Tahun Baru Imlek: Reformasi Diri
Pembaruan Musim Semi
William Chang
"Tahun Baru adalah baik.
Dengan datangnya Tahun Baru
Kita dapat berpakaian dan bertopi baru.
Kita dapat membunyikan mercon sesuka hati."
(Disappearing Customs of China, 2007)
Sajak khas anak-anak ini masih menjiwai miliaran orang Tionghoa di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Makau, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, dan Filipina yang merayakan Pesta Musim Semi 2562.
Makna terdalam pesta tani ini berpangkal pada kedatangan musim semi yang membawa roh pengharapan. Rumah, pakaian, relasi, dan suasana hati manusia dibarukan. Spiritualitas pembaruan individu menjadi motor seluruh transformasi keluarga. Tanpa pembaruan individu, pembaruan sosial hanyalah impian.
Jejaring pembaruan musim semi ini bermula dari lingkaran keluarga inti sambil melibatkan sanak famili dan handai tolan. Mengingat kekuatan moral individu jadi tumpuan kekuatan moral sosial, sistem pendidikan transformatif disosialisasikan dari lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat luas.
Mentalitas pembaruan disemaikan sejak dini. Mereka cenderung mengusahakan pembaruan dalam hidup mereka. Pakaian dan topi baru dalam Pesta Musim Semi Tahun Kelinci mencerminkan keadaan hidup sosial yang dibarukan terus-menerus.
Pembaruan sosial dalam konteks Pesta Musim Semi ditopang oleh kuasa Yang Transenden: Dewa Tanah, Dewa Dapur, dan Dewa Chai. Yang Ilahi menggerakkan seluruh proses pembaruan ini. Di hadapan-Nya tiada lagi kebohongan sebab Dia menembus segala kenyataan. Semua yang tersembunyi akan disingkapkan pada waktunya.
Manusia telanjang di hadapan Sang Pencipta langit dan bumi. Hanya Dia yang sanggup melihat semua. Kebohongan sebagai sandiwara tak sanggup bertahan di hadapan-Nya. Pembaruan akan mencapai otentisitas kalau manusia sungguh jujur dan tepercaya terhadap diri sendiri, sesama, dan Sang Pencipta. Pesta Musim Semi mengingatkan mereka akan kehadiran dan peran Sang Pencipta.
Pembersihan sebagai awal
Transformasi sosial mengandaikan keberanian moral membersihkan diri dari segala bentuk kebohongan dalam hidup sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan religi. Kaum tani di Tiongkok waktu itu dengan jujur dan berani mengakui bahwa pergantian musim yang seketika akan menyengsarakan hidup mereka. Akibatnya, mereka memanfaatkan waktu seefisien mungkin sehingga peluang transformasi hidup tidak dilewatkan.
Musim semi dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Dalam musim gugur, mereka menuai hasil tani. Kesulitan menghadapi musim paceklik melahirkan gaya hidup hemat. Pemborosan dianggap sebagai sikap yang bertolak belakang dengan pandangan dunia seorang petani.
Prinsip utama transformasi sosial adalah pembersihan diri, keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat. Menjelang Pesta Musim Semi, anggota keluarga membersihkan segala kekotoran yang bukan hanya di bagian luar rumah, melainkan yang tersembunyi di sudut rumah, lantai, dan langit-langit. Kebiasaan sebelum pesta ini muncul sejak zaman prasejarah dan populer sejak Dinasti Tang (618-907).
Pembersihan tempat tinggal mengandung makna pembaruan seluruh sistem dan kandungan dalam sebuah keluarga. Kemalasan, kotoran, dan ketakberesan diselesaikan sebelum merayakan Pesta Musim Semi. Pembersihan dinding rumah terjadi atas perintah Dewa Dapur yang ingin menyelamatkan mereka yang terancam hukuman Kaisar Permata Jade. Ini berarti proses pembersihan merupakan langkah awal meluputkan diri dari segala bentuk ancaman bagi keselamatan manusia.
Perayaan Pesta Musim Semi di Indonesia mengembuskan angin segar bagi proses reformasi bangsa. Sekaranglah saat untuk segera meninggalkan musim korupsi, pembohongan publik, mafia hukum, dan ketakadilan sosial karena musim semi pembaruan segera tiba. Peralihan musim ini menunjukkan perubahan disposisi batin merintis langkah baru memperbaiki hidup sosial, ekonomi, politik, dan religi.
Musim semi kehidupan bangsa kita ditandai dengan gerakan perbaikan hati nurani dan budi manusia yang masih dicengkam aneka bentuk kecenderungan destruktif (akuisme, sektarianisme, nepotisme, dan banditisme). Penyingkiran peran hati nurani mengakibatkan manusia sulit membedakan yang baik, jahat, bisa, dan boleh. Rasionalisasi dan pembenaran diri/golongan sebegitu dominan sehingga pengakuan akan kesalahan diri sangat sulit terjadi.
Tanpa pembaruan mentalitas, gerakan transformasi sosial sejak Soeharto lengser tinggal slogan. Tiga langkah dasar berikut mutlak ditempuh. Pertama, pemerintah harus tegas dan konsisten menonaktifkan polisi, jaksa, dan hakim yang terindikasi korupsi dari pusat ke daerah. Teknokrat baik, jujur, dan profesional dapat segera ambil alih posisi mereka. Pembersihan birokrat koruptif adalah kewajiban moral.
Kedua, tanggung jawab masyarakat dalam menyembuhkan kondisi koruptif melalui kerja sama yang sehat dan transparan dengan penegak hukum. Kecenderungan berkolusi dalam bidang kejahatan harus ditinggalkan agar bangsa kita luput dari penghancuran sistemik. Ketiga, wibawa pemerintah segera dipulihkan dengan membangun kembali ketepercayaan rakyat. Sebuah pasukan pemberantasan korupsi yang tak kenal kompromi sangat diperlukan.
Jika prinsip yang benar gagal diterapkan dalam sebuah negara, maka sistem pemerintahan tak berada dalam tangan aparatur semestinya. Dalam keadaan seperti ini kehadiran musim semi pembaruan sangat diperlukan. Xin Nien Kuai Le!
William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus
Sumber: Kompas, 02 Februari 2011
No comments:
Post a Comment