Aug 26, 2010

Tan Ana Baskara Kembar

"Tatkala matahari masih berpendar, rembulan harus menerima nasib tenggelam atau, meski kelihatan, berona pucat."

Another true story that reinforces the notion 'substance over form'. 
Substansi mengungguli "casing" - interesting.
Matahari over rembulan.
(EJ)


TOKOH PARTAI
Soetrisno yang "Terluka"
Kompas, Kamis, 26 Agustus 2010 | 03:20 WIB

Mundurnya Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional bukan suatu kejutan. Sudah lama khalayak tahu dia patah arang dengan partai politik yang ikut serta dibesarkannya itu.

Sesungguhnya, yang inspiratif adalah pernyataan Soetrisno Bachir, yang biasa disapa SB, yakni, "Keberhasilan seorang pemimpin justru dilihat dari kemampuannya melahirkan pemimpin baru dan bukan pengekor. Kalau seorang pemimpin hanya melahirkan pengikut, pengekor, atau pembebek, bangsa ini tidak akan pernah maju."

Sepertinya, kemunduran dirinya dari PAN melalui pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Proses pemikirannya telah melewati babak pengendapan emosi, didera kemasygulan, dan mungkin juga kekecewaan dan sakit hati.

"Dia memilih waktu puasa untuk menyampaikan unek-uneknya sehingga lebih tenang. Sekalipun dia orang yang sangat sakit hati, dengan kontrol inni soimun (saya sedang berpuasa), dia bisa menyampaikan dengan jernih dan bernas," kata M Sulthon Amin, mantan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN Jawa Timur.

Sulthon tahu betapa SB kecewa dan sakit hati. Dia dipinang oleh pendiri PAN, Amien Rais, untuk memimpin partai itu. Dia sama sekali tidak dikenal sebelumnya di PAN. Berkat dukungan Amien, yang akhirnya diamini peserta Kongres PAN di Semarang, ia pun terpilih memimpin partai "matahari biru".

SB pun membuktikan dirinya. Dia total mengurus PAN. Kantong pribadinya dikuras. Dalam waktu singkat melalui politik pencitraan, ia pun menjadi tokoh nasional.

SB mungkin lupa, PAN, walaupun disebut partai modern, partai reformasi, berakar kultur politik "mataraman". PAN itu secara substantif "kerajaan", seperti Kerajaan Mataram. Amien Rais "rajanya". Raja adalah pusat denyut kehidupan kerajaan.

"Partai modern itu hanya casing-nya, tetapi isinya tetap politik tradisional. Akar kulturnya tetap politik Jawa mataraman. Hal ini tidak cuma PAN, tetapi juga partai lain," kata Latief Wiyata, sosiolog dari Universitas Negeri Jember.

Dalam kultur politik mataraman berlaku kredo, tan ana baskara kembar (tidak ada matahari kembar). Matahari ya cuma Amien Rais. Ketua Umum PAN menjadi rembulan saja. Tatkala matahari masih berpendar, rembulan harus menerima nasib tenggelam atau, meski kelihatan, berona pucat.

Gesekan matahari dan rembulan akhirnya tak bisa dihindari tatkala SB mencoba mempromosikan diri untuk maju ke pemilu presiden, entah sebagai calon presiden atau wakil presiden. Langkah SB ini dianggap bughot (makar) karena semestinya PAN masih mengusung Amien sebagai calon.

Rembulan memang ditakdirkan kalah tatkala bergesekan dengan matahari. SB tergencet. Jangankan masuk nominasi calon, kursi menteri pun tidak dia rengkuh. Padahal, hampir semua ketua umum partai koalisi pendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menjadi menteri. Di PAN, SB seperti batu yang terbuang.

SB tampaknya benar-benar ingin putus total dengan PAN. Ia pergi tanpa masih dicurigai akan balas dendam untuk merusak PAN dari dalam. Dia tak ingin namanya jadi kerikil sandungan bagi (bekas) pengikut setianya di PAN. (ANWAR HUDIJONO)


No comments: