasinya adalah Gubernur Sulawesi Utara Harry Sarundayang dan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Tentu masih ada lagi potensi lain.

Salah satu dari mereka bisa dipasangkan sebagai cawapres dengan tokoh beragama Islam sebagai capres. Kalah menang bukanlah masalah utama. Yang penting ialah menunjukkan kepada dunia internasional bahwa sesuai UUD, Indonesia bisa menerima cawapres (bahkan mungkin saja capres) beragama Kristen.

Penulis adalah Pengasuh Pesantren Tebuireng


Sumber: Suara Pembaruan, 10 Desember 2007

Oct 10, 2007

Ong Hok Ham

Seorang komentator menulis: "Hanya orang sekelas Ong yang bisa melihat dan menertawakan Lee Kuan Yew. Kita bangga punya sosok tokoh sekelas Ong Hok Ham."

ONG

Catatan Pinggir -- Goenawan Mohamad

ong.gif SEJAK saya melihatnya pada tahun 1962 di sekitar Universitas Indonesia, Onghokham selalu tampak dengan baju dan celana khaki yang kusut. Ia selalu membawa satu tas kulit yang mencong; isinya—buku dan lain-lain—selalu berlebihan. Ia terkadang naik sebuah bromfiets yang mencemaskan karena bergoyang-goyang dengan bunyi sember yang seperti menderita.

Rambutnya sudah menipis, kacamatanya sudah sedikit merosot—satu hal yang mengesankan saya yang baru saja jadi mahasiswa. Cara bicaranya tak berubah sampai dengan masa Reformasi: tak koheren, dengan aksen Jawa Timur yang tak lekang, terkadang agak menyembur, tapi umumnya tak agresif, dan selamanya menunjukkan Ong yang perseptif dalam melihat dan memikirkan sekitar.

Kini, dalam obituari yang ditulis orang setelah ia mening­gal pekan lalu, ia disebut sebagai "sejarawan". Terutama sejak ia kembali dengan gelar doktor dari Universitas Yale pada tahun 1975. Ia sendiri punya versi lain tentang diri­nya. Ada dua hal yang dia bawa pulang dari Yale, ujarnya. Satu, gelar doktor itu. Dua, kepandaian memasak. Ia lebih bangga dengan yang nomor dua itu, katanya, tanpa senyum.

Tentu ada beda antara sejarawan dan juru masak, tapi jangan-jangan perlu juga dilihat bahwa beda itu tak teramat besar. Keduanya mengolah bahan dari detail, dengan metode dan sistem yang kurang-lebih ajek, dan menyajikan sebuah hasil dengan sentuhan personal.

Mereka yang menganggap sejarah sebagai ilmu yang terhormat tentu akan berkeberatan dengan kesimpulan itu. Tapi bukan hal yang baru untuk mengatakan bahwa karya sejarah tak pernah ditulis dari pandangan yang kekal, yang tak bermula dari satu titik dalam waktu. Tiap karya seorang sejarawan bertolak dari masa-kininya sendiri.

Mungkin bahkan bukan hanya itu. Ketika Foucault bicara tentang "genealogi", yang bisa dikatakan sebagai penulisan alternatif tentang masa lalu, yang tersirat di sana bukan saja pernyataan bahwa yang dituju bukanlah "pengetahuan" dan "kebenaran" tentang masa lalu itu, tapi sebuah tindakan terhadap masa kini.

Saya baca kembali kumpulan tulisan Onghokham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Hampir tiap bab tergerak untuk melakukan sesuatu bagi keadaan saat itu. Itu mungkin sebabnya Ong tak pernah lagi menulis sebuah buku utuh, kecuali yang berdasarkan skripsinya di Fakultas Sastra UI dan tesisnya di Universitas Yale. Ia menulis risalah pendek, hidangan sekali santap, selalu sebagai respons terhadap keadaan yang dialaminya waktu itu—dan hampir selamanya terasa tak selesai.

Sebagai editornya di saat-saat ia menyumbang tulisan ke majalah Tempo, saya punya problem dengan cara Ong menulis: saya selalu ingin menemukan paragraf penutup yang baik. Tapi kemudian saya pikir: jangan-jangan itu tak perlu bagi Ong. Makanan yang lezat tak pernah punya akhir, juga dengan cuci mulut.

Tapi dengan itu pula Ong memang tak hendak mengemukakan sebuah kesimpulan dan teori besar. Seperti Sartono Kartodirdjo, ia mengutamakan latar sosial-ekonomi sebuah peristiwa, yang menyebabkan sejarah bagi­nya bukan kisah orang "atas". Ia suka menemukan dan mengemukakan hal ihwal kecil—misalnya "perhitungan hari baik" dalam masyarakat Jawa, atau jumlah gulden subsidi seorang bupati yang dibuang pemerintah kolonial. Tapi tampaknya ia bukan berambisi untuk jadi seorang Braudel, yang dari detail yang memikat melahirkan sebuah teori (tentang kapitalisme, misalnya) yang memukau. Ong bukan pula seorang sejarawan Marxis, yang dengan teori mengkonstruksikan temuan empiris. Ong menulis dengan cara hampir seenaknya—tak sampai berkeringat seperti ketika ia bekerja di dapur.

Ia seakan-akan dengan sengaja menunjukkan dirinya tanpa kategori. Apakah dia sebenarnya—"sejarawan", "kolumnis", "intelektual publik", "juru masak"—ia tak peduli. Ia keturunan Tionghoa yang akan menampik stereotip warga "kebudayaan Cina"—yang disebut oleh Lee Kuan Yew sebagai "sinic culture", sebuah sistem nilai yang katanya berbeda, bahkan sebuah kontras, dari "indic culture", "kebudayaan ala India". Dengan bangga, pemimpin Singapura itu mau menunjukkan bahwa hanya mere­ka yang berakar pada "kebudayaan Cina" yang cocok buat pembangunan ekonomi: pekerja keras, tak suka berleha-leha, dan pada dasarnya puritan untuk mencapai hasil optimal dalam kerja.

Onghokham menertawakan "teori" Lee Kuan Yew yang sangat dekat dengan pandang­an rasialis itu. "Lee bukan menggambarkan watak orang Cina," katanya. "Gambaran idealnya gambaran seorang Kristen Metodis."

Ong tak menyukai mereka yang puritan, Kristen Metodis, para santri, para saudagar, atau ideolog ala Singapura. Baginya Puritanisme adalah represi demi mencapai surga atau kesempurnaan. Ong jauh dari mere­ka yang peduli akan prestasi tinggi, karya yang sempurna, atau posisi yang terhormat. Ia tak mendapatkan gelar "profesor" karena ia anggap sepele tetek-bengek administratif buat memperoleh gelar akademis itu. Baginya yang memikat justru hal-hal yang dianggap "dosa" oleh Puritanisme: makanan, minuman, waktu bergaul dan bersenang-senang.

Mungkin karena Ong lebih dekat dengan hidup ketimbang intelektual lain yang hanya berkutat pada ide besar tentang "manusia" dan "masyarakat".

Saya ingat malam-malam di pertengahan 1960-an: saya termasuk sekelompok teman yang kemudian dikenal se­bagai penulis (Nono Makarim, Fikri Jufri, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Ismid Hadad, Salim Said, dan lain-lain) yang sering minum kopi di warung di Gang Ampiun, Cikini. Terkadang Ong muncul, dengan pakaian khaki yang lusuh dan tas yang penuh. Ia gemar mencemooh kami se­bagai "intelektual kota". Mungkin ia hendak meng­ingatkan, kami yang suka omong tentang "Indonesia" acap kali lupa ada yang tak dapat dirumuskan dari sudut kota Jakarta itu. "Indonesia" bukanlah hanya ide. "Indonesia" adalah kehidupan. Dan Ong memang dekat ke dalamnya.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXIIIIII/03 - 9 September 2007~


Aug 31, 2007

Thamrin, Tak Cuma Memikirkan Banjir dan Gang Becek

PADAMU NEGERI
M.H. Thamrin dan Jakarta kita

repro
M.Hoesni Thamrin dan istri
Menyambut ulang tahun kota Jakarta yang ke-480 tahun ini, rasanya elok juga kalau kita ketengahkan kembali profil tokoh pejuang Mohammad Hoesni Thamrin. Perjuangan dan juga pemikiran-pemikiran tokoh asal Betawi ini rasanya masih kontekstual hingga kini.

Thamrin tak cuma memperjuangkan orang Betawi dan lingkungannya, tapi juga membela saudara sebangsanya yang kala itu masih terjajah.

Mohammad Hoesni Thamrin dilahirkan di Sawah Besar, Betawi, 16 Februari 1894. Ia berasal dari keluarga berada. Kakeknya, Ort, orang Inggris, pemilik hotel di bilangan Petojo, yang menikah dengan perempuan Betawi, Noeraini. Ayahnya, Thamrin Mohamad Thabrie, pernah menjadi Wedana Batavia tahun 1908, jabatan tertinggi nomor dua yang terbuka bagi warga pribumi setelah Bupati.

Mat Seni, begitu panggilan akrab Thamrin, dikenal sebagai orang yang mudah bergaul dengan siapa saja dan dari golongan sosial mana pun. Pengalaman masa kecil inilah yang banyak memengaruhi ide-ide politik yang ia lontarkan saat duduk di dewan kota, yaitu ide-ide tentang keberpihakan Thamrin pada rakyat.

Thamrin pernah bekerja di perusahaan perkapalan milik maskapai swasta Belanda bernama Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Di sinilah ia berkenalan dengan Van Der Zee seorang sosialis Belanda yang juga anggota Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) Batavia. Perkenalan dengan Van Der Zee inilah yang memberi kesempatan pada Thamrin untuk menyuarakan aspirasinya dengan menjadi anggota di Geementeraad Batavia oada tanggal 29 Oktober 1919.

Di Geementeraad Batavia, Thamrin merupakan figur yang berpihak pada rakyat pribumi. Ia pernah mengatakan: "Tuan kepala, saya duduk dalam Dewan Kota bukan sebagai perwakilan dari K.P.M, tetapi sebagai wakil rakyat Betawi, maka tuan jangan lupa bahwa saya adalah bagian dari rakyat itu."

Demi kepentingan perjuangan kemerdekaan, atas usul Hoesni Thamrin, pada tahun 1930 dibentuk anggota Dewan Rakyat Bangsa Indonesia yang kemudian diberi nama Fraksi Indonesia di Volksraad (Dewan rakyat). Tujuan Fraksi Indonesia yang dikepalai oleh Mohammad Hoesni Thamrin ini adalah untuk lebih menyatukan langkah perjuangan.

KCM/Jodhi Yudono
Para pendukung pementasan teater Abang Thamrin dari Betawi oleh sanggar Pelakon sedang berziarah ke makam M.Hoesni Thamrin (Mei 2007)

"Toedjoean dari Fraksi Nasional adalah menoentoet kemerdekaan Indonesia, oleh karena kami jakin, hanja dengan kemerdekaan dapat mentjapai masjarakat Indonesia jang sempoerna," ungkap Thamrin.

Thamrin juga membela didirikannya kantor berita Indonesia serta penggunaan bahasa Indonesia di semua tingkatan pemerintahan, dewan, serta penggunaan resmi kata "Indonesia" dan "bangsa Indonesia".

"Memoelikan dan memadjoekan bahasa Belanda dan mengasingkan bahasa sendiri lambat laoen membawa keroegian jang poela, biarpoen masa ini beloem terlihat. Bukankah bangsa jang hilang bahasanja moedah akan hilang poela kebangsaanja?" ujar Thamrin kala itu.

Demi kepentingan perjuangan bangsa, Mohammad Hoesni Thamrin kemudian menghibahkan gedung Kenari kepada kaum pergerakan kebangsaan, yaitu organisasi PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Beliau kemudian menamakan gedung tersebut Gedung Permufakatan Indonesia.

Adalah Thamrin juga yang sekali lagi memainkan peran utama selama perayaan dan Kongres Indonesia Raja pertama, dan kegiatan seputar penyambutan terhadap kembalinya Soekarno ke arena politik dengan dikuranginya separuh hukuman penjara Soekarno.

Seperti yang dijuluki oleh De Jong; 'gerakan pribumi menjadi lebih lebih jauh lebih pintar dan benar-banar menggunakan otak'. Dalam kenyataannya Thamrin menyadari ia berada dalam permulaan kehidupan politik dengan posisi pandangan kooperatif dengan usaha keras mendapatkan manfaat politiknya. Aksi semacam itu terlambat disadari Soekarno, sesuai yang diakuinya kepada Thamrin pada tahun 1933, juga oleh Hatta dan Syahrir.

Thamrin dan Soekarno mempunyai banyak makna. Menyebut nama mereka berati belajar dari sejarah temntang kerjasama seorang Thamrin politikus yang bekerja "dari dalam sistem". Keterlibatan Thamrin dalam semua peristiwa penting yang dialami Soekarno sangan signifikan: dia hadir pada saat Soekarno diadili dan dipenjara. Thamrin hadir saat Soekarno dibuang ke Ende juga memprotes penahanan Soekarno di Volksraad. Sampai pada akhirnya Thamrin dihukum tahanan rumah setelah Soekarno berkunjung ke rumahnya.

Dalam sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan, Thamrin untuk selamanya tercatat sebagai tahanan politik yang meninggal di tangan penguasa kolonialisme Belanda. Sebagai sesama pejuang kemerdekaan, hubungan dengan Soekarno juga meninggal sebagai tahanan politik, tetapi juga sebagai tahanan bangsanya sendiri, penguasa kejam rezim miiliterisme Orde Baru.

Saat Thamrin mangkat, sekitar 2000 orang atau lebih rakyat Indonesia menghantarkan jenazah Mohammad Hoesni Thamrin ke pemakaman Karet. Suasana ini menunjukkan bagaimana Mohammad Hoesni Thamrin sangat dihormati dan bahkan dicintai oleh rakyat sebagai seorang pejuang yang gigih membela rakyat Indonesia sampai titik darah penghabisan.

Dalam penghormatan terakhir tersebut hadir berbagai tokoh seperjuangan dengan Mohammad Husni Thamrin. Di antaranya ketua umum Parindra Woerjaningrat, Soekardjo Wirjopranoto, Hoesein Djajadiningrat, dan Marzoeki Mahdi.

Thamrin menukik sampai ke urusan, masalah-masalah kecil. Dia bicara tentang kampung-kampung becek tanpa penerangan dan masalah banjir. Dia menggugat daerah elit Menteng yang dalam pembangunan diprioritaskan segalanya. Dia selalu menjurubicarai kepentingan rakyat kecil. Misalnya tentang pajak dan sewa tanah bagi petani sampai-sampai kepada harga semua komoditi yang dihasilkan oleh rakyat.

"Sejak kecil saya dihadapkan pada kenyataan pahit dalam kehidupan saya: banjir yang menimbulkan kemelaratan dan penyakit. Saya semestinya tidak membiarkan bila emak sahabat saya mencuci beras dalam air yang kecoklat-coklatan," ungkap Thamrin.

Mohammad Hoesni Thamrin dikenal sangat berani melontarkan pendapat-pendapatnya dan mati-matian membela rakyat. Padahal pada saat itu orang-orang Indonesia yang duduk di Volksraad sangat sedikit. Namun, Thamrin tak pernah gentar menjadi "juru bicara" bagi rakyat kebanyakan. Seperti dikatakannya "Setiap pemimpin harus mendekati kemauan rakyat", prinsip itulah yang dipegang teguh seorang Thamrin walaupun duduk diparlemen bentukan pemerintah kolonial.

Gedung M.H. Thamrin

Gedung M.H. Thamrin dulunya merupakan gedung yang mempunyai banyak fungsi, terutama untuk pertemuan-pertemuan dari bermacam gerakan perjuangan kemerdekaan. Gedung tersebut pada awalnya merupakan kepunyaan keluarga Thamrin yang pada akhirnya diwariskan untuk negara. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Thamrin menyediakan gedung tersebut sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Indonesia guna menyatukan tekad untuk kemerdekaan walaupun berasal dari berbagai golongan dan kelompok politik.

Berbagai pertemuan, deklarasi, dan pergerakan lainnya seperti yang diadakan oleh GAPI, PARINDRA, 'tuntutan" Indonesia Berparlemen, sampai pertama kalinya dimainkan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh WR Soepratman dilaksanakan di Gedung Permoefakatan, begitu dulunya disebut. Kini gedung yang berada di jalan Kenari no. 15 Jakarta ini merupakan gedung museum M.H. Thamrin.

"Satu hal yang dapat dipastikan bahwa rasa keadilan yang dibangun dewasa ini sangatlah sulit dicari. Kepercayaan terhadap keputusan pengadilan termasuk salah satu sandaran utama negara yang sangat penting, tetapi dengan banyaknya keraguan terhadap kenetralan institusi pengadilan, maka pemerintah akan kehilangan salah satu pilar terkuat untuk memelihara kedaulatan hukum." (pernyataan Thamrin di Volksraad, 1930-1931) (dari berbagai sumber)

Aug 17, 2007

Tentang 'Indonesia'

Asal Usul Nama Indonesia
Oleh IRFAN ANSHORY

PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Makna politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

Dirgahayu Indonesiaku!***

Penulis, Direktur Pendidikan "Ganesha Operation"

Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2004