Sun Go Kong vs. Siluman Singa
POLITIK KEBUDAYAAN
Wayang Potehi sebagai Perekat Kebangsaan
Dari balik panggung terdengar rangkaian narasi cerita dalam bahasa Jawa, Indonesia, Melayu Pasar awal abad ke-20, dan dialek Hokkian dibawakan secara fasih seorang pria Jawa arek Suroboyo bernama Subur alias Sugiyo Waluyo (49). Di samping panggung terdapat sebuah layar berisi tulisan alur cerita dalam bahasa Inggris.
Alur cerita mengalir mulus, pengunjung sesekali tertawa lepas mendengar narasi jenaka dalang Subur, yang belajar mendalang potehi sejak tahun 1974 itu. Gerakan tangan Subur lincah memainkan karakter Siluman Singa, Sun Go Kong, dan para sute (adik seperguruan), Pendeta Tong Sam Cong, serta tokoh lain dalam cerita klasik yang dulu dibawakan di kelenteng-kelenteng sebagai tontonan bersama warga lintas komunitas peranakan Tionghoa dan Jawa.
Singkat cerita, Sun Go Kong berhasil mengalahkan Siluman Singa yang akhirnya terbongkar kedoknya sebagai Raja Hao Ke Kok palsu. Raja yang asli dapat dihidupkan kembali oleh Dewata dengan pil kehidupan.
Yang menarik, Pendeta Tong Sam Cong, Sung Go Kong, dan para sute tak mau menerima hadiah harta melimpah dan jabatan yang ditawarkan raja yang mereka tolong. Mereka tetap memilih hidup sederhana dan menyelesaikan tugas mengambil kitab di barat (India). Itulah pesan kesederhanaan dan keluhuran budi yang diusung dengan baik oleh dalang Subur yang bermukim di dekat Kelenteng Hong Tek Hian di Surabaya.
"Saya berharap ada yang mau menjadi penerus seni potehi," ujar dalang Subur prihatin.
Perekat kebangsaan
Seni potehi yang diusung dalang Subur merupakan warisan budaya berusia 3.000 tahun lebih yang dibawa imigran Tionghoa dari daratan Tiongkok. Seni itu kini justru dilestarikan para dalang suku Jawa yang berasal dari Surabaya. Sebagian mereka berguru kepada maestro dalang potehi di Kelenteng Tay Kak Sie Semarang, Thio Tiong Gie.
Pengamat wayang peranakan dari Universitas Indonesia, Woro Retno Mastuti, mengatakan, keberadaan wayang potehi dan wayang thithi (wayang kulit Tionghoa) merupakan kekayaan budaya di Indonesia. Bahasa pengantar pertunjukan wayang sudah menggunakan bahasa Indonesia. "Dekorasi wayang thithi malah menggunakan corak busana batik jawa. Ini tidak ada duanya," ujar Woro.
Woro menambahkan, proses integrasi ini terus berlangsung alamiah. Dia mengenal adanya komunitas dalang peranakan Tionghoa yang setia memainkan wayang purwa.
Istri Duta Besar Singapura untuk Indonesia Gouri Mirpuri mengaku kagum melihat keunikan budaya peranakan di Indonesia yang sudah melebur dalam bagian kebudayaan nasional. "Tentunya menarik kalau bisa dipertunjukkan di Museum Peranakan Singapura. Kita juga prihatin mendengar tidak banyak generasi muda yang mau menjadi dalang wayang potehi," ujar Mirpuri.
Meleburnya potehi merupakan salah satu sarana perekat kebangsaan di dalam negeri dan ke luar sebagai sarana diplomasi budaya yang efektif.
(Iwan Santosa)
Sumber: Kompas, 19 Apr 2011
No comments:
Post a Comment