Aug 24, 2010

Indonesianist Peneliti Keraton Yogyakarta

"Saya sebenarnya sudah separuh pensiun, tetapi tidak bisa diam dan ingin terus belajar..."


Menggelar Indonesia di Mancanegara
Selasa, 24 Agustus 2010 | 02:43 WIB
KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN
JENNIFER LINDSAY

MAWAR KUSUMA

Abdi dalem Keraton Yogyakarta, KRT Rintaiswara, menyodorkan buku katalog karya Jennifer Lindsay saat menjelaskan kekayaan koleksi manuskrip di Kewedanaan Hageng Punakawan Perpustakaan Widya Budaya. Buku itu menjadi panduan bagi mereka yang ingin mempelajari manuskrip tentang Keraton Yogyakarta.

Lindsay, peneliti Australia itu, membuat buku proyek mikrofilm naskah di Keraton Yogyakarta dibantu dua rekannya, RM Soetanto dan Alan Feinstein, tahun 1985. Proyek itu atas permintaan Sultan Hamengku Buwono IX. Setelah 20 tahun kemudian buku karyanya itu masih menjadi satu-satunya katalog manuskrip Keraton Yogyakarta.

Tak berhenti pada manuskrip keraton, dia terus menunjukkan ketertarikannya pada budaya dan sejarah Indonesia. Kini perempuan kelahiran Selandia Baru itu memimpin proyek penelitian "Indonesia's Cultural History 1950-1965: in Search of a Lost Legacy". Pada proyek ini dia meneliti dan menulis misi kesenian Indonesia ke luar negeri.

Ia mewawancarai langsung para pelaku seni budaya era 1950-1965-an yang merupakan duta Indonesia ke berbagai negara. Dia menangkap, betapa pentingnya budaya sebagai alat diplomasi saat Indonesia masih berusia muda.

"Dari awal, saya sangat menghargai mereka yang memilih hidup tidak gampang," ujarnya.

Selain menghasilkan buku penelitian 20 penulis, dibantu Australia-Netherlands Research Collaboration Scheme, Lindsay juga menyutradarai film dokumenter, Menggelar Indonesia. Film ini berisi wawancara dengan 30 duta seni budaya Indonesia pada awal kemerdekaan, yang menjadi produk sampingan penelitiannya.

Film itu diputar gratis di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, dan Bali. Rencananya, Menggelar Indonesia juga akan diputar di perguruan tinggi dan komunitas lain di luar negeri. Ia mengaku senang karena para pelaku sejarah itu kembali diperhatikan, sekaligus menginspirasi kaum muda untuk menghargai sejarah.

Bersama Bulantrisna Djelantik, Irawati Durban Ardjo, dan Menul Robi Sularto, Lindsay memproduksi film dokumenter berdurasi 90 menit itu. Sebelumnya, ia meneliti periode awal kemerdekaan Indonesia selama setahun. Buku hasil penelitian kolaborasi baru itu akan dirilis awal September nanti. "Film ini arsip sejarah. Tak hanya sejarah Indonesia, tapi sejarah dunia," katanya.

Lindsay prihatin sebab perhatian masyarakat pada era 1950-1965 amat kurang. "Saya terkesan, pada awal berdirinya Republik ini, budaya begitu penting. Budaya yang membawa Indonesia ke luar negeri sekaligus membentuk rasa Indonesia di dalam negeri," tambahnya.

Kecintaan bertahap

Kecintaannya kepada Indonesia dibangun bertahap. Pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia pada usia 19 tahun, Lindsay jatuh cinta pada budaya Indonesia. Itulah kali pertama dia ke luar negeri. Ia tinggal di Yogyakarta selama enam tahun, sejak 1971. Di sini Lindsay belajar gamelan, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa.

Ingin semakin mengenal Indonesia, ia melanjutkan kuliah S-2 di Cornell University, Amerika Serikat, pada 1978-1980. Ia mengambil jurusan Sejarah Asia Tenggara. Pemilihan jurusan Sejarah itu, diakuinya, sebenarnya aneh. Sebab, ia pernah tak lulus mata kuliah Sejarah saat kuliah S-1 Sastra Inggris di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Lindsay lalu melanjutkan S-3 jurusan Kajian Indonesia di University of Sydney, Australia. Katalog mikrofilm naskah Keraton Yogyakarta adalah buku pertama yang ditulisnya, ketika menggelar penelitian PhD pada 1981-1983. Disertasinya diterbitkan tahun 1991, berjudul Klasik, Kitsch, Kontemporer: Sebuah Studi Mengenai Pertunjukan Jawa.

Setelah menyelesaikan S-3, ia bekerja pada Australia Council, membidangi kebijakan kesenian dengan pendanaan dari pemerintah. Dia lalu diangkat sebagai Atase Kebudayaan Australia di Kedutaan Australia di Jakarta pada 1989-1992. Dia juga sempat bekerja di Ford Foundation, Jakarta. Selanjutnya, Lindsay mengajar pada program Asia Tenggara di National University of Singapore, menjadi peneliti tamu pada Asia Research Institute, serta dosen Kajian Pagelaran Asia di University of Sydney. Karier mengajarnya berhenti tahun 2006 ketika ia memutuskan pensiun dan fokus sebagai penulis, penerjemah, dan peneliti.

Kini dia menjadi peneliti tamu pada School of Culture, History and Language, College of Asia and the Pacific, di Australia National University (ANU). Sejak tahun 2008 ia juga menjadi peneliti tamu pada International Institute of Asian Studies and KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) Leiden, Belanda.

Menguasai segudang pengetahuan tentang sejarah dan budaya Indonesia, Lindsay merasa semakin tidak tahu apa-apa. Semua pelajaran tentang budaya ataupun sejarah yang telah dipelajarinya, semuanya terasa baru dan menarik.

"Semakin tua, semakin belajar sesuatu yang baru, saya semakin merasa tidak tahu," katanya.

Ia yakin, setiap orang tak akan bisa memahami masa sekarang tanpa melirik masa lalu. Sejatinya, sejarah adalah sesuatu yang mengasyikkan dan menarik. Sejarah sama sekali tidak kering. Sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan menjadi bagian dari kekinian.

Jennifer Lindsay bercerita, kecintaannya terhadap seni budaya sudah tertanam sejak masih kanak-kanak. Orangtuanya berprofesi sebagai pemusik. Ayahnya dirigen orkes dan pemain violin, sedangkan ibunya antara lain bermain piano. Lindsay kecil pun belajar bermain piano dan selo. Maka dia juga menyukai hampir semua jenis musik, bukan hanya gamelan Jawa.

Perempuan yang lebih senang disebut sebagai pemerhati budaya itu mengatakan, ia akan terus memberikan pemikirannya bagi Indonesia. Ikatan batin Lindsay dengan Indonesia dan teman-temannya di Indonesia membuat dia lebih sering menghabiskan waktu di Indonesia dibandingkan di Selandia Baru atau Australia.

"Saya sebenarnya sudah separuh pensiun, tetapi tidak bisa diam dan ingin terus belajar (tentang Indonesia)," katanya menegaskan.

Sumber: Kompas, 24/8/10

No comments: